Purana Wangsa Bun Saibang Srijati

1
Purana Wangsa
WWANG BANG PINATIH

PURI BUN
SIBANG KAJA ABIANSEMAL BADUNG
PURANA WANGSA WWANG BANG PINATIH, PURI BUN SIBANG KAJA I.B.BAJRA .05.2022
2
BAB I
PENDAHULUAN
Semoga tidak ada halangan yang merintangi

Om Awignamastu Nama Sidham
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti
mukti hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah,
wişņu wangsā pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam
waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā
mongjawam, bhupa-lakam, satyam loka. Om nama
dewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā Hyang
mami. Ong kara pangabali puspanam. Prajā pasyā.
nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha
pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sang
Hyang Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun,
muncaranākna ikang tattwa, mogha tan katamanan
ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari
purņā hanmu rahayu, katkeng kulā warggā
sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham bhawantu
Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang
Mami yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha,
Sunia Loka, Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba
menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis dalam
lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci, menyatu
dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga
tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari
3
penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan

seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka
kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa
pataka, bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi,
membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang,
semoga juga hamba berhasil menemukan kebahagiaan
sekala niskala atau lahir bathin, anugerahkanlah hamba
agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk
keluarga dan alam semesta.
Rasa bahagia berdasarkan bakti tulus penuh rasa hormat
hamba haturkan kehadapan Ida Bhatara Hyang Sinuhun
yang maha suci karena sudah berujud Ong Karatna Mantra,
Beliau yang sudah menyatu berlingga diantara Nilotpada
Hredaya, sudah diukir dalam prasasti lontar maupun
tembaga, tersucikan oleh mantra Sapta Gangga serta sudah
disempurnakan oleh sari-sari Astra Mantra juga
Pranayama, Dirgakrama serta keutamaan Sang Hyang
Sarwajnyana, Brahmangga Wisnwangga Siwangga, yang
merupakan sari-sari Tri tattwa, lengkap Puja Saprahara,
berkumpul dalam sinar maha suci berasal dari dalam jiwa
yang hening.
Hamba memohon anugerah kehadapan Ida Sang Aji
Saraswati sebagai dewanya ilmu pengetahuan, agar
dianugerahkan kesempatan untuk menggali, meramu dan
menulis berbagai aksara suci tattwa dan purana, semoga
juga hamba dijauhkan dari segala sapa, papa nestapa, kutuk
tulah pamidi oleh beliau hingga keturunan hamba
dikemudian hari.
4
Om Bhatara Hyang Mami anugerahkanlah hamba

kebaikan, kebahagiaan dan kedamaian beserta seluruh
keturunan hamba, bersama-sama hidup dalam suasana
jagaditha, hingga akhir dunia nanti, Om Nama Siwa Ya
5
BAB II
CIKAL BAKAL WANGSA BALI
Kata Wangsa, berasal dari 2 suku kata, Wang yang arti
bebasnya adalah manusia dan kata Sa yang berarti bebas
satu atau sama, bila digabungkan kata Wangsa bermakna:
Manusia yang berasal dari satu keturunan atau manusia
yang berasal dari keturunan yang sama.
II.1. Mithologi dan sejarah para Rsi Agung.
Dalam sastra suci Usana Jawa Bali mengisahkan tentang
perjalanan para Rsi dari Pulau Jawa menuju ke Bali
melaksanakan Dharma Agama, menyebarkan berbagai
ajaran suci Weda kepada seluruh umat. Diceritakan beliau
Sang Hyang Pasupati, yang suci mulia menciptakan tujuh
orang putera dari kekuatan tapa semadi, putera-putera
Beliau tersebut dikenal dengan nama: Hyang Gnijaya di
Gunung Lempuyang Luhur, Hyang Puterajaya di Gunung
Tohlangkir, Hyang Dewi Danu berasrama di Ulundanu
Batur, Hyang Tugu berasrama di Gunung Andakasa, Hyang
Manik Galang berasrama di Pejeng, Hyang Manik
Gumawang Gunung Bratan dan Hyang Tumuwuh
berasrama di Batukaru
Ketujuh putera Bhatara Pasupati ini dikenal dengan gelar
Hyang Sapta Bhatara yang kemudian menjadi asal dari
semua asal Hyang di pulau Bali. Gunung dalam khasanah
kesusastraan Bali identik dengan pusat pemerintahan atau
pusat ilmu pengetahuan yang selanjutnya diturunkan dan
6
diajarkan ke lereng-lereng gunung, dataran hingga ke

wilayah pesisir, tempat bermukim penduduk Bali.
Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa,
ada pendeta maha sakti bernama Dang Hyang Bajrasatwa
berputera laki-laki seorang bernama Dang Hyang Tanuhun
atau Mpu Lampita, setelah dewasa menjadi penganut
Budha yang taat, beliau memiliki kepandaian luar biasa
serta bijaksana dan maha sakti seperti ayahnya. Ida Dang
Hyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan
sebutan Panca Tirtha. Antara lain: Mpu Gni jaya berasrama
di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali
pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah
yang menurunkan Sang Sapta Rsi. Mpu Semeru berasrama
di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi
999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau
Mpu Dryakah. Mpu Ghana berasrama di Dasar Gelgel,
Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun
Masehi 1000. Mpu Kuturan datang di Bali tahun Isaka 923
atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di
Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem dan
Mpu Bharadah menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga
di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis,
Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
Diceritakan saat pulau Bali dibawah pemerintahan ratu
Gunapriya Dharma Patni, pada tahun 993 Masehi, suami
beliau bergelar Sri Dharma Udayana Warmadewa, beliau
memerintah dengan bijaksana bersama-sama, setelah
sekian lama beliau menjadi raja suami isteri di Bali, Sri
7
Ratu Gunapriya Dharma Patni mangkat pada tahun 1020

Masehi, diupacara layaknya seorang raja besar, abunya
dipuja di Bukit Dharma Buruan. Beliau dilinggakan pada
sebuah arca pemujaan dengan nama Durgha Mahisa Sura
Mandini, sangat dimuliakan karena dianggap dan
dipercayai sebagai penjelmaan Bhatari Umadewi oleh para
penganut aliran Siwa. Sementara itu Sri Dharma Udhayana
Warmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda
mangkat pada tahun 1018 Masehi. Abu beliau dimuliakan
di Banyuweka.
Beliau meninggalkan tiga orang putra, antara lain: Sri Aji
Erlangga kawin ke Jawa Timur, Sri Dharmawangsa
Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa, berkuasa
di Bali antara tahun 1022 Masehi dan Sri Aji Anak
Wungsu. tahun 1049 Masehi
Hentikan dahulu ceritanya.
Dikisahkan tentang Mpu Bharadah menurunkan 2 orang
putra laki-laki, masing-masing bernama: Mpu Bahula
Candra dan Mpu Siwagandu. Dikisahkan tentang Mpu
Bahula Candra, Bahula berarti utama, Candra berarti
Bulan, kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama
keutamaan bulan. Mpu Bahula Candra memperistri putri
dari Rangdeng Jirah atau janda di Jirah atau Girah yang
bernama Ni Dyah Ratna Manggali, dari pertemuan itu Mpu
Bahula Candra berputra laki-laki bernama Mpu Tantular,
Mpu Tantular dikenal sebagai seorang maha kawya yang
sangat tinggi ilmu filsafatnya. Beliau juga bergelar Dang
8
Hyang Angsokanata. Keberadaan beliau diperkirakan

sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu
pada tahun 1049 Masehi.
Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanata, berputra
empat orang semuanya laki-laki, antara lain: Dang Hyang
Panawasikan, Dang Hyang Siddhimantra, Dang Hyang
Smaranatha dan Dang Hyang Soma Kapakisan
Mpu Dang Hyang Panawasikan bagaikan Sang Hyang
Jagatpathi wibawa beliau, Ida Dang Hyang Siddhimantra
bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida
Dang Hyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang
menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau,
serta Dang Hyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru
dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa
Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana.
Ida Dang Hyang Panawasikan dikisahkan menurunkan
seorang putri, demikian cantiknya, bernama Dyah Telaga
Urung diperistri oleh Dang Hyang Nirartha.
Dang Hyang Smaranatha, menurunkan dua orang putra,
masing-masing bernama: Dang Hyang Angsoka, berdiam
di Jawa melaksanakan paham Budha dan Dang Hyang
Nirartha tekun melaksanakan paham Siwa.
Dang Hyang Angsoka sendiri berputra Dang Hyang
Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari.
Dang Hyang Soma Kapakisan di Majapahit, dikisahkan
menurunkan 4 orang putra, masing-masing bernama: Sri
9
Juru atau Bima Kepakisan, Sri Bima Sakti Kepakisan, Sri

Ayu Sukania dan Sri Kresna Kepakisan.
Keberadaan para putra Dang Hyang Soma Kepakisan ini
diperkirakan sejaman dengan masa pemerintahan Sri
Maharaja Kala Gemet di Majapahit.
10
BAB III
PENAKLUKAN MAJAPAHIT
TERHADAP BALI
Kembali diceritakan saat Sri Asta Sura Ratna Bhumi
Banten memerintah di Pulau Bali pada tahun 1332 hingga
tahun 1343 Masehi. Beliau juga dikenal dengan nama Sri
Gajah Waktra atau Sri Tapolung atau Sri Aji Beda Ulu.
Menurut Babad Usana Bali Pulina adalah seorang raja sakti
dari Bali putra dari raja suami isteri Sri Masula Masuli dari
dinasti Warmadewa. Pada awal dilantik sebagai raja Bali,
beliau mengadakan pergantian sejumlah pejabat
pemerintahan antara lain: Kesenepatian Kuturan yang
dijabat Ki Dalang Camok diganti oleh Ki Mabasa Sinom.
Kesenepatian Danda yang dijabat Ki Kuda Langkat-
Langkat diganti oleh Ki Bima Sakti. Kesenepatian
manyiringin dipegang oleh Ki Lembu Lateng. Perutusan
Siwa Rajamanggala yang dulu tinggal di Dewastana kini
digeser ke Kunjarasana. Perutusan Pendeta Siwa Sewaratna
yang dulu tinggal di Trinayana kini dipindahkan ke
Dharmahanyar. Dang Upadyaya Pujayanta yang dijabat
Pendeta di Biharanasi diganti oleh Pendeta Dang Upadyaya
Dharma. Dibentuk pejabat Makarun di Hyang Karamus
yang dipagang oleh Ki Panji Sukaningrat. Perutusan di
Burwan yang dipegang oleh Sira Mahaguru. Perutusan di
Buhara Bahung yang dipegang oleh Dang Upadyaya
Kangka, Mangkubumi bernama Ki Pasung Giri atau Ki
Pasung Grigis yang tinggal di desa Tengkulak dan Mapatih
11
Bali bernama Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna yang tinggal

di Desa Belahbatuh.
Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten tidak bersedia
tunduk terhadap kekuasaan Majapahit, karena beliau masih
berpegang teguh kepada bhisama leluhur beliau yang
merupakan keturunan raja dari dinasti warmadewa yang
termasyur. Pemerintahan Bali dibentengi oleh para patih
dan tumenggung yang berjumlah sebelas orang antara lain:
Ki Pasung Grigis di desa Tangkulak, Ki Kebo Mayura di
desa Blahbatuh, Ki Demung Udug Basur di Bali Utara,
Tumenggung Ki Kala Gemet di Bali Utara, Ki Girikmana
Ularan di Bali Utara, Ki Tunjung Tutur di desa Tianyar, Ki
Tunjung Biru di desa Tenganan, Ki Buwahan di desa Batur,
Ki Tambyak di desa Jimbaran, Ki Kopang di desa Sraya
dan Ki Kalung Singkal di desa Taro.
Beberapa saat kemudian mulailah terjadi perubahan yang
sangat besar di Bali, diawali saat kerajaan Majapahit di
Jawa semakin besar dan melakukan berbagai penaklukan
terhadap Nusantara. Si Arya Damar dan Patih Gajah Mada,
menerima perintah dari Sang Ratu Majapahit untuk
menyerang dan menaklukkan Bali.
Pustaka Kidung Pamacangah menyebutkan bahwa Arya
Damar sebagai penguasa bawahan Majapahit di Palembang
yang membantu Majapahit dalam usaha menaklukkan Bali
pada tahun 1343 Masehi dengan memimpin 15.000 prajurit
menyerang Bali dari arah utara. Sementara Mapatih Gajah
Mada menuju arah timur Majapahit, bersama keluarga dan
12
prajuritnya yang gagah-gagah untuk menyerang Bali

dengan jumlah parajurit15.000 orang bersenjata lengkap.
Dikisahkan pada saat terlihat asap mengepul bergulung-
gulung ke angkasa pulau Bali, pertanda Sang Arya Damar
mulai menyerang dari utara, perang dahsyat terjadi di
daerah Ularan sampai sekitar tujuh hari tujuh malam tiada
henti. Ki Pasung Giri yang memimpin parajurit Bali utara
mengamuk, tidak terhitung parajurit pimpinan Arya Damar
yang tewas, mayat bergelimpangan, bercampur dengan
kuda dan gajah yang sedang meregang nyawa, keris dan
tombak berserakan, juga perisai dan pedang.
Menyaksikan demikian banyak parajuritnya yang tewas,
Arya Damar turun ke medan laga berhadapan langsung
dengan Ki Pasung Giri. Pertarungan dimenangkan oleh
Arya Damar, Ki Pasung Giri tewas sebagai pahlawan Bali
di Ularan. Setelah mengetahui Ki Pasung Giri tewas,
parajurit Bali masih berusaha bertahan tanpa kendali,
sehingga banyak diantaranya yang gugur dan menyerah,
tidak sedikit juga yang berhasil melarikan diri. Parajurit
pimpinan Arya Damar akhirnya berhasil menguasai daerah
Ularan, bagian utara dari wilayah pertahanan kerajaan Bali.
Mereka selanjutnya membangun benteng pertahanan dan
pemukiman di desa Ularan, Arya Damar bertolak menuju
Majapahit untuk melaporkan keberhasilan parajuritnya
menguasai bagian utara Bali. Saat kembali dari Majapahit,
Arya Damar diiringi oleh parajurit bantuan dari Majapahit
yang dipimpin oleh Arya Kutawaringin. Mereka bergabung
dengan induk parajaurit sebelumnya di Benteng Toya
13
Anyar, Kalianget dan Ularan. Arya Damar bersama-sama

dengan Arya Kutawaringan segera mengadakan serangan
ke kubu-kubu pertahanan pasukan Bali.
Pertempuran sengit terjadi lagi, masing-masing
memperlihatkan ketangkasannya, gagah berani tanpa
memperdulikan banyak korban yang jatuh. Akhirnya
daerah Bali utara bagian Barat berhasil diduduki oleh
pasukan Majapahit, akan tetapi daerah-daerah bagian timur
masih tetap utuh dibawah pimpinan Ki Buwahan yang
membangun benteng di Batur. Selanjutnya dalam
penyerangan ke Benteng Batur sangat besar jumlah
pasukan yang gugur dari kedua belah pihak. Alam pulau
Bali yang berbukit-bukit ditambah dengan hutan-hutannya
yang masih lebat, menyebabkan peperangan itu
berlangsung hampir 7 bulan lamanya barulah daerah Bali
utara dapat dikuasai, setelah Ki Bawahan gugur dalam
pertempuran.
Pertempuran di pantai Bali Selatan yang dipimpin oleh
Mapatih Gajah Mada tidak kalah pula hebatnya, gelombang
laut yang besar membawa keuntungan bagi pasukan Gudug
Basur dan Ki Tambyak yang bertahan dipesisir pantai.
Banyak perahu-perahu pasukan Majapahit yang tenggelam
sebelum sempat melakukan pendaratan. Walaupun
demikian pertempuran sengit terjadi pula, setelah pasukan
Majapahit melakukan pendaratan yang tak henti-hentinya.
6 orang perwira Majapahit yang masing-masing memimpin
pasukan yang berjumlah 15.000 orang, disambut oleh
pasukan Bali yang sejak lama telah mengadakan
14
pertahanan dengan rapat. Medan yang luas dan datar,

ditambah pula dengan tidak adanya pohon-pohon besar
yang melindungi pertahanan pasukan Bali, sangat
memudahkan pihak penyerang untuk mengarahkan panah
dan tombak dari atas perahu, sehingga banyak memakan
korban dari pasukan Bali. Demikianlah disana-sini terjadi
pertempuran yang serentak, sehingga hanya dalam waktu 7
hari pesisir pantai Bali Selatan telah dapat diduduki oleh
pasukan Majapahit pimpinan Gajah Mada.
Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak gugur dalam
pertempuran itu bersama-sama dengan ribuan parajurit
lainnya dari kedua belah pihak. Walaupun parajurit
Majapahit telah mendapat kemenangan di pesisir utara dan
timur, namun mereka belum melakukan penyerbuan ke
pusat kota, mengingat dengan keberanian dan kegigihan
rakyat Bali dalam usaha mempertahankan negerinya.
Menunggu waktu yang tepat Mereka tinggal menyusup
berbaur dan menetap di desa-desa Bali menyamar sebagai
penduduk biasa. Sementara itu kesatuan-kesatuan parajurit
Sunda yang melakukan pendaratan di pantai bagian barat,
tidak disambut dengan pertempuran oleh parajurit Bali,
mereka tidak menjumpai perlawanan yang berarti. Hal itu
terjadi karena kebetulan mereka melakukan pendaratan
pada tempat-tempat yang sunyi, diantara hutan pantai
kemudian segera menyusup ke tengah-tengah hutan menuju
ke pusat kota Beda-Ulu.
Kembali diceritakan Arya Damar dan Arya Kutawaringin
yang telah memperoleh kemenangan di Bali Utara. Mereka
15
bersama-sama parajuritnya terus bergerak maju menuju

pusat pemerintahanan Bali di Beda-Ulu. Setelah 5 hari
menempuh perjalanan yang amat sulit, bersualah mereka
dengan Gajah Mada bersama induk parajuritnya di desa
Tawing, segera menyusun rencana dan strategi untuk
menyerang ke pusat kerajaan Beda Ulu.
Parajurit Majapahit yang menyusup masuk ke dalam kota
Beda Ulu dengan menyamar, mendiami berbagai desa di
sekitar kota raja, sesudah penuh sesak parajurit Majapahit
di kota Beda Ulu, tiba-tiba mereka mengangkat senjata
menyerang istana Beda-Ulu dengan serempak dan tiba-tiba.
Parajurit Sunda mengepung desa Tengkulak dari segala
jurusan, parajurit Bali pimpinan Ki Pasung Grigis yang
lengah tidak sempat mengadakan perlawanan. Banyak
parajurit yang tewas dalam pertempuran itu, sementara Ki
Pasung Grigis ditangkap dan dipenjarakan. Peristiwa itu
terjadi didalam tahun 1343. Semenjak saat itulah kerajaan
Beda-Ulu hancur dan pulau Bali berada dibawah kekuasaan
Majapahit. Jumlah tawanan parajurit Bali sangat banyak,
masing-masing: Arya Beleteng menawan 10.000 orang,
Arya Sentong menawan 5.000 orang, Arya Kuta Waringin
menawan 5.000 orang, Arya Belog menawan 5.000 orang,
Ki Kuda Pangasih, 3.000 orang, Arya Damar, 40.000
orang, Ki Pada Kaon, 20.000 orang, Ki Pakatik, 2.000
orang, Arya Benculuk, 4.000 orang, Arya Kapakisan, 4.000
orang dan Tawanan yang dikirim ke Majapahit untuk
mengabdi kepada raja, sejumlah 80.000.
16
Selain tawanan yang dikirim ke Majapahit, sebagian besar

dikerahkan sebagai parajurit Majapahit dalam penyerangan
beberapa daerah taklukan. Hentikan dahulu ceritanya
demikian.
Setelah pulau Bali dapat ditaklukan oleh Maha Patih Gajah
Mada pada tahun 1343, Bali kemudian menjadi wilayah
yang kosong tanpa struktur pemerintahan yang tertata dan
kuat sehingga tidak mampu mengatur masyarakat Bali.
Penahanan Pasung Grigis di menjadi benih-benih
kemarahan penduduk di Bali. Setelah Pasung Grigis
menyatakan setia kepada Majapahit, Pasung Grigis
diangkat menjadi senopati Perang untuk menggempur
Dedela Natha di Sumbawa. Raja Sumbawa bersikeras tidak
mau tunduk dibawah kekuasaan Majapahit dan menyatakan
diri sebagai raja Sumbawa yang berdaulat. Ki Pasung
Grigis tewas bersama-sama dengan Dadela Natha dalam
perang tanding saat penyerangan ke Sumbawa. Berita
tewasnya Ki Pasung Grigis di Sumbawa, menyebakan
timbulnya gejolak di seluruh pelosok pedesaan Bali.
Penduduk Mula dan Aga serentak mengangkat senjata,
diberbagai desa, benteng-benteng Majapahit dikepung dan
diserbu. Banyak jatuh korban yang tewas tidak terhingga,
juga yang luka-luka dan cacat.
Penguasa Majapahit yang menerima laporan itu, segera
mengirim bala bantuan dalam jumlah yang sangat besar
dari Majapahit. Ribuan parajurit Majapahit merapat dengan
kapal-kapal besar di pantai selatan Bali, pertempuran sengit
kembali terjadi. Masing-masing parajurit memperlihatkan
17
keberanian dan keunggulannya, tidak bisa digambarkan

hebatnya pertempuran itu, setelah memakan korban hampir
20.000 orang parajurit dari kedua belah fihak, parajurit Bali
berhasil ditaklukkan, kejadian ini terjadi di lembah Salukat
yang aliran airnya langsung menuju pantai.
Demikianlah antara lain disebutkan di dalam kitab Usana
Jawa, tentang berbagai pemberontakan yang terjadi di desa-
desa sebelum kerajaan Majapahit menempatkan wakilnya
di Bali. Berdasarkan data yang terdapat di dalam kitab
Usaha Jawa tersebut, rupanya sebuah pura besar yang
bernama Pura Kentel Gumi di desa Tusan Klungkung
didirikan pada waktu itu. Nama pura itu mengesankan,
bahwa ketentraman di Bali telah dapat dipulihkan. Di Pura
Kentel Gumi lah kemudian diumumkan penaklukan pulau
Bali, setelah pasukan Majapahit mencapai kemenangan.
Pura besar tersebut dapat dipandang sebagai tugu
kemenangan serta melambangkan kekuasaan Majapahit di
Pulau Bali.
18
BAB IV
SAMPRANGAN,
GELGEL DAN KLUNGKUNG
Di dalam kitab Pamancangah Pasek menyebutkan bahwa
pada masa kekosongan pemerintahan di Bali, Ki Patih
Ulung pernah menghadap Baginda raja di Majapahit,
perjalanan itu disertai oleh dua orang saudaranya, masing-
masing bernama: Kyai Arya Pamacekan dan Kyai Arya
Kepasekan.
IV.1. Adipati Samprangan.
Utusan yang datang dari Bali itu, diterima oleh Patih Gajah
Mada dan segera dihantarkan ke istana. Dihadapan raja Sri
Hayam Wuruk, Ki Patih Ulung melaporkan tentang
suasana di Bali yang tetap mengkhawatirkan. Dilaporkan
juga bahwa orang-orang Mula dan Aga tidak mau bergaul
dengan orang-orang Majapahit yang menduduki desanya.
Mereka lebih memilih mengungsi ke tanah pegunungan,
untuk menjauhkan diri. Ki Patih Ulung memohon kepada
Raja Majapahit, agar segera ditempatkan seorang Adipati
Majapahit di Bali yang berwenang mengatur pemerintahan
di Bali.
Untuk mengatur Bali, Gajah Mada mengangkat Ida Ketut
Kuda Wandira menjadi Cakra Dala atau Adipati di Bali.
Beliau adalah putera seorang pendeta yang bernama Mpu
Kepakisan, Purohita atau pendeta pribadinya Gajah Mada.
Selain mengangkat Ida Ketut Kuda Wandira yang
19
ditempatkan di Bali, Mapatih Gajah Mada juga

mengangkat Adipati di Pasuruhan dan di Blambangan
beserta Prabhu Sukaniya atau Raja Puteri yang ditempatkan
di Sumbawa. Ida Ketut Kuda Wandira diangkat menjadi
Cakradala atau Adipati di Bali dengan Gelar Shri Aji Ketut
Kresna Kepakisan. Beliau beristana di Samprangan
didampingi oleh Nararya Kresna Kepakisan berkedudukan
sebagai patih.
Shri Aji Ketut Kresna Kepakisan memerintahkan para
ksatria Jawa yang sebelumnya berjasa dalam upaya
penaklukkan Bali untuk menjadi Manca Ghra di masing-
masing tempat, diantaranya: Arya Demung Wang Bang
asal Kediri menjadi Manca Ghra di Kertalangu. Arya
Kanuruhan menjadi Manca Ghra di Tangkas, Arya
Temenggung menjadi Manca Ghra di Patemon. Arya
Kenceng menjadi Manca Ghra di Tabanan. Arya
Dalancang menjadi Manca Ghra di Kapal. Arya Belog
menjadi Manca Ghra di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin
menjadi Manca Ghra di Klungkung, Arya Getas menjadi
Manca Ghra di Toya Anyar, Arya Belentong menjadi
Manca Ghra di Pacung, Arya Sentong menjadi Manca Ghra
di Carangsari, Kriyan Punta menjadi Manca Ghra di
Mambal, Arya Jerudeh menjadi Manca Ghra di Tamukti,
Arya Sura Wang Bang asal Lasem menjadi Manca Ghra di
Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram menjadi Manca
Ghra berkeliling seluruh wilayah Bali, atau tidak menetap.
Arya Melel Cengkrong menjadi Manca Ghra di Jembrana
dan Arya Pamacekan menjadi Manca Ghra di Bondalem
20
Demikian disebutkan dalam sastra kuno Bali, Babad

Dalem. Sangat banyak jumlah bangsawan Kadiri yang
berasal dari keturunan Airlangga yang membantu
pemerintahan Shri Aji Kresna Kepakisan di Bali. Dalam
memimpin pemerintahan di Bali beliau dibekali pariagem
kawitan, pakaian kadipatian dan keris pusaka Majapahit
yang bernama Ki Ganja Dungkul.
Memulai pemerintahan baru di Samprangan tidak serta-
merta bisa diterima oleh penduduk Mula dan Aga, bahkan
sangat banyak para petinggi Bali yang sebelumnya nyaman
dengan kedudukannya, pada masa ini lebih memilih untuk
mengungsi ke gunung dan lembah yang jauh dari pusat
pemerintahan, turut serta para pengikut. Beberapa kali
tercatat timbulnya pemberontakan penduduk dalam sekala
kecil, diantaranya di desa: Batur, Cempaga, Songan,
Kedisan, Abang, Dinggan, Bonyoh, Taro, Bayan, Serai,
Sukawana, Panarajon, Cintamani, Pludu, Manikliyu,
Patani, Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Bgot, Basanglasas,
Lokasana, Juntal, Gurinten, Nasi-Kuning, Puhan, Ulakan,
Simbanten, Asti, Batu Ajang, Kedampal, Paselatan, Bantas,
Tulamben, Carucut, Datah, Batu Dawa, Kuta Bayem dan
Munti.
Adanya pergerakan penduduk Mula dan Aga membuat
Adipati Bali mengirim surat kepada Gajah Mada, intinya
ingin kembali ke Jawa merasa tidak berhasil memimpin
Bali yang terus bergejolak. Mapatih Gajah Mada tidak
berkenan mengabulkan permintaan Adipati Bali, Majapahit
justru kembali mengirim parajurit dalam jumlah besar
21
dibawah pimpinan Tri Wesya, Si Tan Kober, Si Tan Kawur

dan Si Tan Mundur yang merapat di pantai barat Bali.
Parajurit Majapahit yang merapat di pantai timur Bali, juga
dengan jumlah yang sangat besar dipimpin oleh Arya
Gajah Para. Setelah sekian lama melakukan usaha
penaklukkan akhirnya penduduk Mula dan Aga yang
menduduki wilayah Bali pegunungan berhasil dipaksa
untuk tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Untuk
menjaga keamanan wilayah taklukan, selanjutnya Arya
Gajah Para diangkat menjadi Manca Ghra di Toya Anyar.
Si Tan Kober diangkat menjadi Demung di Pacung, Si Tan
Kawur diangkat menjadi Demung di Abiansemal dan Si
Tan Mundur diangkat menjadi Demung di Cegahan.
Walaupun sudah demikian keadaannya, Sri Aji Kresna
Kepakisan masih selalu merasa, beberapa kali beliau
memohon untuk mengembalikan jabatannya sebagai
Adipati Bali kepada penguasa Majapahit karena merasa
tidak mampu menjaga Bali menjadi lebih baik.
Tetapi Mapatih Gajah Mada selalu menolak, beliau
mengirim utusan rahasia ke Bali, untuk menemui Shri Aji
Bali. Sang utusan membawa hadiah khusus dari Mapatih
Gajah Mada kepada Shri Aji Bali diistana Samprangan
berupa pakaian keadipatian dan keris pusaka yang bernama
Ki Lobar. Utusan Bali berangkat meninggalkan kota
Majapahit, dengan mepergunakan sebuah perahu, bertolak
dari pelabuhan Canggu, dari sana kemudian berlayar
menyusuri pantai arah ke timur melalui Selat Bali dan
akhirnya merapat di pantai Lebih. Kedatangan utusan itu
22
disambut dengan upacara kebesaran, seolah-olah Maha

Patih Gajah Mada sendirilah yang datang berkunjung ke
Samprangan. Segala pesan dan pemberian Gajah Mada
kemudian disampaikan kepada Sri Kresna Kapakisan.
Beliau sangat gembira menerima pakaian kebesaran itu,
apalagi dengan adanya anugerah keris Ki Lobar, yang telah
terkenal keampuhannya di Jawa.
Pada suatu hari yang baik, ketika Sri Aji Kresna Kapakisan
mengadakan persidangan di paseban, sengajalah beliau
mengenakan pakaian kebesarannya yang baru, lengkap
dengan alat-alat kebesaran keraton lainnya. Tampaklah
keagungan perbawa wajah beliau, sehingga sekalian
pembesar yang hadir kagum dan takut memandangnya,
lebih-lebih beberapa orang pemimpin Bali Aga yang
kebetulan hadir. Ketika beliau memperlihatkan Ki Lobar,
semua orang yang hadir menjadi ketakutan, karena pada
keris itu terlihat bayangan Durga yang berlutut, yang
rupanya amat dahsyat. Semenjak itu sekalian penduduk
Mula dan Aga tidak berani lagi mendurhaka kepada beliau.
Mereka menyatakan kesetiaannya untuk mengabdi kepada
Shri Aji, termasuk seluruh pengikut setia mereka.
Upaya lain untuk meredam berbagai kekacauan di Bali,
diupayakan oleh Sri Aji Kresna Kepakisan dengan
mengangkat para pemimpin berbagai wilayah di Bali
menjadi pejabat istana, diantaranya: Kyai Agung Pasek
Gelgel, Kyai Padang Subadra, Pangeran Toh Jiwa, Kyai
Pangeran Prateka, Kyai Pangeran Panataran, Kyai Lurah
Kubayan, Kyai Lurah Kubakal, Kyai Lurah Kadangkan dan
23
Kiyai Lurah Ngukuhin. Mereka berasal dari keluarga dan

keturunan Arya Bali yang mempunyai pengaruh sangat
kuat di penduduk Mula dan Aga. Pemimpin-pemimpin
inilah yang disebarkan di seluruh Bali, dengan
mendapatkan kuasa penuh dari Adipati. Mereka harus
bertanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di
tempatnya masing-masing terhadap pemerintah di
Samprangan.
Dengan pengangkatan para Arya Bali menduduki jabatan
penting pada pemerintahan Samprangan, berhasil meredam
berbagai gejolak yang terjadi. Mereka ditugaskan sebagai
pemimpin wilayah dan agama di berbagai wilayah Bali,
terutama yang berjarak jauh dari pusat pemerintahan
Samprangan. Penduduk Mula dan Aga. Shri Aji Kresna
Kepakisan lebih mendapat kehormatan setelah beliau
berhasil menyelenggarakan upacara besar di Pura Besakih
yang diyakini sebagai pusat spiritual warga Mula dan Aga
di Bali. Pangeran Nyuh Aya, putera dari Arya Kepakisan
diangkat sebagai Patih Agung, Arya Wwang Bang diangkat
menjadi Demung, Arya Kuthawaringin diangkat menjadi
Tumengung, sementara para arya yang lain diangkat
sebagai Bahu-danda atau Menteri. Laporan tertua yang
menyebutkan asal mula raja-raja Bali, sebuah teks
geografis oleh Manuel Godinho de Erédia dari Portugis
(tahun 1600), menegaskan bahwa raja-raja ini berasal dari
penguasa Blambangan di Jawa Timur, seperti termuat
dalam karya H. Hägerdal (1995), 'Bali in the Sixteenth and
Seventeenth Centuries; Suggestion for a Chronology of the
24
Gelgel Period', Bijdragen tot de Taal-, Land- en

Volkenkunde hlm. 151.
Sri Aji Kresna Kepakisan beristri dua orang, menurunkan 5
orang putera, istri pertama bernama Ni Gusti Ayu Gajah
Para merupakan putra perempuan dari Arya Gajah Para,
menurunkan 4 orang putra, masing-masing bernama: I
Dewa Agra Kepakisan, I Dewa Dimadya Kepakisan, I
Dewa Ayu Wana dan I Dewa Ketut Kepakisan.
Istri kedua beliau bernama Ni Gusti Ayu Kuta Waringin
yang merupakan putra perempuan dari Arya
Kuthawaringin, dari Ni Gusti Ayu Kuta Waringin
menurunkan seorang putra bernama: I Dewa Tegal Besung.
Kitab tua Negara Kertagama karya Mpu Prapanca ada
menyebutkan antara lain, bahwa Adipati Sri Kresna
Kapakisan pernah mengirimkan utusan ke Jawa, utusan itu
terdiri dari para Menteri terkemuka dari Bali, yang
menghaturkan berbagai persembahan, untuk menyatakan
setia baktinya mengabdi kepada raja di Majapahit. Utusan
itu diterima oleh raja Hayam Wuruk pada sebuah desa yang
bernama Tatukangan, dimana raja sedang berkemah dalam
rangka Baginda raja sedang mengadakan perjalanan
keliling di daerah-daerah di Jawa Timur pada bulan
Agustus sampai September pada tahun 1359. Hentikan
dahulu ceritanya demikian.
Sri Aji Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 Masehi,
digantikan oleh putra tertua beliau yang bernama I Dewa
Agra Kepakisan, setelah diangkat menjadi raja bergelar Sri
25
Aji Agra Kepakisan. Beliau memerintah di Samprangan

tidak terlalu lama, karena dianggap tidak cakap, para
Bahudanda memutuskan untuk mengangkat I Dewa Ketut
Kepakisan sebagai Adipati Bali dengan istana di Gelgel,
sementara istana Tarukan selanjutnya ditempati oleh para
putera dari I Dewa Tegal Besung. Sebelumnya I Dewa
Dimadya Kepakisan sudah meninggalkan Samprangan dan
membangun istana baru di Tarukan, seperti yang termuat
dalam Babad Dalem dan Babad Dalem Tarukan dan buku
De middeljavaansche historische traditië karya C.C. Berg
yang diterbitkan oleh Santpoort: Mees tahun 1927.
IV.2. Adipati Gelgel.
I Dewa Ketut Kepakisan menjadi Adipati Bali beristana di
Gelgel, berkisar antara tahun 1380-1460 bergelar Sri Aji
Semara Kepakisan, istana beliau bernama Sweca Lingga
Arsa Pura. Istana ini adalah istana Kyai Klapodyana yang
dipersembahkan kepada beliau agar berkenan dipakai
sebagai pusat pemerintahan Bali. Dalam sejarah Babad
Dalem, diceritakan bahwa Sri Aji Semara Kepakisan
menghadap ke Majapahit sebanyak dua kali dalam
rangkaian menghaturkan upeti lengkap dengan parajurit
dan para Bahudanda dibawah pimpinan I Gusti Kebon
Tubuh. Sri Aji Semara Kepakisan dalam penghadapan ke
Majapahit mendapat anugerah keris pusaka Ki Bangawan
Canggu. Saat melakukan perjalanan ke Madhura beliau
mendapat berita tentang runtuhnya Majapahit dari seorang
pendeta yang bernama Siwa Waringin yang menceritakan
dengan lengkap tentang Majapahit. Beliau juga dikisahkan
26
mendapat anugerah podgala dari wiku dari Keling yang

bergelar Bhujangga Kayu Manis.
Sri Aji Semara Kepakisan menurunkan 3 orang putra,
masing-masing bernama: I Dewa Batur Enggong, I Dewa
Kandel dan I Dewa Langlang Lawe.
IV.3. Gelgel berdaulat dari Majapahit.
Setelah Sri Aji Semara Kepakisan mangkat dan diupacara
layaknya seorang raja, kedudukan beliau dilanjutkan oleh
putranya yang bernama I Dewa Batur Enggong bergelar Sri
Aji Dalem Batur Enggong Jaya Kepakisan. Pada masa ini,
kerajaan Gelgel mencapai masa keemasan, diawali dengan
penaklukan ke Blambangan dibawah pimpinan Kyayi
Ularan, lanjut menguasai wilayah bagian timur Puger pada
tahun 1512 Masehi. Gelgel juga berhasil berkuasa terhadap
Sasak dan Sumbawa, serta menjalin persahabatan dengan
Negara tetangga. Pada masa ini pula turun ke Bali Dang
Hyang Nirartha dan Dang Hyang Astapaka yang
selanjutnya mengembangkan ajaran Siwa Sidanta dan
Bodha Paksa di Bali. Sebagai Patih diangkat Rakryan
Batanjeruk, Kyai Dawuh Bale Agung sebagai Penyarikan,
Kyai Pinatih sebagai Demung dan Kyai Kebon Tubuh
sebagai Tumenggung. Sri Aji Dalem Batur Enggong Jaya
Kepakisan menurunkan 5 orang putera, masing-masing
bernama: I Dewa Pembayun, I Dewa Anom Sagening, I
Dewa Ularan, I Dewa Ayu Mas Kuning dan I Dewa Ayu
Laksmi.
27
I Dewa Pembayun menggantikan Sri Aji Dalem Batur

Enggong menjadi raja di Gelgel dengan patih masih dijabat
oleh Kryan Batan Jeruk. Pada masa pemerintahan beliau,
terjadi banyak masalah ketata negaraan di Gelgel, diawali
dengan terbunuhnya Kriyan Telabah, dilanjutkan dengan
pemberontakan putra Kriyan Dawuh Bale Agung yang
bernama Kryan Pande, pada puncaknya terjadi
pemberontakan Kriyan Batanjeruk. Tetapi semua
pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh para
Bahudanda yang setia kepada raja, dibawah pimpinan I
Gusti Nginte, I Gusti Kubon-tubuh dan I Gusti Pinatian.
I Gusti Nginte diangkat sebagai Patih, I Gusti Pinatian dan
I Gusti Kebon-tubuh masing-masing menjabat sebagai
Demung dan Tumenggung. Merasa tidak mampu menjadi
raja yang adil, Sri Aji Dalem Pembayun memutuskan turun
tahta, selanjutnya digantikan oleh I Dewa Anom Sagening
dengan gelar Sri Aji Dalem Sagening. Pada masa
pemerintahan beliau dilakukan penyerangan ke Pasuruan
dipimpin oleh Rakryan Jelantik, serangan ini mengalami
kekalahan, Kryan Jelantik tewas karena memutuskan untuk
bertempur tanpa senjata.
Sri Aji Dalem Sagening menurunkan banyak putera, antara
lain: I Dewa Anom Pemayun, I Dewa Di-Made, I Dewa
Rani Gowang, I Dewa Karangasem, I Dewa Cau, I Dewa
Blayu, I Dewa Sumerta, I Dewa Pemeregan, I Dewa Lebah,
I Dewa Sidan, I Dewa Kabetan, I Dewa Pesawahan, I Dewa
Kulit, I Dewa Bedulu, I Dewa Anom Marga, I Gusti Panji
Sakti, I Dewa Manggis dan I Gusti Mambal Sakti.
28
Dan masih banyak lagi putera-putera beliau yang lain

tersebar istananya di berbagai penjuru pulau Bali. Sri Aji
Dalem Seganing setelah mangkat pada tahun 1665 Masehi
digantikan oleh I Dewa Anom Pemayun, beliau
mengangkat Kyai Madya Karang sebagai Patih, Kyai Lurah
Abian Tubuh, garis keturunan Arya Kuthawaringin sebagai
Mangkubhumi, Kyai Tangkas sebagai panglima dan Kyai
Brangsingha sebangai Penyarikan, mereka berdua adalah
garis keturunan dari Arya Kanuruhan. I Dewa Anom
Pemayun menurunkan 2 orang putera, masing-masing
bernama: I Dewa Anom Pemayun dan I Dewa Anom
Pemayun Di-Made.
Kebijakan dari I Dewa Anom Pemayun ini ditentang oleh
para bahudanda yang merasa tidak puas, Kriyan Maruti Di-
Made selanjutnya menggalang kekuatan dengan tujuan
menggulingkan kekuasaan raja dan mengangkat I Dewa
Dimade sebagai raja. Shri Aji Dalem Anom Pemayun lebih
memilih meninggalkan Gelgel untuk menghindari perang,
beliau membangun istana di Purasi, turut serta para putra
dan kerabat serta para bahudanda yang setia. Ida I Dewa
Dimade diangkat menjadi raja dengan gelar Sri Aji Dalem
Dimade, beliau menurunkan 11 orang putra, masing-
masing bernama: I Dewa Agung Pemayun, I Dewa Agung
Jambe, I Dewa Pecekan, I Dewa Budi, I Dewa Bukian, I
Dewa Tampuagan, I Dewa Gianyar, I Dewa Batan
Nyambu, I Dewa Ketut Linggasana, I Dewa Anom Di-
Made dan I Dewa Lelukung.
29
Kriyan Maruti menjabat sebagai Patih, Kriyan Di Ler

sebagai Tumenggung, masa ini adalah saat paling suram
dalam tata pemerintahan Gelgel, karena Kryan Maruti
diberikan kekuasaan sangat besar, satu per satu para
bahudanda memilih untuk meninggalkan Gelgel dan
membangun istana di tempat lain, hal itu menyebabkan
kekuasaan raja sangat terbatas. Titik puncaknya adalah
perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Patih Kriyan
Maruti berhasil berkuasa penuh terhadap istana Gelgel.
Dalem Dimade selanjutnya mengungsi dari Gelgel dan
membangun istana di Guliang, turut serta para isteri dan
putra-putra beliau.
Kriyan Maruti atau Angelurah Agung atau I Gusti Agung
Di Made atau I Gusti Agung Maruti, garis keturunan
Nararya Kresna Kepakisan berkuasa di Gelgel. Setelah
memproklamirkan diri sebagai Raja Gelgel beliau
mengangkat Kyai Dukut Kerta sebagai Patih. Dengan
kemampuan diplomasi tinggi beliau menjalin hubungan
dengan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC
dari tahun 1665 hingga tahun 1667 Masehi. Sepanjang
pemerintahannya wilayah Bali menjadi tidak stabil,
wilayah-wilayah bawahan seperti Buleleng, Bangli,
Badung, Jembrana, Tabanan, Gianyar, Karangasem tidak
bersedia mengakui kekuasaannya dan berupaya melepaskan
diri dengan membentuk pemerintahan sendiri atau
Rajadoms.
I Dewa Agung Jambe, putra dari Ida Dalem Dimade di
Guliang bersiap untuk merebut kembali kotaraja Gelgel
30
dari kekuasaan I Gusti Agung Maruti. Beliau mendapat

dukungan dari para bahudanda yang setia, seperti: I Gusti
Lurah Abian Tubuh-Kuthawaringin, I Gusti Madya
Karang-Kuthawaringin, Sri Agung Gede Ngurah, putra dari
Ida Dalem Anom Pemayun di Sidemen, I Gusti Tangkas
Bias, I Gusti Brangsinga.
Raja Buleleng, I Gusti Panji Sakti, raja Badung I Gusti
Jambe Pule dan penguasa Karangasem, I Gusti Sidemen
mendukung dengan masing-masing mengerahkan parajurit
dalam jumlah besar. Tahun 1704 Masehi dilakukan
serangan serentak ke kotaraja Gelgel dari berbagai penjuru.
Kekuatan parajurit I Gusti Agung Maruti menyelamatkan
diri menuju Kara-Mas setelah kekuatan parajuritnya
hancur. Perang ini memakan banyak korban dari kedua
belah pihak dan istana Gelgel porak poranda.
I Dewa Agung Jambe lebih memilih membangun istana
dan pusat pemerintahan disebelah utara Gelgel, setelah
selesai diberi nama Smara Pura. Beliau menjadi raja
Klungkung pertama dengan gelar I Dewa Agung Jambe,
abhiseka pada tahun 1710 Masehi. I Gusti Lurah
Abiantubuh diangkat menjadi patih, berkedudukan di
Pekandelan, I Gusti Madya Karang sebagai Demung
berkedudukan di Lebu, Tumenggung Dijabat oleh I Gusti
Brangsinga dan Panglima dijabat oleh I Gusti Tangkas,
masing-masing membangun istana kepatihan disekitar
kotaraja Semara Pura Klungkung.
31
I Dewa Agung Jambe menurunkan 3 orang putra, masing-

masing bernama: I Dewa Agung Made, I Dewa Agung
Anom Sirikan dan I Dewa Agung Ketut Agung.
Selanjutnya I Dewa Agung Made diangkat menjadi Yuwa-
Raja di Smjara-Pura, I Dewa Agung Anom Sirikan
membangun puri di Timbul, sedangkan I Dewa Agung
Ketut Agung diangkat menjadi pemimpin di Gelgel.
Dihentikan kisahnya di Kota-Raja Klungkung dengan I
Dewa Agung Jambe sebagai junjungan para Manca-Ghra
yang tersebar beristana di pulau Bali dan Lombok.
32
BAB V
SENTANA WWANG BANG
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sentana
memiliki arti kaum kerabat raja atau orang yang lahir pada
keluarga bangsawan. Kata Wwang berarti bebas orang
yang mempunyai sifat utama atau menjadi teladan orang
lain, sementara Bang berarti merah, Api identik dengan
Dewa Brahma yang menurut kepercayaan Hindu adalah
manifestasi Tuhan dalam tugas sebagai pencipta. Ciptaan
Beliau dikenal dengan gelar Brahma-na atau putra Brahma.
Tentu saja yang pantas menyandang gelar Brahma-na
adalah manusia yang lahir dan memiliki atau menjadikan
sifat-sifat utama Brahma sebagai acuan dalam
kehidupannya. Para Bangsawan dan Pendeta utama pada
masa tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Hindu
di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali dan Lombok diakui
dan diyakini sebagai Brahma-na. Bukan saja dari garis
kerturunan beliau, tetapi lebih menitik beratkan pada
prilaku dan karya-karya besar yang beliau hasilkan selama
di dunia. Beliau selanjutnya dikenal sebagai Sentana
Wwang Bang yang artinya manusia keturunan Brahma
yang memiliki sifat-sifat utama.
Kini dikisahkan kembali, salah seorang dari sentana
Wwang Bang yang tersohor pada masa kerajaan Kahuripan
adalah Mpu Baradah atau Mpu Bradah yang berasrama di
Lemah Tulis.
33
Serat Calon Arang dan Negarakertagama memuat tentang

nama beliau sebagai Pendeta kerajaan Kahuripan, sebagai
guru kerohanian Raja Airlangga yang memerintah antara
tahun 1019 hingga 1042 Masehi, bergelar Sri Maharaja
Rakai Halu Sri Loke Swara Dharma Wangsa Airlangga
Ananta Wikramo Tungga Dewa. Mpu Bradah datang ke
Bali berjumpa dengan Mpu Kuturan pada masa
pemerintahan Raja Anak Wungsu pada tahun 1042 Masehi.
Pada saat kerajaan harus dibagi menjadi 2 bagian untuk
masing-masing putera Airlangga, Mpu Bradah menetapkan
batas-batas wilayah kedua Negara pecahan Kahuripan yaitu
Kediri dan Jenggala. Airlangga selanjutnya turun tahta dan
menjadi pertapa dengan nama Rsi Gentayu atau Rsi Aji
Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana, seperti
termuat dalam Babad Tanah Jawi dan Prasasti Gandhakuti,
dikuatkan dengan hasil penelitian J.G de Casparis yang
berjudul Airlangga, The Threshold of the second
millennium.
Mpu Bradah di Lemah Tulis, menurunkan 3 orang putera,
masing-masing bernama: Mpu Siwagandu, Ni Dyah
Wedawati dan Mpu Bahula Candra.
Mpu Siwagandu tidak diceritakan lebih lanjut, juga Ni
Dyah Wedawati tidak diceritakan lebih lanjut. Mpu Bahula
Candra dikisahkan dalam kutipan Babad Pasek
menurunkan 5 orang putera dari Ni Dyah Ratna Mangali,
kelima putera itu antara lain: Mpu Wira Angsoka atau Mpu
Tantular menjadi penasehat Majapahit di Jawa, Ni Dewi
Dwaranika, Ni Dewi Adnyani (Menjadi isteri Mpu Sweta
34
Wijaya, putra dari Mpu Kananda), Ni Dewi Amrtajiwa dan

Ni Dewi Amrtamanggali.
Mpu Wira Angsoka atau Mpu Tantular atau Mpu
Wiranatha diperkirakan menjadi Pujangga Sastra Jawa
sejaman dengan pemerintahan Raja Rajasa Nagara atau
Hayam Wuruk pada tahun 1350 hingga 1389 Masehi.
Nama Mpu Tantular sangat terkenal karena karya-karyanya
menjadi sumber inspirasi hingga saat ini. Mpu Tantular
berarti Beliau Yang Pandai dan Tidak Terpengaruhi. Mpu
artinya Seorang yang pandai, Tan artinya Tidak, Tular
artinya Terpengaruhi. Beliau adalah seorang penganut
Budha tetapi berpikiran sangat terbuka, seperti yang
termuat dalam berbagai karyanya. Dalam terjemahan bait
147.1 kakawin Sutasoma tertulis:
“Demikianlah akhir gubahan kisah Boddhacarita yang
istimewa ini
Diuntai menjadi kakawin yang indah oleh kawi yang
ber-parab Mpu Tantular
Dan termashur dengan judul Purusadasanta yang akan
selalu diingat orang
Dirgahayulah yang sudi mendengarkannya, membaca
dan menyalinnya.”
Nyatalah beliau Mpu Tantular yang memiliki kepandaian
maha tinggi menulis sebuah kisah Boddhacarita.
35
V.1. Mpu Sidhimantra.

Mpu Tantular menurunkan 4 putera, masing-masing
bernama: Mpu Panawasikan, Mpu Smaranatha, Mpu
Sidhimantra dan Mpu Kepakisan.
Tidak diceritakan lebih lanjut tentang Mpu Panawisakan,
Mpu Smaranatha dan Mpu Kepakisan. Diceritakan Mpu
Sidhimantra atau Mpu Bekung dengan kekuatan tapanya
berputera Ida Bang Manik Angkeran, karena sebuah
kesalahan terhadap Hyang Basukih, diperintahkanlah
beliau, Ida Bang Manik Angkeran sebagai Juru Sapuh di
Pura Besakih dan tidak diperkenankan pulang ke Jawa.
Dalam Lontar Tattwa Mpu Sidhimantra, koleksi Jero
Tapean Klungkung disebutkan Ida Bang Manik Angkeran
menurunkan 2 orang putera, masing-masing bernama: Ida
Wwang Bang dan Ida Tegeh.
Sementara menurut buku Siddhimantra Tattwa koleksi
Mahakerta warga Dang Hyang Bang Manik Angkeran
Siddhimantra Pusat, Provinsi Bali tidak diceritakan putera-
putera Ida Bang Manik Angkeran yang lain. Babad Arya
Bang Pinatih menyatakan dalam kisahnya Ida Bang Manik
Angkeran berputera 3 orang, masing-masing bernama:
Sang Bang Banyak Wide, beribu dari puteri Ki Dukuh
Belatung, Ida Tulus Dewa, beribu putri dari Kendran dan
Ida Bang Kaja Kawuh atau Ida Bang Wayabya beribu dari
putri Ki Pasek Wayabya.
36
Namun dalam Babad Manik Angkeran disebutkan selain

ketiga putera diatas, sebelum beliau moktah ada lagi putera
beliau yang keempat bernama Sira Agra Manikan beribu
dari Ni Luh Canting yang merupakan puteri dari Ki Dukuh
Murthi. Juga sumber lontar yang tersimpan di Pura Botoh
di Banjar Antap, Panjer Denpasar menyebutkan nama Sira
Agra Manikan sebagai putera dari Ida Bang Manik
Angkeran. Dari data pribadi Tim Purana Wwang Bang
Pinatih, Puri Bun Saibang Srijati menyebutkan bahwa Ida
Bang Banyak Wide atau Sira Arya Wiraraja menyunting
Gusti Ayu Pinatih yang merupakan puteri tunggal dari Ki
Arya Buleteng yang selanjutnya menurunkan Sira Bang
Bagus Pinatih atau Sira Ranggalawe. Dilanjutnya kemudian
kisahnya Sira Bagus Pinatih atau Sira Ranggalawe
memperistri Dyah Dewi Amerta Raga Tirtawati yang
merupakan puteri dari Kyai Peladongan. Dari perkawinan
itu lahir putera beliau diberi nama Sira Kuda Ajampiani.
Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat dewasa,
karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga
putranya itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat
berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena
segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya berisikan
Kadharman serta Kabijaksanaan semata. Isi dari Sang
Hyang Kamahayanikan, Sang Hyang Sarasamuscaya dan
Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni dan dilaksanakan.
Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga
Utama. Selain dengan memberikan nasehat kepandaian,
kebijaksanaan kepada para putera itu, Sang Pendeta juga
37
sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan

nasehat dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan
kepada masyarakat banyak, itu sebabnya, kelak di
kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-
pura sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
Setelah dewasa Sira Agra Manik diperintahkan oleh
ayahandanya menuju ke Besakih guna menghaturkan
Lawangan Agung. Keturunan dari keempat putera beliau
ini dikenal dengan nama Catur Warga.
Setelah sekian lama waktu berlalu, tibalah waktu Ida Bang
Manik Angkeran moksah menuju sunia, ada bhisama beliau
kepada putera-puteranya yang berbunyi agar semua
keturunan dari Bang Banyak Wide, Bang Tulusdewa, Bang
Wayabya dan Agra Manikan selalu bersatu dalam ikatan
persaudaraan, saling bantu dan ingatkan satu dengan yang
lainnya, susah senang agar senantiasa bersama. Patut ingat
dan bakti kepada Bhatara Kawitan, lebih-lebih bakti kepada
Ida Bhatara yang berlingga di Besakih.
Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh
para putranya bertiga. Pada hari yang baik, beliau
kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi
Moksa atau tingkatan moksa yang utama, diiringkan oleh
isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan bhakti
kepada beliau. Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal
oleh ayah serta bundanya, namun demikian masyarakat
sewilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena
ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu.
38
Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri
kepada saudaranya berdua, untuk berangkat menuju ke
pulau Jawa, menghadap kepada kakeknya yang bernama
Ida Dang Hyang Siddhimantra. Diceriterakan perjalanan
Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa,
perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang
yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia.
Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah
diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih
jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya,
tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan
hambatan di jalan.
Sesampainya di Jawa, Sang Banyak Wide bertemu dengan
Mpu Sedah yang menceritakan tentang Dhang Hyang
Sidhimantra yang sudah berpulang ke alam nirwana.
Setelah sekian lama bertutur ajaran suci, berkenan
kemudian Mpu Sedah mengangkat Ida Bang Banyak Wide
sebagai putera beliau, diajari berbagai pengetahuan tentang
ajaran Siwa Paksa. Setelah mahir dalam berbagai ajaran
suci, Ida Bang Banyak Wide menyunting I Gusti Ayu
Pinatih yang merupakan puteri dari Ki Patih Arya
Buleteng. Pernikahan itu disetujui oleh Arya Buleteng
karena Ida Bang Banyak Wide bersedia menjadi penerus
generasi Arya sampai dengan seluruh keturunannya
kemudian. Berkaitan dengan perubahan setatus Ida Bang
Banyak Wide dari Brahmana menjadi wangsa Arya, ada
bhisama dari Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide,
antara lain;
39
Sloka:
Wredhanam kretanugraham, jagadhitam purohitam,
wacanam wara widyanam, brahmanawangsatitah,
Siwatwam, pujatityasam, trikayam pansudham, kayiko,
waciko suklam, manaciko sidha pumam. Puranam
tatwam tuhwanam, silakramam, sirarya pinatyam
maho, witing kunam purwa Daham
Karena kehendak Hyang Kuasa terjadilah perubahan
wangsa itu, tetapi Mpu Sedang mengingatkan Ida Bang
Banyak Wide agar selalu mempelajari aturan Sidhikarana.
Mpu Sedah juga menganugrahi Sang Bang Banyak Wide
sebuah keris pusaka bemama Ki Brahmana, seperangkat
Siwapakarana sebagai peralatan pemujaan seorang pendeta
dan berbagai pustaka weda, agar dipuja, sebagai pusaka
yang berkedudukan bagaikan kawitan-leluhurnya, sebagai
perlambang jati diri seorang Arya Bang Pinatih, yang
berasal dari brahmana dahulunya. Ada nasehat Mpu Sedah
juga untuk seluruh keturunan Arya Wwang Bang, agar
paham tentang Filfasat Kedharman, selalu kokoh
melakukan tapa yoga brata, memiliki ilmu pengetahuan
yang berguna, pandai akan ilmu kerohanian, serta selalu
mengupayakan ketrentraman, menganut prilaku Brahmana
Wangsa, dapat didiksa, menjadi pendeta maharesi.
V.2. Bhisama Kepatian.
Ada pula anugerah beliau, jika suatu ketika ada yang tahu
tentang siapa yang membawa pusaka, menyucikan diri
sanak saudara kelak, dan bila sesudah meninggal, bilamana
40
sanak saudara yang telah menyucikan diri meninggal, jika

melakukan upacara atiwa-tiwa palebon, berhak memakai
sarana upacara seperti seorang brahmana lepas, berhak
memakai Padmasana, serba putih, serta segala sarana
upacara layaknya sang wiku.
Bila yang meninggal belum menjadi wiku, tetapi sudah
memperoleh kebahagiaan dunia dengan memegang
kekuasaaan serta memiliki banyak rakyat, berhak memakai
bade bertumpang 9, petulangannya lembu, semua sarana
yang dipakai ksatriya, kecuali naga bandha, berhak
dipakainya. Serta bila berpulang dan mengadakan upacara
atiwa-tiwa atau pitra yadnya, berhak mempergunakan bade
tumpang 7, serta sarananya, demikian yang berlaku pada
Arya Pinatih.
Prihal keadaan kacuntakan bagi Ki Arya Pinatih, jika
meninggal bayi belum kepus pungsed, cuntakanya 7 hari,
jika meninggal bayi sesudah kepus pungsed, cuntakanya 11
hari, namun belum tanggal gigi. Jika ada yang meninggal
sudah dewasa, remaja atau sudah tua, cuntakanya satu
bulan 7 hari.
Dalam hal bersanak-saudara, jika ada orang luar desa
datang, berkehendak untuk ikut menyungsung atau
menyembah Sang Hyang Kawitan Ki Brahmana serta
Siwopakarananya, mengaku Sira Arya Pinatih, walaupun
orangnya nista madhya utama, hendaknya jangan tergesa-
gesa, perhatikan dahulu, jikalau tidak mau anapak
sahupajanjian Sang Hyang Kawitan, berarti bukanlah
41
saudara. Jika dia mau anapak Sang Hyang Kawitan

walaupun nista, madya utama, sungguh dia bersanak
saudara, dan berhak ikut menyungsung bersama Bhatara
Kawitan, walaupun jauh tempat tinggalnya. Serta sanak
saudara Arya Pinatih tidak boleh anayub dewagama lawan
patunggalan dadya, jika melanggar nasehat ini, hala
tunggal, hala kabeh atau satu menemui celaka, semuanya
celaka. Serta kemudian tidak bisa disupat Sang Hyang
Rajadewa Kawitannya, oleh Pendeta Rsi Siwa Budha, serta
jika melanggar seperti bhisama ini.
Om Ang medhalong, Ang Om mepatang, Ang Ung
Mang ti sudha Om Nrang Om.
Semuanya paras paros, wetu tunggal, demikian pahalanya,
jangan tidak periksa.
Kukuhkan diri dalam mengamong kawitan, serta kukuh
seperti nasehat tersebut. Setelah upacara megah yang
diadakan di Daha, berkaitan dengan upacara pernikahan
tersebut, lahir kemudian seorang putera Ida Bang Banyak
Wide, sehat dan tampan rupanya, diberi nama Ida Bang
Bagus Pinatih. Setelah dewasa Ida Bang Bagus Pinatih
menurunkan seorang putera yang bernama Ida Bagus
Pinatih, juga dikenal dengan nama Pangeran Angelurah
Pinatih. Para pembesar di Daha mengenal putra Ida Bang
Bagus Pinatih dengan sebutan Sira Kuda Anjampiani. Di
Majapahit Sira Kuda Anjampiani setelah dewasa
dianugrahi kedudukan sebagai pejabat dengan gelar Kyai
Agung Pinatih Mantra pada tahun 1295 Masehi.
42
V.3. Kyai Angelurah Pinatih Mantra di Kerthalangu

Pada penaklukan Bali oleh Majapahit, menurut data pribadi
Tim Purana Wwang Bang Pinatih Bun di Puri Bun Saibang
Srijati, Sira Kuda Anjampiani sebagai wakil dari Ki Arya
Buleteng diberikan wilayah kemancaan Samprangan di
Kerthalangu dengan gelar Kyai Angelurah Pinatih Mantra.
Diceriterakan selanjutnya Kyai Angelurah Pinatih Mantra,
diberikan tempat tinggal di Kerthalangu, Badung,
menguasai kawasan Pinatih serta diberikan memegang bala
sejumlah 35.000 orang, yakni mereka yang merupakan
rakyat dan Senapati Arya Buleteng. Ida Dalem Ketut
Kresna Kepakisan sudah berusia senja kemudian di
Samprangan beliau wafat berpulang ke Cintyatmaka pada
saat Mangrwa Wastu Simna Pramananing Wang atau tahun
Saka 1302, tahun Masehi 1380. Beliau diganti oleh
putranya Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Dalem
Smara Kepakisan.
V.4. Kyai Anglurah Agung Pinatih Kertha.
Diceriterakan Kyai Anglurah Pinatih Mantra, memiliki
putra laki seorang, bernama Kyai Anglurah Agung Pinatih
Kertha atau I Gusti Anglurah Agung Pinatih Kejot, Pinatih
Tinjik atau I Gusti Agung Pinatih Perot.
Beliaulah yang dikenal menyerang serta mengalahkan
kawasan Bangli Singharsa sewaktu pemerintahan Ngakan
Pog yang menjadi Manca di sana, sesuai dengan perintah
Ida Dalem Ketut Ngulesir atau Ida Dalem Smara
43
Kepakisan yang menjadi penguasa tahun 1380 sampai

dengan 1460 Masehi. Kyayi Anglurah Pinatih Mantra
sudah tua, kemudian berpulang ke sorgaloka, digantikan
kedudukan beliau oleh putranya yang bernama Kyai
Anglurah Pinatih Kertha Kejot. Beliau menurunkan 3 orang
putra purusha, masing-masing bernama: Ki Gusti Anglurah
Pinatih Resi, Ki Gusti Anglurah Made Bija dan I Gusti Gde
Tembuku.
Ketiga putra beliau dikenal sangat sakti dan bijaksana, tahu
tata cara bersaudara yang baik, hormat dan bakti kepada
yang lebih tua, saying dan penuh kasih kepada yang lebih
muda.
V.5. Kyai Anglurah Made Bija
Diceriterakan kemudian, Kyai Anglurah Made Bija sudah
mempunyai putra, namun kakaknya I Gusti Anglurah
Pinatih Rsi belum beristeri. Para putra Gusti Anglurah
Made Bija masing-masing bernama: I Gusti Putu Pahang, I
Gusti Mpulaga atau Pulagaan, I Gusti Gde Tembuku, I
Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti Nyoman Bija Pinatih dan I
Gusti Ketut Blongkoran.
I Gusti Bija Pulagaan, sesuai perintah Ida Dalem Ketut
Smara Kapakisan kemudian menjadi Manca di kawasan
Singharsa Bangli sejak tahun Masehi 1453 Masehi.
V.6. I Gusti Ngurah Pinatih Rsi
Dikisahkan putera pertama dari Kyai Anglurah Pinatih
Kertha yang bernama I Gusti Ngurah Pinatih Rsi
44
memperistri Ida Ayu Puniawati yang merupakan keturunan

dari Ida Bang Tulus Dewa di Besakih. Dari pernikahan itu
beliau dianugrahi putera 3 orang, masing-masing bernama:
Kyai Angelurah Agung Pinatih, Kyai Angelurah Made
Sakti dan I Gusti Ayu Nilawati.
Wilayah kertalangu diperintah oleh 2 orang bersaudara,
kakak beradik, Kyai Angelurah Agung Pinatih dan Kyai
Angelurah Made Sakti.
V.7. Kemelut di Badung.
Kembali dikisahkan di Kerthalangu, selama kurun waktu
yang sangat lama, daerah Kerthalagu dikuasai dan dipimpin
oleh dua bersaudara Ki Gusti Angelurah Pinatih Rsi dan Ki
Gusti Angelurah Made Bija. Keadaan Kerthalagu aman dan
setosa, kehidupan rakyat damai karena keamanan yang
terpelihara dengan baik. Terjadilah jalinan kekeluargaan
antara Arya Bang Pinatih dan Arya Bang Sidemen di
Besakih, melanjutkan jalinan persaudaraan mereka
sebelumnya antara Ki Arya Bang Penataran dan Ki Arya
Bang Pinatih. Ida Bang Wayabya karena suatu hal
kemudian meninggalkan Besakih untuk menuju wilayah
jauh yang akan diceritakan nantinya.
Kini dikisahkan pada masa pemerintahan Sri Aji Dalem
Sagening di Gelgel, penguasa Badung yang bernama Ki
Arya Kenceng memohon seorang putera Sri Aji Dalem
Sagening di istana Gelgel agar berkenan sebagai penguasa
di Badung. Dengan pertimbangan yang matang Sri Aji
Dalem Sagening mengutus puteranya yang masih muda
45
bernama I Dewa Manggis Kuning untuk pergi ke Badung

sebagai anugerah kepada Ki Arya Kenceng dan rakyat
Badung. Sesudah diberi tempat di Badung, sangat disayang
oleh Ki Arya Kenceng, disebabkan karena ketampanan
rupa dan tutur katanya Dewa Manggis Kuning menjadi
pusat perhatian diantara para bangsawan Badung, terutama
para wanitanya.
Hal yang demikian menimbulkan kesalahpahaman antara
para pengikut Ki Arya Kenceng dan I Dewa Manggis
Kuning, diakibatkan jatuh cintanya calon menantu Ki Arya
Kenceng yang bernama I Gusti Ayu Nilawati kepada I
Dewa Manggis. Padahal sebelumnya puteri Kyai
Angelurah Agung Pinatih Rsi ini sudah dipertunangkan
dengan putera dari Ki Arya Kenceng. Hal demikian
membuat Ki Arya Kenceng sangat sedih dan berduka,
karena beliau mendengar kabar burung aka nada usaha
yang dilakukan oleh para pengikutnya untuk membunuh I
Dewa Manggis Kuning secara halus.
Kyai Anglurah Pinatih Resi yang mendengar bahwa
kedudukan Dewa Manggis Kuning terancam, kemudian
menyusun siasat untuk menyelamatkan putera Dalem dari
Badung, dengan menyamar sebagai seorang wanita Kyai
Anglurah Pinatih Resi berhasil membawa I Dewa Manggis
Kuning keluar dari Badung menuju Beng Gianyar, ikut
juga dalam pelarian itu puteri beliau yang bernama I Gusti
Ayu Nilawati dan beberapa pengiring. Kini kembali
diceritakan di daerah Kerthalangu setelah pelarian I Dewa
Manggis, Kyai Anglurah Pinatih Rsi sudah berusia lanjut,
46
kemudian berpulang ke Sorgaloka, demikian juga Kyai

Anglurah Made Bija, juga sudah meninggalkan mangkat.
Kyai Anglurah Pinatih Rsi kemudian digantikan oleh
puteranya memegang kekuasaan, yang bernama sama
dengan ayahandanya yakni I Gusti Anglurah Agung Gde
Pinatih Rsi disertai oleh adiknya I Gusti Anglurah Made
Sakti Pinatih, didampingi oleh paman beliau dari para putra
Kyai Anglurah Made Bija seperti: I Gusti Gde Tembuku, I
Gusti Putu Pahang, I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti
Nyoman Bija Pinatih, I Gusti Nyoman Pulagan, I Gusti
Tembuku dan I Gusti Ketut Blongkoran.
Banyak memang keturunan Ki Arya Pinatih ketika
beristana di Kerthalangu, tidak bisa dihitung jumlahnya.
V.8. Rereg Kerthalangu.
Semasa pemerintahan beliau berdua tidak ada musuh yang
berani menentang, karena beliau sangat perwira dan
dicintai oleh rakyatnya, semuanya besembah sujud, serta
tentram wilayah itu semasa kekuasaan Kyai Angelurah
Agung Pinatih dan Kyai Angelurah Made Sakti. Lama
beliau berkuasa di kawasan Kerthalangu yang menjadi
tertib, dikenal daerahnya kemudian dengan nama Pinatih,
sebab wangsa Arya Pinatihlah yang memegang kekuasaan
disana.
Setelah sekian lama berkuasa dan mukti kewibawaan, Kyai
Anglurah Gde Pinatih mempunyai banyak putera, masing-
masing bernama: I Gusti Ngurah Tembawu, I Gusti Ngurah
Kapandeyan, I Gusti Ayu Tembawu, I Gusti Bedulu, I
47
Gusti Ngenjung, I Gusti Batan, I Gusti Abyannangka, I

Gusti Miranggi, I Gusti Celuk, I Gusti Arak Api, I Gusti
Ngurah Anom Bang, I Gusti Ayu Pinatih dan I Gusti
Balangsingha.
Adik beliau I Gusti Ngurah Anglurah Made Sakti
menurunkan 5 orang putera, masing-masing bernama: I
Gusti Putu Pinatih, I Gusti Ngurah Made Pinatih, I Gusti
Ngurah Anom, I Gusti Ngurah Mantra dan I Gusti Ngurah
Puja
Saudara sepupunya, I Gusti Putu Pahang menurunkan 4
orang putera, masing-masing bernama: I Gusti Putu
Pahang, I Gusti Made Pahang, I Gusti Ayu Pahang yang
kemudian diambil oleh I Dewa Manggis Kuning dan I
Gusti Nyoman Pahang.
Pada suatu masa datang berkunjung Ki Dukuh Pahang atau
Dukuh Sakti menghadap I Gusti Anglurah Pinatih,
menceritakan tentang niatnya untuk pamit kepada I Gusti
Anglurah Pinatih guna kembali ke alam nirwana. Karena
sebenarnya Ki Dukuh Pahang seorang yang memiliki
pengetahuan yang tinggi, ahli dalam ilmu sastra yang maha
utama, sangat paham tentang Catur Kamoksan atau jalan
Moksa yang empat, serta falsafah menuju kematian atau
Tattwa Pati. I Gusti Anglurah Pinatih meragukan ilmu
kemoksan yang dimiliki oleh Ki Dukuh Pahang, sampai
beliau mengolok-olok Ki Dukuh mengatakan akan berhenti
menjadi penguasa di Kertalangu apabila Ki Dukuh benar-
benar moksah.
48
Ki Dukuh Pahang menyayangkan sekali sesumbar I Gusti

Anglurah Pinatih dan menjelang beliau moksah ada kutuk
yang beliau ucapkan kepada sang penguasa Kertalagu, agar
keturunannya kelak banyak yang turun wangsa dan
kedudukan beliau agar dirusak oleh semut.
Demikianlah kemudian Ki Dukuh Sakti Pahang benar-
benar moksah pada hari yang ditetapkan, meninggalkan
alam fana tanpa meninggalkan jasad beliau. Kutuk dari Ki
Dukuh Sakti Pahang terjadi seperti yang diucapkan, karena
diserang semut I Gusti Anglurah Pinatih dan seluruh
anggota keluarga meninggalkan puri menuju Dalem
Peninjoan, tetapi masih juga diganggu semut dengan
jumlah yang sangat banyak, sehingga memaksa beliau
untuk meninggalkan wilayah Dalem Peninjoan menuju
wilayah sebelah timur sungai Ki Bali Hamed, I Gusti
Tembawu dan I Gusti Ngurah Kepandeyan memutuskan
untuk tetap tinggal di Intaran, Ki Bali Hamed ditugaskan
sebagai penjaga Pura Dalem Peninjoan sampai dengan
keturunannya kemudian.
V.9. Penyebaran Warga Wwang Bang Pinatih.
I Gusti Anglurah Pinatih kemudian menuju Giriya dari Ida
Pedanda Gede Bandesa dan Ida Pedanda Gede Abian
memohon tempat tinggal bersama seluruh rakyatnya, penuh
sesak daerah pinggiran Sungai Biaung, karena baktinya I
Gusti Anglurah Pinatih menghaturkan rakyat sebanyak 60
kepala keluarga kepada kedua wiku tersebut, mereka
kemudian ditempatkan di daerah Tangtu, semua handal dan
49
pemberani, diantaranya bernama Ki Bandesa Kayu Putih,

Ki Bandesa Macan Gading dan I Kayu Selem.
Wiku berdua ini kemudian menggerakkan rakyatnya untuk
membangun Pura Dalem Kadewatan, Puser Tasik, Batur
dan Kentel Gumi, untuk wilayah Padanggalak. Ditempat ini
beliau masih juga diburu semut yang memaksa beliau
meninggalkan daerah itu menuju Alas Intaran daerah tepian
laut yang dinamakan Ajumeneng. Karena merasa terancam
hidupnya banyak diantara para pengikut I Gusti Anglurah
Pinatih meninggalkan Ajumeneng berpencar di daerah-
daerah yang dianggap aman seperti Kepisah, Pedungan,
Tegal, Glogor Carik dan Seminyak. Disana mereka
membangun pemukiman turut serta para keluarga dan
kerabat setelah mohon ijin kepada I Gusti Anglurah
Pinatih.
Dengan perasaan yang penuh penyesalan karena sudah
berkata-kata kasar kepada Ki Dukuh Pahang dahulu
sehingga terkena kutuk, I Gusti Anglurah Pinatih
memutuskan untuk meninggalkan daerah Ajumeneng
menuju Blahbatuh, berpencar semua putra dan saudara
beliau, I Gusti Ngurah Anom Bang memutuskan untuk
tinggal di kediaman Ki Karang Buncing setelah mengambil
putri Ki Karang Buncing sebagai istri. I Gusti Blasingha
pergi mengelana tanpa tujuan yang pasti dengan membawa
serta pusaka dan pariagem leluhur.
Setelah sekian lama bermukim di Blahbatuh I Gusti
Anglurah Pinatih sempat beberapa saat bermukim di Kapal,
50
tetapi karena tempat yang sempit, beliau kemudian

mengutus I Gusti Tembuku, I Gusti Putu Pahang serta I
Gusti Jumpahi untuk mencari tempat bermukim dan
membuat puri. Atas petunjuk ketiga utusan yang dikirim,
akhirnya I Gusti Anglurah Pinatih memutuskan untuk
membuat pemukiman di Huruk Mangandang atau Pucung
Bolong, di bagian utara berbatasan dengan kekuasaan
Dewa Gede Oka penguasa Tamanbali dengan batas timur
Sungai Melangit.
Setelah selesai upaya membuat pemukiman I Gusti
Anglurah Pinatih memerintahkan para pengikutnya untuk
membangun Pura Dalem Agung, dan Mrajan Agung
Pinatih di wilayah utara daerah Huruk Mangandang,
setelah sekian lama bermukim disana Mrajan Agung
Pinatih diubah namanya menjadi Pura Penataran Agung
Pinatih, daerah Huruk Mangandang berubah nama menjadi
desa Tulikup hingga sekarang.
Diceritakan tentang I Gusti Ngurah Anom Bang, menantu
dari Ki Karangbuncing, setelah berputera di Blahbatuh dan
masih memakai pungkusan Pinatih memutuskan pindah ke
Batubulan setelah beberapa lama kemudian beliau
menikahi putri dari I Dewa Batusasih, menurunkan 6
orang putera, masing-masing bernama: I Gusti Putu Bun, I
Gusti Made Bun yang kemudian pindah Lodtunduh, I Gusti
Putu Bija Karang pindah ke Peliatan, I Gusti Bija Karang
ke Krobokan, I Gusti Bawa pindah ke desa Dawuh Yeh, I
Gusti Bija pindah ke desa Dangin Yeh dan I Gusti Bawa
51
pergi tanpa arah tujuan ke arah barat Er Uma membangun

sanggar-kabuyutan yang bernama Pura Lung Atad.
Ada juga sanak saudara beliau yang berpindah tempat
menuju kawasan Gelgel, ada yang ke Karangasem berdiam
di Bebandem. Hentikan dahulu. Di wilayah Penatih ada
masih tersisa keturunan Pinatih yang merupakan putera dari
Ki Arya Bang Pinatih yang bernama I Gusti Ketut Bija
Natih menurunkan putera dengan nama Ketut Bija Natih
menjadi pemangku di Pura Dalem Kerthalangu, beliau
menurunkan banyak putera yang menyebar ke wilayah
Bukit, Jimbaran, Ungasan serta Umadwi.
Kini diceritakan Kyai Anglurah Agung Pinatih dan Kyai
Ngurah Made Sakti membagi dua rakyat dan pusaka-
pusaka, masing-masing mendapat bagian, antara lain
sebagai berikut: Kyai Angelurah Agung Pinatih
mendapatkan setengah dari rakyat beliau beserta Keris Ki
Brahmana serta tombak yang bernama I Barugudug. Kyai
Ngurah Made Sakti mendapat bagian setengah rakyat dan
segala perlengkapan pemujaan atau Siwapakarana juga
pustaka-pustaka suci.
Setelah pembagian itu selesai, Kyai Anglurah Agung
Pinatih bersama seluruh rakyat berangkat menghadap
Dalem Bali melaksanakan perintah Dalem yang
disampaikan oleh Cokorda Panji Nyalian. Kyai Ngurah
Made Sakti diiringi semua rakyat beliau memutuskan untuk
mengungsi menuju barat sampai di Jenggalabija. I Gusti
Gede Tembuku juga meninggalkan Tulikup menuju desa
52
Buruan kemudian ke desa Peliatan sampai akhirnya

berdiam di Tebesaya. I Gusti Made Pahang tetap berpuri di
Tulikup, I Gusti Putu Pahang pindah dari Tulikup menuju
desa Jagapati, I Gusti Nyoman Pahang meninggalkan
Tulikup menuju desa Pahang, I Gusti Ngurah Ketut Pahang
pindah ke desa Selat dan I Gusti Kajakawuh pindah menuju
Bebalang Bangli, bersama-sama dengan saudaranya dari
keturunan Arya Bang Wayabya.
Warga Pinatih yang masih berpuri di Tulikup setelah
sekian lama kemudian menurunkan 12 putera, masing-
masing bernama: I Gusti Bona, I Gusti Benculuk, I Gusti
Sampalan, I Gusti Pandak, I Gusti Nangun, I Gusti
Berasan, I Gusti Meranggi, I Gusti Sayan, I Gusti Bedulu, I
Gusti Nunung, I Gusti Kandel dan I Gusti Kutri.
Mereka masing-masing membangun penyiwian leluhur di
wilayahnya masing-masing. Wangsa Pinatih yang memilih
mengungsi ke desa Kembengan antara lain: I Gusti Tegal, I
Gusti Sukawati, I Gusti Arak Api, I Gusti Julingan putra I
Gusti Kandel, I Gusti Kembengan, I Gusti Manggis dan I
Gusti Pelagaan juga masing-masing membangun
Pamerajan.
I Gusti Nyoman Natih lebih memilih mengungsi menuju
desa Siut membangun puri dan mempunyai banyak putra,
diatara putera-putera beliau ada yang kemudian pindah
menuju Banjar Bisa, Karang Dadi dan Banjar
Gerombongan. Dihentikan dahulu kisahnya.
53
V.10. Sulang, Bukit Mekar anugerah Dalem.

Dikisahkan kembali tentang penghadapan Kyai Anglurah
Pinatih kepada Dalem membuat Dalem sangat senang,
tetapi faham dengan maksud terselubung dari Cokorda
Panji Nyalian yang sangat menginginkan wilayah Tulikup
menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Nyalian.
Dalem Bali memerintahkan Kyai Anglurah Pinatih untuk
tinggal di Puri Agung agar bisa dekat dengan Ida Dalem
dan tidak diperkenankan untuk kembali ke Tulikup. Entah
berapa lamanya Kyai Anglurah Pinatih tinggal di Puri
Agung sangat disayang beliau oleh Ida Dalem, tiba
waktunya kemudian beliau diperintahkan untuk membuka
kawasan Bukit Mekar yang terletak diperbatasan
Klungkung dan Karangasem, segera kemudian Kyai
Anglurah Pinatih bersama seluruh keluarga dan rakyat
membangun wilayah yang dianugrahkan Ida Dalem, setelah
selesai pemukiman dan parahyangan, daerah tersebut
dinamakan desa Sulang.
Dengan cepat desa Sulang berkembang, penuh sesak oleh
keluarga dan rakyat Kyai Anglurah Pinatih yang sangat
banyak, kembali beliau dianugrahi tanah di daerah tepian
sungai Unda dinamakan desa Lebu Cengeng, dirabas
dijadikan perkampungan, membangun puri dan kayangan
tiga setelah selesai dinamakan Banjar Mincidan. Masih
belum cukup juga tempat pemukiman rakyat Kyai
Anglurah Pinatih, berturut-turut kembali dianugrahi tempat
oleh Ida Dalem mulai dari daerah Tegal Genuk diubah jadi
54
pemukiman rakyat dinamai Banjar Gerombongan, ada yang

di Banjar Galiran, juga di Kusamba dengan nama Banjar
Karang Dadi. Tidak sedikit kemudian saudara dan rakyat
beliau yang berpindah ke tepian sungai Bubuh bernama
Desa Basangalu dengan membangun kembali Pura Lung
Atad yang setelah beberapa lama menjadi Pura Sari Bang.
Diceritakan kembali tentang pindahnya I Gusti Jimbaran
dari Tulikup menuju Desa Getakan, membangun
pemukiman dan sangat disayang oleh Ida Cokorda Bakas,
berkembang terus putra putri beliau hingga berjumlah
sangat banyak, masih tetap memegang bhisama leluhur
sebagai prati sentana Sira Wwang Bang Pinatih.
55
BAB VI
KSATRIA WANGSA BUN
Kini diceritakan tentang perjalanan putra kedua dari I Gusti
Anglurah Pinatih Resi yang bernama Kyai Anglurah Made
Sakti. Sekian lama berpuri di Tulikup, beliau diiringi oleh
para pengikut memutuskan membangun puri di hutan
Jenggala Bija. I Gusti Ngurah Made Sakti menurunkan 5
orang putera, masing-masing bernama:I Gusti Putu Bija
Pinatih, I Gusti Ngurah Made Bija Pinatih, I Gusti Ngurah
Anom, I Gusti Ngurah Mantra, I Gusti Ngurah Puja dan I
Gusti Ayu Cerame (Diambil isteri oleh I Dewa Karang).
Tidak dikisahkan proses pembangunan Puri di hutan
Jenggala Bija, dalam waktu yang tidak terlalu lama hutan
Jenggala Bija sudah menjadi daerah pemukiman yang
semakin lama semakin ramai.
VI.1. Menaklukkan I Gusti Ngurah Pengumpian.
I Gusti Ngurah Made Sakti benar-benar bijak memegang
kekuasaan, beliau ahli dalam sastra, serta senang
melaksanakan ritual Dewa Sraya kepada para Dewata.
Dikisahkan penuh sesak rakyat dan pengikut dari I Gusti
Ngurah Made Sakti di pemukiman bekas hutan Jenggala
Bija. Ada niat beliau memohon petunjuk Dewata untuk
membuka daerah baru untuk tempat bermukim rakyatnya
yang semakin banyak.
Pada suatu saat ditengah malam, tepat pada hari Selasa
Kliwon bulan Bali ke 9 atau Ka-Sangha beliau
56
melaksanakan ritual Dewa Sraya di hutan Bun, wilayah

sebelah timur Desa Pengumpian. Disebut Hutan Bun
karena sangat lebat keadaanya, dipenuhi oleh tumbuhan
menjalar atau merambat, atau Bun. Dalam Dewa Sraya itu,
I Gusti Ngurah Made Sakti mendapat petunjuk Dewata
untuk segera merabas hutan Bun guna dijadikan
pemukiman dan lahan pertanian. Pada prosesi Dewa Sraya
ini, dua orang pemimpin Mula dan Aga yang masing-
masing bernama Mekel Mica Gundil dan Mekel Karang
sedang berada tidak jauh dari tempat I Gusti Ngurah Made
Sakti melakukan Dewa Sraya. Keduanya adalah para Kuwu
yang berkuasa sepanjang tepian hutan Bun dan dari turun
temurun menjadi Mekel wilayah tersebut.
Terjadi kesalah fahaman diantara mereka, sampai saling
tantang untuk mengadu kesaktian, mereka masing-masing
sesumbar, siapa saja yang kalah dalam adu kesaktian akan
menyerahkan wilayah yang dipimpinnya berikut semua
rakyatnya. Awalnya I Gusti Ngurah Made Sakti bertarung
dengan Mekel Mica Gundil, sama-sama pemberani dan
sakti, tetapi I Gusti Ngurah Made Sakti bukanlah
tandingannya, Mekel Mica Gundil mengaku kalah. Mekel
Karang selanjutnya bertarung dengan I Gusti Ngurah Made
Sakti, keduanya betul-betul ksatria utama, mereka saling
serang, saling desak, saling tipu tidak ada yang mengaku
kalah, menjelang pagi Mekel Karang menyerah karena
kehabisan tenaga, tidak sanggup lagi mengangkat
senjatanya, sementara I Gusti Ngurah Made Sakti masih
segar bugar, sama sekali tidak merasa kelelahan. Dua orang
57
Mekel ini akhirnya mengakui kesaktian dari I Gusti Ngurah

Made Sakti dan menepati janji menyerahkan wilayah dan
rakyatnya. Mereka berdua juga menyatakan diri setia
sebagai pengikut I Gusti Ngurah Made Sakti. Demikian
kisahnya terjalin hubungan yang sangat baik diantara kedua
Mekel Mula dan Aga itu dengan wangsa Bun. Dilanjutkan
dengan masing-masig putera wanita dari kedua Mekel yang
diperisteri oleh I Gusti Ngurah Made Sakti.
Pada keesokan paginya I Gusti Ngurah Made Sakti
mengerahkan para pengikutnya untuk merabas hutan Bun.
Mereka menebang pepohonan besar, merubah hutan
menjadi sawah, ladang dan pemukiman. Hiruk pikuk suara-
suara peralatan, pepohonan besar tumbang dan teriakan-
teriakan semangat para pekerja.
Semenjak lama, hutan Bun yang terletak di sebelah timur
wilayah Pengumpian diakui sebagai bagian dari kekuasaan
Pengumpian. I Gusti Ngurah Pengumpian, seorang ksatria
keturunan dari Arya Sentong dari Carangsari, menganggap
bahwa Hutan Bun adalah wilayah kekuasaanya dan sering
kali pada kesempatan tertentu beliau pakai sebagai tempat
berburu. I Gusti Ngurah Pengumpian sebagai penguasa
Pengumpian mendapat laporan dari pengikutnya, bahwa
ada banyak orang tak dikenal yang sedang merabas hutan
Bun. Beliau segera memerintahkan rakyatnya semua
menyiapkan penyerangan ke hutan Bun dengan perintah
habisi semua para pekerja. Suara kentongan dipukul
bertalu-talu tanpa henti, berhamburan semua laki-laki
dewasa Desa Pengumpian keluar rumah dengan membawa
58
berbagai macam senjata. Mereka berkumpul di alun-alun

Pengumpian, siap siaga mengikuti perintah I Gusti Ngurah
Pengumpian sebagai pemimpin mereka. I Gusti Ngurah
Pengumpian didampingi oleh para pengawal memimpin
langsung penyerangan ke hutan Bun.
Hutan Bun diserang dari 2 arah, dari arah barat parajurit
Pengumpian dipimpin oleh I Gusti Ngurah Guliang, dari
arah utara dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah
Pengumpian. Para pekerja Bun yang berjumlah tidak terlalu
banyak sedang sibuk membangun tanggul-tanggul pada
sungai untuk bendungan. Mereka tidak mengetahui ada
musuh dalam jumlah besar menyerang secara tiba-tiba,
membuat mereka panik, berlarian menyelamatkan diri.
Parajurit Pengumpian memburu mereka, seperti memburu
binatang buruan, banyak yang tewas tanpa sempat
melakukan perlawanan, mereka dibantai dengan ditombak,
digorok, ditusuk setelah dianiaya terlebih dahulu. Ada
seorang sahaya bernama Pan Gambir, yang merupakan
pengikut setia I Gusti Ngurah Made Sakti semenjak lama,
saat kejadian sedang berada ditimur sungai karena sedang
istirahat akibat cedera pada pegelangan tangannya. Pan
Gambir yang berhasil bersembunyi diantara semak belukar
berhasil menyelamatkan diri melaporkan kejadian di Hutan
Bun kepada I Gusti Ngurah Made Sakti yang sedang berada
di Janggala Bija. Mendenger laporan Pan Gambir, seketika
I Gusti Made Sakti marah akan kelakuan I Gusti Ngurah
Pengumpian yang menyerang para pekerjanya di Hutan
Bun.
59
"Jangan sebut nama saya Sakti, bila tidak bisa

membuat Si Pengumpian sebagai pecundang, hidup
atau mati"
Demikian kata-kata beliau disambut dengan teriakan-
teriakan "Kami layak diandalkan" dengan penuh semangat
oleh para pengikut beliau. I Gusti Made Sakti dengan
segera menyiapkan parajurit untuk melakukan serangan ke
Pusat Kota Pengumpian. Hiruk pikuk suara para prajurit
Jenggala Bija seperti tawon yang dihancurkan sarangnya.
Menjelang siang hari, parajurit Jenggala Bija bergerak
lengkap dengan senjata masing-masing menuju Pusat Kota
Pengumpian. Para putera beliau yang masing-masing
bernama I Gusti Putu Bija Pinatih, I Gusti Ngurah Made
Pinatih, I Gusti Ngurah Anom, I Gusti Ngurah Mantra dan
I Gusti Ngurah Puja turut serta memimpin parajurit, mereka
berlima sedang dalam usia remaja dan sudah patut turun ke
medan perang sebagai bukti jiwa ksatrianya masing-
masing. Parajurit Jenggala Bija mengamuk sejadi-jadinya,
tidak memperdulikan lagi nyawanya, tanda bakti dan setia
kepada junjungannya. Parajurit Pengumpian terdesak hebat,
mereka mencoba bertahan di alun-alun Pengumpian, tetapi
terus menerus digempur oleh Parajurit Bija.
Menjelang sore hari, parajurit Bija sudah berhasil
menembus tembok Puri Pengumpian, mereka memburu
sisa-sisa parajurit Pengumpian yang tercerai berai. Pada
kesempatan itu I Gusti Ngurah Made Sakti saling
berhadapan dengan I Gusti Ngurah Pengumpian, masing-
60
masing keris ditangan mereka berdua sudah berlumuran

darah musuh. Itu tandanya masing-masing sudah berhasil
melukai musuh yang mereka hadapi. Keduanya saling ejek,
saling jatuhkan mental lawan, tetapi keduanya memang
berasal dari keturunan keturunan ksatria utama. Tidak ada
yang merasa takut, segera mereka bertarung, sama-sama
lihai memainkan keris pusakanya.
"Terima ajalmu Pengumpian"
Teriak I Gusti Made Sakti, seraya mendesak lawan ke arah
pojokan tembok Puri Pengumpian. Lawannya sadar, sedang
digiring ketempat yang sempit, segera I Gusti Ngurah
pengumpian menghidar dengan meloncat ke samping
patung dwarapala di depan gerbang Puri, tetapi kakinya
tersangkut pada perisai yang tergeletak ditanah, badannya
oleng jatuh bersandar di patung dwarapala. I Gusti Made
Sakti melihat lawannya lengah segera melompat dan
menghujamkan keris pusakanya ke lambung I Gusti
Ngurah Pengumpian. Seketika darah mengucur dari luka di
lambungnya, beberapa detik kemudian nyawanya lepas dari
tubuh yang lemas terkulai bersandar di Patung Dwarapala.
"Menghadapkah kau ke kawitanmu, hai
Pengumpian, katakan disana, aku yang mengantar
arwahmu menuju asalmu"
Demikian I Gusti Made Sakti bergumam seraya
menyarungkan keris pusakanya. Parajurit Bija bersorak-
sorak meluapkan rasa bahagia setelah berhasil menguasai
sepenuhnya Puri Pengumpian. Tidak terhitung jumlah
61
korban yang tewas dan luka-luka dari kedua kubu, karena

setelah tewasnya I Gusti Ngurah Pengumpian, perangpun
usai. I Gusti Ngurah Guliang dan beberapa keluarga dekat
dari I Gusti Ngurah Pengumpian berhasil menyelamatkan
diri dengan tubuh penuh luka, beliau melarikan diri dikawal
oleh sejumlah parajurit Pengumpian. Mereka tercerai berai
berpencar ke segala penjuru. Sebagian besar mengungsi ke
pegunungan, ada yang ke desa Kesiman, Suwung, Wimba
serta Blumbungan Kapal. Salah seorang puteri dari I Gusti
Ngurah Pengumpian yang bernama I Gusti Ayu Ngepil
yang sedang beranjak dewasa, terjebak di dalam puri
Pengumpian dan kebingungan tidak berhasil meloloskan
diri keluar dari puri.
Kyai Anglurah Made Sakti tertarik hatinya untuk
mengambil I Gusti Ayu Ngepil sebagai isteri. I Gusti Ayu
Ngepil bersedia diambil isteri dengan syarat bila ada putera
laki-laki yang lahir, agar setelah dewasa dijadikan raja.
Kyai Anglurah Made Sakti menyanggupi syarat yang
diajukan oleh I Gusti Ayu Ngepil, selanjutnya diboyong ke
Bija diupacara seperti layaknya upacara wangsa Ksatria
utama. Dari pasangan ini selanjutnya menurunkan 2 orang
putera, masing-masing bernama: I Gusti Ngurah Bija Bun
dan I Gusti Ngurah Bonaran. Demikian kisah penaklukkan
Puri Pengumpian oleh I Gusti Made Sakti dan para putra.
Dikisahkan kini Hutan Bun sudah tertata dengan baik,
sebagian dipakai pemukiman, sebagian lagi dipakai sebagai
ladang dan sawah. Puri dibangun dengan megah lengkap
dengan Bancingah, alun-alun dan pasar. Semakin lama
62
semakin banyak penduduk sekitar yang pindah dan

menetap di Bun, terutama yang paling banyak adalah
rakyat Bija yang memutuskan untuk menetap di Bun. I
Gusti Made Sakti memimpin Bun dengan bijaksana,
banyak saudara beliau di Bija yang lebih memilih pindah
ke Bun dan mendukung kekuatan Puri Bun. Beliau
mempunyai ikatan sangat baik dengan 2 orang wiku utama
yang bernama Ida Peranda Wayan Abian. Kedekatan itu
selanjutnya berbuah baik, putera dari Ida Peranda Wayan
Abian yang bernama Ida Wayan Abian dan Ida Ketut
Abian diperkenankan oleh ayah beliau untuk bergiriya di
Bun dan menggunakan pungkusan Bun pada saat upacara
pediksan. Beliau berdua diangkat sebagai guru spirit atau
cudamani oleh I Gusti Ngurah Made Sakti dengan gelar
diksa Ida Pedanda Wayahan Bun dan Ida Pedanda Ketut
Bun. Selanjutnya Giriya beliau berdua dikenal dengan
nama Giriya Bun, para putra dan keturunan beliau
selanjutnya selalu memakai gelar Bun atau pungkusan Bun.
Kini dikisahkan kini I Gusti Ngurah Made Agung berkuasa
di Mengwi, kegemaran beliau adalah berburu bersama para
bangsawan dan pengawal di hutan sekitar Puri Bun. Karena
I Gusti Ngurah Made Sakti di Bun adalah Manca Agung
dari Mengwi, saat kemalaman karena asyik berburu, I Gusti
Ngurah Made Agung berkenan bermalam di Puri Bun.
Menjelang istirahat I Gusti Ngurah Made Agung
menginginkan untuk dipijat, segera didatangkan oleh I
Gusti Ngurah Made Sakti seorang wanita bernama Ni Jero
Meliling. Rupanya I Gusti Ngurah Made Agung tertarik
63
hatinya kepada Ni Jero Meliling dan dijamah oleh beliau

kemudian. Pada waktu beliau harus kembali ke istana
mengwi, Ni Jero Meliling dititipkan di Puri Bun, agar
dijaga dengan baik oleh I Gusti Ngurah Made Sakti
sebelum beliau boyong ke istana Mengwi. Sekian lama
berlalu, lewat sebulan, dua bulan tidak ada kabar dari istana
Mengwi, timbul rasa tertarik I Gusti Ngurah Made Sakti
terhadap Ni Jero Meliling. Setelah sekian lama, entah
bagaimana awalnya I Gusti Ngurah Made Sakti akhirnya
berhasil menjamah Ni Jero Meliling. Dipercepat ceritanya,
Ni Jero Meliling yang dititipkan di Puri Bun oleh I Gusti
Ngurah Made Agung mendapat tanda-tanda kehamilan. Hal
ini dilaporkan oleh I Gusti Ngurah Made Sakti kepada I
Gusti Ngurah Made Agung, diperintahkan agar Ni Jero
Meliling tetap tinggal di Puri Bun, apabila nanti lahir
putera, agar datang menghadap beliau di istana Mengwi.
Demikian perintah dari Raja Mengwi, I Gusti Ngurah Made
Agung.
Menurut tafsir dari Babad Puri Bun dan Babad Jero
Meliling, diperkirakan menjelang kehamilan Jero Meliling
memasuki bulan ke 5, I Gusti Ngurah Made Sakti
melaksanakan upacara widhi widhana dengan Jero
Meliling, dengan pertimbangan kelahiran putera dari Jero
Meliling tidak lagi diragukan oleh para petinggi puri,
karena sangat kurang baik dipandang oleh para pengikut,
apabila di Puri ada wanita yang melahirkan putera tanpa
diawali dengan upacara yang pantas.
64
Dipercepat kisahnya, lahir putera laki-laki dari Ni Jero

Meliling, tampan berwibawa, pemberani seperti rupa dan
laku ksatria utama, diberi nama I Gusti Gede Pererenan.
Saat beranjak dewasa I Gusti Gede Pererenan menghadap
Raja Mengwi, I Gusti Ngurah Made Agung, disampaikan
pada penghadapan saat itu, bahwa beliau adalah putera dari
Ni Jero Meliling di Bun. I Gusti Ngurah Made Agung
selanjutnya mengganti nama puteranya dari I Gusti Gede
Pererenan menjadi I Gusti Gede Meliling dan
dianugerahkan wilayah kekuasaan di Padang Luah, Tibu
Beneng sekitar tahun 1760 Masehi. Kekuasaan beliau
sangat luas wilayahnya meliputi daerah Kuta dan Jimbaran.
I Gusti Gede Meliling mengambil isteri dari Kerobokan
dan menurunkan seorang putera bernama I Gusti Gede
Mangku. Dihentikan demikian kisah dari putera I Gusti
Gede Meliling dan garis keturunan beliau selanjutnya.
VI.2. Penyerangan ke Branjingan.
Kini dikisahkan setelah sekian lama membangun Puri Bun,
putera kedua dari I Gusti Ngurah Made Sakti yang bernama
I Gusti Ngurah Made Bija Pinatih memohon ijin kepada
ayahnya untuk membangun Puri di Branjingan. Oleh
ayahnya, beliau dianugerahi rakyat sejumlah 300 orang,
lengkap dengan segala bentuk pariagem kawitan untuk
dijadikan sebagai patokan garis keleluhuran.
Sebagai Cudamani atau guru rohani, turut serta Ida
Pedanda Ketut Bun, selanjutnya dibangunkan asrama atau
giriya di Branjingan. I Gusti Ngurah Made Bija Pinatih
65

Gusti Ngurah Gde Bija Pinatih, I Gusti Ngurah Made Bija
Pinatih, I Gusti Ngurah Anom Lengar dan I Gusti Ketut
Bija Tangkeng.
Tidak dikisahkan lebih jauh tentang pembangunan Puri di
Branjingan, semua kelengkapan puri disiapkan, pasar, alun-
alun dan Bancingah dibangun dengan megah. Seiring
dengan berjalannya waktu, semakin luas wilayah
Branjingan, rakyat Branjingan juga semakin banyak,
pertanian maju karena aliran air pada sungai-sungai sangat
lancar dengan kualitas sangat baik, didukung dengan
kondisi tanah yang memang sangat subur. Keadaan
Branjingan hampir sama dengan daerah Bun dan Bija. I
Gusti Ngurah Made Bija Pinatih memimpin Branjingan
dengan sangat baik, itu sebabnya beliau sangat dihormati
oleh rakyatnya semua.
Karena merasa mempunyai wilayah yang luas dan rakyat
yang banyak, I Gusti Ngurah Made Bija Pinatih sebagai
penguasa Branjingan merasa tidak perlu merasa hormat lagi
kepada ayahnya di Bun, apalagi terhadap saudara-
saudaranya, seakan-akan beliau tidak punya hubungan
dengan saudaranya yang tinggal di puri Bun. Rasa ini
beliau perlihatkan pada saat berkali-kali tidak melakukan
persembahyangan ke merajan agung Puri Bun dan Puri
Bija.
I Gusti Ngurah Putu Bija Pinatih selaku saudara tertua
beberapa kali mengingatkan I Gusti Ngurah Made Bija
66
Pinatih, tetapi justru membuat adiknya tersinggung, sampai

mengeluarkan kata-kata menantang Bun untuk berperang.
Kata-kata yang keluar dari mulut penguasa Branjingan, I
Gusti Ngurah Made Bija Pinatih rupanya didengar oleh
sang ayah, I Gusti Ngurah Made Sakti dan membuat beliau
sangat marah. Beliau mengirim utusan ke Branjingan,
bertujuan untuk mengingatkan anaknya, serta
memerintahkan untuk meminta maaf ke Puri Bun. Usaha
ini gagal, utusan I Gusti Ngurah Made Sakti justru
dipermalukan dengan mencukur rambut sang utusan
sampai gundul dan sepanjang jalan diolok-olok oleh rakyat
Branjingan.
Kejadian ini membuat I Gusti Ngurah Made Sakti sangat
marah, dengan segera mengerahkan pasukan yang sangat
besar untuk menyerang Puri Branjingan. Para ksatria
Pinatih di Puri Bija dan Bun turut serta sebagai pemimpin
dan mengerahkan semua pengikut dan parajurit mereka.
Terjadi perang dahsyat di daerah Branjingan, sampai
akhirnya parajurit Branjingan terdesak dan menyerah.
Sebagian lain lebih memilih mengungsi menuju desa Srijati
Sibang dan bermukim di wilayah Darmasaba menghamba
kepada I Gusti Agung Kamasan beserta seluruh rakyatnya.
Daerah Branjingan kemudian dikenal dengan nama
Jagapati hingga sekarang. Dengan ijin dari Raja mengwi,
selanjutnya Kyai Anglurah Made Sakti diangkat menjadi
Manca Agra Mengwi dengan gelar Kyai Anglurah Agung
Bun Sakti, berpuri di Puri Bun dengan Bagawanta bernama
Ida Pedanda Wayahan Abian. Beliau berkuasa terhadap
67
wilayah: Jenggala Bija, Kahuripan, Sedang, Angantaka,

Jagapati, Anggabaya, Cengkelung, Jenah, Kedua, Plagan
dan Saibang Srijati sebagai pusat Kemancaan.
Di Darmasaba kini dilanjutkan kisahnya, para ksatria
Branjingan selanjutnya berkembang, menurunkan putra dan
cucu setelah sekian lama. Para putra dari I Gusti Ngurah
Putu Bija Pinatih berpencar, masing-masing mencari
tempat untuk bermukim, antara lain: I Gusti Ngurah
Beranjingan membangun Puri di Banjar Bantas, I Gusti
Ngurah Made Bija Beranjingan mengungsi ke Desa Tingas
disertai rakyat 60 kepala keluarga, I Gusti Ngurah Ketut
Bija Tangkeng dan I Gusti Ngurah Anom Lengar, mencari
tempat di Moncos diiringi rakyat 60 kepala keluarga dan I
Gusti Ketut Rangkeng mencari tempat di Desa Kekeran.
I Gusti Anom Lengar yang berpuri di Moncos menurunkan
tiga orang putera masing-masing bernama: I Gusti Putu
Bija menuju Kaba-kaba dan menetap kemudian di
Lodsawah, I Gusti Bija Lekong menuju Kuta mempunyai
banyak putera dan berpencar hingga ke Jembrana dan I
Gusti Bija Leking bermukim di Padangkasa bersama sang
ayah.
Demikian penyebaran para putera dari keturunan Wwang
Bang Pinatih trah Branjingan yang hingga kini tersebar
tempat tinggalnya. Ada yang menduduki jabatan ada yang
tidak, ada yang kaya ada juga yang miskin, ada yang masih
memakai pungkusan Gusti ada pula yang sudah Nyineb
68
Wangsa. Tetapi semuanya masih tetap setia memuja

leluhur sebagai penerus generasi Wwang Bang Pinatih.
VI.3. Rereg Bun.
Kini diceritakan kembali I Gusti Ngurah Gde Bija Pinatih
atau I Gusti Ngurah Gde Bun atau Kyai Ngurah Gede Bun
yang memerintah rakyat di Puri Bun pada sekitar tahun
1720 Masehi. Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung
Anom atau I Gusti Agung Sakti sedang membawa kerajaan
Mengwi ke arah masa jayanya. Beliau memberi
kepercayaan sangat tinggi kepada penguasa Bun dengan
kebebasan tanpa batas mengatur wilayah dan memunggut
pajak yang dianggap perlu. Puri Bun hanya bertugas
memelihara aliran air di sungai-sungai yang melintasi
wilayah Bun dan sekitarnya. I Gusti Ngurah Made Bija
Bun pada setiap 6 bulan sekali mengerahkan penduduk bun
untuk ikut serta dalam menyiapkan upacara di Bendungan
Latu dan Sangempel, sejenis upacara Mendak Toya.
I Gusti Ngurah Agung Anom di Mengwi berkuasa antara
tahun 1690 hingga tahun 1722 Masehi, beliau mangkat
pada tahun 1722 digantikan oleh I Gusti Ngurah Agung
Made Alangkajeng yang memerintah tahun 1722 hingga
tahun 1740 Masehi. Karena masa kecil beliau di Munggu,
beliau lebih dikenal dengan nama Cokorda Munggu oleh
rakyat Mengwi. I Gusti Ngurah Agung Made Alangkajeng
menurunkan 2 orang putra purusha, masing-masing
bernama I Gusti Ngurah Agung Mayun dan I Gusti Ngurah
Agung Made Munggu. Keduanya memiliki sifat-sifat
69
ksatria utama dalam prilakunya, ahli dalam ilmu

pemerintahan dan agama. Pada tahun 1740 Masehi, I Gusti
Agung Mayun menggantikan Gusti Ngurah Agung Made
Alangkajeng sebagai Raja Mengwi. Upacara abhiseka
dilaksanakan dengan megah, dilanjutkan dengan pesta
rakyat setiap malam, siangnya diadakan sabung ayam.
Demikian peralihan kekuasaan di Mengwi, yang
selanjutnya akan sangat berpengaruh dengan keberadaan
Puri Bun Saibang Srijati.
Pada awal-awal masa kekuasaan I Gusti Ngurah Agung
Mayun di Mengwi, beliau melakukan berbagai usaha
memperkuat pertahanan Mengwi. Salah satu usahanya
adalah dengan menyebar petilik atau mata-mata untuk
menyelidiki kesetiaan para manca beliau. Dari laporan para
petilik itu, beliau mendengar laporan bahwa ada seorang
Manca atau Penguasa Bawahan beliau di Mambal yang
bernama I Dewa Karang tidak lagi menaruh hormat
terhadap beliau. Beliau juga mendengar laporan bahwa I
Dewa Karang menjalin hubungan baik dengan beberapa
kerajaan lain yang mempunyai hubungan tidak baik dengan
Mengwi. I Gusti Ngurah Agung Mayun mengirim utusan
ke Mambal memerintahkan I Dewa Karang agar segera
datang menghadap ke Mengwi, tetapi tidak mendapat
tanggapan dari I Dewa Karang. Kejadian pengiriman
utusan itu dilakukan berkali-kali, tetapi I Dewa Karang
tetap tidak datang menghadap.
I Gusti Ngurah Agung Mayun segera mengadakan rapat
penting, semua mantri dan pejabat istana hadir, juga para
70
manca kerajaan, selain Manca Mambal hadir dalam

pertemuan tersebut. Yuwa Raja atau Raja Muda, I Gusti
Ngurah Agung Munggu mendampingi sang kakak dalam
pertemuan penting itu. Semua Manca mendukung
keinginan dari I Gusti Ngurah Agung Mayun untuk
memberikan hukuman kepada Manca Mambal, I Dewa
Karang dengan menyerang dan menghancurkan puri
Karang di Mambal.
I Dewa Karang yang mengetahui bahwa diri dan
keluarganya terancam oleh kebijakan raja Mengwi, secara
rahasia berkunjung ke Puri Bun. Beliau meminta bantuan
kepada iparnya yang menjadi Manca Bun, yang dikenal
dengan gelar Kyai Angelurah Bun. Sejenak Manca Bun
terdiam, mencari cara agar bisa menyelamatkan iparnya,
tetapi tidak bermasalah dengan Mengwi, sebagai kerajaan
yang menaungi Bun. Setelah beberapa saat, beliau
mendapat cara dengan diam-diam membantu I Dewa
Karang dan keluarga menyelamatkan diri. Untuk tugas ini
beliau bebankan kepada putera beliau yang bernama I Gusti
Ngurah Pemade Bun untuk menyertai I Dewa Karang dan
keluarga meninggalkan Puri Karang menuju ke
Tegallalang. Tujuannya adalah Puri dari I Dewa Bata yang
masih terhitung kerabat jauh dari Kyai Angelurah Bun.
Selain letak Tegallalang terbilang cukup jauh, I Dewa Bata
mendapat perlindungan sangat baik dari kerajaan Gianyar
dan Klungkung. Dipastikan apabila pelarian diarahkan ke
Tegallalang, sangat sedikit kemungkinan kerajaan Mengwi
memiliki Nyali mengerahkan parajurit kesana.
71
I Gusti Ngurah Pemade Bun bersama beberapa pengikut

setia mengantar I Dewa Karang dan keluarga keluar secara
rahasia dari Puri Karang. Mereka mengungsi menuju Puri I
Dewa Bata di Tegallalang Turut serta beberapa pengiring
pilihan. Rombongan mengambil jalan pintas melewati
Lambing, Kengetan, Lodtunduh, Nagi, tembus di
Tegalalang. Sementara waktu mereka bersembunyi di Puri
I Dewa Bata yang memang dibangun di tempat yang
terpencil, berbatasan langsung dengan hutan. I Gusti
Ngurah Gede Bun dengan beberapa pengiring dari Bun
juga, tetap tinggal di Tegallalang untuk sementara waktu,
memastikan tidak ada mata-mata Mengwi yang mengetahui
tempat persembunyian mereka. Sementara Manca Bun,
berpura-pura tidak tahu menahu tentang hal itu bahkan
berkesan ikut serta mendukung kebijakan Raja Mengwi
dalam upaya menghancurkan Puri Karang.
Pada saat yang ditentukan, Cokorda Mayun mengerahkan
parajurit Mengwi dalam jumlah yang sangat banyak
menyerang Puri Karang. Parajurit Bun juga dikerahkan
dalam penyerangan itu, tetapi diperintahkan hanya sebagai
penyerta saja oleh Kyai Anglurah Bun, mereka hanya
berlarian dan berteriak-teriak tanpa ikut dalam perang.
Serangan ini tidak mendapat perlawanan yang berarti dari
para pengikut I Dewa Karang, karena sebagian besar
pengikutnya sudah meninggalkan Puri mengiringi
junjungannya ke Tegallalang. Puri Karang dihancurkan dan
dibakar, rata dengan tanah, para abdi I Dewa Karang yang
tertangkap ditawan, dibawa ke Mengwi sebagai Budak,
72
sekalian harta benda berharga dijarah sebagai bukti Puri

Karang berhasil ditaklukkan. Tetapi I Dewa Karang tidak
berhasil ditangkap dan ditetapkan sebagai buronan kerajaan
Mengwi. Kejadian ini terjadi pada bulan Juni tahun 1740
Masehi, tertulis dalam catatan Penitigama Kawyapura,
tentang kemenangan Cokorda Mayun terhadap Puri
Karang, istana dari I Dewa Karang.
Beberapa bulan kemudian setelah hancurnya Puri Karang,
Cokorda Mayun akhirnya mengetahui bahwa I Dewa
Karang beberapa hari sebelum penyerangan, sudah
mengungsi ke wilayah Tegallalang dengan keluarga dan
para kerabat, dibantu secara rahasia oleh penguasa Bun,
Kyai Anglurah Bun. Cokorda Mayun segera mengadakan
pertemuan dengan para manca yang dianggap setia, khusus
membicarakan tentang Kyai Anglurah Bun yang dianggap
berhianat terhadap Mengwi. Semua Manca Mengwi
mendukung dengan keinginan Cokorda Mayun untuk
menyerang Bun. Pada bulan Oktober tahun 1740, Cokorda
Mayun memimpin parajurit Mengwi menyerang Puri Bun,
terjadi perang yang dahsyat.
Pada dasarnya Kyai Anglurah Bun adalah keturunan ksatria
utama, sama sekali beliau tidak merasa gentar. Segera
diperintahkan memukul kentongan di Semanggen Puri
secara bertalu-talu tanpa putus atau Bulus. Semua ksatria
Bun, parajurit dan rakyat yang sudah dewasa berkumpul
lengkap dengan senjata masing-masing. Parajurit Bun
dibawah pimpinan Kyai Anglurah Bun betahan di
perbatasan bagian barat dan utara wilayah Bun. Menjelang
73
sore hari medan perang sudah sampai di Bancingah atau

alu-alun Puri Bun. Pada sebuah kesempatan Cokorda
Mayun bertarung berhadap-hadapan dengan Kyai Anglurah
Bun, tidak bisa digambarkan bagaimana pertarungan 2
orang pemimpin ini, sama-sama lincah memainkan senjata
masing-masing, saring serang dan saling bertahan dengan
segala ilmu keprajuritan yang mereka miliki.
Kegigihan parajurit Bun berbuah manis, parajurit Mengwi
tidak mampu menembus benteng pertahanan Bun di alun-
alun Puri. Cokorda Mayun yang kelelahan berhasil
dikalahkan oleh Anglurah Bun, saat beliau lengah, keris
pusaka Anglurah Bun berhasil bersarang di lambung
Cokorda Mayun, seketika darah menyembur dan beliau
tewas di depan parajuritnya. Sorak-sorai parajurit Bun
terdengar bersahut-sahutan membuat mental parajurit
Mengwi menurun, segera mereka mundur dari medan
perang, kembali ke Mengwi, melaporkan kekalahan dalam
menyerang Bun kepada I Gusti Ngurah Agung Made
Munggu atau Cokorda Munggu.
I Gusti Agung Made Munggu sebagai Raja Muda Mengwi
segera mengumpulkan semua Manca, dan menyiapkan
penyerangan ke Bun. Parajurit dibagi menjadi 2 kekuatan.
Dari arah barat, parajurit Saibang pimpinan I Gusti Agung
Made Kamasan didukung oleh parajurit Penarungan
dipimpin oleh I Gusti Agung Jlantik. Dari arah utara,
parajurit Mengwi bergerak dalam jumlah sangat besar,
dipimpin langsung oleh Raja Muda Mengwi, I Gusti Agung
Made Munggu. Penuh sesak jalan-jalan yang dilalui, hingar
74
bingar suara tetabuhan perang dan sasangkala pusaka

Mengwi.
Mengetahui I Gusti Agung Made Munggu mengerahkan
parajurit yang sangat banyak dari arah barat dan utara, Kyai
Anglurah Bun memutuskan untuk tidak melawan. Karena
bila dihadang akan menimbulkan banyak korban dari
rakyat Bun, itu sebabnya beliau memutuskan meninggalkan
Puri Bun. Bersama anak dan cucu juga kerabat terdekat,
beliau menuju Badung meminta perlindungan kepada
penguasa Badung, Kyai Anglurah Pemecutan. Cokorda
Munggu mendapati Puri Bun dalam keadaan kosong karena
sudah ditinggalkan mengungsi. Beliau memerintahkan
untuk menjarah benda-benda berharga dan membakar Puri
Bun. Demikian kisah hancurnya Puri Bun oleh serangan
parajurit Mengwi yang dalam jumlah sangat besar.
Kini dikisahkan tentang Kyai Anglurah Bun, dalam
perjalanan menuju Badung itu beliau diiringi oleh keluarga,
parajurit dan rakyat. Membawa serta barang-barang
berharga, piagem kawitan, Siwa Pakarana, keris pusaka I
Kebo Raja dan I Baru Upas. Oleh penguasa Badung, Kyai
Anglurah Pemecutan, beliau diberikan tempat bermukim di
Tainsiat beserta seluruh keluarga dan rakyat Bun. Lama-
kelamaan wilayah yang beliau tempati dikenal dengan
nama Banjar Bun, sebagian lagi kerabat dan rakyat Bun
ditempatkan di Banjar Ambengan.
Selain I Gusti Ngurah Pemade Bun yang menyertai I Dewa
Karang ke Tegallalang, para putera dari Kyai Angelurah
75
Bun ada juga yang membangun tempat tinggal di

Anggabaya, Jagapati, Angantaka, Sibang, Peguyangan,
Pagutan, Negara, Pegesangan, Temesi dan Tatag Negara. I
Gusti Tangeb dan I Gusti Meranggi membangun puri di
Pengrebongan Badung, sekian lama di Pengerebongan I
Gusti Meranggi membangun puri di Sari Merta. I Gusti
Ngurah Bun membangun Puri di Tainsiat, I Gusti Bun
Sayoga ke Sigaran Mambal, I Gusti Ngurah Alit Padang
mengungsi ke Karangasem, bertempat tinggal di
Padangkertha.
I Gusti Ngurah Teja mengungsi ke Denbukit, beliau
menurunkan 3 orang putera, yang sulung I Gusti Teja
namanya sama dengan ayahnya, membangun puri di
Dawan. I Gusti Demung menuju Timbul dan membangun
puri disana, menurunkan banyak putera.
Menurut data lapangan berupa Babad Puri Bun Saibang
Srijati, Perasan Ida Anglurah Made Sakti sangat sedih
dengan keberadaan Puri Bun kedepannya. Beliau
memutuskan agar salah satu putera beliau yang bernama I
Gusti Ngurah Alit Bija Bun, yang beribu I Gusti Ayu
Ngepil, tidak ikut mengungsi ke Puri Pemecutan Badung.
Kyai Anglurah Bun memanggil Mekel Srijati, Jero Jabaug
Maong, Jero Mica Gundil dan Jero Karang untuk menjaga
dan menjadikan I Gusti Ngurah Alit Bija Bun sebagai
penerus pemucuk di Puri Bun Saibang Srijati yang bertugas
sebagai penjaga ketentraman masyarakat di Jenggala Bija
dan Bun, walaupun dalam situasi yang tidak menentu.
76
Kyai Anglurah Agung Bun yakin dengan kemampuan dan

kesetiaanya para pengikutnya tersebut akan mampu
menjaga dan mengarahkan I Gusti Ngurah Alit Bija Bun
untuk meneruskan tata cara kepemimpinan Kyai Anglurah
Bun. Keberanian, ketangguhan serta kesetiaan para Mekel
yang berasal dari keturunan Bali Mula dan Aga ini akan
dengan mudah menepatkan I Gusti Ngurah Alit Bija Bun
menjadi seorang ksatria utama yang disegani di wilayah
Bun Saibang Srijati.
Jero Mekel Srijati, Jero Jabaug Maong, Jero Mica Gundil
dan Jero Karang adalah para pemimpin wilayah yang
terkenal dan sangat disegani oleh para ksatria sekitar
karena memiliki banyak pengikut yang bermukim tersebar
di wilayah Bun Saibang Srijati, dengan batas kekuasaan
meliputi wilayah sangat luas, arah timur hingga ke
Pengumpian, arah selatan hingga Dharmasabha, barat
hingga Tukad Tanah Putih, batas utara hingga Kayangan
Pada Suci. Demikianlah dikisahkan dalam Purana Puri
Bun, selanjutnya I Gusti Ngurah Alit Bija Bun menurunkan
putera dan puteri sebagai penerus wangsa Bun di Puri Bun
Saibang Srijati.
VI.4. I Gusti Ngurah Pemade Bun
I Gusti Ngurah Pemade Bun kini dikisahkan, beliau
meninggalkan Puri Bun atas perintah ayahnya untuk
menyertai perjalanan I Dewa Karang ke Tegallalang.
Kejadian itu berlangsung di tahun 1740 Masehi. Pada saat
itu I Dewa Agung Made tercatat sebagai Raja Klungkung
77
III, beliau adalah putra dari Raja Klungkung II, I Dewa

Agung Gede. Sementara itu Kerajaan Gianyar dipimpin
oleh I Dewa Manggis Jorog, putera dari I Dewa Manggis
Bengkel. I Dewa Karang dan I Gusti Ngurah Pemade Bun
dalam beberapa kesempatan menghadapa ke Klungkung
atau Gianyar, menjadikan mereka berdua mengikat tali
mesra dengan kedua pengusa berpengaruh itu. I Gusti
Ngurah Pemade Bun juga mampu mengambil hati para
pemimpin warga Mula dan Aga yang memang menjadi
penduduk utama dan Mayoritas di sepanjang Munduk Taro.
Mengetahui Puri Bun sudah hancur, ayah dan kerabat, serta
para pengikut Bun sudah mengungsi ke Badung, I Gusti
Ngurah Pemade Bun dan I Dewa Karang memutuskan
untuk menghadap ke Tainsiat. Turut serta dalam perjalanan
ke Tainsiat, parajurit Karang, Bun dan para pengikut beliau
dari Tegallalang. Saat pada suatu kesempatan rombongan
menghadap ke Puri Pemecutan, salah seorang putra dari I
Dewa Karang yang bernama I Gusti Ngurah Putu Wija
diangkat sebagai putera oleh penguasa Badung, Kyai
Anglurah Pemecutan, hal itu membuat semakin kuat ikatan
dinasti Bun, Karang dan Pemecutan.
Hubungan baik yang terjalin dengan penguasa Badung,
Kyai Anglurah Pemecutan membuat keluarga Karang dan
Bun sudah dianggap sebagai bagian dari perlindungan
Badung kepada mereka. Upaya Badung melakukan
perluasan ke wilayah utara, utamanya adalah daerah-daerah
kekuasaan Mengwi yang kurang kuat, membuat hubungan
itu menguntungkan kedua belah fihak, bukan hanya berupa
78
hubungan keluarga karena salah satu puteranya ada yang di

angkat anak, tetapi lebih pada hubungan timbal balik dalam
upaya perluasan kekuasaan Badung.
Yang menjadi perhatian dari penguasa Badung adalah
daerah yang menjadi perlintasan sungai-sungai besar dan
bendungan yang secara langsung mengairi sawah-sawah
penduduk Badung, salah satunya adalah Singekerta. Pada
sekitaran pertengahan sampai akhir tahun 1740 Masehi, I
Gusti Wirya, penguasa wilayah Singekerta dalam posisi
yang sangat sulit, karena wilayahnya terletak di perbatasan
wilayah kekuasaan 2 kerajaan besar, Mengwi dan Gianyar,
Ubud di arah utara juga sedang berkembang dengan pesat
kemudian, belum lagi upaya Klungkung dalam
mengembalikan banyak wilayah yang terbengkelai
sebelumnya. Kekuatan pertahanan dari parajurit Kengetan
sangat lemah, karena didalam tata kekuasaan juga terjadi
perpecahan, sehingga merembet juga terhadap mental
parajuritnya.
Peluang ini dimanfaatkan oleh I Gusti Ngurah Pemade Bun
dan I Dewa Karang. Mereka segera melakukan serangan
dengan dukungan dari parajurit Bun di Tainsiat, Parajurit
Badung dan parajurit yang menyertai keduanya di
Tegallalang. Tanpa pertempuran yang berarti, Kengetan
berhasil dikuasai, Penguasa Kengetan, I Gusti Wirya lebih
memilih menyerah dan meninggalkan purinya di Kengetan.
Beliau diiringi para keluarga dan beberapa pengikut setia
selanjutnya meninggalkan Kengetan dan tinggal sementara
waktu di Lambing. Sekian waktu tinggal di Lambing,
79
selanjutnya pindah ke daerah Melanjung, tidak dikisahkan

kemudian setelah I Gusti Wirya dan keluarga tinggal di
Melanjung.
I Gusti Ngurah Pemade Bun dikisahkan berkuasa atas
wilayah bekas kekuasaan I Gusti Putu Wirya, meliputi
wilayah Kengetan, Jukutpaku dan Singekerta. Beliau
membangun puri di Tapesan, tepatnya di wilayah Negari.
Sementara itu I Dewa Karang bersama keluarga dan
pengiring setia membangun puri di Negara, wilayah
sebelah barat Batuan. Wiku Bhagawanta Bun yang
bernama Peranda Nyoman Padangrata juga diboyong
bersama seluruh keluarga beliau, diasramakan di Kutri
wilayah dari Negara, dihaturkan banyak sekali rakyat
sebagai sisya sang wiku Bhagawanta.
I Gusti Ngurah Pamade Bun di Puri Negara menurunkan 5
orang putera, masing-masing bernama: I Gusti Ngurah Bija
Karang, I Gusti Ayu Bun, I Gusti Ngurah Made Bungbung,
I Gusti Ngurah Rai Sunu dan I Gusti Ayu Susuk.
Putera pertama dari I Gusti Ngurah Pemade Bun yang
bernama I Gusti Ngurah Bija Karang menurunkan 2 orang
putera, masing-masing bernama: I Gusti Ngurah Gede Bun
dan I Gusti Ngurah Made Bun.
Putera ketiga dari I Gusti Ngurah Pemade Bun yang
bernama I Gusti Ngurah Made Bungbung, menurunkan 3
orang putera, masing-masing bernama: I Gusti Ngurah
Pinatih, I Gusti Ayu Manik dan I Gusti Ayu Bija.
80
Putera keempat dari I Gusti Ngurah Pemade Bun yang

bernama I Gusti Ngurah Rai Sunu menurunkan 3 orang
putera, masing-masing bernama: I Gusti Ngurah Bangbang,
I Gusti Ngurah Baung dan I Gusti Ngurah Rangrang. Tidak
dikisahkan lebih jauh tentang garis keturunan I Gusti
Ngurah pemade Bun yang lain.
Kini dikisahkan tentang I Gusti Ngurah Gede Bun, memilih
tinggal di perbatasan Badung, tepatnya di daerah Kesiman,
bersamaan dengan berkembangnya kerajaan Kesiman di
Badung. Beliau mendapatkan kedudukan yang mulia di
Kesiman, karena berhasil menata dengan baik wilayah
bagian utara Kesiman, utamanya yang langsung berbatasan
dengan wilayah kekuasaan Mengwi. Setelah sekian lama,
beliau menurunkan 2 orang putra purusha masing-masing
bernama: I Gusti Ngurah Bija Bun dan I Gusti Ngurah
Badung.
Putra pertama dari I Gusti Ngurah Gede Bun yang bernama
Kyai Anglurah Made Sakti mengambil istri bernama I
Gusti Ayu Ngepil, garis keturunan Arya Sentong,
menurunkan 2 orang putra, masing-masing bernama: I
Gusti Ngurah Bonaran dan I Gusti Ngurah Alit Bija Bun
(Penerus Puri Bun).
I Gusti Ngurah Badung, karena suatu hal selanjutnya
memilih untuk membangun Puri di Tabanan, tidak
dikisahkan lebih jauh tentang garis keturunan beliau di
Tabanan.
81
Putra pertama dari I Gusti Ngurah Bija Bun yang bernama I

Gusti Ngurah Bonaran dikisahkan dalam sejarah keluarga
Puri Bun menuju ke Sibang pada tahun 1835 Masehi dan
tidak dikisahkan tentang garis keturunan beliau selanjutnya.
Putera ke 2 dari Kyai Anglurah Made Bun Sakti yang
bernama I Gusti Ngurah Alit Bija Bun dikisahkan
mengambil istri dari Puri Sibang Gede, bernama I Gusti
Ayu Kepakisan. Pasangan ini menurunkan seorang putra
bernama: I Gusti Ngurah Gede Bun.
Putera tunggal dari I Gusti Ngurah Alit Bija Bun yang
bernama I Gusti Ngurah Gede Bun setelah dewasa
mengambil istri bernama Ni Luh Pasek Sibang, garis
keturunan dari Pasek Gelgel di Sibang. Setelah diupacara
dengan widhi widhana mendapat pungkusan baru, Jero
Sibang. I Gusti Ngurah Gede Bun selanjutnya menurunkan
seorang putra bernama: I Gusti Ngurah Timpag.
Dikisahkan lebih lanjut, putera tunggal dari I Gusti Ngurah
Gede Bun yang bernama I Gusti Ngurah Timpag setelah
dewasa mengambil istri dari garis keturunan Pasek Gelgel
dari Lambing yang bernama Ni Luh Pasek Mukian. Setelah
diupacara dengan widhi widhana mendapat pungkusan
baru, Jero Lambing. Pasangan ini menurunkan 2 orang
putera, masing-masing bernama: I Gusti Ngurah Natih dan
I Gusti Ayu Raka.
VI.5. I Gusti Ngurah Natih
Putera pertama dari I Gusti Ngurah Timpag yang bernama I
Gusti Ngurah Natih dikisahkan setelah dewasa mengambil
82
isteri bernama: I Gusti Ayu Gedong trah I Gusti Lanang

Gerih keturunan I Gusti Ngurah Mambal Sakti,
Gusti Ngurah Ceteg, I Gusti Ayu Jabreg, I Gusti Ayu Cetig,
I Gusti Ayu Supleg, I Gusti Ayu Oka, I Gusti Ayu Gabrug,
I Gusti Ngurah Pegog, I Gusti Ngurah Pugeg, Putra (Alm),
Putra (Alm) dan Putra (Alm).
Putera kedua dari pasangan I Gusti Ngurah Timpag dan
Jero Mukian Lambing yang bernama: I Gusti Ayu Raka,
diambil sebagai istri oleh trah Sri Arya Kepakisan, Banjar
Lambing.
Dikisahkan kini putera pertama dari pasangan I Gusti
Ngurah Natih dan I Gusti Ayu Gedong yang bernama: I
Gusti Ngurah Ceteg, mengambil isteri bernama I Gusti Ayu
Duma, dari trah Arya Kepakisan, Banjar Lambing.
Menurunkan 4 orang putera, masing-masing bernama: I
Gusti Ngurah Geredeg, Putra Meninggal, Pura Meninggal
dan I Gusti Ayu Merti.
Putera ke 2 dari pasangan I Gusti Ngurah Natih dan I Gusti
Ayu Gedong yang bernama: I Gusti Ayu Jabreg diambil
sebagai istri oleh trah Kuramas, Sri Arya Kepakisan,
Banjar Lambing.
Ayu Gedong yang bernama: I Gusti Ayu Cetig diambil
sebagai isteri ke Jero Lanang Sibangkaja.
83

Ayu Gedong yang bernama: I Gusti Ayu Supleg diambil
isteri trah Pinatih, Jero Wiranegara di Banjar Lateng
Sibangkaja.
Ayu Gedong yang bernama: I Gusti Ayu Oka, diambil
sebagai isteri ke Jero Poh Tegeh.
Ayu Gedong yang bernama: I Gusti Ayu Gabrug diambil
sebagai isteri trah Pinatih di Jero Puspa Negara di Banjar
Lateng Negara.
Ayu Gedong yang bernama: I Gusti Ngurah Pegog. Setelah
dewasa beliau mengambil isteri bernama: I Gusti Ayu
Meja, dari Jero Bekul Sibang Kaja yang merupakan garis
keturunan, trah Kyai Anglurah Mambal Sakti. Pasangan I
Gusti Ngurah Pegog dan I Gusti Ayu Meja menurunkan 7
orang putera, masing-masing bernama: I Gusti Ayu Jabrig,
I Gusti Ayu Manis, I Gusti Ngurah Agung Sudarta, I Gusti
Ngr Agung Sudarma, I Gusti Ngurah Agung Candra, I
Gusti Ngurah Agung Somia dan I Gusti Ayu Sumetri.
Ayu Gedong yang bernama: I Gusti Ngurah Pugeg
Gusti Ngurah Agung Widya, I Gusti Ayu Ratna, I Gusti
Ngurah Agung Widnyana dan I Gusti Ayu Putri.
84
Putera ke 9, 10 dan 11 dari pasangan I Gusti Ngurah Natih

dan I Gusti Ayu Gedong yang meninggal semasih bayi dan
belum memiliki nama pada pariagem koleksi Puri Bun
Saibang Srijati.
Selanjutnya I Gusti Ngurah Natih yang menurunkan 11
orang putera di Puri Bun menurunkan 3 keturunan Purusa
yang melanjutkan Wangsa Wwang Bang Pinatih, Trah Bun
di Puri Bun, masing-masing garis keturunan I Gusti Ngurah
Cetag, I Gusti Ngurah Pegog dan I Gusti Ngurah Pugeg.
VI.5.1. I Gusti Ngurah Ceteg
Dikisahkan kini putera pertama dari pasangan I Gusti
Ngurah Ceteg dan I Gusti Ayu Duma yang bernama: I
Gusti Ngurah Geredeg setelah dewasa mengambil istri
bernama I Made Rauh, trah Pasek Gelgel dari Banjar
Lambing, Sibangkaja, menurunkan 3 orang putera, masing-
masing bernama: I Gusti Ayu Sumiati, I Gusti Ngurah
Agung Citra Umbara dan I Gusti Ngurah Agung Putra
Wijaya.
Putera ke 2 dan ke 3 dari pasangan I Gusti Ngurah Ceteg
dan I Gusti Ayu Duma dikisahkan sudah meninggal pada
masa bayi sehingga tidak termuat nama-nama beliau dalam
pariagem koleksi Puri Bun.
Putera ke 4 dari pasangan I Gusti Ngurah Ceteg dan I Gusti
Ayu Duma yang bernama: I Gusti Ayu Merti diambil
sebagai isteri
85
Trah Kuramas pertisentana Shri Arya Kepakisan di Jero

Kawan banjar lambing Sibangkaja. Demikian dikisahkan
para putera dari I Gusti Ngurah Ceteg dan I Gusti Ayu
Duma.
Dilanjutkan kisahnya, Garis keturunan I Gusti Ngurah
Ceteg dilanjutkan oleh putera pertama beliau yang
bernama: I Gusti Ngurah Geredeg. Beliau menurunkan 3
orang putera, masing-masing bernama: I Gusti Ayu
Sumiati, I Gusti Ngurah Agung Citra Umbara dan I Gusti
Ngurah Agung Putra Wijaya.
Kini dikisahkan putera pertama dari pasangan I Gusti
Ngurah Geredeg dan Jero Raga yang bernama I Gusti Ayu
Sumiati, diambil sebagai isteri oleh trah Kuramas, Sri Arya
Kepakisan, banjar Lambing, Sibangkaja.
putera ke 2 dari pasangan I Gusti Ngurah Geredeg dan Jero
Raga yang bernama I Gusti Ngurah Agung Citra Umbara
dikisahkan mengambil isteri bernama: Si Luh Made
Mundawati, garis keturunan Arya Kuthawaringin dari Jero
Sempidi Mengwi, menurunkan seorang putera, bernama: I
Gusti Agung Bagus Manik Palguna.
Putera dari I Gusti Ngurah Agung Citra Umbara dan Si
Luh Made Mundawati yang bernama I Gusti Agung Bagus
Manik Palguna setelah dewasa mengambil isteri bernama: I
Gusti Ayu Mahayanti, dari Jero Gede Punggul, keluarga
dari garis keturunan Lanang Dauh. Pasangan ini dikaruniai
2 orang putra, masing-masing bernama: I Gusti Agung Mas
86
Indira Maheswari dan I Gusti Agung Gede Krisna

Alparendra.
Putera ke 3 dari pasangan I Gusti Ngurah Geredeg dan Jero
Raga yang bernama: I Gusti Ngurah Agung Putra Wijaya
dikisahkan. Setelah dewasa mengambil isteri bernama: I
Gusti Ayu Sudarmini, keluarga garis keturunan Kyai
Anglurah Mambal Sakti dari Jero Meranggi Sibang Kaja.
Pasangan ini dianugerahi 2 orang putra, masing-masing
bernama: I Gusti Ngurah Agung Rama Pradana Putra dan I
Gusti Ngurah Agung Wiguna Mantra.
Demikian dipaparkan garis keturunan I Gusti Ngurah Ceteg
di Puri Bun, sampai dengan selesainya disusun Purana
Wangsa ini.
VI.5.2. I Gusti Ngurah Pegog
Kini dilanjutkan kisahnya, putera ke 7 dari I Gusti Ngurah
Natih dan I Gusti Ayu Gedong yang bernama I Gusti
Ngurah Pegog, setelah dewasa mengambil isteri bernama:
I Gusti Ayu Meja, garis keturunan Kyai Anglurah Mambal
Sakti dari Jero Bekul Sibang Kaja menurunkan 7 orang
putera, masing-masing bernama: I Gusti Ayu Jabrig, I
Gusti Ayu Manis, I Gusti Ngurah Agung Sudarta, I Gusti
Ngurah Agung Sudarma, I Gusti Ngurah Agung Candra, I
Gusti Ngurah Agung Somia dan I Gusti Ayu Sumetri.
Putera pertama dari pasangan I Gusti Ngurah Pegog dan I
Gusti Ayu Meja yang bernama: I Gusti Ayu Jabrig diambil
isteri ke Jero Mecutan Banjar Lambing.
87
Putera ke 2 dari pasangan I Gusti Ngurah Pegog dan I Gusti

Ayu Meja yang bernama: I Gusti Ayu Manis diambil isteri
ke Jero Lanang Sibangkaja.
Ayu Meja yang bernama: I Gusti Ngurah Agung Sudarta,
setelah dewasa mengambil isteri bernama: I Made Ciriani,
atau Jero Melati, menurunkan dua putera, bernama: I Gusti
Ngurah Agung Bagus Arya Wijaya dan I Gusti Agung Rai
Sudarmika.
Ayu Meja yang bernama: I Gusti Ngurah Darma diangkat
sebagai putera di Jero Poh Tegeh Banjar Lambing
Sibangkaja.
Ayu Meja yang bernama I Gusti Ngurah Agung Candra
setelah dewasa mengambil isteri bernama: I Gusti Ayu
Purniati dari Jero Bekul Trah Ida I Gusti Lanang Grih, Ida
Anglurah Mambal Sakti di Sibangkaja, menurunkan
seorang putra, bernama: I Gusti Ngurah Agung Wana Yasa
setelah dewasa mengambil istri bernama I Gusti Ayu
Juliani dari Puri Blahbatuh.
Ayu Meja yang bernama I Gusti Ngurah Agung Somia
setelah dewasa mengambil isteri bernama: I Gusti Ayu
Sukerti dari trah Kuramas, Shri Arya Kepakisan, Banjar
Lambing, Sibangkaja. Menurunkan 2 orang putera masing-
88
masing bernama: I Gusti Ngurah Agung Gede Suryawan

dan I Gusti Agung Dewi Suryaningsih.
Ayu Meja yang bernama I Gusti Ayu Sumetri diambil
sebagai isteri ke Jero Sidemen Karangasem.
Dilanjutkan kisahnya, Putera pertama dari I Gusti Ngurah
Agung Sudarta dan Jero Melati yang bernama: I Gusti
Ngurah Agung Bagus Arya Wijaya. Setelah dewasa
mengambil isteri bernama: Ni Luh Putu Swiantari, dari trah
semeton Pande dari Rambut Siwi, Jembrana, Negara.
Pasangan ini dianugerahi 2 orang putera, masing-masing
bernama: I Gusti Ngurah Agung Ambara Yudha dan I
Gusti Ngurah Agung Narendra Manik Segara.
Putera ke 2 dari I Gusti Ngurah Agung Sudarta dan Jero
Melati yang bernama: I Gusti Agung Rai Sudarmika.
Setelah dewasa mengambil isteri bernama: I Gusti Ayu
Putu Sugianti Ekarini, garis keturunan keluarga Arya
Kenceng di Jero Kawan Batuaji Kerambitan, Tabanan.
Pasangan ini dianugerahi 2 orang putra, masing-masing
bernama: I Gusti Agung Abhi Nattasastra Bun dan I Gusti
Agung Istri Bintang Nindyasastra Bun.
Putera dari I Gusti Agung Candra dan Gusti Ayu Purni
yang bernama: I Gusti Ngurah Agung Wanayasa, setelah
dewasa mengambil isteri bernama: I Gusti Ayu Juliani dari
Puri Blahbatuh. Menurunkan seorang putera, bernama: I
Gusti Ayu Purnamawati.
89
Putera kedua I Gusti Ngurah Agung Candra dengan I Gusti

Ayu Purni bernama I Gusti Ayu Purnama Wati diambil
sebagai isteri ke Jero Kuta, Tuban, Badung.
Putera pertama dari I Gusti Ngurah Agung Somia dan I
Gusti Ayu Sukerti yang bernama: I Gusti Ngurah Agung
Gede Suryawan setelah dewasa mengambil isteri bernama:
Ni Nyoman Wahyuni, keluarga garis keturunan Arya
Kenceng dari Mambal. Pasangan ini dianugerahi 3 orang
putera, masing-masing bernama: I Gusti Ngurah Agung
Putra Utama, I Gusti Ayu Agung Mirah Pramesuari Putrid
an I Gusti Ayu Agung Intan Swari Dewi.
Putera ke 2 dari I Gusti Ngurah Agung Somia dan I Gusti
Ayu Sukerti yang bernama: I Gusti Agung Dewi Suryani
diambil sebagai isteri ke Jero Banjar Ambengan, Ayunan,
Badung.
VI.5.3. I Gusti Ngurah Pugeg.
Kini dilanjutkan kisahnya, putera ke 8 dari I Gusti Ngurah
Natih dan I Gusti Ayu Gedong yang bernama: I Gusti
Ngurah Pugeg. Setelah dewasa mengambil isteri bernama: I
Gusti Ayu Rai, dari keluarga Jero Pinatis di Banjar Sintrig.
Menurunkan 4 orang putera, masing-masing bernama: I
Gusti Ngurah Agung Widia, I Gusti Ayu Ratna, I Gusti
Ngurah Agung Widnyana dan I Gusti Ayu Putri.
Putera pertama dari pasangan I Gusti Ngurah Pugeg dan I
Gusti Ayu Rai yang bernama: I Gusti Ngurah Agung
Widia. Setelah dewasa mengambil isteri bernama: Ni
90
Wayan Sukerti, keluarga garis keturunan Pasek Gelgel di

Banjar Lambing. Menurunkan 4 orang putera, masing-
masing bernama: I Gusti Ayu Agung Sri Mahayanti, I Gusti
Ayu Agung Pradnya Wati dan I Gusti Ngurah Agung Bija
Karang.
Putera ke 2 dari pasangan I Gusti Ngurah Pugeg dan I Gusti
Ayu Rai yang bernama: I Gusti Ayu Ratna diambil isteri
oleh anggota keluarga garis keturunan Pasek Gelgel di
Banjar Lambing.
Ayu Rai yang bernama: I Gusti Ngurah Agung Widnyana
mengambil istri bernama I Gusti Ayu Megawati dari Jero
Anyar Susuk Banjar Sangging Sibangkaja menurunkan
putra I Gusti Ngurah Agung Gana Wijaya dan I Gusti Ayu
Agung Prawani Jhyoti.
Ayu Rai yang bernama: I Gusti Ayu Putri diambil isteri
oleh anggota keluarga Jero Arya Belog di Sibang Kaja.
Pemaparan garis keturunan diatas, setelah generasi I Gusti
Ngurah Gede Bun, berasal dari data intern Puri Bun yang
dilampirkan oleh Panitia Puri Bun, sepengetahuan ketua
panitia, dan angga puri. Data ini murni adalah pariagem
Puri Bun yang disusun berdasarkan kesepakatan Puri Bun.
Dihentika sedemikian cerita garis keturunan Puri Bun,
Saibang Srijati.
Kini kembali dikisahkan ke awal, sebuah peristiwa penting
yang terjadi setelah masa I Gusti Ngurah Pemade Bun dan I
91
Dewa Karang berhasil merebut wilayah Kengetan setelah

mengalahkan I Gusti Anom Wirya. Salah seorang putera
dari I Gusti Ngurah Made Bungbung memilih untuk
menyertai I Dewa Karang, tinggal di Negara dan
menurunkan putera penerus di Negara. Kini dikisahkan I
Dewa Oka Karang, atau dikenal dengan nama Cokorda Oka
Karang, Punggawa dari Negara karena ingin
mengembangkan wilayah. Setelah menguasai daerah
sebelah barat sungai petanu, beliau ingin melebarkan
kekuasaan ke daerah Ubud, Peliatan dan Tegalalang.
Karena sudah sekian kali menyerang, tetapi selalu gagal
oleh Punggawa Peliatan, Ubud dan Tegalalang yang
merupakan kesatuan yang kuat. Punggawa Tegallalang,
Dewa Gede Rai Sana, Punggawa Ubud Cokorda Gede
Sukawati dan Punggawa Peliatan Cokorda Rai Batur sangat
susah dikalahkan.
Pada tanggal 30 Agustus 1890, Punggawa Negara Cokorda
Oka Karang mengerahkan parajurit beliau yang berasal dari
Manca Ketewel, Batuyang, Batubulan, Singapadu,
Sukawati, Celuk, Batuan, Lodtunduh dan Silakarang untuk
menyerang Ubud, Peliatan dan Tegallalang. Pergerakan
parajurit dimulai dari Jukut Paku mengarah ke Katik
Lantang. Penyerangan ke Peliatan dimulai dari Sakah.
Sebagai Panglima ditunjuk Patih Negara yang bernama I
Dewa Ketut Sandat yang sudah terkenal dan tersohor
kemampuannya mengatur parajurit dalam jumlah besar
untuk menaklukkan sebuah wilayah. Penyerangan dari
Sakah dipimpin langsung oleh Punggawa Negara Cokorda
92
Oka Karang. Pertempuran terjadi dengan sangat cepat,

parajurit Ubud di Barat terdesak hebat, Cokorda Gede
Sukawati turun laga dengan sepasang keris pusaka
andalannya yang bernama Ki Batukaru dan Ki Campuhan.
Seketika semangat parajurit Ubud bangkit lagi melihat
Cokorda Gede Sukawati turun laga. Parajurit Negara
dibawah pimpinan Patih I Dewa Ketut Sandat kewalahan
dan terdesak, segera diperintahkan parajurit Negara untuk
mundur dari Jukutpaku. Parajurit Ubud segera menguasai
daerah Jukutpaku, Singakerta dan katik Lantang yang
selanjutnya dibakar habis rata dengan tanah.
Pertempuran dibagian timur terjadi di areal sebelah selatan
desa Mas, parajurit Peliatan dipimpin langsung oleh
Punggawa Peliatan Cokorda Rai Batur yang muda dan
tampan, tetapi sangat pemberani. Parajurit Tegallalang
dipimpin langsung oleh Punggawa Tegallalang, Dewa
Gede Rai Sana yang bertubuh kekar berjenggot panjang
sangat lihai memainkan tombak pusaka Ki Bolo. Sementara
parajurit Negara dipimpin langsung oleh Punggawa
Negara, Cokorda Oka Karang yang gagah sangat
berwibawa dengan pedang dan perisai pusaka yang
bernama Wulan Kepangan. Pertempuran berimbang, karena
masing-masing teguh memegang gelar perangnya masing-
masing. Tetapi menjelang sore hari, Cokorda Oka Karang
mendengar parajurit pimpinan Patih I Dewa Ketut Sandat
kewalahan dan terdesak mundur, sehingga daerah
Jukutpaku, Singakerta dan katik Lantang dikuasai musuh
dan dibakar menjadi marah tidak terkendali. Tanpa
93
menghiraukan keselamatan dirinya, turun laga menerobos

barisan musuh seorang diri, dikeroyok oleh ratusan orang
parajurit musuh hingga kelelahan. Beliau gugur ditengah
sawah, daerah sebelah selatan Mas. Jasadnya dibawa ke
Puri Mas untuk beberapa lama, sampai akhirnya atas
permohonan putera wanita beliau yang bernama Dewa Ayu
Muter, dibawa pulang ke Puri Negara dan diupacara secara
layak. Mulai saat itu seluruh wilayah kekuasaan Negara
menyatakan takluk dibawah Peliatan, Ubud dan
Tegalalang.
Kembali dikisahkan kini para putera Wwang Bang Pinatih
yang berpuri di Negara berhasil lolos dan menyelamatkan
diri dari wilayah Negara. Menurut data pribadi tim Purana
Puri Bun, ada 3 orang putera Wwang Bang yang diketahui
meninggalkan Negara, antara lain: I Gusti Ngurah Gde Bun
atau I Gusti Ngurah Mawang meninggalkan Negara
bersama anggota keluarga dan pengikut menuju Kesiman
Penatih dengan membawa serta berbagai piagem dan
pustaka Wedha. Selanjutnya membangun Puri yang
dinamakan Puri Pinatih pada sekitar tahun 1889, yang
berjarak tidak begitu jauh dari Puri Pemayun Kesiman
Badung.
I Gusti Ngurah Angkrah meninggalkan Negara bersama
anggota keluarga dan pengikut menuju Daerah Tunon,
Kengetan dan selanjutnya menuju Denkayu Mengwi pada
sekitar tahun 1889. I Gusti Ngurah Bonaran meninggalkan
Negara bersama anggota keluarga dan pengikut menuju
Saibang Srijati. Para putera beliau yang sebelumnya
94
berpuri di Tunon sebagian besar mencari tempat tinggal di

Ambengan, Sayan, Ubud. Dikisahkan pula ada keturunan
dari I Gusti Ngurah Bima yang meninggalkan wilayah
Negara dan membangun Jero Pinatih, Banjar Lateng
Sibang tahun 1889, selanjutnya selanjutnya menurunkan
sentana yang tinggal menetap di Saibang dan beberapa
wilayah lainnya.
Demikian kisah penyebaran para Ksatria Wwang bang
Pinatih di Negara pada masa Uwug Negara. Ada juga para
sentana yang menuju Mambal, bernaung menjadi sisya
Giriya mambal. Hingga kini garis keturunan beliau semua
tersebar keberadaanya di daerah Tunon, Kengetan,
Sukawati dan banyak daerah lainnya.
95
BAB VII
PENUTUP
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dan leluhur bisa diwujudkan lewat berbagai bentuk
seperti memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana Widhi
dan leluhur, membangun dan memperbaiki Pelinggih
Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan
kehidupan sosial religius, adalah sebagian kecil bentuk
Sradha Bhakti terhadap Keagungan Beliau. Membuat
kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu yang ada
di muka bumi ini adalah berkat ciptaanNya, berkat
pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang
mempunyai kekuasaan melebur.
Konsep tersebut sudah terpatri dalam jiwa kita di Bali
berkat tuntunan dari sastra-sastra agama, diperkuat dengan
tutur-tutur turun temurun dari orang yang kita percayai dan
hormati. konsep itu juga sudah diselipkan dalam lakon
berbagai seni pertunjukan tradisional berupa Wayang,
sendratari, arja, drama gong dan lain-lain yang kini pada
masa modern ini sudah sangat langka. Beberapa kalangan
dari generasi muda kita menganggap bahwa seni
pertunjukkan tradisional itu adalah ranah "orang tua" yang
tidak update tekhnologi. Sementara ranah mereka adalah
logika, sain, data, fakta, dalil-dalil yang bisa dibuktikan
dengan nyata.
Seperti halnya tubuh yang terus berkembang, dari baru
lahir, Batita, Balita, anak-anak, remaja, dewasa dan tua,
96
masing-masing mempunyai jenis makanan yang berbeda-

beda, juga cara pemikiran yang berbeda. Hal ini yang
seringkali juga mengubah cara berfikir dan karakter
masing-masing usia. Perubahan memang hal yang abadi,
tetapi sebagai penganut Agama Hindu ada hal yang tidak
boleh berubah dalam jiwa kita, adalah Panca Sradha itu
sendiri. Panca artinya 5, sradha artinya kepercayaan, jadi
Panca Sradha adalah 5 kepercayaan pokok kita sebagai
umat Hindu. Percaya adanya Brahman, Tuhan Yang Maha
Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Percaya dengan
adanya Atman atau jiwa atau roh yang ada pada setiap
mahluk hidup yang merupakan percikan dari Brahman
sebagai syarat kehidupan. Percaya dengan adanya Karma
Phala, karma artinya perbuatan, phala artinya hasil, jadi
karma phala adalah hasil dari perbuatan yang sudah kita
lakukan. Percaya dengan adanya Punarbhawa atau
reinkarnasi atau kelahiran kembali terhadap semua mahluk
hidup dan Percaya dengan adanya Moksha atau situasi
dimana mahluk hidup mencapai masa bebas dari ikatan
karma phala maupun punarbhawa karena sudah bersatu
dengan Brahman.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga
kuat Panca Sradha ini di jiwa generasi muda adalah dengan
ydnya. Semua Yadnya yang dilaksanakan merupakan salah
satu jalan untuk menciptakan hubungan yang harmonis
dengan Beliau, harmonis dengan manusia sekeliling dan
harmonis dengan alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal
dengan nama Tri Hita Karana. Keseluruhan bagian dari
97
konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai sebagai dasar

kehidupan kita.
Dalam Kitab Taittriya Upanisad dikatakan sebagai berikut:
Pitri Deva Bhava, Matri Deva Bhava
Artinya:
Ayah dan Ibu ibarat perwujudan Dewa dalam keluarga.
Kemuliaan dari leluhur sangat berperan dalam kehidupan
kita itulah sebabnya mulai dari Orang Tua hingga
keatasnya atau "Dasa Nama Pitara" wajib untuk kita selalu
berbhakti.
Dalam Kitab Sarasamuccaya, disebutkan ada empat pahala
bagi mereka yang berbhakti kepada leluhur, yaitu sebagai
berikut: Kirti, “kirti ngaran paleman ring hayu” artinya
selalu dipuji dan didoakan untuk mendapatkan kerahayuan.
Ayusa, “ayusa ngaraning urip” artinya berumur panjang
atau dapat dikatakan senantiasa akan selalu dalam keadaan
sehat. Bhala, “bhala ngaraning kesakten’ artinya sakti atau
kesaktian. Sakti disini ialah dalam arti kita akan menjadi
pribadi yang kuat mental tangguh dalam menjalani hidup.
Yasa, Yasa akan selalu meninggalkan yang baik. Bagi
mereka yang berbhakti kepada leluhur maka akan
meninggalkan jasa-jasa baik kepada keturunannya maupun
masyarakat luas.
Dari keempat pahala diatas yang telah disebutkan dapat
disimpulkan berbhakti kepada Leluhur adalah suatu hal
98
yang baik. Melaksanakan atau menjalani hal yang baik

maka kita pun akan mendapatkan hal yang baik. Karena
hidup kita didasari oleh karma yang sudah kita perbuat
pada masa lalu. Penelusuran dan Penyususnan buku ini
adalah juga salah satu bentuk bakti kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dan para leluhur, sebagai ucapan terima kasih
kita kepada beliau yang sudah membuat kita ada di dunia
ini.
Dengan berbagai upaya pengumpulan data, dengan
kesungguhan dan petunjuk-petunjuk dari berbagai fihak,
kerja sama tim yang solid dan keinginan untuk berbakti
kepada masyarakat akhirnya selesai buku kecil ini, yang
pasti penuh dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan,
maka dengan kerendahan hati kami memohon sumbangsih
saran, pendapat dan kritik demi mendapatkan hasil yang
lebih baik dikemudian hari.
Om Santhi Santhi Santhi Om
01 Agustus 2022
Ida Bagus Bajra
99
DAFTAR PUSTAKAAN
1. D’Amboinsche Rariteitenkamer, oleh G.E. Rumpius

Amsterdam, 1705.
2. De Stamboom van Erlangga. oleh F.D.K. Bosch: 1950
3. Custodians of The Sacred Mountains. Thomas A
Router.
4. Berg, CC, Babad Blahbatuh, Uitgeverij CA Mees,
Santpoort, 1932
5. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prop. Daerah Tk l
Bali, Babad Dalem-Teks dan Terjemahan, Kanwil
Depdikbud Bali, Denpasar, 1986
6. Moeljono, Slamet, Prof. Dr. Menuju Puntjak
Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, PN Balai
Pustaka, Djakarta, 1965
7. Muljana, Slamet. Negara Kerta Gama, Siliwangi NV
8. Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho
Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesi A, Jilid II,
Depdikbud, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984
9. Putra, I B Rai, Drs. Babad Dalem, Upada Sastra, 1993
10. Sudiasta, I Gusti Bagus. Prasasti Pasek Gelgel,
Gedong Kirtya, Singaraja,1977
11. Sugriwa, I Gusti Bagus, Babad Pasek, Penerbit
Balimas, Denpasar, 1956
12. Sugriwa, I Gusti Bagus, Pamargan Dang Hyang
Dwijendra, Upada Sastra
13. Worsley, P.J., Babad Buleleng a Balinese Dynastic
Geneology, Martinus Nijhoff The Hague, 1972
100
14. Lontar Babad Arya Bang Wayabiya - Pinatih Alih

Aksara Lontar di Jero Bebalang, Bangli, druwen /
tetamian ring I Gusti Ketut Puniya
15. Lontar Babad Arya Kapakisan Alih Aksara Lontar,
Pusdok Kebudayaan Bali, 1994
16. Lontar Babad Arya Pinatih Alih Aksara Lontar,
Pusdok Kebudayaan Bali, tahun 1994
17. Lontar Babad Arya Pinatih Lan Wayabiya Alih Aksara
Lontar oleh Penghulu Arya Bang Wayabiya di
Bebalang, Bangli, 1975
20. Babad Arya Sidemen Alih Aksara Lontar, milik l
Gusti Mangku Agung desa Panji, Buleleng,
21. Lontar Babad Arya Wang Bang Sidemen Alih Aksara
Lontar, milik l Gusti Mangku Rai, Jro Besakih
22. Lontar Babad Bangli Nyalian Alih Aksara Lontar,
Pusdok Kebudayaan Bali,
23. Lontar Babad Dang Hyang Siddhimantra Rangkuman
dari beberapa naskah
24. Lontar Babad I Gusti Ngurah Sidemen Alih Aksara
Lontar, Pusdok Kebudayaan Bali, 1996
25. Lontar Babad Mengwi Alih Aksara Lontar, Gedong
Kirtya nomor Va1340/12.
26. Lontar Babad Manikan Alih Aksara Lontar, druwe I
Gusti Mangku Rai, Jero Besakih, Karangasem
101
27. Lontar Babad Manikan Alih Aksara Lontar, druwe Ida

Pedanda Rsi Agung Sidemen, Grya Singarsa Sidemen,
1993
28. Lontar Babad Ngurah Sidemen Alih Aksara Lontar,
Druwe Jero Kaleran, Sidemen, Karangasem
29. Lontar Babad Ngurah Sidemen Alih Aksara Lontar /
ringkasan beberapa Babad dengan catatan Silsilah
Merajan di Muncan
30. Lontar Iki Kawitan Dane Sira Arya Wang Bang
Sidemen, Pinatih Mwang Manikan Maring Bali,
Humetune Saking Brahmana Alih Aksara Lontar,
druwe Ida Bagus Sika, Ida Bagus Nyoman Windia,
Grya Jeroan, Kemenuh, Gianyar
31. Lontar Indik Arya Bang Pinatih Alih Aksara cakepan
druwen Ida Pedanda Rsi Agung Pinatih ring Gerya
Pinatih.
32. Lontar Sidemen Miwah Manikan Mpu Bekung Alih
Aksara turunan lontar milik Gedong Kirtya, Singaraja,
dahulu merupakan rontal milik Ida Ketut Sari, Gria
Sanur Badung
33. Lontar Pamancangah Ida Bang Tulus Dewa Lan Sang
Manikan. Alih Aksara Lontar
34. Lontar Prasasti Leluhur Arya Wang Bang Pinatih Alih
Aksara Lontar Tetamian ring Puri Tulikup – Gianyar
35. Lontar Prasasti Aryawang Bang Pinatih Tetamian ring
Puri Tebesaya - Ubud
102
36. Lontar Prasasti Arya Wang Bang Pinatih Tetamian l

Gusti Ngurah Nyoman Lila ring Puri Tulikup tahun
1958
37. Silsilah I Gusti Anglurah Sidemen, Buku Bancangah
milik I Gusti Bagus Surya, Selat Karangasem, disalin
oleh I Dewa Gede Catra, Sidemen, Karangasem
38. Data lapangan, wawancara dan penuturan dari panitia
Puri Bun.
39. dll
103
DOKUMENTASI FOTO
104
105
106

Purana Wangsa Bun Saibang Srijati

Diunggah oleh

Informasi Dokumen

Hak Cipta

Format Tersedia

Bagikan dokumen Ini

Bagikan atau Tanam Dokumen

Opsi Berbagi

Apakah menurut Anda dokumen ini bermanfaat?

Apakah konten ini tidak pantas?

Hak Cipta:

Format Tersedia

Purana Wangsa Bun Saibang Srijati

Diunggah oleh

Hak Cipta:

Format Tersedia

1

WWANG BANG PINATIH

Semoga tidak ada halangan yang merintangi

penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan

Om Bhatara Hyang Mami anugerahkanlah hamba

diajarkan ke lereng-lereng gunung, dataran hingga ke

Ratu Gunapriya Dharma Patni mangkat pada tahun 1020

Hyang Angsokanata. Keberadaan beliau diperkirakan

Juru atau Bima Kepakisan, Sri Bima Sakti Kepakisan, Sri

Bali bernama Ki Kebo Iwa atau Kebo Taruna yang tinggal

prajuritnya yang gagah-gagah untuk menyerang Bali

Anyar, Kalianget dan Ularan. Arya Damar bersama-sama

pertahanan dengan rapat. Medan yang luas dan datar,

bersama-sama parajuritnya terus bergerak maju menuju

Selain tawanan yang dikirim ke Majapahit, sebagian besar

keberanian dan keunggulannya, tidak bisa digambarkan

ditempatkan di Bali, Mapatih Gajah Mada juga

Demikian disebutkan dalam sastra kuno Bali, Babad

dibawah pimpinan Tri Wesya, Si Tan Kober, Si Tan Kawur

disambut dengan upacara kebesaran, seolah-olah Maha

Kiyai Lurah Ngukuhin. Mereka berasal dari keluarga dan

Gelgel Period', Bijdragen tot de Taal-, Land- en

Aji Agra Kepakisan. Beliau memerintah di Samprangan

mendapat anugerah podgala dari wiku dari Keling yang

I Dewa Pembayun menggantikan Sri Aji Dalem Batur

Dan masih banyak lagi putera-putera beliau yang lain

Kriyan Maruti menjabat sebagai Patih, Kriyan Di Ler

dari kekuasaan I Gusti Agung Maruti. Beliau mendapat

I Dewa Agung Jambe menurunkan 3 orang putra, masing-

Serat Calon Arang dan Negarakertagama memuat tentang

Wijaya, putra dari Mpu Kananda), Ni Dewi Amrtajiwa dan

V.1. Mpu Sidhimantra.

Namun dalam Babad Manik Angkeran disebutkan selain

sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan

sanak saudara yang telah menyucikan diri meninggal, jika

saudara. Jika dia mau anapak Sang Hyang Kawitan

V.3. Kyai Angelurah Pinatih Mantra di Kerthalangu

Kepakisan yang menjadi penguasa tahun 1380 sampai

memperistri Ida Ayu Puniawati yang merupakan keturunan

bernama I Dewa Manggis Kuning untuk pergi ke Badung

kemudian berpulang ke Sorgaloka, demikian juga Kyai

Gusti Ngenjung, I Gusti Batan, I Gusti Abyannangka, I

Ki Dukuh Pahang menyayangkan sekali sesumbar I Gusti

pemberani, diantaranya bernama Ki Bandesa Kayu Putih,

tetapi karena tempat yang sempit, beliau kemudian

pergi tanpa arah tujuan ke arah barat Er Uma membangun

Buruan kemudian ke desa Peliatan sampai akhirnya

V.10. Sulang, Bukit Mekar anugerah Dalem.

pemukiman rakyat dinamai Banjar Gerombongan, ada yang

melaksanakan ritual Dewa Sraya di hutan Bun, wilayah

Mekel ini akhirnya mengakui kesaktian dari I Gusti Ngurah

berbagai macam senjata. Mereka berkumpul di alun-alun

"Jangan sebut nama saya Sakti, bila tidak bisa

masing keris ditangan mereka berdua sudah berlumuran

korban yang tewas dan luka-luka dari kedua kubu, karena

semakin banyak penduduk sekitar yang pindah dan

hatinya kepada Ni Jero Meliling dan dijamah oleh beliau

Dipercepat kisahnya, lahir putera laki-laki dari Ni Jero

menurunkan 4 orang putera, masing-masing bernama: I

Pinatih, tetapi justru membuat adiknya tersinggung, sampai

wilayah: Jenggala Bija, Kahuripan, Sedang, Angantaka,

Wangsa. Tetapi semuanya masih tetap setia memuja

ksatria utama dalam prilakunya, ahli dalam ilmu

manca kerajaan, selain Manca Mambal hadir dalam