Anda di halaman 1dari 63

Sejarah Kerajaan Bali

kerajaan Bali merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat bali secara
keseluruhan. Bagian pemerintahan kerajaan di Bali juga beberapa kali berganti mengingat pada
masa itu, terjadi banyak pertikaian antara kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan
mereka. Kerajaan Bali pertama pada saat itu kemungkinan bernama Kerajaan Bedahulu dan
dilanjutkan oleh kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan Gelgel mengambil alih,
dan dilanjutkan oleh kerajaan Klungkung setelahnya. Pada masa Klungkung, terjadi perpecahan
yang menyebabkan kerajaan Klungkung terbagi menjadi delapan buah kerajaan kecil yang juga
dikenal di Bali sebagai swapraja.

Meskipun tidak banyak yang tahu tentang sejarah kerajaan Bali, yang pasti adalah kerajaan
Bedahulu atau yang biasa juga disebut Bedulu merupakan kerajaan awal yang muncul di Bali.
Kerajaan yang terpusat di Pejeng atau Bedulu, Gianyar, Kerajaan Bali ini berdiri pada sekitar abad
ke-8 hingga abad ke-14. Konon katanya, kerajaan ini diperintah oleh salah satu kelompok
bangsawan yang bernama dinasti Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai raja
pertamanya.

Raja-Raja Kerajaan Bali


Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Bali antara lain yaitu sebagai berikut :

1. Sri Kesari Warmadewi


Berdasarkan Prasasti Blanjong yang berangka tahun 914. Istananya berada di Singhadwalawa

2. Ratu Sri Ugrasena


Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Ia memerintah tahun 915–942, istananya berada
di Singhamandawa. Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti. Pada umumnya,
prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak pada daerah-daerah tertentu. Selain itu, ada juga
prasasti yang memberitakan tentang pembangunan tempat-tempat suci. Setelah wafat, Sang Ratu
Sri Ugrasena didharmakan di Air Mandatu.

3. Tabanendra Warmadewa
Raja ini yang memerintah tahun 955–967 M.

4. Jayasingha Warmadewa
Ada yang menduga bahwa Jayasingha Warmadewa bukan keturunan Tabanendra karena pada
tahun 960 M (bersamaan dengan pemerintahaan Tabanendra) Jayasingha Warmadewa sudah
menjadi raja. Akan tetapi, mungkin juga ia adalah putra mahkota yang telah diangkat menjadi raja
sebelum ayahnya turun takhta. Raja Jayasingha telah membuat telaga (pemandian) dari sumber
suci di Desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul yang terletak di dekat Tampaksiring.
Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 Masehi.
5. Jayashadu Warmadewa
Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975–983.

6. Sri Wijaya Mahadewi


Pada tahun 983 M muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Menurut
Stein Callenfels, ratu itu berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Namun, Damais menduga bahwa ratu itu
adalah putri Empu Sindok (Jawa Timur). Hal ini didasarkan atas nama-nama jabatan dalam
Prasasti Ratu Wijaya sendiri yang sudah lazim disebut dalam prasasti di Jawa, tetapi tidak dikenal
di Bali, seperti makudur, madihati, dan pangkaja.

7. Dharma Udayana Warmadewa


Peda pemerintahan Udayana, kerajaan Bali mengalami kejayaan. Ia memerintah bersama
permaisurinya, yaitu Mahendradatta, anak dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur.
Sebelum naik takhta diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tercantum dalam
Prasasti Jalatunda.

Setelah pernikahan itu, pengaruh kebudayaan Jawa di Bali makin berkembang. Misalnya, bahasa
Jawa Kuno mulai digunakan untuk penulisan prasasti dan pembentuk dewan penasihat seperti di
pemerintahan kerajaankerajaan Jawa mulai dilakukan.

Udayana memerintah bersama permaisurinya hingga tahun 1001 M karena pada tahun itu
Gunapriya mangkat dan didharmakan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya hingga
tahun 1011 M. Setelah mangkat, ia dicandikan di Banuwka. Hal ini didasarkan pada Prasasti Air
Hwang (1011) yang hanya menyebut nama Udayana sendiri. Menurut Prasasti Ujung (Hyang),
Udayana setelah mangkat dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka. Raja Udayana mempunyai
tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah
memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur.

8. Maraka
Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Marakata
memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan
Airlangga.

Karena persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, Stutterheim berpendapat bahwa
Marakata sebenarnya adalah Airlangga. Apalagi jika dilihat dari kepribadian dan cara memimpin
yang memiliki kesamaan. Marakata dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu
melindungi dan memperhatikan rakyat. Oleh karena itu, Marakata disegani dan ditaati oleh
rakyatnya. Selain itu, Marakata juga turut membangun sebuah presada atau candi di Gunung Kawi
di daerah Tampaksiring, Bali.

9. Anak Wungsu
Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu
Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih dari
28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Anak Wungsu memerintah
selama 28 tahun dari tahun 1049–1077. Anak Wungsu dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Baginda mangkat pada tahun 1077 dan dimakamkan di
Gunung Kawi (dekat Tampaksiring)

10. Jaya Sakti


Jayasakti memerintah dari tahun 1133–1150 M dan sezaman dengan pemerintahan Jayabaya di
Kediri. Dalam menjalankan pemerintahannya, Jayasakti dibantu oleh penasihat pusat yang terdiri
atas para senapati dan pimpinan keagamaan baik dari Hindu maupun Buddha. Kitab undang-
undang yang digunakan adalah kitab Utara Widdhi Balawan dan kitab Rajawacana.

11. Bedahulu
Memerintah tahun 1343 M adalah Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Raja Bedahulu dibantu oleh
kedua patihnya, Kebo Iwa dan Pasunggrigis. Ia adalah raja terakhir karena pada masa
pemerintahannya Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi wilayah taklukan Kerajaan
Majapahit.

Peninggalan Kerajaan Bali


 Prasasti Blanjong
 Prasasti Panglapuan
 Prasasti Gunung Panulisan
 Prasasti-prasasti peninggalan Anak Wungsu
 Candi Padas di Gunung Kawi
 Pura Agung Besakih
 Candi Mengening
 Candi Wasan.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Bali


Kegiatan ekonomi masyarakat Bali dititikberatkan pada sektor pertanian. Hal itu didasarkan pada
beberapa prasasti Bali yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bercocok tanam.
Beberapa istilah itu, antara lain sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga (ladang), dan
kasuwakan (irigasi).

Di luar kegiatan pertanian pada masyarakat Bali juga ditemukan kehidupan sebagai berikut.

 Pande (Pandai = Perajin)


Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan perak,
membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.

 Undagi
Mereka mempunyai kepandaian memahat, melukis, dan membuat bangunan.
 Pedagang
Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki (wanigrama) dan
pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau
(Prasasti Banwa Bharu).

Kehidupan Sosial-Budaya
Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno didasarkan pada hal sebagai
berikut.

 Sistem Kesenian
Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas sistem kesenian
keraton dan sistem kesenian rakyat.

 Sistem Kasta (Caturwarna)


Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali sistem
kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk masyarakat yang
berada di luar kasta disebut budak atau njaba.

 Sistem Hak Waris


Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan anak perempuan.

 Agama dan Kepercayaan


Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar,
mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya. Dengan demikian,
di Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme.

Masa Kejayaan Kerajaan Bali


Masa kejayaan Kerajaan Bali terjadi pada saat Dharmodayana naik tahta. Pada masa
Dharmodaya, kerajaan ini mengalami kejayaan dengan sistem pemerintahan yang semakin jelas
daripada sebelumnya.
Pada masa Dharmodayana ini, pihak kerajaan memperkuat hubungan tersebut dengan
mengawinkan Dharma Udayana dengan Mahendradata, putri dari raja Makutawangsawardhana
dari Jawa Timur. Hal ini akhirnya semakin memperkokoh kedudukan kerajaan di antara Pulau
Jawa dan Bali.

Penyebab Keruntuhan Kerajaan Bali


Kerajaan Bali mengalami kejatuhan akibat siasat dari Mahapatih Gajah Mada yang pada waktu
itu sedang memperluas ekspansinya ke nusantara, awalnya ia mengajak raja Bali untuk
berunding mengenai penyerahan kerajaan Bali ke tangan Kerajaan Majapahit, karena itulah patih
Kebo Iwa dikirim ke Majapahit untuk perundingan damai, akan tetapi sesampainya di sana,
Kebo Iwa pun dibunuh tanpa sepengetahuan kerajaan Bali, kemudian Majapahit mengirim Gajah
Mada yang berpura-pura mengajak berunding, akan tetapi kemudian ia membunuh raja Gajah
Waktra sehingga kerajaan Bali berada di dalam Kerajaan Majapahit

Sejarah Kerajaan Bali Kuno Lengkap,


Singkat dan Peninggalannya
Pada artikel ini kita akan mengulas tentang Sejarah Kerajaan Bali Kuno secara lengkap, singkat
dan jelas dengan sub tema pembahasan meliputi : kehidupan masyarakat, kejayaan, kemunduran ,
raja-raja , dan beberapa peninggalan. Kerajaan Bali merupakan sebuah kerajaan yang sudah
melekat dalam kehidupan masyarakat bali sendiri dan pengaruhnya masih dapat kita lihat sampai
sekarang. Berikut ini materi sejarah Kerajaan Bali lengkap.

Setelah Majapahit runtuh, kekuasaan di bali kemudian diambil alih oleh Kerajaan Klungkung.
Pada masa kerajaan ini juga terjadi perpecahan dan membuat kerajaan terpecah menjadi delapan
kerajaan kecil yang dikenal di Bali dengan Swapraja. Kerajaan yang pertama yaitu kerajaan
Bedahulu berdiri pada sekitar abad ke 8 hingga ke 14 dengan pusat di Pejeng, atau Bedulu,
Gianyar. Kerajaan ini diperintah oleh salah satu kelompok bangsawan yang disebut dinasti
Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai Raja pertamanya.

Sedang merencanakan liburan ke Bali?


Baca : 17 Tempat Wisata di Bali yang Wajib Dikunjungi

Sejarah Kerajaan Bali

Kehidupan Politik Kerajaan Bali


Sumber sejarah yang dapat kita ketahui Kerajaan Bali yaitu berupa beberapa cap kecil yang
terbuat dari tanah liat. Cap ini memiliki ukuran 2,5 cm dan ditemukan di Pejeng. Berdasarkan
perkiraan para ahli sejarah, cap tersebut dibuat kira-kira pada abad ke 8 Masehi. Selain cap,
ditemukan juga prasasti yang ber-angka tahun 882 Masehi. Isi prasasti ini yaitu memberikan
perintah membuat pasanggrahan di Bukit Cinta mani. Tetap nama raja saat itu tidak ditemukan
dalam prasasti tersebut.

Selain itu, ditemukan juga ditemukan prasasti lain, prasasti ini memiliki angka tahun 911 Masehi.
Isinya yaitu pemberian izin kepada masyarakat desa Turunan untuk membuat sebuah bangunan
suji sebagai tempat pemujaan Bhattara DaTonta. Prasasti selanjutnya yang ditemukan adalah
prasasti Blanjong, dari prasasti ini kerajaan Bali dapat diketahui. Prasasti Blanjong ber angka tahun
914 Masehi, ditulis dengan huruf kawi dan pranangri, sedangkan bahasa yang digunakan adalah
bahasa kawi kuno dan sansekerta

Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Bali


Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Bali didasarkan pada hal-hal sebagai berikut;

 Agama dan kepercayaan : Masyarakat Kerajaan Bali Kuno meskipun sangat terbuka
menerima pengaruh dari luar, tetapi mereka tetap mempertahankan kepercayaan nenek
moyangnya.Kerajaan Bali menganut agama Hindu, Budha, dan kepercayaan animisme.

 Menggunakan Sistem Kasta : Sistem kemasyarakatan yang dianut Kerajaan Bali sesuai
dengan kebudayaan Hindu di India, masyarakat di Bali dibedakan dalam beberapa kasta.
Untuk masyarakat yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba. Baca juga : Sistem
Kasta Agama Hindu

 Sistem Hak Waris : Dalam kehidupan keluarga Kerajaan Bali, sistem hak waris dalam
pembagian harta waris masih digunakan. Pembagian Hak waris dibedakan atas anak laki-
laki dan anak perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris yang lebih besar dibanding
dengan anak perempuan.

 Kesenian Kerajaan Bali : Kesenian yang berkembang pada masyarakat Kerajaan Bali
dibedakan atas sistem kesenian keraton dan sistem kesenian rakyat.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Bali


Kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Bali difokuskan kepada bidang pertanian. Hal ini atas
dasar isi prasasti yang telah ditemukan dan isinya berkaitan dengan hal-hal bercocok tanam.
Beberapa isi yang lain yaitu tentang sawah, parlak (sawah kering), kebun, dan irigasi (kasuwaken),
dan gag (ladang). Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan masyarakat Kerajaan Bali yang juga
ditemukan di kehidupan sebagai berikut:

 Pedagang : Masyarakat Kerajaan Bali juga dibedakan atas pedagang, pedagang disini
maksudnya pedagang laki-laki dan pedagang perempuan. Para pedagang masa Kerajaan
Bali sudah melakukan perdagangan antara pulau-pulau, hal ini dibuktikan dari isi prasasti
yang ditemukan yakni prasasti Banwa Bharu.

 Undagi : Masyarakat Kerajaan Bali memiliki kepandaian atau bisa juga disebut ahli dalam
bidang memahat, membuat bangunan, dan melukis.

 Pande (perajin) : Masyarakat Kerajaan Bali memiliki keahlian dalam membuat kerajinan
dari bahan emas dan perak, alat-alat pertanian, alat rumah tangga, dan senjata.

Baca Juga :
1. Sejarah Kerajaan Mataram Kuno Lengkap
2. Sejarah Kerajaan Tarumanegara Lengkap
3. Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap

Raja-raja Kerajaan Bali


 Raja kerajaan Bali yang pertama adalah Kesari Warmadewa. Raja ini merupakan
pendiri dinasti Warmadewa. Warmadewa bertakhta di Istana Singhadwal.

 Raja kerajaan Bali yang kedua ialah Ugrasena (915-942), ia bertakhta di Singha
mandawa. Masa pemerintahan nya se-zaman dengan mpu sendok. Pada masa raja kedua
ini, terdapat banyak peninggalan berupa prasasti, yaitu berjumlah 9. Prasasti-prasasti
yang ditinggalkan isinya mengenai pembebasan pajak bagi daerah tertentu.

 Kemudian raja ke tiga kerajaan bali yaitu Aji Tabanendra Warmadewa, pemerintahannya
berlangsung pada tahun 955 sampai 967 Masehi. Raja ketiga ini memerintah kerajaan
Bali bersama dengan Sri Dharma Dewi (permaisurinya).

 Raja ke empat kerajaan kali adalah Jaya Singa Warmadewa, ia memerintah pada tahun
968 sampai 975 Masehi. Salah satu peninggalannya berupa tempat pemandian yang
bernama Tirtha empul, lokasi pemandian ini berada di mata air tepatnya desa manukaya.

 Raja ke lima kerajaan bali ialah Janasadhu Warmadewa tahun (975-983)


 Raja ke enam kerajaan bali yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi tahun (983)
 Kemudian raja ke tujuh kerajaan bali adalah Udayana Warmadewa sampai tahun 1001 M

 Setelah Udayana wafat, pewaris kerajaan bali ialah Marakata, dengan gelar
Dharmawangsawardhana Pangkajasthana Uttynngadewa (1011-1022)

 Raja Selanjutnya adalah Anak Wungsu, raja ini juga banyak meninggalkan prasasti yaitu
berjumlah lebih dari 28. Anak wungsu berhasil memerintah kerajaan bali pada tahun
1049-1077. Selama memerintah kerajaan bali, ia berhasil mewujudkan kerajaan yang
damai, aman dan sejahtera.
 Raja ke 10 kerajaan bali adalah Jayasakti tahun 1133 sampai 1150. Raja Jayasakti sering
disebut sebagai jelmaan dewa wisnu. Raja ini memerintah dengan penuh kebijaksanaan,
dibuktikan dengan hukum kemanusiaan dan keadilan.

 Setelah runtuhnya Jayasakti, Kerajaan Bali dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Hal
ini disebabkan karena setelah Jayasakti wafat, raja-raja yang memerintah sangat lemah.

Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Bali


Masa kejayaan Kerajaan Bali terjadi pada saat dipimpin oleh Dharmawangsa. Pada masa
pemerintahan ini kerajaan bali mengalami kejayaan dengan sistem pemerintahan yang semakin
jelas daripada sebelumnya. Pada masa ini pihak kerajaan mempererat hubungan dengan kerajaan
di Jawa Timur, hal ini memperkokoh kedudukan kerajaan di antara Pulau Jawa dan Bali

Kerajaan Bali mengalami keruntuhan akibat siasat dari Mahapatih gajah mada yang pada waktu
itu sedang memperluas wilayahnya ke nusantara, awalnya ia mengajak raja Bali untuk berunding
mengenai penyerahan Kerajaan Bali ke Kerajaan Majapahit, karena itulah Patih Kebo Iwa
dikirim ke Majapahit untuk perundingan damai, akan tetapi sesampainya disana, Kebo Iwa pun
dibunuh tanpa sepengetahuan Kerajaan bali, kemudian Kerajaan Majapahit mengirim Gajah
Mada yang berpura-pura mengajak berunding, akan tetapi kemudian ia membunuh raja Gajah
Waktra sehingga Kerajaan Bali berada di dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Peninggalan Kerajaan Bali


Salah satu peninggalan Kerajaan Bali yang akan kita bahas yaitu Pura Goa Gajah.

Goa Gajah - Peninggalan Kerajaan Bali


Jika anda berada di Bali, maka kunjungilah Pura Goa Gajah yang merupakan salah satu
peninggalan dari kerajaan bali, kita bisa menikmati keindahan-nya dan juga suasana-nya sangat
sejuk dan damai. Peninggalan Kerajaan Bali ini berlokasi di sebuah desa yang bernama Desa
Bedulu, kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar dan jaraknya sekitar 26 km dari kota
Denpasar. Pura Goa Gajah ini memiliki lokasi yang sangat unik yakni di tepi jurang dan di
bawah-nya terdapat sungai.
Demikian pembahasan mengenai Sejarah Kerajaan Bali yang meliputi : kehidupan masyarakat
Kerajaan Bali, kehidupan Politik Kerajaan Bali, Kejayaan Kerajaan Bali, Kehancuran Kerajaan
Bali dan contoh peninggalan Kerajaan Bali yang masih ada. Semoga bermanfaat bagi pembaca,
kurang lebihnya mohon maaf. Sekian, Terimakasih

Sejarah Kerajaan Bali Kuno


Quote:

Kerajaan Bali Kuno terletak di Pulau Bali yang berada di sebelah timur Provinsi Jawa Timur.
Kerajaan Bali kuno mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan kera- jaan-kerajaan di Pulau
Jawa, khususnya di Jawa Timur, seperti kerajaan Singasari dan Majapahit.

Bali merupakan daerah di wilayah indonesia yang sangat terkenal akan adat dan kebudayaanya
di dunia. Dan merupakan salatu tempat wisata paling populer dindonesia bahkan dunia. Adat dan
kebudayaan tersebut merupakan warisan kebudayaan dari kerajaan bali kuno. Hal ini bisa di lihat
dari bangunan,tarian,adat dan culture masyarakat bali sekarang.

Sumber : http://www.sejarah-indonesia.com/ker...aan-bali-kuno/

Kerajaan bali kuno dalam artikel ini akan saya urai dalam beberapa aspek yaitu:

- Kehidupan Politik kerajaan bali kuno

Berita tertua mengenai Bali bersumber dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap kecil
dari tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng, Bali. Cap tersebut dibuat pada
abad ke-8 M. Adapun prasasti tertua di Bali berangka tahun 882 M, memberitakan perintah
membuat pertapaan dan pasanggrahan di Bukit Kintamani. Di dalam prasasti tersebut tidak
ditulis nama raja yang memerintah pada masa itu. Demikian juga prasasti yang berangka tahun
911 M yang isinya memberikan izin kepada penduduk Desa Trunyaan untuk membangun tempat
suci bagi pemujaan Bhattara da Tonta.

Munculnya Kerajaan Bali kuno diketahui dari Prasasti Blanjong (Sanur) yang berangka tahun
914 M. Tulisan Prasasti dengan huruf Pranagari dan Kawi dan bahasa Bali Kuno dan Sanskerta.
Raja Bali perdana adalah Kesari Warmadewa. Ia tingal dan memerintah di Istana Singhadwala
dan merupakan pendiriri Dinasti Warmadewa. Raja singhadwal tidak memerintah lama hannya
sekitar dua tahun, Kesari Warmadwa kemudian di gantikan oleh Ugrasena (915–942). Jika di
lihat dari tahun dia memerintah raja ini sezaman dengan pemerintahan Empu Sendok yang
berasal dari keluarga Isana di Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Raja Ugrasena ia
menbangun sembilan prasasti yang berisi tentang pembebasan pajak untuk daerah-daerah
tertentu.

Setelah raja Ugrasena meninggal ia di gantikan Raja Aji Tabanendra Warmadewa yang
memerintah antara 955 sampai 967m. Dalam menjalankan pemerintahannya ia di bantu oleh
permaisurinya yang bernama Sri Subadrika Dharmadewi. Penggantinya Jaya- singha
Warmadewa (968–975). Rajajaya singha warmadewa membangun sebuah pemandian dari
sebuah mata air yang ada di Desa Manukaya. Pemandian itu disebut Tirtha Mpul yang terletak di
dekat Tampaksiring.

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa (975–983). Pada tahun 983 muncul
seorang raja wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Pengganti Sri Wijaya
Mahadewi adalah Udayana War- madewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, yaitu
Gunapriya Dharmapatni yang lebih dikenal sebagai Mahendradatta. Udayana meme- rintah
bersama permaisurinya sampai dengan tahun 1001 M karena pada tahun itu Mahendradatta
meninggal. Udayana meneruskan pemerintahannya sampai dengan tahun 1011 M.

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yakni Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.
Airlangga tidak pernah memerintah di Bali sebab menjadi menantu Dharmamangsa di Jawa
Timur. Oleh karena itu, setelah Udayana meninggal, takhtanya digantikan oleh Marakata.
Setelah naik takhta, Marakarta memakai gelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkaja-
sthana Uttunngadewa. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga (1011–1022 M).
Ia dianggap sebagai kebenaran hukum yang selalu memerhatikan dan melindungi rakyatnya.
Oleh karena itu, Marakata disegani dan ditaati oleh rakyatnya.

Pengganti Marakata adalah Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan Raja Bali yang paling
banyak meninggalkan prasasti, yakni ada kurang lebih 28 buah prasasti dan tersebar di Bali
Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Anak Wungsu berhasil memegang tampuk pemerintah di
Bali selama 28 tahun (1049–1077). Semasa pemerintahannya, ia berhasil mewujudkan kerajaan
yang aman, damai, dan sejahtera. Penganut agama Hindu dapat hidup berdampingan dengan
agama Buddha. dia menbangun sebuah kompleks percandian di Gunung Kawi (sebelah selatan
Tam- paksiring) yang merupakan peninggalan terbesar di Bali. Masa pemeritah- annya yang
gemilang, Anak Wungsu dianggap oleh rakyatnya sebagai penjilman Dewa Hari (Dewa
Kebaikan). Setelah meninggal, Anak Wungsu didharmakan di Candi Gunung Kawi

Wungsu tidak meninggalkan putra. Permisurinya dikenal dengan nama Batari Mandul. Raja yang
memerintah setelah Anak Wungsu yang terkenal adalah Jayasakti yang memerintah 1133–1150
M. Masa pemerin- tahan Jayasakti sezaman dengan Raja Jayabaya di Kediri. Pada saat itu agama
Buddha, Siwaisme, dan Waisnama ber- kembang dengan baik. Raja Jayasakti disebut sebagai
penjilmaan Dewa Wisnu. Sebagai seorang raja yang bijaksana, ia memerintah kerajaan
berdasarkan pada hukum keadilan dan kemanusiaan. Kitab undang-undang yang berlaku pada
masa pemerintahannya ialah Utara Widdhi Balawan dan Raja Wacana atau Rajaniti.

Raja Bali yang terkenal lainnya adalah Jayapangus . Ia memerintah antara 1177–1181 M. Raja
Jayapangus dianggap sebagai penyelamat rakyat yang terkena malapetaka karena melalaikan
ibadah. Jayapangus menerima wahyu dari Dewa untuk mengajak rakyat kembali melakukan
upacara rital agama yang sampai sekarang dikenal dan diperingati sebagai upacara Galungan.
Kitab undang-undang yang digunakan sebagai pedoman masa pemerintahannya ialah kitab Mana
Wakamandaka.

Setelah Jayapangus, Bali diperintah oleh raja-raja yang lemah. Bali kemudian berhasil ditaklukan
oleh Gajah Mada dan menjadi wilayah kekuasaan Majapahit.

- Kehidupan Sosial Ekonomi kerajaan bali kuno

Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno, sesuai dengan
kebudayaan Hindu di India, yaitu pada awalnya diwarnai dengan sistem kasta yang disebut
caturwarna. Untuk masyarakat yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba.

Selain itu, ada hal yang menarik dalam sistem keluarga di Bali yakni berkaitan dengan
pemberian nama anak. Misalnya, Wayan, Made, Nyoman dan Ktut. Untuk anak pertama dari
golongan brahmana dan kesatria disebut Putu.

Kehidupan perekonomian masyarakat dari Kerajaan Bali Kuno bertumpu pada pertanian.
Beberapa istilah yang berkaitan dengan bercocok tanam, antara lain sawah, parlak (sawah
kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), dan kasuwakan (irigasi). Selain bercocok tanam, ada
yang bekerja sektor di kerajinan. Mereka memiliki kepandaian membuat barang-barang kerajian
dari emas dan perak, perlatan rumah tangga, dan alat-alat pertanian. Bahkan, ada memiliki
kepandaian memahat dan melukis.

Kegiatan perdagangan pun, sudah cukup maju. Di beberapa desa terdapat golongan saudagar
yang disebut wanigrama (saudagar laki-laki) dan wanigrami (saudagar perempuan). Mereka
memiliki kepala atau pejabat yang mengurus kegiatan perdagangan yang disebut banigrama atau
banigrami.

- Kehidupan Budaya kerajaan bali kuno

Masuknya kebudayaan Hindu–Buddha ke Bali, ber- pengaruh besar pada masyarakatnya. Sampai
saat ini mayoritas penduduk Bali menganut agama Hindu. Agama Hindu di Bali telah bercampur
dengan adat isti-adat setempat sehingga Hindu khas Bali disebut Hindu Dharma. Agama Buddha
juga berkem-bang, meskipun tidak sepesat agama Hindu. Hal inidapat diketahui dari jumlah pe-
danda (pendeta) agama Hindu (Siwa) yang bergelar dangacarrya lebih banyak dari pada pendeta
Buddha yang bergelar dangupadhyaya. Agama Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan
secara damai, menunjukkan adanya tolerasi yang tinggi dalam masyarakat Bali.

Di bidang budaya berkaitan dengan kehidupan keagamaan dapat dijumpai pada bangunan
peninggalan masa kuno yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan, seperti candi dan pura.
Peninggalan bangunan candi, seperti Candi Padas di Gunung Kawi. Sebaliknya, untuk
peninggalan pura di antaranya adalah Pura Agung Besakih

Quote:
merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat bali secara keseluruhan. Bagian
pemerintahan kerajaan di Bali juga beberapa kali berganti mengingat pada masa itu, terjadi
banyak pertikaian antara kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan mereka. Kerajaan Bali
pertama pada saat itu kemungkinan bernama Kerajaan Bedahulu dan dilanjutkan oleh kerajaan
Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan Gelgel mengambil alih, dan dilanjutkan oleh
kerajaan Klungkung setelahnya. Pada masa Klungkung, terjadi perpecahan yang menyebabkan
kerajaan Klungkung terbagi menjadi delapan buah kerajaan kecil yang juga dikenal di Bali
sebagai swapraja.

Meskipun tidak banyak yang tahu tentang sejarah kerajaan Bali, yang pasti adalah kerajaan
Bedahulu atau yang biasa juga disebut Bedulu merupakan kerajaan awal yang muncul di Bali.
Kerajaan yang terpusat di Pejeng atau Bedulu, Gianyar, Kerajaan Bali ini berdiri pada sekitar
abad ke-8 hingga abad ke-14. Konon katanya, kerajaan ini diperintah oleh salah satu kelompok
bangsawan yang bernama dinasti Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai raja
pertamanya.
Sri Kesari Warmadewa adalah salah satu dari Wangsa Warmadewa, dimana mereka merupakan
salah satu keluarga bangsawan yang memiliki kuasa besar akan pulau Bali di masa lalu. Sri
Kesari sendiri, menurut riwayat lisan yang beredar telah berkuasa sejak abad ke-10, dan
namanya bisa ditemukan dalam sebuah prasasti di Sanur, bernama prasasti Blanjong. Tertulisnya
nama Sri Kesari di dalam prasasti tadi membuatnya menjadi raja pertama di Bali yang namanya
ada dalam catatan tertulis. Dari prasati tadi juga, diketahui bahwa Sri Kesari ternyata merupakan
seorang penganut Buddha Mahayana dan bahwa dinasti ini memiliki sebuah hubungan yang
amat dekat dengan penguasa kerajaan Medang di Jawa Timur sekitar abad 10 hingga 11.

Sumber : http://www.portalsejarah.com/sejarah...i-lengkap.html

Setelah Sri Kesari turun jabatan, kerajaan Bali yang saat itu dikenal dengan kerajaan Bedahulu,
dilanjutkan oleh Sang Ratu Ugrasena. Ugrasena diperkirakan memerintah pada jaman yang sama
dengan Mpu Sendok di Jawa Timur, yaitu sekitar 915 hingga 942. Pada masa pemerintahan
Ugrasena, ia terkenal sering merilis prasasti yang memiliki hubungan dengan kegiatan-kegiatan
yang sering diadakan oleh masyarakat kerajaannya seperti perpajakan, penganugerahan, upacara
agama, pembangunan penginapan, hingga pendirian tempat sembahyang bagi mereka yang ingin
berziarah. Bukti fisik tentang kepemimpinan Ugrasena tercatat dalam beberapa prasasti, antara
lain Prasasti Srokada A dan Goblek Pura Batur A. Seluruh prasasti yang memuat namanya selalu
tertulis dalam bahasa Bali kuno, dan dimulai dengan sebuah perkataan yang berbunyi yumu
pakatahu, berarti “ketahuilah oleh kalian semua”.

Setelah Ugrasena turun, penerusnya adalah Sri Tabanendra Warmadewa yang dari namanya jelas
diketahui bahwa ia masih anggota Wangsa Warmadewa. Sri Tabanendra merupakan anak dari
Ugrasena, dan istrinya merupakan seorang putri dari Jawa yang secara kebetulan adalah anak
dari Mpu Sendok. Beliau memerintah dari tahun 943 hingga 961, dan penerus kerajaan Bali
setelah Sri Tabanendra adalah:

- Sri Candrabaya Singa Warmadewa, pada tahun 961 hingga tahun 975.
- Sri Janasadu Warmadewa, pada tahun 975 hingga 983.
- Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi, di tahun 983 hingga 989.
- Sri Udayana Warmadewa pada tahun 989 hingga 1011. Sri Udayana memiliki tiga anak, yaitu
Airlangga, dan Marakata, serta Anak Wungsu.
- Sri Adnyadewi (Darmawangsa Wardana) yang berkuasa di tahun 1011 hingga 1022.
- Sri Darmawangsa Wardana Marakatapangkaja, tahun 1022 hingga 1025.
- Anak Wungsu (meskipun tanpa marga Warmadewa, masih merupakan keturunan dinasti
tersebut mengingat ia anak dari Sri Udayana) di tahun 1049 hingga tahun 1077.
- Sri Walaprabu di tahun 1079 hingga 1088.
- Sri Sakalendukirana 1088 hingga 1098.
- Terjadi kekosongan kekuasaan hingga akhirnya Sri Suradipa memerintah pada tahun 1115
hingga 1119.
- Banyak lagi raja yang bukan keturunan Warmadewa.

Sejarah kerajaan Bali mencapai babak baru ketika pada masa pemerintahan Sri Astatura Ratna
Bumi Banten pada tahun 1332 hingga 1343, terjadi ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Ekspedisi
Gajah Mada dimulai dengan membunuh Kebo Iwa yang ia anggap sebagai sebuah penghalang
misi ini. Cara pembunuhannya adalah dengan menawarkan perdamaian pada raja Bali sehingga
Kebo Iwa dapat dikirim untuk datang ke Majapahit dan kemudian dinikahkan. Alih-alih dijemput
oleh pengantin, yang menjemput Kebo Iwa begitu ia tiba di Majapahit adalah kematian.
Tewasnya Kebo Iwa ini mempermudah Adityawarman menaklukkan Bali di tahun 1343.

Penundukkan Bali ini kemudian mendorong didirikannya sebuah dinasti boneka di Samprangan
yang kini bernama Gianyar, dekat dengan Bedulu. Pendirian dinasti ini mengambil waktu saat
Gajah Mada masih memimpin, dan dinasti yang bernama Samprangan ini memiliki raja pertama
bernama Sri Aji Kresna Kepakisan. Sri Aji memiliki tiga orang anak, dan satu di antaranya
adalah Dalem Samprangan yang setelah menjabat dinilai tidak pantas menjadi raja dan
digantikan oleh adiknya yang paling muda, Dalem Ketut. Raja terakhir dalam periode yang
disebut dengan nama periode Gelgel adalah Dalem Di Made pada tahun 1605 hingga 1686.

Sejarah kerajaan Bali berakhir dengan periode kerajaan Klungkung yang sebenarnya masih tetap
bagian dari dinasti Gelgel. Diketahui pada akhirnya bahwa yang mengakhiri masa pemerintahan
dinasti Gelgel adalah pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti karena kesal kekalahannya tidak
berarti pemulihan kembali oleh Dalem Di Made. Pemimpin pertama dari era Klungkung ini
bernama Dewa Agung Jambe yang memerintah pada tahun 1710 hingga tahun 1775. Di masa ini,
kerajaan bali terpecah menjadi delapan buah kerajaan kecil (sembilan jika menghitung
Klungkung sendiri), yaitu: Badung, Mengwi, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Tabanan,
dan Denpasar

Home Sejarah /

Sejarah Kerajaan Bali: Kehidupan Politik,


Ekonomi, & Sosial-Budaya
Ahmad Fathoni 19.50
Sejarah Kerajaan Bali ~ Kerajaan Bali Kuno terletak di Pulau Bali yang berada di sebelah timur
Provinsi Jawa Timur. Kerajaan Bali mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan kerajaan-
kerajaan di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, seperti kerajaan Singasari dan Majapahit. Nah,
pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan menampilkan penjelasan mengenai kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial-budaya dari Kerajaan Bali. Semoga bermanfaat. Check this out!!!

A. Kehidupan Politik

Berita tertua mengenai Bali bersumber dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap kecil dari
tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng, Bali. Cap-cap itu dibuat pada abad
ke-8 M. Adapun prasasti tertua di Bali berangka tahun 882 M, memberitakan perintah membuat
pertapaan dan pasanggrahan di Bukit Cintamani. Di dalam prasasti tersebut tidak ditulis nama raja
yang memerintah pada masa itu. Demikian juga prasasti yang berangka tahun 911 M, yang isinya
memberikan izin kepada penduduk Desa Turunan untuk membangun tempat suci bagi pemujaan
Bhattara Da Tonta.

Munculnya Kerajaan Bali dapat diketahui dari prasasti Blancong (Sanur) yang berangka tahun 914
M. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pranagari dan Kawi, sedang bahasanya ialah Bali kuno
dan Sanskerta. Raja Bali yang pertama ialah Kesari Warmadewa. Ia bertakhta di istana
Singhadwala dan ialah raja yang mendirikan Dinasti Warmadewa. Dua tahun kemudian, Kesari
Warmadwa digantikan oleh Ugrasena (915-942). Raja Ugrasena bertakhta di istana
Singhamandawa. Masa pemeritahannya sezaman dengan pemerintahan Empu Sendok dari
keluarga Isana di Jawa Timur (Baca: Kerajaan Mataram Dinasti Isana). Raja Ugrasena
meninggalkan 9 prasasti, yang umumnya berisi tentang pembebasan pajak untuk daerah-daerah
tertentu.

Raja yang memerintah setelah Ugrasena adalah Aji Tabanendra Warmadewa ( 955-967). Raja ini
memerintah bersama-sama permaisurinya yang bernama Sri Subadrika Dharmadewi. Pengganti
berikutnya ialah Jaya singha Warmadewa (968-975). Raja ini membangun sebuah pemandian dari
sebuah mata air yang ada di Desa Manukaya. Pemandian itu disebut Tirtha Empul yang terletak di
dekat Tampaksiring.

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa (975-983). Pada tahun 983 muncul
seorang raja wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Pengganti Sri Wijaya
Mahadewi ialah Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, yaitu Gunapriya
Dharmapatni yang lebih dikenal sebagai Mahendradatta. Udayana memerintah bersama
permaisurinya sampai tahun 1001 M, sebab pada tahun itu Mahendradatta meninggal. Udayana
meneruskan pemerintahannya sampai tahun 1011 M.

Raja Bali selanjutnya adalah Udayana. Berdasarkan namanya Udayana diduga merupakan raja
yang besar wibawa dan pengaruhnya. Udayana berarti “penyampai wahyu”, seperti matahari yang
memberikan sinar terang kepada umat manusia. Udayana menikah dengan Mahendradatta (ada
yang menyebutnya Sri Gunaprya Darmapatni), saudara perempuan Darmawangsa Teguh dari
Medang Kamulan di Jawa Timur. Perkawinan mereka membuahkan beberapa putra: Airlangga,
Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga sebagai anak sulung menikahi salah seorang puteri Raja
Darmawangsa Teguh (Airlangga mengawini sepupunya sendiri). Setelah Dharmawangsa tewas
akibat pemberontakan Wura-wuri, Airlangga mengambil alih kekuasaan Medang Kamulan dan
memindahkan ibukota ke Kahuripan.
Setelah meninggal Udayana dimakamkan di Banuwka, ia digantikan oleh puteranya,
Dharmawangsa Marakata. Marakata wafat pada tahun 1025 M dan dimakamkan di Camara di kaki
Gunung Agung. Sedangkan ibunya, Mahendradatta, wafat pada tahun 1010 dan dimakamkan di
Burwan dekat Gianyar yang diarcakan sebagai Dewi Durga.

Sepeninggal Marakata, takhta Bali dipegang oleh Anak Wungsu, adiknya. Anak Wungsu mulai
memerintah pada 1049. Selama pemerintahannya, ia meninggalkan 28 buah prasasti, di antaranya
Prasasti Gua Gajah, Gunung Penulisan, dan Sangit. Menurut pemberitaan prasasti-prasasti
tersebut, Anak Wungsu dicintai rakyatnya dan dianggap penjelmaan Dewa Wisnu. Ia memerintah
selama 28 tahun, sampai tahun 1077, dan wafat pada tahun 1080 M dan dimakamkan di Candi
Padas Tampaksiring.

Anak Wungsu kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Walaprabu yang diduga memerintah tahun
1079-1088. Berbeda dengan raja-raja Bali sebelumnya yang memakai gelar Sang Ratu atau Paduka
Haji, Walaprau malah menggunakan gelar Sri Maharaja yang berbau Sansekerta. Raja yang
terkenal dari Bali adalah Jayapangus yang berkuasa dari tahun 1177 hingga 1181. Sebanyak 35
prasasti tentang Jayapangus telah ditemukan. Dalam menjalankan roda pemerintahannya,
Jayapangus dibantu oleh dua orang permasyurinya, yaitu Sri Prameswari Indujaketana dan Sri
Mahadewi Sasangkajacinhna. Kitab yang digunakan sebagai hukum adalah Manawakamandaka,
yang sering disebut pula Manawasasana Dharma.
Raja Bali yang terakhir adalah Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang
Adedewalancana (1260-1324). Tahaun 1282, Bali diserang oleh raja Singasari, Kretanegara.
Setelah itu Bali berada dalan kekuasaan Majapahit. Pada masa runtuhnya Majapahit banyak
bangsawan, pendeta, pedagang, seniman, dan rakyat lainnya yang pindah ke Bali untuk
menghindari islamisasi di Jawa. Maka dari itu, hingga sekarang mayoritas penduduk Bali penganut
Hindu sebagai pengaruh Majapahit yang Hindu.
Sejarah Kerajaan Bali: Kehidupan Politik, Ekonomi, & Sosial-Budaya

B. Kehidupan Ekonomi

Kegiatan ekonomi masyarakat Bali dititikberatkan pada sektor pertanian. Hal itu didasarkan pada
beberapa prasasti Bali yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bercocok tanam.
Beberapa istilah itu, antara lain sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga (ladang), dan
kasuwakan (irigasi).

Di luar kegiatan pertanian pada masyarakat Bali juga ditemukan kehidupan sebagai berikut.

1. Pande (Pandai = Perajin)

Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan perak,
membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.

2. Undagi

Mereka mempunyai kepandaian memahat, melukis, dan membuat bangunan.

3. Pedagang

Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki (wanigrama) dan
pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau
(Prasasti Banwa Bharu).

C. Kehidupan Sosial-Budaya

Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno didasarkan pada hal sebagai
berikut.

1. Sistem Kasta (Caturwarna)

Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali sistem
kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk masyarakat yang
berada di luar kasta disebut budak atau njaba.

2. Sistem Hak Waris

Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan anak perempuan.

3. Sistem Kesenian
Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas sistem kesenian
keraton dan sistem kesenian rakyat.

4. Agama dan Kepercayaan

Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar,
mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya. Dengan demikian,
di Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme

Nama Bali ternyata telah dikenal pada masa kekuasaan Dinasti Tang di Cina. Mereka menyebut
Bali dengan Po-li atau Dwa-pa-tan, yakni sebuah negeri yang terletak disebelah timur Kerajaan
Ho-ling. Masyarakat Dwa-pa-tan mempunyai adat istiadat yang hampir sama dengan Ho-ling.
Pada saat itu penduduk telah pandai menulis di atas lontar. Mereka telah dapat menanam padi
dengan baik. Setiap penduduk yang meninggal, mayatnya diberi perhiasan emas yang
dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dibakar dengan wangi-wangian.

Berita tertua mengenai Bali sumbernya berasal dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap
kecil dari tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng. Cap-cap ini ditulisi
mantra-mantra agama Buddha dalam bahasa Sansekerta yang diduga dibuat sekitar abad ke-8
Masehi. adapun prasasti tertua Bali yang berangka tahun 882 M memberitakan perintah
membuat pertapaan dan pesanggrahan di Bukit Cintamani. Di dalam prasasti tersebut tidak
ditulis nama Raja yang memerintah pada waktu itu. Demikian pula prasasti yang berangka tahun
911 M. Hanya menjelaskan pemberitaan izin kepada penduduk Desa Turunan untuk membangun
tempat suci bagi pemujaan Batara da Tonta.

Munculnya kerajaan Bali dapat diketahui dari tiga prasasti yang ditemukan di Belonjong
(sanur), panempahan, dan Maletgede yang berangka tahun 913 M. Prasasti-prasasti tersebut
ditulis dengan huruf Nagari dan Kawi, sedangkan bahasanya ialah Bali kuno dan Sansekerta.
Dari prasasti – prasasti tersebut tertulis Raja Bali yang bernama Kesariwarmadewa. Ia
bertakhta di Istana Singhadwala (pintu istana negara singha). Ia adalah Raja yang mendirikan
Dinasti Warmadewa di Bali. Dua tahun kemudian Kesariwarmadewa diganti oleh Ugrasena.
Raja Ugrasena yang bertakhta di istana Singhamandawa memerintah kerajaan sampai tahun
942 M. Masa pemerintahannya sezaman dengan pemerintahan Mpu Sindok di Kerajaan
Mataram. Selama tujuh tahun berikutnya tidak diketahui raja penerus Ugrasena. Setelah itu,
muncul Raja Bali bernama Aji Tabenendra warmadewa (955-967).

Baca Juga:

 Kerajaan Buleleng
 1936: Foto Gadis Bali Bertelanjang Dada
 Kerajaan Kalingga (Ho-ling)
 Kerajaan Kutai
Di tengah-tengah masa pemerintahan Tabenendra, pada tahun 960 muncul raja Bali lain, yaitu
Indra Jayasingha warmadewa (Candrabhayasingha warmadewa). Pengganti Candrabhayasingha ,
yaitu Janasadhu warmadewa (975-983),kemudian Wijaya Mahadewi (983-989). Setelah itu
muncul raja Bali yang bernama Udayana (989-1011) dan bergelar Sri Dharmodayana
warmadewa. Udayana memerintah Kerajaan Bali bersama-sama dengan permaisurinya,
Gunapriya Dharmapatni yang dikenal dengan nama Mahendradatta. Dari hasil perkawinan
Udayana dengan Mahendradatta lahir tiga orang putra yaitu Airlangga, Marakatapangkaja dan
Anak Wungsu. Airlangga yang menjadi putra mahkota ternyata tidak pernah memerintah di Bali,
sebab ia pergi ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Dharmawangsa, Raja Mataram. Oleh
karena itu, pewaris kerajaan bali jatuh kepada Marakatapangkaja (1011-1022). Ia dianggap
sebagai kebenaran hukum yang selalu melindungi rakyatnya. Ia juga memperhatikan kehidupan
rakyat sehingga disegani dan di taati. Masa pemerintahan Marakatapangkaja sezaman dengan
Airlangga di Jawa Timur. Dari tahun 1022 sampai tahun 1049 tidak dipaparkan berita mengenai
raja yang memerintah Bali.

Anak wungsu (1049-1077) kemudian melanjutkan kekuasaan Marakatapangkaja. Ia dikenal


sebagai raja yang penuh belas kasihan terhadap rakyatnya. Ia pun senantiasa memikirkan
kesempurnaan dunia yang dikuasainya. Selama masa pemerintahannya, ia berhasil mewujudkan
negara yang aman, damai dan sejahtera. Penganut agama hindu dapat hidup berdampingan
dengan agama Buddha. Anak Wungsu sempat pula membangun sebuah kompleks percandian di
gunung Kawi (sebelah selatan Tampaksiring) yang merupakan peninggalan terbesar di Bali. Atas
perannya yang gemilang itu, Anak Wungsu kemudian dianggap rakyatnya sebagai penjelmaan
Dewa Hari (Dewa Kebaikan).

Anak Wungsu tidak meninggalkan seorang putra pun. Raja yang memerintah setelah Anak
Wungsu adalah Walaprabhu dan Bhatara Mahaguru Dharmotungga warmadewa. Setelah itu
tidak ada lagi raja yang berkuasa dari Dinasti Warmadewa. Raja dari dinasti lain yang muncul
ialah Sri Jayasakti (1133-1150). Masa pemerintahan Jayasakti sezaman dengan Raja Jayabhaya
di kerajaan Kediri. Pada saat itu agama Buddha, Siwaisme dan Waisnawa berkembang dengan
baik. Sri Jayasakti disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Sebagai raja yang bijaksana, ia
memerintah kerajaan berdasarkan pedoman hukum yang didasari rasa keadilan dan kemanusiaan.
Kitab undang-undang yang berlaku ialah utara-widhi-balawan dan Rajawacana.

Raja Bali yang terkenal lainnya ialah Jayapangus (1177-1181). Di dalam kitab Usana Bali
disebutkan bahwa Jayapangus memerintah setelah Jayakusunu. Dari 43 prasasti yang
ditinggalkannya, Jayapangus banyak menyebut dua orang permaisurinya, yaitu Arkajalancana
dan Sasangkajacihna. Arkaja bermakna putri Matahari, sedangkan Sasangkaja berarti putri bulan.
Setela h Jayapangus meninggal, raja-raja Bali yang memerintah tidak begitu terkenal, karena
sumber sejarahnya tidak banyak diketahui.

Masyarakat kerajaan Bali menerima pengaruh budaya Hindu dan Buddha melalui daerah Jawa
Timur. Hal ini dapat diketahui karena Bali pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan di Jawa
Timur. Yaitu pada abad ke-10 oleh kerajaan Singhasari dan abad ke-14 oleh kerajaan Majapahit.
Selain itu, ketika Majapahit runtuh, banyak penduduk yang tidak mau beragama Islam lantas
menyeberang ke Bali. Dalam perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali, ternyata jumlah Pedanda
(pendeta) agama siwa yang bergelar Dang Acaryya lebih banyak daripada pedanda Buddha yang
bergelar Dang Upadhyaya. Hal ini menunjukkan bahwa agama hindu pengaruhnya lebih besar
daripada agama Budhha. Namun, agama hindu yang berkembang di Bali telah tercampur dengan
adat istiadat setempat, sehingga Hindu khas di Bali saat ini disebut Hindu Dharma.

Kehidupan Sosial Ekonomi kerajaan Bali


Dari keterangan prasasti-prasasti di Bali diketahui bahwa umumnya masyarakat Bali telah dapat
bercocok tanam di sawah, Parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun) dan mmal
(ladang daerah pegunungan). Jenis tanaman yang sudah dikenal, antara lain padi gaga, kelapa,
bambu, enau, kemiri, bawang merah, jahe, wortel dan lain-lain. Selain itu rakyat telah mampu
beternak itik, kambing, sapi, kerbau, anjing, kuda, ayam, babi dan burung. Rupanya, binatang
yang paling berharga pada saat itu adalah kuda. Kuda merupakan binatang yang paling cocok
untuk membawa barang dagangan yang melintasi daerah pegunungan. Kegiatan perdagangan
pun sudah cukup maju. Dibeberapa desa terdapat golongan saudagar yang disebut wanigrama
(saudagar laki-laki) dan wanigrami (saudagar perempuan). Mereka memiliki kepala atau pejabat
yang mengurus kegiatan perdagangan yang disebut Banigrama atau Banigrami. Setiap kegiatan
usaha penduduk telah dikenakan pajak atau iuran yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintah kerajaan.

Kehidupan Budaya kerajaan bali kuno


Masuknya kebudayaan Hindu–Buddha ke Bali, ber- pengaruh besar pada masyarakatnya. Sampai
saat ini mayoritas penduduk Bali menganut agama Hindu. Agama Hindu di Bali telah bercampur
dengan adat isti-adat setempat sehingga Hindu khas Bali disebut Hindu Dharma. Agama Buddha
juga berkem-bang, meskipun tidak sepesat agama Hindu. Hal inidapat diketahui dari jumlah pe-
danda (pendeta) agama Hindu (Siwa) yang bergelar dangacarrya lebih banyak dari pada pendeta
Buddha yang bergelar dangupadhyaya. Agama Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan
secara damai, menunjukkan adanya tolerasi yang tinggi dalam masyarakat Bali.

Di bidang budaya berkaitan dengan kehidupan keagamaan dapat dijumpai pada bangunan
peninggalan masa kuno yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan, seperti candi dan pura.
Peninggalan bangunan candi, seperti Candi Padas di Gunung Kawi. Sebaliknya, untuk
peninggalan pura di antaranya adalah Pura Agung Besakih

Kerajaan Bali merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat bali secara
keseluruhan. Bagian pemerintahan kerajaan di Bali juga beberapa kali berganti mengingat pada
masa itu, terjadi banyak pertikaian antara kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan
mereka. Kerajaan Bali pertama pada saat itu kemungkinan bernama Kerajaan Bedahulu dan
dilanjutkan oleh kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan Gelgel mengambil alih,
dan dilanjutkan oleh kerajaan Klungkung setelahnya. Pada masa Klungkung, terjadi perpecahan
yang menyebabkan kerajaan Klungkung terbagi menjadi delapan buah kerajaan kecil yang juga
dikenal di Bali sebagai swapraja.
Meskipun tidak banyak yang tahu tentang sejarah kerajaan Bali, yang pasti adalah kerajaan
Bedahulu atau yang biasa juga disebut Bedulu merupakan kerajaan awal yang muncul di Bali.
Kerajaan yang terpusat di Pejeng atau Bedulu, Gianyar, Kerajaan Bali ini berdiri pada sekitar abad
ke-8 hingga abad ke-14. Konon katanya, kerajaan ini diperintah oleh salah satu kelompok
bangsawan yang bernama dinasti Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai raja
pertamanya.

Kehidupan Sosial-Budaya Kerajaan Bali

Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Bali didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

 Agama dan kepercayaan : Masyarakat Kerajaan Bali Kuno meskipun sangat terbuka
menerima pengaruh dari luar, tetapi mereka tetap mempertahankan kepercayaan nenek
moyangnya.Kerajaan Bali menganut agama Hindu, Budha, dan kepercayaan animisme.

 Menggunakan Sistem Kasta : Sistem kemasyarakatan yang dianut Kerajaan Bali sesuai
dengan kebudayaan Hindu di India, masyarakat di Bali dibedakan dalam beberapa kasta.
Untuk masyarakat yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba.

 Sistem Hak Waris : Dalam kehidupan keluarga Kerajaan Bali, sistem hak waris dalam
pembagian harta waris masih digunakan. Pembagian Hak waris dibedakan atas anak laki-
laki dan anak perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris yang lebih besar dibanding
dengan anak perempuan.
 Kesenian Kerajaan Bali : Kesenian yang berkembang pada masyarakat Kerajaan Bali
dibedakan atas sistem kesenian keraton dan sistem kesenian rakyat.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Bali


Kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Bali difokuskan kepada bidang pertanian. Hal ini atas
dasar isi prasasti yang telah ditemukan dan isinya berkaitan dengan hal-hal bercocok tanam.
Beberapa isi yang lain yaitu tentang sawah, parlak (sawah kering), kebun, dan irigasi (kasuwaken),
dan gag (ladang). Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan masyarakat Kerajaan Bali yang juga
ditemukan di kehidupan sebagai berikut:

 Pedagang : Masyarakat Kerajaan Bali juga dibedakan atas pedagang, pedagang disini
maksudnya pedagang laki-laki dan pedagang perempuan. Para pedagang masa Kerajaan
Bali sudah melakukan perdagangan antara pulau-pulau, hal ini dibuktikan dari isi prasasti
yang ditemukan yakni prasasti Banwa Bharu.

 Undagi : Masyarakat Kerajaan Bali memiliki kepandaian atau bisa juga disebut ahli dalam
bidang memahat, membuat bangunan, dan melukis.
 Pande (perajin) : Masyarakat Kerajaan Bali memiliki keahlian dalam membuat kerajinan
dari bahan emas dan perak, alat-alat pertanian, alat rumah tangga, dan senjata.

Daftar nama Raja-raja Kerajaan Bali

1. Sri Kesari Warmadewi


Berdasarkan Prasasti Blanjong yang berangka tahun 914. Istananya berada di Singhadwalawa

2. Ratu Sri Ugrasena


Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Ia memerintah tahun 915–942, istananya berada
di Singhamandawa. Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti. Pada umumnya,
prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak pada daerah-daerah tertentu. Selain itu, ada juga
prasasti yang memberitakan tentang pembangunan tempat-tempat suci. Setelah wafat, Sang Ratu
Sri Ugrasena didharmakan di Air Mandatu.

3. Tabanendra Warmadewa
Raja ini yang memerintah tahun 955–967 M.

4. Jayasingha Warmadewa
Ada yang menduga bahwa Jayasingha Warmadewa bukan keturunan Tabanendra karena pada
tahun 960 M (bersamaan dengan pemerintahaan Tabanendra) Jayasingha Warmadewa sudah
menjadi raja. Akan tetapi, mungkin juga ia adalah putra mahkota yang telah diangkat menjadi raja
sebelum ayahnya turun takhta. Raja Jayasingha telah membuat telaga (pemandian) dari sumber
suci di Desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul yang terletak di dekat Tampaksiring.
Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 Masehi.

5. Jayashadu Warmadewa
Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975–983.

6. Sri Wijaya Mahadewi


Pada tahun 983 M muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Menurut
Stein Callenfels, ratu itu berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Namun, Damais menduga bahwa ratu itu
adalah putri Empu Sindok (Jawa Timur). Hal ini didasarkan atas nama-nama jabatan dalam
Prasasti Ratu Wijaya sendiri yang sudah lazim disebut dalam prasasti di Jawa, tetapi tidak dikenal
di Bali, seperti makudur, madihati, dan pangkaja.

7. Dharma Udayana Warmadewa


Peda pemerintahan Udayana, kerajaan Bali mengalami kejayaan. Ia memerintah bersama
permaisurinya, yaitu Mahendradatta, anak dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur.
Sebelum naik takhta diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tercantum dalam
Prasasti Jalatunda.

Setelah pernikahan itu, pengaruh kebudayaan Jawa di Bali makin berkembang. Misalnya, bahasa
Jawa Kuno mulai digunakan untuk penulisan prasasti dan pembentuk dewan penasihat seperti di
pemerintahan kerajaankerajaan Jawa mulai dilakukan.

Udayana memerintah bersama permaisurinya hingga tahun 1001 M karena pada tahun itu
Gunapriya mangkat dan didharmakan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya hingga
tahun 1011 M. Setelah mangkat, ia dicandikan di Banuwka. Hal ini didasarkan pada Prasasti Air
Hwang (1011) yang hanya menyebut nama Udayana sendiri. Menurut Prasasti Ujung (Hyang),
Udayana setelah mangkat dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka. Raja Udayana mempunyai
tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah
memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur.

8. Maraka
Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana Uttunggadewa. Marakata
memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan
Airlangga.

Karena persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, Stutterheim berpendapat bahwa
Marakata sebenarnya adalah Airlangga. Apalagi jika dilihat dari kepribadian dan cara memimpin
yang memiliki kesamaan. Marakata dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu
melindungi dan memperhatikan rakyat. Oleh karena itu, Marakata disegani dan ditaati oleh
rakyatnya. Selain itu, Marakata juga turut membangun sebuah presada atau candi di Gunung Kawi
di daerah Tampaksiring, Bali.

9. Anak Wungsu
Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu
Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih dari
28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Anak Wungsu memerintah
selama 28 tahun dari tahun 1049–1077. Anak Wungsu dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Baginda mangkat pada tahun 1077 dan dimakamkan di
Gunung Kawi (dekat Tampaksiring).

10. Jaya Sakti


Jayasakti memerintah dari tahun 1133–1150 M dan sezaman dengan pemerintahan Jayabaya di
Kediri. Dalam menjalankan pemerintahannya, Jayasakti dibantu oleh penasihat pusat yang terdiri
atas para senapati dan pimpinan keagamaan baik dari Hindu maupun Buddha. Kitab undang-
undang yang digunakan adalah kitab Utara Widdhi Balawan dan kitab Rajawacana.
11. Bedahulu
Memerintah tahun 1343 M adalah Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Raja Bedahulu dibantu oleh
kedua patihnya, Kebo Iwa dan Pasunggrigis. Ia adalah raja terakhir karena pada masa
pemerintahannya Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi wilayah taklukan Kerajaan
Majapahit.

Masa Kejayaan Kerajaan Bali

Masa kejayaan Kerajaan Bali terjadi pada saat Dharmodayana naik tahta. Pada masa Dharmodaya,
kerajaan ini mengalami kejayaan dengan sistem pemerintahan yang semakin jelas daripada
sebelumnya. Pada masa Dharmodayana ini, pihak kerajaan memperkuat hubungan tersebut dengan
mengawinkan Dharma Udayana dengan Mahendradata, putri dari raja Makutawangsawardhana
dari Jawa Timur. Hal ini akhirnya semakin memperkokoh kedudukan kerajaan di antara Pulau
Jawa dan Bali.

Runtuhnya Kerajaan Bali

Kerajaan Bali mengalami kejatuhan akibat siasat dari Mahapatih Gajah Mada yang pada waktu itu
sedang memperluas ekspansinya ke nusantara, awalnya ia mengajak raja Bali untuk berunding
mengenai penyerahan kerajaan Bali ke tangan Kerajaan Majapahit, karena itulah patih Kebo Iwa
dikirim ke Majapahit untuk perundingan damai, akan tetapi sesampainya di sana, Kebo Iwa pun
dibunuh tanpa sepengetahuan kerajaan Bali, kemudian Majapahit mengirim Gajah Mada yang
berpura-pura mengajak berunding, akan tetapi kemudian ia membunuh raja Gajah Waktra
sehingga kerajaan Bali berada di dalam Kerajaan Majapahit.

Peninggalan Kerajaan Bali

Salah satu peninggalan Kerajaan Bali yang akan kita bahas yaitu Pura Goa Gajah. Pura Goa Gajah
yang merupakan salah satu peninggalan dari kerajaan bali, kita bisa menikmati keindahan-nya dan
juga suasana-nya sangat sejuk dan damai. Peninggalan Kerajaan Bali ini berlokasi di sebuah desa
yang bernama Desa Bedulu, kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar dan jaraknya sekitar 26
km dari kota Denpasar. Pura Goa Gajah ini memiliki lokasi yang sangat unik yakni di tepi jurang
dan di bawah-nya terdapat sungai.

 Prasasti Blanjong
 Prasasti Panglapuan
 Prasasti Gunung Panulisan
 Prasasti-prasasti peninggalan Anak Wungsu
 Candi Padas di Gunung Kawi
 Pura Agung Besakih
 Candi Mengening
 Candi Wasan.

1. Puri Agung Pacekan, Jembrana, Bali

Keraton sebagai pusat pemerintahan yang diberi nama Puri Gede Jembrana dibangun pada awal
abad XVII oleh I Gusti Made Yasa (penguasa Brangbang). Raja I yang memerintah di keraton
(Puri) Gede Agung Jembrana adalah I Gusti Ngurah Jembrana. Selain keraton, diberikan pula
rakyat pengikut (wadwa), busana kerajaan yang dilengkapi barang-barang pusaka berupa tombak
dan tulup. Demikian pula keris pusaka yang diberi nama “Ki Tatas” untuk memperbesar
kewibawaan kerajaan. Tercatat bahwa ada tiga orang raja yang berkuasa di pusat pemerintahan
yaitu di Keraton (Puri) Agung Jembrana.

Sejak kekuasaan kerajaan dipegang oleh Raja Jembrana, I Gusti Gede Seloka, Keraton (Puri) baru
sebagai pusat pemerintahan dibangun. Keraton (Puri) yang dibangun itu diberi nama Puri Agung
Negeri pada awal abad XIX. Kemudian lebih dikenal dengan nama Puri Agung Negara. Patut
diketahui bahwa raja-raja yang memerintah di Kerajaan Jembrana berikutnya pun memusatkan
birokrasi pemerintahannya di Keraton (Puri) Agung Negara.

Patut dicatat pula bahwa ada dua periode birokrasi pemerintahan yang berpusat di Keraton (Puri)
Agung Negara. Periode pertama ditandai oleh birokrasi pemerintahan kerajaan tradisional yang
berlangsung sampai tahun 1855. Telah tercatat pada lembaran dokumen arsip pemerintahan
Gubernemen bahwa kerajaan Jembrana yang otonom diduduki oleh Raja Jembrana V (Sri Padoeka
Ratoe) I Goesti Poetoe Ngoerah Djembrana (1839 – 1855). Ketika berlangsung
pemerintahannyalah telah ditandatangani piagam perjanjian persahabatan bilateral anatara pihak
pemerintah kerajaan dengan pihak pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Gubernemen) pada
tanggal 30 Juni 1849.

Periode kedua selanjutnya digantikan oleh birokrasi modern, melalui tata pemerintahan daerah
(Regentschap) yang merupakan bagian dari wilayah administratif Keresidenan Banyuwangi.
Pemerintahan daerah Regentschap yang dikepalai oleh seorang kepala pribumi (Regent) sebagai
pejabat yang dimasukkan dalam struktur birokrasi Kolonial Modern Gubernemen yang berpusat
di Batavia. Status pemerintahan daerah (Regentschap) berlangsung selama 26 tahun (1856 – 1882).

Pada masa pemerintahan Raja Jembrana VI, I Gusti Ngurah Made Pasekan (1855 – 1866), terjadi
dua kali peralihan status yaitu 1855 – 1862 sebagai Raja Jembrana dan 1862 – 1866 sebagai status
Regent (Bupati) dengan kedudukan kerajaan berada di Puri Pacekan Jembrana.

Kerajaan Djembrana berkembang sesuai eranya dan menjadi kabupaten Jembrana sebagai bagian
integral propinsi Bali menurut Undang Undang nomor 64 tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958
tentang pemekaran propinsi Sunda Kecil / Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

2. Puri Agung Singaraja, Buleleng, Bali

The Royal Palace Singaraja yang sering disebut sebagai Puri Agung atau Puri Gede, dibangun oleh
Raja pertama Kerajaan Den Bukit, Ki Gusti Anglurah Pandji Sakti pada 30 Maret 1604. Ki Gusti
Anglurah Panji Sakti adalah putra dari Dalem Sagening, Raja Bali Dwipa yang beristana di Puri
Gelgel, Klungkung.

Ki Barak, demikian nama kecil Panji Sakti (Barak ± Merah, karena dari ubun-ubunnya memancar
cahaya merah cemerlang), dalam usianya yang sangat muda pergi mengikuti ibunya, Siluh Pasek
ke Den Bukit dengan di kawal 40 pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Kadosat dan Ki
Dumpyung. Dalem Sagening memberi putranya sebuah tulup bertombak Pangkaja Tatwaatau
Kitunjung Tutur dan sebuah keris Anugrah Dewata yang dikenal sebagai keris pusaka Ki Barung
Semang.

Setibanya di Den Bukit (sekarang Buleleng), Ki barak menetap di desa Panji. Ki Barak Muda pun
tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan berani. Dengan berbekal keris pusaka Ki Baru Semang,
ia akhirnya berhasil mempersatukan seluruh wilayah Den Bukit. Oleh rakyat Den Bukit, Ki Barak
Panji didaulat menjadi Raja Den Bukit dan bergelar Ki Gusti Anglurah Panji Sakti.

Dalam masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai raja yang sakti mandraguna, bijaksana dan
sangat dekat dengan rakyatnya. Kemudian dengan pasukan Taruna Goaknya yang gagah berani,
ia melebarkan kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan Blambangan di Jawa Timur.
Kesaktian Panji Sakti didengar oleh Raja Mataram di Jawa Tengah sehingga ia diundang ke
keraton untuk menjalin persahabatan dan dianugrahi seekor gajah dan sejumlah pegawai.

Raja Ki Gusti Anglurah Panji Sakti Kemudian membangun istananya yang baru sekitar 5 km
sebelah Tenggara desa Panji yang diberi nama Sukasada. Pada tanggal 30 Maret 1604, ia
membangun purinya yang ketiga dan berlokasi di Tegalan Jagung Gembal sekitar 1,5 km Utara
Sukasada yang diberi nama Singaraja. Puri Singaraja yang dikenal juga sebagai puri Buleleng
dikembangkan oleh cucu beliau Ki Gusti Anglurah Panji Bali. Puri Singaraja merupakan cikal
bakal kota yang kita kenal sekarang sebagai ibukota Kabupaten Buleleng.

Dalam catatan sejarah Buleleng, Puri Singaraja hancur pada zaman Rusak Buleleng manakala
Belanda bertubi-tubi menghantamnya dengan meriam pada tahun 1846 yang berlanjut dengan
perang Jagaraga(1847-1849). Perang besar yang melibatkan ribuan balantentara Buleleng yang
dipimpin oleh panglima perang I Gusti Patih Djelantik yang bertempur mempertahankan setiap
jengkal tanah Buleleng. Namun karena kalah dalam persenjataan, Buleleng akhirnya jatuh ke
tangan Belanda. Atas jasanya yang begitu besar, I Gusti Patih Djelantik dianugrahi gelar Pahlawan
Nasional.

Tahun 1860 Pemerintah Kolonial Belanda menunjuk I Gusti Ngurah Ketut Djelantik generasi VIII
dari dinasti Panji Sakti sebagai raja Buleleng. Puri Agung yang hancur itu pun dibangun kembali.
Raja yang berusia muda dan berani ini pada akhirnya diasingkan Belanda ke Padang (Sumatra
Barat) pada tahun 1873 karena mendukung perang Banjar yang memakan banyak korban di pihak
Belanda.

Tahun 1929 I Gusti Putu Djelantik generasi X Panji Sakti diangkat menjadi regent Buleleng dan
pada tahun 1938 dinobatkan sebagai Raja Buleleng dan bergelar Anak Agung. Anak Agung Putu
Djelantik yang dikenal sebagai Pujangga Raja dan tokoh pembaharuan di Bali memugar puri
buleleng pada tahun 1915 dan bersama dengan F.A. Liefrinck dan Dr. H.N. Van Der Tuuk,
mengumpulkan lontar seBali-Lombok dan mendirikan perpustakaan lontar Gedong Kirtya. Anak
Agung Putu Djelantik wafat pada tahun 1944 dan digantikan oleh putranya, Anak Agung Panji
Tisna.

Anak Agung Panji Tiina yang yang dikenal sebagai Sastrawan Angakatan Pujangga Baru -1930
dengan karya Sastranya a.l : Ni Rawit Ceti, Penjual orang, I Swasta Setahun di Bedahulu, Ni
SukrenI gadis Bali, I Made Widiade adalah pendiri perguruan Bhaktiyasa di Singaraja tahun 1948
dan kawasan Lovina pada tanggal 2 Juni 1978 dalam usia 70 tahun.

3. Puri Agung Tabanan, Tabanan, Bali

Puri Agung Tabanan adalah sebutan untuk tempat kediaman Raja Tabanan, yang merupakan salah
satu puri di Bali. Keberadaan Puri Agung Tabanan berkaitan dengan tokoh Arya Kenceng, yang
dipercaya ikut datang bersama Gajah Mada ketika Majapahit menaklukkan Kerajaan Bedulu di
Bali pada tahun 1343.

Diceritakan setelah Bali berhasil ditaklukan, sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan pulau Bali,
semua Arya dikumpulkan, diberikan ceramah tentang pengaturan pemerintahan, ilmu
kepemimpinan sampai pada ilmu politik. Tujuan utamanya ialah tetap mempersatukan pulau Bali
dan dapat dipertahankan sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Setelah semua dirasa cukup, semua
Arya diberikan daerah kekuasaan yang menyebar di seluruh Bali. Sirarya Kenceng diberikan
kekuasaan di daerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang. Arya Kenceng memerintah
Tabanan, dengan pusat kerajaan atau Puri Agung yang terletak di Pucangan (Buahan), Tabanan.

Raja Tabanan III, Sirarya Ngurah Langwang kemudian mendapat perintah dari Dalem Raja Bali
agar memindahkan kerajaannya yang di Pucangan ke daerah selatan. Akhirnya Arya Ngurah
Langwang mendapat pewisik, dimana ada asap (tabunan) mengepul agar disanalah membangun
puri. Setelah melakukan pengamatan dari Kebon Tingguh, terlihat di daerah selatan asap mengepul
ke atas. Kemudian beliau menuju ke tempat asap mengepul tersebut yang ternyata keluar dari
sebuah sumur yang terletak di dalam area Pedukuhan yaitu Dukuh Sakti (di Pura Pusar Tasik
Tabanan sekarang). Akhirnya ditetapkan di situlah beliau membangun Puri. Setelah selesai,
dipindahlah secara resmi kerajaannya beserta Batur Kawitannya dari Pucangan ke Tabanan
(sekitar Abad 14). Oleh karena asap terus mengepul dari sumur seperti tabunan, puri beliau diberi
nama Puri Agung Tabunan, yang kemudian pengucapannya berubah menjadi Puri Agung
Tabanan, sedangkan Kerajaannya disebut Puri Singasana dan Raja bergelar Sang Nateng
Singasana.

4. Puri Agung Den Pasar, Denpasar, Bali

Keberadaan Puri Agung Denpasar terkait dengan keberadaan raja Kyayi Anglurah Jambe Ksatriya
selaku penguasa terakhir Negeri Badung dari Dinasti Jambe (keturunan Jambe Merik). Setelah
Dinasti Jambe runtuh lewat perang saudara, maka pemerintahan kerajaan Badung dilanjutkan
oleh Kyayi Anglurah Made Pemecutan dari Puri Kaleran Kawan, dan selanjutnya pusat
pemerintahan dipindahkan ke Puri Agung Denpasar.

Kehadiran Puri Kaleran Kawan, sejarahnya adalah dari Puri Pemecutan kuno, karena Kyayi Agung
Gde Oka adalah putra dari I Gusti Ngurah Pemecutan Sakti – yang lebih terkenal dengan
sebutan: Bhetara Sakti dari Puri Pemecutan kuno.

Adanya Puri Pemecutan sangat erat kaitannya dengan keberadaan Ki Gusti Ketut Bendesa yang
menurunkan penguasa Bhandana Negara yang kini disebut Badung. Beliau ini adalah cucu dari
Arya Kenceng selaku pendiri kerajaan Tabanan, sedangkan Arya Kenceng adalah keturunan dari
Arya Damar yang kesohor itu pada jamannya.
Setelah Perang Puputan Badung 1906, karena sudah tidak memiliki rumah dan lokasi, Puri Agung
Denpasar digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai kantor-kantor, maka seluruh
keturunan Puri Agung Denpasar membangun rumah di sekeliling Pura Satriya. Pada saat awalnya,
keturunan Puri Mataram juga turut menetap di sana; tetapi sekarang keturunan puri itu telah putung
(tidak berlanjut).

5. Puri Agung Gianyar, G ianyar, Bali

Sejarah dua seperempat abad lebih, tempatnya 236 tahun yang lalu, 19 April 1771, ketika Gianyar
dipilih menjadi nama sebuah keraton (Puri Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti maka sebuah
kerajaan yang berdaulat dan otonom telah lahir serta ikut pentas dalam percaturan kekuasaan
kerajaan-kerajaan di Bali. Sesungguhnya berfungsinya sebuah keraton, yaitu Puri Agung Gianyar
yang telah ditentukan oleh syarat sekala niskala yang jatuh pada tanggal 19 April 1771 adalah
tonggak sejarah yang telah dibangun oleh raja (Ida Anak Agung) Gianyar I, Ida Dewata Manggis
Sakti.

6. Puri Agung Ubud, Ubud, Bali


Puri Agung Ubud Krisnakusuma terletak tepat di jantung kota Ubud. Merupakan pusat
pemerintahan Kerajaan Ubud pada zaman dahulu, serta sebagai pusat kegiatan seni budaya dan
adat, yang diadakan di tepat di depan puri. Puri Ubud masih memiliki tata ruang dan bangunan
yang dipertahankan seperti aslinya. Di halaman depan, setelah pintu gerbang, terdapat area yang
disebut Ancak Saji. Di sini seminggu sekali diadakan pertunjukan seni tari bagi wisatawan dan
setiap hari dilaksanakan latihan gamelan dari berbagai kelompok seni musik yang ada di Ubud.
Semua aktivitas seni semakin mengentalkan suasana Ubud sebagai sebuah desa yang berwawasan
kesenian.

7. Puri Agung Semarapura, Klungkung, Bali


Menurut sebuah sumber, Kori Agung Puri Semarapura ini dibuat oleh I Gusti Ibul dan I Gusti
Ungu, yang hidup pada tahun 1839. Secara fisik, bentuk Kori Agung Puri Semarapura berwujud
gelung (mahkota), dengan pintu induk di tengah dan dua pintu penunjang di kiri-kanan pintu induk.
Uniknya, Kori Agung ini dilengkapi hiasan patung-patung mirip serdadu Belanda, yang diletakkan
di depan gerbang seperti layaknya “patung penjaga”. Hiasan seperti patung serdadu Belanda juga
terdapat di badan arsitektural candi.

Arah keluar Kori Agung Puri Semarapura nampaknya tidak lazim untuk di daerah Bali. sebab arah
keluar Kori Agung ini menghadap ke arah gunung (utara). Menurut informasi, filosofi Kori Agung
Puri Kerajaan Klungkung yang menghadap ke arah gunung (utara) ini dikaitkan dengan sejarah
pertalian hubungan Kerajaan Klungkung dengan Kerajaan Majapahit. Berdasarkan filosofi ini,
maka arah pintu gerbang Puri Semarapura ini dibuat mengikuti arah pintu gerbang Keraton
Majapahit yang menghadap ke arah utara.

Dalam perjalanan sejarah kebudayaan di Bali, Kerajaan Klungkung merupakan kerajaan yang
menduduki posisi tertinggi di antara kerajaan-kerajaan lain di Bali. Hal ini terkait dengan pertalian
sejarahnya dengan Kerajaan Majapahit. Sedangkan kerajaan-kerajaan lain di Bali mulai
berkembang ketika pusat pemerintahan kerajaan di Bali ada di Gelgel, ketika Dalem Sagening
memegang kendali pemerintahan pada 1502.

Keberadaan Kerajaan Klungkung merupakan rangkaian dari sejarah berhasilnya Majapahit


mengalahkan Raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten pada 1343, pada masa Bali kuna. Sejak itulah
Bali otomatis berada di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah Sri Kresna Kepakisan ditunjuk
menjadi Adipati di Bali pada 1352, maka mulailah trah Ksatria Dalem menduduki posisi penting
di Bali yang berpusat di Samprangan Gianyar (Lingarsapura).
Dalam perkembangannya kemudian, di masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460),
pusat kerajaan dipindahkan ke Gelgel (Swecapura). Tetapi ketika Bali mengalami zaman
keemasan di masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang bertahta di Gelgel (1460-1490),
justru Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada 1478 Masehi. Ketika Kerajaan Majapahit
sudah dianggap runtuh, Kerajaan Gelgel menyatakan diri sebagai pelanjut kebesaran Majapahit di
Bali.

Tetapi trah ksatria Dalem di Kerajaan Gelgel harus berakhir. Setelah terjadi pemberontakan Patih
Agung Maruti pada 1650, pusat pemerintahan Kerajaan Gelgel akhirnya dipindahkan ke
Klungkung, karena kewibawaan Gelgel sudah dianggap tercemar. Raja pertama Kerajaan
Klungkung adalah I Dewa Agung Jambe yang dinobatkan pada 1710.

Setelah pemerintahan kolonial Belanda masuk ke Bali, dinasti Ksatria Dalem di Kerajaan
Klungkung akhirnya harus berakhir pada 28 April 1908 dalam peristiwa Puputan Klungkung.
Yang tersisa hanya gerbang puri. Berbeda dengan Majapahit, bata-bata bekas bangunan
peninggalan Majapahit justru dirusak, dicari dan dihancurkan penduduk untuk dijadikan bahan
semen merah, lalu dijual.

8. Puri Agung Susut, Bangli, Bali

Puri Agung Susut terletak di desa Susut, Bangli serta masih merupakan keturunan Ksatria Taman
Bali dan keturunan Kawitan Maha Gotra Titra Harum.

9. Puri Agung Amlapura, Karangasem, Bali


Puri Agung Karangasem didirikan sekitar akhir abad ke-19 oleh Anak Agung Gede Djelantik yaitu
raja Karangasem yang pertama. Daya tarik utama dari puri agung ini adalah arsitektur
bangunannya yang memiliki perpaduan antara arsitektur Bali, China, dan Eropa. Arsitektur Bali
dapat dilihat pada ukiran candi, patung dan relief wayang yang terdapat pada dinding bangunan.
Sedangkan pengaruh Eropa terlihat dari bentuk bangunan induk dan beranda yang sangat luas
dengan nama Maskerdam. Dan arsitektur China terletak pada motif ukiran yang terdapat pada
pintu, jendela dan ornamen-ornamen bangunannya. Bahkan, di halaman puri agung ini terdapat
pohon leci yang umurnya sudah sangat tua.

Selain perpaduan beberapa arsitektur bangunannya, daya tarik yang khas dari Puri Agung
Karangasem juga terletak pada candi-candinya yang menjulang tinggi yang mencapai ketinggian
kira-kira 25 meter yang terbuat dari batu bata dan dihiasi cetakan yang bermotif wayang. Di depan
candi terdapat sepasang patung singa dan sepasang patung penjaga pintu serta sepasang pos
penjagaan.

Puri Agung Karangasem memiliki luas areal yang mencapai 20.000 m² dan dikelilingi oleh tembok
yang tinggi dan tebal. Di lingkungan puri agung ini terdapat 2 puri lainnya yaitu Puri Gede dan
Puri Kerta Sura yang letaknya di sebelah barat. Puri Agung Karangasem terdiri dari 3 bagian yaitu
halaman pertama bernama Bencingah, halaman kedua bernama Jaba Tengah, dan halaman paling
dalam adalah bangunan utama yaitu Maskerdam.

Pemberian nama Maskerdam tersebut ada kaitannya dengan nama kota Amsterdam di Belanda.
Sebab, pada saat pembangunan gedung tersebut, sedang dijalin hubungan baik antara raja
Karangasem dengan Kerajaan Belanda. Bangunan induk ini digunakan sebagai istana raja.
Sedangkan bangunan yang berada di belakang Maskerdam disebut London, berfungsi sebagai
tempat tinggal keluarga raja. Pemberian nama itu dikarenakan kota London di Inggris bertetangga
dengan kota Amsterdam di Belanda. Di depan istana Maskerdam terdapat sebuah bangunan
bernama Bale Pemandesan, yang fungsinya untuk tempat upacara potong gigi atau juga tempat
menyimpan sementara jenasah para keluarga Puri yang meninggal sampai upacara pelebon
dilaksanakan. Di dekat bangunan ini yang menghadap ke kolam terdapat patung singa bersayap
yang besar.

Di depan Bale Pemandesan terdapat Bale Pewedaan atau Bale Lunjuk, yang berfungsi tempat para
pendeta memuja bila ada upacara keagamaan. Di depan komplek Maskerdam terdapat Bale
Kambang atau Gili yang berada ditengah-tengah kolam air, yang fungsinya untuk tempat rapat
keluarga besar Puri. Di sebelah selatan kolam terdapat bangunan tua bernama Bale
Werdastana yang pembangunannya dilaksanakan oleh orang-orang China. Bangunan ini
seluruhnya menggunakan arsitektur dan motif China. Sayangnya bangunan Bale Werdastana ini
telah hancur karena usia tua dan karena akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1979.

Puri Agung Karangasem sekarang ini dikelola oleh suatu yayasan Amertha Jiwa yang dibentuk
oleh keluarga besar Puri dan seluruh pengurus yayasannya juga dari kalangan keluarga Puri

 Home
 Cerita Wayang
 Kumpulan Soal
 Daftar Isi
 Kontak

Home » Sejarah » Sejarah Kerajaan Bali Lengkap

Sejarah Kerajaan Bali Lengkap


Diposting oleh Cah Samin di 6:52 PM
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Selamat datang di blog Artikel & Materi . Senang sekali rasanya kali
ini dapat kami bagikan artikel tentang Sejarah Kerajaan Bali Lengkap, meliputi pemerintahan
kerajaan bali, raja-raja dinasti Warmadewa dan setelahnya, kehidupan ekonomi, sosial budaya dan
peninggalan sejarah kerajaan Bali.
Sejarah kerajaan Bali merupakan salah satu bagian dari sejarah kehidupan masyarakat bali secara
keseluruhan. Bagian pemerintahan kerajaan di Bali juga beberapa kali berganti mengingat pada
masa itu, terjadi banyak pertikaian antara kerajaan yang memperebutkan daerah kekuasaan
mereka. Kerajaan Bali pertama pada saat itu kemungkinan bernama Kerajaan Bedahulu dan
dilanjutkan oleh kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, kerajaan Gelgel mengambil alih,
dan dilanjutkan oleh kerajaan Klungkung setelahnya. Pada masa Klungkung, terjadi perpecahan
yang menyebabkan kerajaan Klungkung terbagi menjadi delapan buah kerajaan kecil yang juga
dikenal di Bali sebagai swapraja.

Sejarah Kerajaan Bali Lengkap

Meskipun tidak banyak yang tahu tentang sejarah kerajaan Bali, yang pasti adalah kerajaan
Bedahulu atau yang biasa juga disebut Bedulu merupakan kerajaan awal yang muncul di Bali.
Kerajaan yang terpusat di Pejeng atau Bedulu, Gianyar, Kerajaan Bali ini berdiri pada sekitar abad
ke-8 hingga abad ke-14. Konon katanya, kerajaan ini diperintah oleh salah satu kelompok
bangsawan yang bernama dinasti Warmadewa dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai raja
pertamanya.

A. RAJA-RAJA KERAJAAN BALI

Raja-raja Dinasri Warmadewa

1. Sri Kesari Warmadewa


Sri Kesari Warmadewa adalah salah satu dari Wangsa Warmadewa, dimana mereka merupakan
salah satu keluarga bangsawan yang memiliki kuasa besar akan pulau Bali di masa lalu. Sri Kesari
sendiri, menurut riwayat lisan yang beredar telah berkuasa sejak abad ke-10, dan namanya bisa
ditemukan dalam sebuah prasasti di Sanur, bernama prasasti Blanjong. Tertulisnya nama Sri
Kesari di dalam prasasti tadi membuatnya menjadi raja pertama di Bali yang namanya ada dalam
catatan tertulis. Dari prasati tadi juga, diketahui bahwa Sri Kesari ternyata merupakan seorang
penganut Buddha Mahayana dan bahwa dinasti ini memiliki sebuah hubungan yang amat dekat
dengan penguasa kerajaan Medang di Jawa Timur sekitar abad 10 hingga 11.
2. Ugrasena

Setelah Sri Kesari turun jabatan, kerajaan Bali yang saat itu dikenal dengan kerajaan Bedahulu,
dilanjutkan oleh Sang Ratu Ugrasena. Ugrasena diperkirakan memerintah pada jaman yang sama
dengan Mpu Sendok di Jawa Timur, yaitu sekitar 915 hingga 942. Pada masa pemerintahan
Ugrasena, ia terkenal sering merilis prasasti yang memiliki hubungan dengan kegiatan-kegiatan
yang sering diadakan oleh masyarakat kerajaannya seperti perpajakan, penganugerahan, upacara
agama, pembangunan penginapan, hingga pendirian tempat sembahyang bagi mereka yang ingin
berziarah. Bukti fisik tentang kepemimpinan Ugrasena tercatat dalam beberapa prasasti, antara
lain Prasasti Srokada A dan Goblek Pura Batur A. Seluruh prasasti yang memuat namanya selalu
tertulis dalam bahasa Bali kuno, dan dimulai dengan sebuah perkataan yang berbunyi yumu
pakatahu, berarti “ketahuilah oleh kalian semua”.

3. Aji Tabanendra Warmadewa

Pengganti Raja Ugrasena adalah anaknya yaitu Aji Tabanendra Warmadewa. M bersama istrinya,
Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. Beliau memerintah dari tahun 943 hingga 961

4. Sri Candrabaya Singa Warmadewa / Jayasingha Warmadewa

Raja inilah yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian
itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah
sampai tahun 961- 975 M.

5. Sri Janasadu Warmadewa

Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. Tidak
ada keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini, kecuali tentang anugerah raja kepada desa
Jalah.

6. Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi

Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 –
989 M).

7. Sri Udayana Warmadewa

Pengganti Sri Wijaya Mahadewi bernama Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama
permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari
Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana
berada di Jawa Timur sebab namanya tergores dalam prasasti Jalatunda.

Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan
pemerintahannya sendirian hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. Hal ini
disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri.
Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa setelah wafat, Udayana dikenal sebagai
Batara Lumah di Banuwka. Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu
Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu.

Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di


Jawa Timur. Oleh karena itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata.

8. Sri Dharmawangsawardhana Marakata

Setelah naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkajasthana


Uttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata
sezaman dengan Airlangga. Oleh karena adanya persamaan unsur nama dan masa
pemerintahannya, seorang ahli sejarah, Stuterheim, berpendapat bahwa Marakata sebenarnya
adalah Airlangga.

Apalagi jika dilihat dari kepribadian dan cara memimpin yang memiliki kesamaan. Oleh
rakyatnya, Marakata dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu dilindungi dan
memerhatikan rakyat. Ia sangat disegani dan ditaati oleh rakyatnya. Persamaan lain Marakata
dengan Airlangga adalah Marakata juga membangun sebuah presada atau candi di Gunung Kawi
di daerah Tampaksiring, Bali. Setelah pemerintahannya berakhir, Marakata digantikan adiknya,
Anak Wungsu.

9. Anak Wungsu

Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu
Wka. Anak Wungsu adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih dari
28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Anak Wungsu memerintah
selama 28 tahun, yaitu dari tahun 1049 sampai 1077. Ia dianggap sebagai penjelmaan Dewa
Wisnu. Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Ia wafat pada tahun 1077 dan dimakamkan
di Gunung Kawi, Tampaksiring. Berakhirlah dinasti Warmadewa.
Pemerintahan setelah dinasti Warmadewa

Setelah berakhirnya pemerintahan dinasti Warmadewa, Bali diperintah oleh beberapa orang raja
silih berganti. Raja-raja yang perlu diketahui sebagai berikut.

1. Jayasakti

Jayasakti memerintah dari tahun 1133 sampai tahun 1150 M, sezaman dengan pemerintahan
Jayabaya di Kediri. Dalam menjalankan pemerintahannya, Jayasakti dibantu oleh penasihat pusat
yang terdiri atas para senopati dan pendeta, baik dari agama Hindu maupun dari agama Buddha.
Kitab undang-undang yang digunakan adalah kitab Utara Widhi Balawandan kitab Rajawacana.
Kitab undang-undang ini merupakan peninggalan kebudayaan dari masa pemerintahan Jayasakti
yang cukup tinggi. Kitab ini juga dipakai pada masa pemerintahan Ratu Sakalendukirana dan
penerusnya. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan, diketahui bahwa pada masa pemerintahan
Jayasakti, agama Buddha dan Syiwa berkembang dengan baik. Aliran Waisnawa juga berkembang
pada waktu itu. Raja Jayasakti sendiri disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
2. Ragajaya

Ragajaya mulai memerintah pada tahun 1155 M, namun kapan berakhirnya tidak diketahui sebab
tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan hal tersebut.

3. Jayapangus (1177 – 1181)

Raja Jayapangus dianggap sebagai penyelamat rakyat yang terkena malapetaka akibat lalai
menjalankan ibadah. Raja ini menerima wahyu dari dewa untuk mengajak rakyat kembali
melakukan upacara keagamaan yang sampai sekarang dikenal dan diperingati sebagai upacara
Galungan. Kitab undang-undang yang digunakannya adalah kitab Mana Wakamandaka.

4. Ekajalancana

Ekajalancana memerintah pada sekitar tahun 1200 – 1204 M. Dalam memerintah, Ekajalancana
dibantu oleh ibunya yang bernama Sri Maharaja Aryadegjaya.

5. Sri Asta Asuratna

Sejarah kerajaan Bali mencapai babak baru ketika pada masa pemerintahan Sri Astatura Ratna
Bumi Banten pada tahun 1332 hingga 1343, terjadi ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Ekspedisi Gajah
Mada dimulai dengan membunuh Kebo Iwa yang ia anggap sebagai sebuah penghalang misi ini.
Cara pembunuhannya adalah dengan menawarkan perdamaian pada raja Bali sehingga Kebo Iwa
dapat dikirim untuk datang ke Majapahit dan kemudian dinikahkan. Alih-alih dijemput oleh
pengantin, yang menjemput Kebo Iwa begitu ia tiba di Majapahit adalah kematian. Tewasnya
Kebo Iwa ini mempermudah Adityawarman menaklukkan Bali di tahun 1343.

Penundukkan Bali ini kemudian mendorong didirikannya sebuah dinasti boneka di Samprangan
yang kini bernama Gianyar, dekat dengan Bedulu. Pendirian dinasti ini mengambil waktu saat
Gajah Mada masih memimpin, dan dinasti yang bernama Samprangan ini memiliki raja pertama
bernama Sri Aji Kresna Kepakisan. Sri Aji memiliki tiga orang anak, dan satu di antaranya adalah
Dalem Samprangan yang setelah menjabat dinilai tidak pantas menjadi raja dan digantikan oleh
adiknya yang paling muda, Dalem Ketut. Raja terakhir dalam periode yang disebut dengan nama
periode Gelgel adalah Dalem Di Made pada tahun 1605 hingga 1686.

Sejarah kerajaan Bali berakhir dengan periode kerajaan Klungkung yang sebenarnya masih tetap
bagian dari dinasti Gelgel. Diketahui pada akhirnya bahwa yang mengakhiri masa pemerintahan
dinasti Gelgel adalah pemberontakan oleh I Gusti Agung Maruti karena kesal kekalahannya tidak
berarti pemulihan kembali oleh Dalem Di Made. Pemimpin pertama dari era Klungkung ini
bernama Dewa Agung Jambe yang memerintah pada tahun 1710 hingga tahun 1775. Di masa ini,
kerajaan bali terpecah menjadi delapan buah kerajaan kecil (sembilan jika menghitung Klungkung
sendiri), yaitu: Badung, Mengwi, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangasem, Tabanan, dan
Denpasar.

B. KEHIDUPAN EKONOMI
Kegiatan ekonomi masyarakat Bali dititikberatkan pada sektor pertanian. Hal itu didasarkan pada
beberapa prasasti Bali yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bercocok tanam.
Beberapa istilah itu, antara lain sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga (ladang), dan
kasuwakan (irigasi).

Di luar kegiatan pertanian pada masyarakat Bali juga ditemukan kehidupan sebagai berikut.

1. Pande (Pandai = Perajin)

Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan perak,
membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.

2. Undagi

Mereka mempunyai kepandaian memahat, melukis, dan membuat bangunan.

3. Pedagang

Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki (wanigrama) dan
pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau
(Prasasti Banwa Bharu).

C. KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA

Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno didasarkan pada hal sebagai
berikut.

1. Sistem Kasta (Caturwarna)

Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali sistem
kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk masyarakat yang
berada di luar kasta disebut budak atau njaba.

2. Sistem Hak Waris

Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan anak perempuan.

3. Sistem Kesenian

Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas sistem kesenian
keraton dan sistem kesenian rakyat.

4. Agama dan Kepercayaan


Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar,
mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya. Dengan demikian,
di Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme.

D. PENINGGALAN KERAJAAN BALI

- Prasasti Blanjong
- Prasasti Panglapuan
- Prasasti Gunung Panulisan
- Prasasti-prasasti peninggalan Anak Wungsu
- Candi Padas di Gunung Kawi
- Pura Agung Besakih
- Candi Mengening
- Candi Wasan.

Sejarah / History kerajaan Mengwi, 1723-1891

Mengwi pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan mandiri.


I Gusti Agung Putu adalah putra dari I Gusti Agung Anom. Ia bergelar I Gusti Agung Made
Agung mendirikan kerajaan Mengwi dan menjadi Raja Mengwi I pada tahun 1723, sebelum
menjadi Raja, I Gusti Agung Putu di tawan oleh Raja Tabanan yang bergelar Sri Megada Sakti /
I Gusti Alit Dawuh dan dibesarkan di Kerajaan Marga kemudian oleh Raja Marga I Gusti
Balangan diberikan bimbingan spiritual, sehingga I Gusti Agung Putu diberikan sebidang tanah
untuk mendirikan Kerajaan/Puri pertamanya di Desa Peken dengan nama Puri Balayu. namun
tidak bertahan lama I Gusti Agung Putu menlanjutkan perjalanan ke selatan dengan tujuan balas
dendam dengan I Gusti Ngurah Batu Tumpang dari Kekeran. kemenangan inilah membawa masa
kejayaan sampai ke Blambangan.

Serangan Badung ke Mengwi pada 1891: penyerangan ini diceritakan dibawah perintahan
Nararya Agung Ngurah Alit Pemecutan (1860 – 1901) sebagai raja Badung (dinasti Denpasar ke-
V), yaitu kakanda dari Nararya Agung Made Ngurah Pemecutan (Ida Tjokorde Ratu Made
Agung Gede Ngurah Pamecutan 1876 – 1906 alias Bethara Mur ring Rana) yang menciptakan
Perang Puputan Badung 1906 itu;
Setelah kerajaan Mengwi takluk maka sebagian besar daerah kekuasaannya diserahkan kepada
Badung mencakup Desa Kapal, Munggu, terus ke selatan hingga ke daerah Bukit (termasuk Pura
Luhur Uluwatu) dan ada sedikit bukti.

– Sumber: http://sejarahbabadbali.blogspot.com/2015/03/kerajaan-mengwi.html

Tentang Puri (Istana) di Bali


Puri di pulau Bali adalah nama sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka
yang masih merupakan keluarga dekat dari raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian
triwangsa atau kasta, maka puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria.

Puri-puri di Bali dipimpin oleh seorang keturunan raja, yang umumnya dipilih oleh lembaga
kekerabatan puri. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga kekerabatan puri,
biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk. Para keturunan raja tersebut dapat dikenali
melalui gelar yang ada pada nama mereka, misalnya Ida I Dewa Agung, I Gusti Ngurah Agung,
Cokorda, Anak Agung Ngurah, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain untuk pria; serta Ida I
Dewa Agung Istri, Dewa Ayu, Cokorda Istri, Anak Agung Istri, dan lain-lain untuk wanita.

– Tentang Puri di Bali: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/kerajaan-bangli/puri-


istana-di-bali/

Puri Mengwi tidak ada lagi.

Pura Taman Ayun di Mengwi

Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia.


Pura Taman Ayun merupakan Pura lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Pura ini dibangun oleh
Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu, pada tahun 1556 Saka (1634 M).
– Sumber: http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-bali-pura_taman_ayun

Daftar raja / list of kings


Sekitar tahun 1408 M, pemerintahan dikendalikan oleh Dinasti Tegeh Kori yang sebagaimana
disebutkan Babad Mengwi dalam sejarah Puri Pemecutan, raja-raja yang memerintah yaitu:

* Kyai Made Tegeh yang kemudian bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi I
* Kyai Gede Tegal sebagai Kyai Agung Anglurah Mengwi II.
* Kyai Ngurah Pemayun yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi III.
* Kyai Ngurah Agung yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi IV.
* Kyai Ngurah Tegeh yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi V.
* Kyai Ngurah Gede Agung yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI

– Sumber: http://sejarahbabadbali.blogspot.co.id/2015/03/kerajaan-mengwi.html

Selanjutnya sekitar tahun 1686 M, kekuasaan atas Mengwi dipegang oleh Dinasti I Gusti Agung
Putu, putra dari I Gusti Agung Maruti yang dahulu sebagai penguasa Kerajaan Gelgel. Dalam
Cikal Bakal Raja – Raja Mengwi diceritakan I Gusti Agung Putu sebagai Raja I Mengwi dengan
pusat ibu kotanya disebut dengan Kawyapura

* 1690-1722: Gusti Agung Sakti (Gusti Agung Anom).


* 1722-1740: Gusti Agung Made Alangkajeng, anak Gusti Agung Anom
* 1740s: Gusti Agung Putu Mayun, kemenakan Gusti Agung Made Alangkajeng
* 1740s-1770/80: Gusti Agung Made Munggu, saudara Gusti Agung Putu Mayun
* 1770/80-1793/94: Gusti Agung Putu Agung, anak Gusti Agung Made Munggu
* 1770/80-1807: Regen,Gusti Ayu Oka Kaba-Kaba, ibu Gusti Agung Putu Agung
* 1807-1823: Gusti Agung Ngurah Made Agung I, anak Gusti Agung Putu Agung
* 1829-1836: Gusti Agung Ngurah Made Agung II Putra, anak Gusti Agung Ngurah Made
Agung I
* 1836-1850/55: Gusti Agung Ketut Besakih, saudara Gusti Agung Ngurah Made Agung I

Di bawah perlindungan Belanda 1843-1891

* 1836-1857: Gusti Ayu Istri Biang Agung, janda Gusti Agung Ngurah Made Agung Putra
* 1859-1891: Gusti Agung Ngurah Made Agung III, keturunan Gusti Agung Putu Mayun

Mengwi dihancurkan oleh Klungkung, Badung, Gianyar dan Tabanan 1891.

– Daftar raja: https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Raja_Bali#Raja-raja_Mengwi

Peta kuno Bali

klik peta-peta di bawah untuk besar

Bali abad ke-16


Bali tahun 1750

9 Kerajaan di Bali, sekitar tahun 1900.

Intervensi Belanda di Bali, 1846, 1848, 1849, 1906, 1908


– 1846: Perang Bali I: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/perang-bali-i-1846/
– 1848: Perang Bali II: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/perang-bali-ii-1848/
– 1849: Perang Bali III: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/perang-bali-iii-1849/
– 1906: Intervensi belanda di Bali / Puputan 1906:
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/puputan-bali-1906/
– 1908: Intervensi Belanda di Bali / Puputan 1908:
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/puputan-klungkung-1908/

Sejarah / History kerajaan Jembrana, 1705-1960

Kebudayaan sosial masyarakat di Jembrana telah dimulai sejak 6000 tahun yang lalu. Nama
Jembrana sendiri diyakini sebagai sebuah kawasan hutan belantara atau yang dikenal dengan
nama Jimbar-Wana yang dihuni oleh Raja Naga/Ular. Dimana seiring berjalannya waktu nama
tersebut berubah menjadi Jembrana dan dipergunakan sebagai nama kerajaan.

Raja dan pengikutnya yaitu rakyat yang berasal dari etnik Bali-Hindu maupun dari etnik non Bali
yang beragama Islam telah membangun pusat pemerintahan yang diberi nama Puri Gede
Jembrana pada sekitar abad ke-17 oleh I Gusti Made Yasa (penguasa Brangbang). Sejak
kekuasaan dipegang oleh Raja Jembrana I Gusti Gede Seloka, dibangun Puri Agung Negeri pada
abad ke-19 yang dikenal kemudian dengan nama Puri Agung Negara.

Periode pemerintan kerajaan kuno Jembrana berlangsung hingga sekitar tahun 1855 dan menurut
catatan lembaran dokumen arsip pemerintahan Belanda bahwa Kerajaan Jembrana merupakan
kerajaan otonom yang dipimpin oleh raja Jembrana V yang bergelar Sri Padoeka Ratoe I Gusti
Poetoe Ngoerah Djembrana (1839-1855). Dimana pada masa pemerintahannya Kerajaan
Jembrana menandatangani piagam perjanjian persahabatan bilateral dengan Pemerintah Kolonial
Belanda-Hindia pada tanggal 30 Juni 1849.

Sepeninggal Raja Jembrana V, Kerajaan Jembrana dipimpin oleh Raja Jembrana VI yaitu I Gusti
Ngurah Made Pasekan dimana pada masa ini corak birokrasi modern telah dipergunakan oleh
kerajaan melalui tata pemerintahan daerah (Regentschap) yang merupakan bagian dari
Karisidenan Banyuwangi dimana dikepalai oleh seorang Kepala Pribumi (Raja) sebagai pejabat
yang dimasukkan ke dalam struktur birokrasi Kolonial Belanda di Batavia (pada masa sekarang
dikenal dengan Kota Jakarta). Status ini disandang Jembrana hingga tahun 1882.
Kerajaan Jembrana menjadi perubahan bentuk pemerintahan dari kerajaan menjadi kabupaten di
tahun 1960.
– Sumber:
http://anjungantmii.com/bali/index.php?option=com_content&view=article&id=24&Itemid=22

Puri Jembrana: Puri Agung Negara Jembrana


Puri di pulau Bali adalah nama sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka
yang masih merupakan keluarga dekat dari raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian
triwangsa atau kasta, maka puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria.

Raja Jembrana IV Ide I Gusti Agung Sloka membangun Puri Agung Nagari di Negara Jembrana,
yang dikenal dengan Puri Agung Negara Jembrana serta memposisikan dan menetapkan Kota
Negara sebagai kedudukan Istana atau Puri Agung Raja, Ibu kota Kerajaan, pusat pemerintahan,
ekonomi dan budaya sejak Tahun 1830.
– Puri Agung Negara Jembrana, lihat
lengkap: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/puri-agung-negara-jembrana/

– Tentang Puri di Bali: https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/bali/kerajaan-bangli/puri-


istana-di-bali/

Foto (Istana) Puri Agung Negara Jembrana: link

Puri Agung Negara Jembrana.

Daftar raja / list of kings

Wangsa Agung Widya

* Abad ke-17: Gusti Agung Basangtamiang, anak Patih Agung Gelgel Gusti Agung Widya
* Gusti Brangbangmurti, anak Gusti Agung Basangtamiang
* c. 1700: Gusti Gede Giri, anak Gusti Brangbangmurti
* Gusti Ngurah Tapa, anak Gusti Gede Giri
* Gusti Made Yasa, saudara Gusti Ngurah Tapa
* Abad ke-18: Gusti Gede Andul, paruh pertama, anak Gusti Made Yasa

Wangsa Mengwi

* Abad ke-18: Gusti Ngurah Agung Jembrana, cucu Gusti Agung Sakti dari Mengwi
* …–1766: Gusti Ngurah Batu, anak Gusti Ngurah Agung Jembrana
* 1766-.?..: Gusti Gede Jembrana, kemenakan Gusti Ngurah Batu
* 1797-1809: Gusti Putu Andul, anak Gusti Gede Jembrana
* 1805: Gusti Rahi (wali negara untuk Badung, fl. 1805)
* 1805-1808: Kapitan Patimi (wali negara, keturunan Bugis,)
* 1812-1814: Gusti Wayahan Pasekan (wali negara)
* 1812-1814: Gusti Made Pasekan (wali negara), saudara Gusti Wayahan Pasekan
* 1809-1835: Gusti Putu Sloka, anak Gusti Putu Andul
* 1835-1840: Gusti Alit Mas (wali negara)
* 1835-1840: Gusti Putu Dorok (wali negara), cicit Gusti Ngurah Batu
* 1840-1849: Gusti Made Penarungan (wali negara)
* 1840-1849: Gusti Ngurah Made Pasekan (wali negara)

Di bawah perlindungan Belanda 1843-1882

* 1849-1855: Gusti Putu Ngurah Sloka (wafat 1876), anak Gusti Putu Sloka
* 1849-1866: Gusti Ngurah Made Pasekan (patih 1849-1855; raja 1855-1866)
* 1867-1882: Regen, Anak Agung Made Rai (wafat 1905), cucu Gusti Putu Andul

Jembrana di bawah pemerintahan langsung Belanda 1882-1929

* 1929-1950: Anak Agung Bagus Negara (wafat 1967), cucu Anak Agung Made Rai

Jembrana bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950.

– Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Raja_Bali#Raja-raja_Jembrana

Sejarah singkat Bali pasca ditaklukan


Majapahit
Refreshing Sejarah

dianawonderDiana Raden Ayu


Jun '17
image.png718x361 482 KB

Berita tertulis yang bersumber dari prasasti Patapan Langgaran 1260 Ś/1338 M menyebutkan
keterangan bahwa pada waktu itu Bali diperintah oleh seorang raja yang bernama Sri
Astasuraratnabhumibanten. Pada saat itu, kerajaan mulai goyah dan tidak ada lagi rasa aman.
Keadaan yang demikian dimanfaatkan oleh kerajaan Majapahit, pada tahun 1343 M untuk
melakukan ekspansi ke Bali. Sri Astaasura Ratnabhumibanten kalah dan ia menjadi raja Bali
merdeka yang terakhir memerintah Bali sebelum Bali berada di bawah kekuasaan Majapahit
(Sumadio1984:313; Munandar 1999:184).

###Periode Sri Kresna Kepakisan

Setelah wilayah Bali ditaklukkan, Gajah Mada yang pada waktu itu menjabat sebagai Patih
Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk mengirimkan seseorang untuk mengisi kekuasaan di
Bali. Sri Kresna Kepakisan merupakan utusan dari Gajah Mada untuk menjabat sebagai Patih
dan memerintah Bali di bawah kekuasaan Majapahit.

Ia adalah putra bungsu dari Danghyang Kepakisan yang pada saat itu menjadi guru dari Gajah
Mada. Kedatangan Sri Kresna Kepakisan disertai oleh sebelas Arya lainnya, seperti Arya
Kanuruhan, Arya Wangbang, Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Tumenggung, Arya
Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Munguri, Arya Pengalasan dan Arya Kutawaringin
(Ktut Agung 1991:12).

Pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan berpusat di Samprangan, yang ketika itu dipilih dengan
alasan tempat tersebut merupakan markas tentara Majapahit ketika berperang menaklukkan Sri
Astaasura yang dulu berkedudukan di Bedahulu/Bedulu.
Menurut Babad Dalem, pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan berlangsung mulai tahun 1274
Ś/1352 M hingga ia mangkat pada tahun 1302 Ś/1380 M. Dalem Ketut Kresna Kepakisan
memiliki tiga orang putra,

 Putra pertama bernama I Dewa Samprangan yang gemar bersolek sehingga dijuluki
Dalem Ile,
 Putra kedua bernama I Dewa Tarukan yang dikenal tidak berambisi karena sedikit tidak
waras
 Putra bungsunya bernama I Dewa Ktut Tegal Besung yang terkenal tidak pernah tekun
diam di puri, selalu mengembara bermain judi, ia dijuluki Dalem Ketut Angulesir (Ktut
Agung 1991:14).

Menurut Babad Arya Kutawaringin sepeninggal Sri Kresna Kepakisan pemerintahan di


Samprangan dilanjutkan oleh anak tertuanya, Dalem Ile (dalem Agra Samprangan). Karena
kegemarannya bersolek sepanjang hari, raja ini tidak cakap memerintah dan seringkali para
menteri dan arya yang akan menghadap merasa kecewa, mereka kerapkali harus menunggu di
Paseban dan raja tidak muncul. (Rai Putra 1991:15; Munandar 1999:192).

###Kerajaan Gelgel - Ketut Angulesir

Keadaan itu, membuat para menteri yang diketuai oleh Bendesa Gelgel yang bernama
Klapodyana meminta adik raja yang bernama Dalem Ketut Angulesir untuk mendirikan
pemerintahan baru di Bali dengan berkedudukan di Gelgel. Pemerintahan di Gelgel mulai berdiri
pada tahun 1305 Ś/1383 M dengan keratonnya dinamakan Swesapura/Lingarsapura. Gelar resmi
Raja Gelgel pertama yaitu Ketut Angulesir adalah Dalem Ketut Samara Kepakisan (Rai Putra
1991:19- 20; Munandar 1999:192).

Sementara itu, Dalem Ile di Samprangan masih bertahta tetapi ia tidak mempunyai kekuasaan
lagi. Samprangan kemudian dilupakan sejarah dengan mangkatnya Dalem Ile, karena tidak ada
berita sejarah selanjutnya tentang kerajaan tersebut (Munandar 1999:192).

Masa pemerintahan Dalem Ketut Semara Kepakisan di Bali merupakan periode yang aman
sejahtera, bahkan raja ini disebut-sebut sempat menghadap Hayam Wuruk di Istana Majapahit.
Menurut Nāgarakŗtāgama pupuh 81:4-6 diuraikan keagungan Majapahit dan kemuliaan Raja
Hayam Wuruk. Pada bulan Phalguna setiap tahun, raja Majapahit dihormat oleh seluruh
pembesar negeri dari empat penjuru, bahkan pembesar dari Bali pun datang membawa upeti
(Nag. 81:5; Munandar 1999:193).

Dalem Ketut Semara Kepakisan datang ke istana Majapahit dengan menggunakan perahu. Babad
Dalem selanjutnya menyatakan bahwa perjalanan pergi-pulang dari Bali ke Jawa Timur
menghabiskan waktu satu bulan lamanya. Di istana Majapahit penampilan Raja Bali segera
merebut perhatian hadirin karena ketampanannya bagaikan Dewa Smara (Kama) (Rai Putra
1995:26-27;Munandar 1999:193).
Perjalanan Dalem Ketut Semara Kepakisan diiringi oleh patihnya yang bernama Ki Gusti Arya
Petandakan dan disertai juga oleh para Demung, Tumenggung, dilengkapi dengan peralatan
kebesarannya.

Kunjungannya ke Majapahit untuk menyatakan kesetiaannya membuat ia dihadiahi sebilah keris


yang dinamai Kris Ki Bengawan Canggu (Ktut Agung 1991:15). Babad Dalem mencatat
bahwa Ketut Semara Kepakisan meninggal pada tahun 1382 Ś/1460 M. Kedudukannya
digantikan oleh putra mahkota yang telah ditahbiskan sejak tahun 1380 Ś/1458 M. Raja itu
bernama Dalem Batur Enggong atau Sri Waturenggong.

Diberitakan pula bahwa pada masa pemerintahannya Bali di puncak keemasannya (Rai Putra
1985:32;Munandar 1999:193). Sementara itu para pembesar negara pada waktu itu banyak yang
telah uzur dan digantikan oleh putranya. Tidak terkecuali Patih Ki Gusti Arya Petandakan
digantikan oleh putranya bernama Ki Gusti Arya Batanjeruk yang menjadi patih pada masa
pemerintahan Waturenggong (Ktut Agung 1991:15).

###Masa Keemasan Kerajaan Bali

Masa pemerintahan Waturenggong di Gelgel dengan Patih Ki Gusti Arya Batanjeruk dikenal
dengan zaman keemasan di Bali. Raja dikenal sebagai pribadi yang sakti dan berwibawa, adil
dan tegas menjalankan hukum dan bijaksana dalam memutar roda pemerintahan. Ia melindungi
rakyatnya secara lahir dan batin sehingga masyarakat menjadi aman, tentram dan rakyat pun
hidup makmur (Ktut Agung 1991:15).

Mungkin dalam masa pemerintahannya, ia menyaksikan runtuhnya Kerajaan Majapahit di Jawa


Timur pada awal abad ke-16 M (Berg 1974:148; Munandar 1999:193).

Bali pada waktu itu mengembangkan pengaruhnya hingga ke luar wilayahnya. Blambangan,
Pasuruan, Nusa Penida dan Sumbawa ditaklukkan pada tahun 1434 Ś/1512 M. Sedangkan Sasak
(Lombok) direbut oleh tentara Dalem Waturenggong pada tahun 1441 Ś/1520 M. Berita yang
menjadi perhatian pada masa pemerintahan Waturenggong adalah datangnya seorang pendeta
bernama Danghyang Nirartha dari Jawa Timur dan mendarat di Kapurancak (di wilayah bagian
barat Bali) pada tahun 1441 Ś/1489 M.

Hal ini menarik perhatian karena Danghyang Nirartha membawa pembaruan terhadap kehidupan
keagamaan Hindu di Bali (Rai Putra 1995:43; Munandar 1999:194).

Pengetahuan Danghyang Nirartha dalam bidang keagamaan yang sangat luas membuat ia
diangkat oleh Waturenggong menjadi Baghawanta (pendeta istana) dan guru pribadi sekaligus
penasehat spiritual sang raja. Selain itu dalam kenyataannya Danghyang Nirartha juga dikenal
sebagai “guru loka” yaitu penasehat rohani dari masyarakat umum.

Hal ini terlihat dari kegiatannya dalam mengadakan Dharma Yatra, yaitu perjalanan keliling
dari satu tempat ke tempat lain (Ktut Agung 1991:17). Sebagai guru pribadi raja Danghyang
Nirartha diminta oleh Waturenggong untuk “membersihkan” dirinya (diniksan), dan pada tahun
1472 Ś/1558 M sang raja moksa (Rai Putra 1995:43; Munandar 1999:194).
Semasa hidupnya Dalem Waturenggong meninggalkan dua orang putra yang bernama I Dewa
Pemayun/Dalem Bekung dan Ida I Dewa Anom Seganing. Karena umur I Dewa Pemayun
masih belia, maka kekuasaan yang diwariskan oleh Waturenggong untuk sementara dijalankan
oleh Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk dan raja muda ini pun didampingi oleh paman-
pamannya, antara lain I Dewa Gedong Arta, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedongan, I Dewa
Anggungan dan I Dewa Bangli.

###Intrik-intrik di Kerajaan Bali

Pada waktu itu, untuk beberapa tahun lamanya di sekitar istana Gelgel timbul intrik-intrik yang
membuat suasana kerajaan semakin panas. Hal ini dapat tumbuh dan berkembang karena
beberapa hal, antara lain para penerus raja yang masih belia dan kekuasaan dipegang Patih
Batanjeruk.

Sementara itu, di antara pendamping putra raja mulai timbul keinginan untuk merebut kekuasaan
dan dipihak lain tetap ingin mempertahankan kekuasaannya (Ktut Agung 1991:21). Intrik-intrik
di kalangan penguasa membuat pemerintahan Dalem Bekung menjadi lemah sehingga
mengakibatkan terjadinya pemberontakan besar yang dipimpin Patih Batanjeruk dan bersekutu
dengan seorang paman raja yaitu I Dewa Anggungan pada tahun 1556 M.

Walaupun pemberontakan tersebut dapat dipadamkan namun suasana Gelgel tidak aman lagi.

Setelah pemberontakan intrik-intrik yang terjadi di kalangan menteri semakin memanas sehingga
menimbulkan pembunuhan besar pada tahun 1578 M, hal itu semakin membuat kewibawaan
Dalem Bekung menjadi kian merosot. (Rai Putra 1995:63; Munandar 1999:194).

Para pejabat kerajaan pada suatu saat mengadakan sidang sehingga akhirnya diputuskan raja
harus diganti. Penggantinya adik raja, yaitu I Dewa Anom Seganing (I Dewa Dimade) yang
mulai memerintah antara tahun 1580- 1685 M. Ia berhasil memulihkan kewibawaan Gelgel.
Daerah kekuasaan di luar Bali (Lombok dan Sumbawa) yang semula lepas dapat ditaklukkan
kembali (Rai Putra 1995:63; Munandar 1999:195).

Sejak mulai naik tahta Dalem Seganing menghadapi berbagai tantangan. Bagian timur, Sulawesi
(Goa) dan Sumba bangkit menjadi saingan, Pasuruan dan Blambangan di barat ketika itu
merupakan wilayah kerajaan Gelgel terancam oleh Mataram di Jawa Tengah. Salah satu
usahanya dalam mempertahankan kerajaan Gelgel di Bali, Dalem Seganing menjalankan politik
perkawinan dengan mengambil istri dari berbagai daerah. Tercatat bahwa ia memiliki 16 anak
dari istri-istrinya (Ktut Agung 1991:26).

Anak tertua Dalem Seganing yang bernama Ida I Dewa Anom Pemahyun menggantikan
kedudukannya sebagai raja Gelgel mulai tahun 1665 M. Pada tahun itu juga di awal
pemerintahannya terjadi kemelut politik di Gelgel, di antara para pejabat ada yang tidak suka
dengan kebijakannya. Mereka dipimpin oleh Kryan Agung Maruti yang mencalonkan adik
Dewa Anom Pemahyun yang bernama I Dewa Dimade sebagai raja Gelgel. Akibat pergerakan
tersebut Dewa Anom Pemahyun rela meninggalkan istana Gelgel.
Babad Dalem mencatat bahwa sang raja bersama beberapa pengiringnya pindah bermukim di
desa Purasi tahun 1587 Ś/1665 M. Ia menghuni bekas istana Dalem Bekung dahulu. Dewa Anom
Pemahyun cukup lama bermukim di Purasi dan ia sempat memperbaiki Pura Ukir Anyar tahun
1590 Ś/1666 M (Rai Putra 1995:16; Munandar 1999:195).

Setelah kepergian raja Dewa Anom Pemahyun, I Dewa Dimade menjadi penguasa Gelgel
dengan sebutan Dalem Dimade (1665-1686 M). Ia memerintah dengan dibantu patihnya yaitu
Kryan Agung Maruti Dimade. Pada masa pemerintahannya daerah-daerah di luar Bali berusaha
untuk melepaskan diri dari pengaruh Bali, misalnya Blambangan dan Lombok. Sementara itu di
Gelgel sendiri Patih Maruti beserta kelompoknya merencanakan makar terhadap raja (Munandar
1999:195-196).

Suasana intrik yang diciptakan oleh Patih Agung Maruti kian memanas di dalam istana. Ia pun
menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Dalem Dimade. Istana Gelgel di kepung, namun
Dalem Dimade berhasil melarikan diri bersama pengikut-pengikutnya yang setia dan mengungsi
ke Guliang (Gianyar).
Dalem Dimade diikuti seorang putranya yang bernama I Dewa Jambe.

Setelah Agung Maruti berhasil menghancurkan perlawanan orang-orang yang setia terhadap raja
Dimade, ia pun menduduki istana Gelgel tahun 1686 M (Ktut Agung 1991:27). Setelah kematian
Dalem Dimade dalam pengungsiannya, putranya yang bernama I Dewa Jambe merencanakan
untuk menyerang Agung Maruti. Ia mengumpulkan para pengikut ayahnya yang masih setia dan
saudarasaudaranya untuk menyerang Gelgel.

Pertempuran yang hebat terjadi di sekitar desa Dawan, Gelgel. Dalam penyerangan itu Agung
Maruti berhasil dikalahkan oleh I Dewa Jambe kemudian Agung Maruti lari ke Jimbaran, lalu
mengungsi ke Kuramas (Gianyar). Pelariannya ini dicatat Babad terjadi pada hari selasa, Paing,
Wuku Bala, Iśaka 1626 (1702 M) (Ktut Agung 1991:28).

I Dewa Jambe melanjutkan tahta dari Dinasti Kresna Kepakisan. Akan tetapi ia tidak kembali ke
istana Gelgel melainkan mendirikan puri di Klungkung bernama puri Smara Jaya.

Sejak saat itu, diikrarkan bahwa sebutan Dalem bagi raja sewaktu di Gelgel tidak lagi
dipergunakan dan diganti dengan sebutan Ida I Dewa Agung. Raja I Dewa Jambe berkuasa di
Klungkung dengan gelar Ida I Dewa Agung Jambe pada tahun 1710 M (Ktut Agung 1991:28).

###Runtuhnya Dinasti Kresna Kepakisan

Setelah Kryan Agung Maruti dikalahkan, kekuasaan di pulau Bali terbagi ke dalam beberapa
kerajaan kecil yang menyelenggarakan pemerintahannya sendiri-sendiri. Jumlah dan nama
kerajaan-kerajaan itu berbeda-beda tiap periode, sebab ada kerajaan yang kemudian runtuh dan
wilayahnya digabungkan ke kerajaan lain yang lebih kuat. Ada juga kerajaan yang berganti nama
setelah memperoleh tambahan wilayah dari kerajaan yang ditaklukkannya (Munandar 1999:212).

Kerajaan-kerajaan Bali yang berdiri sejak awal abad ke-18 M bersamaan dengan jatuhnya
Dinasti Kresna Kepakisan di Gelgel adalah Buleleng, Bangli, Singarsa/Sidemen dan Gelgel yang
saat itu dikuasai oleh Patih Maruti. Paling tidak ada dua sumber yang menyatakan bahwa empat
daerah itu tidak tunduk pada
Gelgel, yaitu Babad Dalem (Rai Putra 1995:82-82) dan Babad Arya Kutawaringin (Rai Putra
1991:55-56) (Munandar 1999:212).

Menurut catatan sejarah, di antara abad ke-18 sampai abad ke-19 M di Bali ada sejumlah
kerajaan kecil yang memiliki raja dan pemerintahan sendiri, yakni kerajaan Karangasem,
Buleleng, Jembrana, Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan dan Mengwi (Sutjipto
1975:40).

Kerajaan Karangasem berdiri sekitar tahun 1661 M dengan rajanya yang bernama I Gusti
Anglurah Ktut Karang, Buleleng berdiri tahun 1695 M dengan rajanya yang bernama I Gusti
Panji Sakti. Kerajaan Mengwi mulai ada sekitar tahun 1700 M. Selanjutnya berdiri kerajaan-
kerajaan lain seperti Tabanan, Bangli, Badung, Payangan, Gianyar dan Jembrana. Kerajaan
Jembrana menurut sejarah merupakan vassal Mengwi (Ktut Agung 1991:30).

Laporan R. Friederich yang berkunjung ke Bali pada paruh ke dua abad ke-19 M menyatakan
ada beberapa kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Namun mereka mengakui bahwa Dewa
Agung raja Klungkung adalah penguasa seluruh Bali. Para raja di Bali berasal dari golongan
ksatrya, mereka adalah keturunan para ksatrya yang dahulu datang dari Majapahit (Friederich
1887:119; Munandar 1999:213-214)

KERAJAAN MAJAPAHIT
A. Sejarah Berdirinya Majapahit

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah


kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.
Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas menghadang bagian utara,
ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan. Maka ketika Raden Wijaya
kembali ke Istana, ia melihat Istana Kerajaan Singasari hampir habis dilalap api dan mendengar
Kertanegara telah terbunuh bersama pembesar-pembesar lainnya. Akhirnya ia melarikan diri
bersama sisa-sisa tentaranya yang masih setia dan dibantu penduduk desa Kugagu. Setelah merasa
aman ia pergi ke Madura meminta perlindungan dari Aryawiraraja. Berkat bantuannya ia berhasil
menduduki tahta, dengan menghadiahkan daerah tarik kepada Raden Wijaya sebagai daerah
kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dengan dipimpin Shih-Pi, Ike-Mise, dan
Kau Hsing dengan tujuan menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan situasi itu
untuk bekerja sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang terbunuh, tentara Mongol
berpesta pora merayakan kemenanganya. Kesempatan itu pula dimanfaatkan oleh Raden Wijaya
untuk berbalik melawan tentara Mongol, sehingga tentara Mongol terusir dari Jawa dan pulang ke
negrinya. Maka tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi
semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang
bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut Uperi. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut
dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri,
sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang
memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang
menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi
pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat
diatas disambut dengan senang hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka
hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah
maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan
pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan
Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka
menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.
Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat
pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan
tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya
Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan
dalam Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan
konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi
dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap
dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
B. Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, arca cetakan emasapsara (bidadari surgawi) gaya khas
Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman
keemasan" nusantara. Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari
tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan
mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai
lebih banyak wilayah. Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, Semenajung Malaya, Kalimantan Sulawesi, kepulauan Nusa
Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) sebagian kepulauan Filipina. Sumber ini
menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi
terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.
Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan
Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok. Selain melancarkan serangan dan
ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan.
Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi
(Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai Permaisurinya. Pihak Sunda menganggap lamaran ini
sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan
pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam
Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda
takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit
di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga
kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan
Sunda dapat dibinasakan secara kejam. Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa,
dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan
negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun
pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam
Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama. Kakawin Nagarakretagama
yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya Keraton yang adiluhung, anggun, dan
canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang
rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang
membentang dari Sumatra ke Papiua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal
di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit.
Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa
Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti
berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau
tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.Pada tahun
1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk
menumpas pemberontakan di Palembang.
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan
kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah
mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat
inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

C. Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk
juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.
Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara
Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana,
semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini
melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang. Pada kurun
pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh
laksamana Chaeng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun
waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas
muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang,
Demak, Tubah dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita,
yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari
seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan
dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijaya wafat, Bhere Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di
Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD.
Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana,
putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit. Ketika Majapahit
didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada
akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang.
Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan
Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh
ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan
abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara
itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu
mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebuah tampilan model kapal Majapahit di
Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur Malaysia Singhawikramawardhana memindahkan ibu
kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus
memerintah di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478
Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu
kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar
Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti
ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa. Waktu
berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka,
berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu
pemerintahan) hingga tahun 1527. Dalam tradisi Jawa ada sebuah Kronogram atau candasengkala
yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit
dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah
“sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh
candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana. prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan
Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara
Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi.
Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. Sejumlah besar abdi istana, seniman,
pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan
besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka
mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi. Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh
Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan
sisa kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah
(Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi
Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang
putri China.

D. Peninggalan Kerajaan Majapahit


Arca Emas

Arca ini menggambarkan Bidadari Majapahit yang anggun. Arca cetakan emaspara ini
(bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan
Majapahit sebagai “zaman keemasan” nusantara.
Uang Gobog Majapahit

Benda yang zaman dahulu ini pernah digunakan sebagai salah satu mata uang Kerajaan
Majapahit ini terbuat dari tembaga. Di sisi depan terdapat relief berupa gambar wayang, alat-alat
persenjataan berbentuk cakra, dan pohon beringin.
Candi Sukuh
Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena
banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas. Candi Sukuh telah
diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir
pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de
Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan Bali muncul pada abad ke 9 yang di perintah oleh Raja Sri Kesariwarmadewa,
Udayana dan anak Wungsu. Tahun 915 Raja Bali Ugrasena berhasil membangun Kerajaan Bali
dan berkembang dan serta menjalin persahabatan Mataram, dan di tandai perkawinana Udayana
Wamadewa (956-1022) kawin dengan putri Makutawangsa Whardana yang bernama Mahendratta,
hubungan berlanjut setelah putra Udayana yang bernama Airlangga menikah dengan putri
Darmawangsa Tguh sampaia khirnya terjadi perlaya 1016. Karena diserang oleh Raja Wurawari
dari Wengker yang merupakan sekutu Sriwijaya. Pada masa pemerintahan anak Wungsu (1049-
1077) berhasil dibangun Candi Tampak Siring. Pengganti Anak Wungsu, Jaya Sakti, Jayapangus
dan Bedahulu adalah raja lemah dan akhirnya ditaklukan oleh Gajah Mada dalam meluaskan
KerajaanMajapahit.
Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya,
Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah. Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit
meliputi Sumatra, Semenajung Malaya, Kalimantan Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, Tumasik (Singapura) sebagian kepulauan Filipina. Sumber ini menunjukkan batas terluas
sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

B. Saran
Tiada sesuatupun yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan makalah yang penulis
susun ini juga masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran akan penulis terima
dengan senang hati demi melengkapi makalah in

Anda mungkin juga menyukai