Anda di halaman 1dari 2

Kerajaan Bali

Pada abad ke-11, sudah ada berita dari Tiongkok yang menjelaskan tentang tanah Po-Li (Bali).
Berita Tiongkok itu menyebutkan bahwa adat istiadat penduduk di tanah Po-Li hampir sama dengan
masyarakat Ho-ling (Kalingga).

Sumber Sejarah

1. Prasasti Bali yang tertua berangka tahun 882 M; berisi mengenai pemberian izin kepada para
biksu untuk membuat pertapaan di Bukit Chintamani.
2. Prasasti Blajong di dekat Sanur yang berangka 914 M dan berbahasa Bali Kuno.
3. Prasasti Sanur yang berangka tahun 917 M menggunakan huruf Nagari (India) dengan
bahasa Bali Kuno dan bahasa Sanskerta; menyebutkan nama Raja Khesari Warmadewa
dengan istananya di Singadwala

Terdapat prasasti-prasasti dari berbagai dinasti lain dari rentang waktu 915-975 M.

Kehidupan Politik dan Pemerintahan

Dari prasasti-prasasti yang ada, diketahui pengganti Khesari Warmadewa adalah Ugrasena. Setelah
mangkat, Raja Ugrasena dicandikan di Air Madatu. Beliau lalu digantikan oleh Jayasingha
Warmadewa, yang membangun pemandian yang kini dikenal sebagai pemandian Tirta Empul yang
terletak di Istana Tampak Siring. Penggantinya adalah Jayasadhu, yang kemudian digantikan oleh
seorang raja perempuan bernama Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Setelah masa pemerintahannya
berakhir, beliau digantikan oleh Dharma Udayana.

Sistem pemerintahan di Bali selama masa pemerintahan Udayana semakin jelas, terlebih lagi dengan
perkawinannya dengan Mahendradata yang merupakan putri seorang raja dari Jawa Timur di kala
itu. Hal ini memperlihatkan berkembangnya pengaruh Jawa di Pulau Bali. Sejak saat itulah, Bahasa
Kawi (Jawa Kuno) mulai digunakan dalam penulisan prasasti.

Struktur pemerintahan pada masa Raja Udayana (989-1011):

1. Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi


2. Badan Penasihat Pusat yang memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja tentang
permasalahan penting.
3. Pegawai-pegawai kerajaan yang tergolong pegawai tinggi, menengah, dan rendah yang
membantu raja mengurus bidang-bidang pemerintahan, seperti pajak dan tata usaha.

Udayana lalu memiliki anak bernama Anak Wungsu, di mana beliau membangun kompleks candi di
Gunung Kawi, Tampak Siring. Ketika wafat, ia digantikan oleh Sri Maharaja Sri Walaprabu, Raja Bali
pertama yang memakai gelar Sri Maharaja.

Sekitar tahun 1337, pada masa pemerintahan Paduka Batara Sri Asta-Asura Ratna Bhumi Banten,
Kerajaan Majapahit mengadakan ekspansi ke Bali di bawah pimpinan Patih Gajah Mada.
Pertempuran antara pasukan Gajah Mada dan pasukan Bali yang dipimpin oleh Kebo Iwa berjalan
sangat sengit. Dikatakan bahwa Patih Kebo Iwa berhasil dibujuk oleh Gajah Mada untuk pergi ke
Majapahit. Akan tetapi, sesampainya di Majapahit, Patih Kebo Iwa dibunuh.

Perlawanan dilanjutkan oleh Pasunggrigis. Untuk menghadapi beliau, Gajah Mada berpura-pura
menyerah dan minta diadakan perundingan di Bali. Di Kerajaan Bali, Patih Gajah Mada ingin bertemu
dengan raja Bali yang dikeramatkan. Namun, ia terkejut karena yang menjadi raja adalah Gajah
Waktra dari Kediri yang tidak mau tunduk kepada Majapahit. Gajah Waktra lalu ditangkap dan Bali
akhirnya berada di bawah kekuasaan Majapahit.

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

Masyarakat Bali Kuno umumnya hidup berkelompok dalam suatu daerah atau wanua. Sebagian
besar hidup bercocok tanam. Penduduk juga melakukan kebaktian agama dengan baik. Kutukan
merupakan sesuatu yang sangat ditakuti masyarakat di kala itu, terlebih lagi apabila diucapkan
pendeta atas nama raja yang sering dijumpai pada bagian penutup dalam prasasti-prasasti.

Masyarakat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu catur warna (empat kasta), dan golongan luar
kasta. Peraturan-peraturan mengenai perkawinan, perbudakan, kematian, pencurian, dan
sebagainya juga diatur dengan baik.

Kehidupan Ekonomi

Masyarakat Bali umumnya hidup bercocok tanam atau bertani dan berternak. Binatang yang paling
berharga di masa itu adalah jaran atau asba (kuda). Kuda merupakan satu-satunya binatang yang
paling cocok untuk membawa barang dagangan melintasi deretan pegunungan tinggi yang
membatasi daerah Bali Utara dan Selatan.

Bidang perdagangan pada masa itu cukup maju. Di beberapa desa terdapat golongan pedagang yang
disebut wanigrama (pedagang laki-laki) dan wanigrami (pedagang perempuan).

Setiap tindakan atau gerak usaha penduduk selalu diikuti bermacam-macam pajak dan/atau iuran.
Jumlah pajak, iuran, dan denda pada zaman Raja Anak Wungsu diperkirakan ada sekitar 70 macam
atau bahkan mungkin lebih. Pajak-pajak diatur oleh raja, supaya tidak memberatkan penduduk. Akan
tetapi, dalam kenyataannya, bermacam-macam pajak menimbulkan berbagai macam masalah
karena para pemungut pajak cenderung berbuat sewenang-wenang terhadap penduduk dengan
menaikkan jumlah pajak.

Anda mungkin juga menyukai