Anda di halaman 1dari 57

1

Arti dan Fungsi Sarana


Upakara

Berikut ini adalah tulisan tentang rangkuman pada


buku arti dan fungsi sarana upakara.

Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu


adalah berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama juga di
laksanakan dengan Karma dan Jnyana. Bhakti,
Karma dan Jnyana Marga dapat dibedakan dalam
pengertian saja, namun dalam pengamalannya
ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara
dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan
ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan
tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan
penuh keikhlasan.

Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci


sudah ada sastra-sastranya yang dalam kitab
agama disebut Yadnya Widhi yang artinya
peraturan-peraturan beryadnya. Puncak dari
2

Karma dan Jnyana adalah Bhakti atau penyeraha


diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya
kita persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Dengan cara seperti itulah Karma dan
Jnyana Marga akan mempunyai nilai yang tinggi.

Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-


simbul atau sarana. Simbul - simbul itu semuanya
penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-
masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu
ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan
pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju,
dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut
”Apara Bhakti”. Sedangkan bagi mereka yang
telah maju dapat menempuh cara bhakti yang
lebih tinggi yang disebut ”Para Bhakti”.

Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak


membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda
tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan
visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang
tercantum dalam kitab suci. Menurut
Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana
3

pokok yang wajib dipakai dasar untuk membuat


persembahan antara lain:

- Pattram = daun-daunan,
- Puspam = bunga-bungaan,
- Phalam = buah-buahan,
- Toyam = air suci atau tirtha.

Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula


Api yang berwujud “dipa dan dhŭpa” merupakan
sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama
Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah
upakara atau sarana upacara yang telah berwujud
tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun
unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat
upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk
upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi
yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu
tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.

Arti dan Fungsi Bunga


4

Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti


disebutkan sebagai

”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”.

Artinya,

bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran


yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu
persembahyangan yang digunakan oleh Umat
Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kita suci.

Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua


dalam upacara. Berfungsi sebagai simbul, Bunga
diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua
belah telapak tangan pada saat menyembah.
Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya
ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di
telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai
sarana persembahan, maka bunga itu dipakai
untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan
5

dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi


Wasa ataupun roh suci leluhur.

Dari Bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu


bentuk sarana persembahyangan seperti : canang,
kewangen, bhasma dan bija. Canang, kewangen,
bhasma dan bija ini adalah sarana
persembahyangan yang berasal dari unsur bunga,
daun, buah dan air. Semua sarana
persembahyangan tersebut memiliki arti dan
makna yang dalam dan merupakan perwujudan dari
Tatwa Agama Hindu.

Adapun arti dari masing-masing sarana tersebut


antara lain yaitu :

1. Canang

Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai


sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang
6

Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur -


unsur pokok daripada canang tersebut adalah:
a. Porosan terdiri dari : pinang, kapur dibungkus
dengan sirih.
Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang,
kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.

b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan


lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci,
seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya
Prakerti.

c. Bunga lambang keikhlasan

d. Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah


lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.

e. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang


menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana
dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi
bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.
7

2. Kewangen

Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari


kata “Wangi” artinya harum. Kata wangi mendapat
awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi
“kewangian”, lalu disandikan menjadi Kewangen,
yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen
ini sudah ada gambaran bagi kita tentang fungsi
kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan.

Arti dan makna unsur yang membentuk kewangen


tersebut adalah Kewangen lambang ”Omkara”.
Kewangen disamping sebagai sarana pokok dalam
persembahyangan, juga dipergunakan dalam
berbagai upacara Pancayadnya. Kewangen sebagai
salah satu sarana penting untuk melengkapi
banten pedagingan untuk mendasari suatu
bangunan.
8

Demikian pula dalam upacara Pitra Yadnya, ketika


dilangsungkan upacara memandikan mayat,
kewangen diletakkan di setiap persendian orang
meninggal yang jumlahnya sampai 22 buah
kewangen, dimana fungsi kewangen disini adalah
sebagai lambang Pancadatu (lambang unsur-unsur
alam) sendang fungsi Kawangen dalam upacara
memandikan mayat sebagai pengurip-urip.

3. Bunga sebagai Lambang, antara lain

a. Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang


Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.

Arti dan Fungsi Api Dhupa dan Dipa

Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan


dengan : Dhupa dan Dipa. Dhupa adalah sejenis
9

harum-haruman yang dibbakar sehingga berasap


dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya
lambang Dewa Agni yang berfungsi :

1. Sebagai pendeta pemimpin upacara


2. Sebagai perantara yang menghubungkan
antara pemuja dengan yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan
pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.

Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab


suci tentang penggunaan api sebagai sarana
persembahyangan dan sarana upacara keagamaan
lainnya, memang benar, sudah searah meskipun
dalam bentuk yang berbeda. Disinilah letak
keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada
bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan
dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam
bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan
isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk
10

penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan


zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan sastra
dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan
guna.

Arti dan Fungsi Tirtha

Air merupakan sarana persembahyangan yang


penting. Ada dua jenis air yang dipakai dalam
persembahyangan yaitu : Air untuk membersihkan
mulut dan tangan, kedua air suci yang disebut
Tirtha. Tirtha inipun ada dua macamnya yaitu:
tirtha yang di dapat dengan memohon kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhatara-bhatari dan
Tirtha dibuat oleh pendeta dengan puja.
Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari
kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun
pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala,
11

diminum dan diusapkan pada muka, simbolis


pembersihan bayu, sabda, dan idep. Selain sarana
itu, biasanya dilengkapi juga dengan bija, dan
bhasma yang disebut gandhaksta.

Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda


materi yang sakral dan mampu menumbuhkan
persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata
Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa
Sansekertha.

Macam - macam Tirtha untuk melakukan


persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha
pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan
makna tirtha ditinjau dari segi penggunaannya
dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Tirtha berfungsi sebagai lambang


penyucian dan pembersihan
b. Tirtha berfungsi sebagai pengurip /
penciptaan.
c. Tirtha berfungsi sebagai pemeliharaan
12

Dalam Rg Weda I, bagian kedua sukta 5, mantra 2


dan 5 dijelaskan Dewa Indra sebagai pemberi air
soma yang merupakan air suci. Mantra adalah
Weda, sehingga kitab Catur Weda disebut kitab
Mantra, karena tersusun dalam bentuk syair-syair
pujaan. Mantra itu banyak macam dan ragamnya,
ada mantra yang hanya terdiri dari dua, tida atau
lima suku kata seperti: Om Ang Ah, Ang Ung
Mang, Sang Bang Tang Ang Ing dan sebagainya.
Mantra juga disebut ”Bija Mantra”. Suku kata
yang demikian itu dianggap mengandung sakti,
disebut ”Wijaksara”.

Mantra yang digunakan sebagai pengantar upacara


disebut : Brahma. Nama ini kemudian digunakan
untuk menyebutkan, Ia yang maha kuasa. Mantra
yang ditujukan kepada Tuhan dalam salah satu
manifestasinya disebut

”Stawa” misalnya ”Siwastawa, Barunastawa,


Wisnustawa, Durghastawa, dan sebagainya.
13

Mantra pada umumnya memakai lagu dan irama,


sehingga mantra juga disebut ”Stotra”. Dalam
sekian banyak mantra, contoh dua buah mantra
yaitu mantra ”Puja Trisandhya” dan mantra
”Apsudewastawa” dapat diambil kesimpulan bahwa
mantra adalah sebagai sarana persembahyangan
yang berwujud bukan benda (non material) yang
harus diucapkan dengan penuh keyakinan. Tanpa
keyakinan semua sarana persembahyangan itu
akan sia-sia, untuk dapat menghubungkan diri
dengan yang dipuja.

……oo0oo……

Canang Genten

adalah bentuk banten paling sederhana yang


menggambarkan ida sang hyang Widhi wasa dalam
manifestasinya sebagai sanghyang Tri Murti.
Sebagai alas dapat digunakan taledan, ceper
ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat.
Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan
14

yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan


yang terdiri dari satu/dua potong sirih diisi
sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan
sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi
dengan janur yang berbentuk tangkih atau kojong.
Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".

Bila keadaan memungkinkan dapat pula


ditambahkan dengan pandan-arum, wangi-wangian
dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten
ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya
mempunyai arti simbolis. dalam lontar Yadnya
Prakerti disebutkan bahwadalam canang genten
memiliki arti diantaranya:

 jejaitan/tetuwasan reringgitan,
melambangkan kelanggengan/kesungguhan
hati,
 Plawa /daun-daunan melambangkan
ketenangan hati.
 Sirih, melambangkan dewa wisnu,
 kapur melambangkan dewa siva,
15

 pinang melambangkan dewa brahma, suci


bersih,
 tali porosan dengan ujungnya runcing
menggambarkan penunggalan Ida Hyang
Widhi
 Bunga mengambarkan hati yang tulus ikhlas
dan suci
 Pandan harum/wangi-wangian sebagai alat
untuk menenangkan pikiran kearah
kesegaran dan kesucian.
 Uang Kepeng; adalah alat penebus segala
kekurangan sebagai sarining manah, sebagai
labang saripati dari karma atau pekerjaan
(Dana Paramitha)

Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu


digunakan untuk melengkapi sesajen-sesajen yang
lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya
berbeda-beda.

Canang Lengawangi - Buratwangi


16

Bentuk banten ini seperti canang genten dengan


ditambahkan "burat wangi" dan dua jenis "lenga
wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-
masing dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi
dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan
dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada
kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau
wangi. Lenga Wangi ( minyak wangi) yang berwarna
putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak
pada sarang lebah), dicampur dengan minyak
kelapa. Lenga wangi (minyak wangi) yang berwarna
kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa
dicampur dengan kacang putih, komak yang
digoreng sampai gosong lalu dihaluskan.

Ada kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan


ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng sampai
gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran
yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa
dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan
perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan
dimaksudkan adalah
17

 "lenga-wangi" dan "burat-wangi"


melambangkan Hyang Sambhu.
 Menyan melambangkan Hyang Siva,
 Majegau melambangkan Hyang Sadasiva
 Cendana melambangkan Hyang Paramasiva.

Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu


seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya
Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang
lebih besar.

Canang Sari
Bentuk banten ini agak berbeda dengan
banten/canang genten sebelumnya, yaitu dibagi
menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa
berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper
atau taledan. Sering pula diberi hiasan
"Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini
terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis
jajan dari tepung beras), pisang emas atau yang
sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan
tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi
18

dan lengawangi seperti pada canang buratwangi.


Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga
diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah
"uras sari/sampian uras".

Canang sari dilengkapi dengan sesari berupa uang


kertas, uang logam maupun uang kepeng.
Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang
emas disebut "raka-raka". Raka-raka
melambangkan Hyang Widyadhara-Widyadhari.
Pisang emas melambangkan Mahadewa, secara
umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara,
sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.

Canang sari dipergunakan untuk melengkapi


persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-
hari tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau
persembahyangan di tempat suci.

Canang Pesucian
19

Canang ini disebut juga canang pengeraos yang


terdiri atas dua buah aled atau ceper. Pada bagian
bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau
yang dialasi dengan kojong. disusuni beberapa
lembar daun sirih, sedangkan aled atau ceper yang
lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi
celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga
yang harum.

Tadah Pawitrah / Tadah Sukla

Bentuknya seperti canang genten ditambahkan


dengan pisang kayu yang mentah, kacang komak,
kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan
digoreng dan masing-masing dialasi tangkih dan
kojong. Banten ini dipergunakan untuk melengkapi
beberapa jenis sesajen seperti: daksina Pelinggih
dan lain-lainnya.

Cane
20

Dipakai sebuah dulang kecil dihiasi dengan


sesertiyokan dari janur. Ditengah-tengahnya
ditancapkan batang pisang. Disekitarnya diisi
perlengkapan lain seperti: Bija, Air cendana dan
burat wangi, masing-masing dialasi dengan empat
buah tangkir atau mangkuk kecil. Dilengkapi pula
dengan kojong empat buah yang berisi tembakau,
pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang
dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat
dengan benang. Dapat pula ditambah dengan rokok
dan korek api sebanyak empat batang.

Bunganya ditancapkan menlingkar pada batang


pisang dan paling diatas diisi cili atau hiasan-
hiasan lainnya. Cane dipergunakan terutama pada
waktu upacara melasti dijunjung mendahului
pratima atau dasksina pelinggih. Cane juga
digunakan pada rapat-rapat desa adat untuk
memohon agar pertemuan berjalan lancar. Setelah
pertemuan selesai, cane akan dilebar yaitu dengan
jalan membagi-bagikan air cendana, Bidja, Bunga
serta perlengkapan lainnya.
21

Canang Meraka
Sebagai alas dari canang ini digunakan ceper atau
tamas, diatasnya diisi tebu, pisang, buah-buahan,
beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian"
disebut "Srikakili" dibuat dari janur berbentuk
kojong diisi plawa, porosan serta bunga.
Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang
tubungan, Canang Gantal, Canang Yasa. Canang
pengraos dan lain-lain.

Pada umumnya bahan yang diperlukan hampir


sama, hanya bentuk porosan dan cara
pengaturannya yang berbeda. Rupanya pemakaian
sirih, kapur dan pinang mempunyai dua fungsi
sebagai simbul atau lambang yaitu:

 Sirih melambangkan Dewa Wisnu


 Pinang melambangkan Dewa Brahma
 Kapur melambangkan Dewa Siwa

Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai


makanan, dalam hal ini penggunaannya dilengkapi
dengan tembakau dan gambir.
22

Banten Gebogan/Pajegan

Gebogan atau pajegan adalah suatu bentuk


persembahan berupa susunan dan rangkaian
makanan termasuk juga buah-buahan dan bunga-
bungaan. Umumnya dibawa dan ditempatkan
dipura dalam rangkaian upacara Panca Yadnya. Ini
karena keindahan bentuknya, hanya digunakan
hanya sebagai dekorasi.

……oo0oo……

Banten Pejati
Cara Membuat Dan Kajian Filosofis

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama.


Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu
disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa.
Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam
kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa
23

Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan.


Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.

Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa


Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa
Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan
bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak
mengandung informasi tentang kebenaran Veda
dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam
“Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:

“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka


warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”

artinya:

semua jenis banten (upakara) adalah merupakan


simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang
Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam
semesta).

Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten


atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan
24

sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang


kesungguhan hati akan melaksanakan suatu
upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi
dan prabhavaNya.

Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”,


dinyatakan:

“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane


sane jangkep galang”

Artinya:

Banten itu adalah buah pemikiran artinya


pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan


wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari
dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan
banten yang akan dapat disaksikan berwujud
indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol,
diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci.
25

Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang


tinggi mengandung simbolis filosofis yang
mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk
menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “ jati”


mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-
sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah
sekelompok banten yang dipakai sarana untuk
menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan
Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan
melaksanakan suatu upacara dan mohon
dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan
keselamatan. Banten pejati merupakan banten
pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca
Yajña.

Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:

1. Daksina
2. Banten Peras,
3. Banten Ajuman/Soda
4. Ketupat Kelanan
26

5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
6. Pesucian Pesucian
7. Segehan alit

Sarana yang Lain

 Daun/Plawa; lambang kesejukan.


 Bunga; lambang cetusan perasaan
 Bija; lambang benih-benih kesucian.
 Air; lambang pawitra, amertha
 Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.

Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk


ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi
buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah
ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor
mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan
palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan
adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat
dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga
kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia.
27

Dengan terkendalinya Sad Ripu maka


keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

Siapa yang menerima Banten pejati ?


Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur
Loka Phala, yaitu

 Peras kepada Sanghyang Isvara


 Daksina kepada Sanghyang Brahma
 Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
 Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar


Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang
pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih
sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan
menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu,
kacang komak yang berbelah dua itu sudah
menyatu. 
“ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane
becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang
28

dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang


bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan;

“ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana


tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring
kahuripan”.

Artinya:

Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala


perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu
(Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan
menjadi baik dan dapat memberikan penerangan
pada kehidupan.

Mengenai Kue/Jajan:

“ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang


apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga;
pangan, pangening citta satya, Wajik, nga;
rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora,
satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”.
29

Artinya;

Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan


Uli putih adalah lambang kegembiraan yang
terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu,
Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik
adalah lambang kesenangan mempelajari sastra,
Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-
sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang
patut yang ditirukan.

Mengenai bahan porosan:

“ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana,


ngaraning matut halyus hasanak, makadang
mitra, kasih kumasih”.

Artinya:

Sirih dan pinang itu lambang dari yang


membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal
dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan
30

keadaannya, bersaudara dalam keluarga,


bertetangga dan berkawan

Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara)


maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan
pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran,
keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam
membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan
melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh
dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis
dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan
datang.

……oo0oo……

Banten
Cara Membuat Dan Kajian Filosofis

Banten Peras
31

Banten ini boleh dikatakan tidak pernah


dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai
banten-banten yang lain seperti: daksina, suci,
tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa
hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras
dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara
telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan
upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras",
dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada
lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras
melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.

Kiranya kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau


resmi, seperti kata: "meras anak" mengesahkan
anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah
sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila
suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan
peras, akan dikatakan penyelenggaraan
upacaranya "tan perasida", yang dapat diartikan
"tidak sah", oleh karena itu banten peras selalu
menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama
yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada
prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan
32

agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha).


Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:

 Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; Tamas


lambang Cakra atau perputaran hidup atau
Vindu (simbol kekosongan yang
murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang
Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja
Marga)
 kemudian disusun di atasnya beras
(makanan pokok – sifat rajah), uang
kepeng/recehan (untuk mencari segala
kesenangan – sifat tamas), benang
(kesucian dan alat pengikat – sifat satwam)
merupakan lambang bahwa untuk
mendapatkan keberhasilan diperlukan
persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan
yang benar, pandangan yang benar,
pendengaran yang benar, dan tujuan yang
benar.
 Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda –
baik buruk); lambang kristalisasi dari
duniawi menuju rohani, mengapa dua
33

tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat


menghasilkan sebuah ciptaan maka
kekuatan Purusa dan Pradhana
(kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan /
perempuan) harus disatuakan baru bisa
berhasil (Prasidha), tumpeng adalah
lambang keuletan orang dalam meniadakan
unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya
sehingga dapat sukses menuju kepada
Tuhan.
 base tampel/porosan (poros – pusat) yang
merupakan lambang tri murti
 Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk;
memiliki makna jika ingin mendapatkan
keberhasilan harus dapat memadukan
semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan,
tenaga dan hati nurani)
 Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya –
persembahan sebagai hasil kerja kita.
 Sampyan peras; terbuat dari empat potong
janur dibentuk menyerupai parabola di
atasnya, merupakan lambang dari kesiapan
diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi,
34

waranugraha dari Hyang Widhi yang


nantinya akan kita pakai untuk
melaksanakan Dharma.
 canang sari – inti dari segala yadnya,
merupakan simbol dari Ida Sang Hyang
Widhi

Banten Ajuman/Soda

Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:

 Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah,


pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua
buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri
kona/ tangkih/celemik, sampyan
plaus/petangas, canang sari. Sarana yang
dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi
(ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang
Widhi)
 Nasi penek atau "telompokan" adalah nasi
yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah
lambang dari keteguhan atau kekokohan
35

bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam


diri manusia adalah simbol Sumsuma dan
Pinggala yang menyangga agar manusia
tetap eksis.
 Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur
kemudian dirangkai dengan melipatnya
sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki
makna simbol bahwa dalam memuja Hyang
Widhi manusia harus menyerahkan diri
secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi,
dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang
Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah
siap.
 beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk
pauk berupa serondeng atau sesaur,
kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung,
timun, taoge (kedelai), daun kemangi
(kecarum), garam, dan sambal.

Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan


tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila
ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu
36

peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi


kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu
jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri,
demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi
ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek
yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang
pesucian, canang burat wangi atau yang lain.

Penyeneng/Tehenan/Pabuat

Yang membentuk Penyeneng:


Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga
masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon
(nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah
jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun,
menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau
berkenan hadir dalam upacara yang
diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan
untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari
baru lahir hingga meninggal.
37

 Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi


dicampur dengan abu/aon adalah lambang
dari dewa Brahma sebagai pencipta alam
semesta ini dan merupakan sarana untuk
menghilangkan semua kotoran (dasa mala)
 Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga
lambang dari dewa Visnu yang memelihara
alam semesta ini,
 Ruang 3 berisi tepung tawar, yaitu bunga,
daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk
dengan kunir, beras dan air cendana
melambangkan dewa Siva dalam
prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva
yang senantiasa mengarahkan manusia dari
yang tidak baik menuju benar, meniadakan
(pralina) Adharma dan kembali ke jalan
Dharma.

Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang


menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu =
Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana
(planet yang lain). Diatas jejahitan ditaruh
beras/wija, benang dan uang. Beras adalah
38

sumber makanan manusia, uang adalah alat


transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang
sebagai penghubung antara manusia dengan
manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia
dengan Hyang Widhi.

Pesucian Pesucian

terdiri dari :
Sebuah ceper /taledan yang berisi tujuh bua
tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi:
Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari
tepung berwarna kuning), Ambuh (kelapa diparut/
daun kembang sepatu dirajang), Kakosok
(rengginang yang dibakar hingga gosong), Pasta
(asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di
atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut
payasan (cermin, sisir dan petat) terbuat dari
janur.
39

Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang


dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam
suatu upacara keagamaan
Secara instrinsik mengandung makana filosofis
bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga
kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta ,
rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha
suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat
mendekati dan menerima karunia Beliau. 

……oo0oo……

Daksina
Cara Membuat Dan Kajian Filosofis

Daksina disebut Juga "Yadnya Patni" yang artinya


istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga
dipergunakan sebagai mana persembahan atau
tanda terima kasih, selalu menyertai banten-
banten yang agak besar dan sebagainya
perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya
40

Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan


Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut
adalah nama lain dari Dewa Siwa.
Unsur-unsur yang membentuk daksina, diurut dari
isi terbawah hingga diatas yaitu:

 Alas bedogan/srembeng/wakul/katung;
terbuat dari janur/slepan yang bentuknya
bulat dan sedikit panjang serta ada batas
pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang
pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan
jelas.
 Bedogan/ srembeng / wakul / katung /
srobong daksina; terbuat dari janur/slepan
yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran
dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah
ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi.
Srembeng daksina juga merupakan lambang
dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
 Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu
dijahit sehinga membentuk tanda tambah.
Tampak adalah lambang keseimbangan baik
makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak
41

juga melambangkan swastika, yang artinya


semoga dalam keadaan baik.
 Beras; yang merupakan makanan pokok
melambang dari hasil bumi yang menjadi
sumber penghidupan manusia di dunia ini.
Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
 Sirih temple / Porosan; terbuat dari daun
sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa)
dan pinang (merah – brahma) diikat
sedemikian rupa sehingga menjadi satu,
porosan adalah lambang pemujaan.
 Kelapa; adalah buah serbaguna, yang juga
simbol Pawitra (air keabadian/amertha)
atau lambang alam semesta yang terdiri
dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta
patala) karena ternyata kelapa memiliki
tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke
luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi
lembutnya lambang Talatala, isinya lambang
tala, lapisan pada isinya lambang Antala,
lapisan isi yang keras lambang sutala,
lapisan tipis paling dalam lambang Nitala,
batoknya lambang Patala. Sedangkan
42

lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu


batok kelapa sebagai lambang Bhur loka,
Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka,
Serat serabut basah lambang svah loka,
Serabut basah lambanag Maha loka,
serabut kering lambang Jnana loka, kulit
serat kering lambang Tapa loka, Kulit
kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa
dikupas dibersihkan hingga kelihatan
batoknya dengan maksud karena Bhuana
Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus
bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang
mengikat dan serabut kelapa adalah
lambang pe ngikat indria.
 Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor,
adalah lambang awal kehidupan/ getar-
getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang
menghuni bumi ini, karena pada telor
terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning
Telor/Sari lambang Antah karana sarira,
Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan
Kulit telor adalah lambang Sthula sarira.
dipakai telur itik karena itik dianggap suci,
43

bisa memilih makanan, sangat rukun dan


dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air
dan bahkan terbang bila perlu)
 Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol
manusia yang menghuni bumi sebagai bagian
dari ala mini. Idialnya manusia penghuni
bumi ini hidup dengan Tri kaya
Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang
melambangkan jari, Tebu belambangkan
tulang.
 Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan
/ Laki-laki, dari segi warna putih
(ketulusan)
 Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana /
kebendaan / perempuan, dari segi warna
merah (kekuatan). Dalam tetandingan
melambangkan dagu.
 Gegantusan; merupakan perpaduan dari isi
daratan dan lautan, yang terbuat dari
kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam
dan ikan teri yang dibungkus dengan
kraras/daun pisang tua adalah lambang sad
rasa dan lambang kemakmuran.
44

 Papeselan yang terbuat dari lima jenis


dedaunan yang diikat menjadi satu adalah
lambang Panca Devata; daun duku lambang
Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun
durian / langsat / ceroring lambang
Mahadeva, daun salak / mangga lambang
Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva.
Papeselan juga merupakan lambang
kerjasama (Tri Hita Karana).
 Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis
biji-bijian, diantaranya; godem (hitam –
wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi
(merah – brahma), Jagung Biasa (kuning –
mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa).
kesemuanya itu dibungkus dengan kraras
(daun pisang tua).
 Benang Tukelan; adalah alat pengikat
simbol dari naga Anantabhoga dan naga
Basuki dan naga Taksaka dalam proses
pemutaran Mandara Giri di Kserarnava
untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan
juga simbolis dari penghubung antara
Jivatman yang tidak akan berakhir sampai
45

terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman


yang berasal dari Paramatman akan terus
menerus mengalami penjelmaan yang
berulang-ulang sebelum mencapai Moksa.
Dan semuanya akan kembali pada Hyang
Widhi kalau sudah Pralina. dalam
tetandingan dipergunakan sebagai lambing
usus/perut.
 Uang Kepeng; adalah alat penebus segala
kekurangan sebagai sarining manah. uang
juga lambang dari Deva Brahma yang
merupakan inti kekuatan untuk menciptakan
hidup dan sumber kehidupan.
 Sesari; sebagai labang saripati dari karma
atau pekerjaan (Dana Paramitha)
 Sampyan Payasan; terbuat dari janur
dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari
Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
 Sampyan pusung; terbuat dari janur
dibentuk sehingga menyerupai pusungan
rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia
adalah Brahman dan pusungan itu simbol
pengerucutan dari indria-indria
46

Jenis-jenis Daksina

1. Daksina kelipatan 1 : daksina alit.


2. Daksina kelipatan 2: daksina pakala-kalaan
(Manusa Yajna).
3. Daksina kelipatan 3: daksina krepa (Rsi
Yajna).
4. Daksina kelipatan 4: daksina gede/pamogpog
(upacara besar).
5. Daksina kelipatan 5: daksina galahan.

……oo0oo……

Lis

Lis adalah salah satu bagian penting dari


sekelompok banten karena merupakan alat
pensucian. Menurut Lontar Yajnya Prakrti, banten
memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang
sakral. Kalimat yang dikutip dari lontar itu:
"Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka
47

warna rupaning Ida Bhatara, Ian pinaka anda


bhuwana". Artinya: Semua jenis banten
melambangkan diri kita sendiri atau umat manusia
secara umum, melambangkan kemahakuasaan Ida
Sanghyang Widhi, dan melambangkan alam
semesta. Dengan kata lain, banten adalah lambang
trihitakarana, yakni tiga hal yang mewujudkan
kesejahteraan dunia, yaitu parhyangan (hubungan
manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan
manusia dengan sesama manusia), dan palemahan
(hubungan manusia dengan alam semesta).

 
Unsur-unsur banten, selain bunga, plawa
(dedaunan), buah-buahan, dan tatuwesan atau
reringgitan yang penuh dengan ornamen-ornamen
indah, dalam Lontar itu ditegaskan sebagai
berikut: "Reringgitan, tatuwesan pinaka
kalanggengan kayunta mayajnya, Sekare pinaka
kaheningan kayunta mayajnya, Plawa pinaka peh
pekayunane suci, Raka-raka pinaka widyadhara-
widyadhari". Artinya: bentuk-bentuk ornamen
sebagai lambang ketekunan untuk berkorban,
48

bunga sebagai lambang kesucian, dedaunan


sebagai lambang pikiran baik, buah-buahan
sebagai lambang utusan Dewa-Dewi.

Berbagai Jenis Lis

Salah satu bentuk Lis yang paling populer dan


digunakan dalam setiap upacara-upakara, adalah
Lis amu-amuan (Bebuu). Lis ini terbuat dari janur
dengan isi jejahitan, kemudian diikat menjadi
satu, terdiri dari:

1.Tangga menek: terbuat dari reringgitan janur,


berbentuk tangga naik, sebagai lambang dan
permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga
hal-hal yang bersifat kebaikan selalu meningkat.

2.Tangga tuwun: terbuat dari reringgitan janur,


berbentuk tangga turun, sebagai lambang dan
permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga
49

hal-hal yang bersifat keburukan berkurang atau


hilang.

3.Jan sesapi: terbuat dari reringgitan janur,


berbentuk burung kecil, sebagai lambang dan
permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga
tujuan me-yajnya tercapai.

4.Lilit linting: terbuat dari reringgitan janur,


berbentuk lilitan dalam sebuah lidi, sebagai
lambang kebulatan tekad untuk berbhakti kepada-
Nya.

5.Lawat buah: terbuat dari reringgitan janur,


berbentuk buah, sebagai lambang permohonan
kepada Ida Sanghyang Widhi, semoga yajnya yang
diselenggarakan mendapat pahala kebaikan.

6.Lawat nyuh: terbuat dari reringgitan janur,


berbentuk buah kelapa, ditandai dengan
menyisipkan secuil sabut kelapa, sebagai lambang
permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai Bhatara Brahma sang
50

Maha Pencipta, semoga penyelenggaraan yajnya ini


direstui dan berjalan lancar.

7.Tepung tawar: terdiri dari beras berwarna


putih, beras berwarna kuning kunyit, dan daun
dapdap yang dicincang halus. Beras berwarna
putih dan kuning kunyit adalah lambang dari
keseimbangan hidup manusia, terutama
perwujudan rwa bhineda, misalnya: siang-malam,
baik-buruk, lelaki-perempuan, dst. Daun dapdap,
dalam Lontar Taru Pramana disebut sebagai don
kayu sakti. Sakti artinya kekuatan. Jadi lambang
don dapdap adalah kekuatan untuk menjaga
keseimbangan-keseimbangan trihitakarana dan
keseimbangan-keseimbangan rwa bhineda.

"Eteh-eteh Padudusan"

Merupakan peningkatan  dari Eteh-Eteh


Panglukatan, oleh sebab itu semua peralatan
dan sarana upakara yang digunakan pada Eteh-
Eteh Panglukatan tetap dipakai dan
51

ditambahkan dengan beberapa perlengkapan


lainnya, sesuai dengan tingkatannya. Eteh-
Eteh Padudusan juga sering dinamakan Banten
Padudusan yang jenisnya ada dua macam, yakni
Padudusan Alit dan Padudusan Agung.

a.  Sebuah Sibuh Pepek fungsinya sebagai


cedok/alat pengambil Tirtha Panglukatan dari
pangedangan. Sibuh Pepek dibuat dari sebagian
kelapa yang telah dibersihkan serabutnya, dan
pada bagian atasnya dibuatkan lubang untuk
tempat memasangkan tangkainya dari cabang
pohon dadap. Pada tangkai Sibuh Pepek diikatkan
daun dadap, sasap dari janur dan uang kepeng 2
keping

b.  Sebuah tempeh atau yang sejenis, di dalamnya


berisi sebuah caratan atau kendi kecil berisi air,
sebuah bungkak atau kelapa muda gading
makasturi dan tiga buah periuk tanah yang dipakai
sebagai tempat Tirtha Panglukatan, Tirtha
52

Pabersihan, dan toya anyar (yeh ening). Masing-


masing periuk ditutupi dengan  jajahitan Padma
dari janur.

Adapun jenis upakara atau banten yang


menyertainya seperti: pabersihan, isuh-isuh,
pungun-pungun, alasnya memakai sebuah taledan,
di atasnya berisi nasi tumpeng atau muncuk
kukusanlinting dilengkapi raka-raka, rarasmen dan
sebuah sampyan nagasari berisi porosan, bunga
dan rampe, prayascita, tebasan durmanggala, satu
soroh suci, lis senjata berupa sejenis raringgitan
yang menggambarkan senjata para dewa (Panca
Dewata). Yaitu terdiri dari bajra, gada, naga
pasa, cakra dan padma. Disisipi

Bila dibuat senjata Dewata Nawa Sanga


ditambahkan lagi empat buah yaitu, Mosala,
Dupa,Trisula, dan Angkus.  Tiap jenis dibuat pada
tiga lembar janur kelapa gading, dan dilengkapi
dengan tabuh-tabuhan (arak, berem, tuak, toya
anyar). Untuk pendeta yang memuja, dihaturi pula
53

upakara banten suci satu soroh dilengkapi


sasari/punia dan dilengkapi Dhaksina Gede.

Eteh-Eteh Padudusan

Merupakan peningkatan  dari Eteh-Eteh


Panglukatan, oleh sebab itu semua peralatan dan
sarana upakara yang digunakan pada Eteh-Eteh
Panglukatan tetap dipakai dan ditambahkan
dengan beberapa perlengkapan lainnya, sesuai
dengan tingkatannya. Eteh-Eteh Padudusan juga
sering dinamakan Banten Padudusan yang jenisnya
ada dua macam, yakni Padudusan Alit dan
Padudusan Agung.

A. Padudusan Alit :

     Digunakan pada upacara tingkat madia  di


Sanggah Pasaksi yang  memakai Catur
RebahBabangkit Macagak/Bogem. Untuk bungkak
atau kelapa muda diperlukan 5 jenis airnya yaitu
terdiri dari kelapa gading, kelapa hijau, kelapa
54

bulan, kelapa merah/udang, dan kelapa sudamala.


dilengakapi dengan

      Pada pangedangan atau periuk tanah yang agak


besar, berisi gambar nagapasa, dan di tengah-
tengahnya gambaran padma selain itu digunakan
sebuah kendi dan empat buah periuk disebut
“Catur Kumbha”. Tiap periuk diikat dengan benang
masing-masing disesuaikan dengan warnanya
seperti untuk yang di timur memakai benang
warna putih, merah di selatan, kuning di barat dan
hitam di utara, serta yang di tengah-tengah
dengan benang campuran dari keempat warna
tersebut.

      Di dalam periuk masing-masing diisi bija,


bunga sesuai warnanya, serta  air yang diambil
dari tempat-tempat yang dipandang suci.
Menggunakan cucukan yaitu binantang yang
dipakai sebagai simbolis untuk mengambil segala
noda dan kotoran pada tempat, diri seseorang
ataupun bangunan, upakara yang mulutnya
dicucuk-cucukkan pada yang bersangkutan.
55

      Pada Padudusan Alit,  memakai ayam dan itik


putih, ayam dipandang untuk membersihkan
anggota badan, dan itik membersihkan kepala atau
siwa dwara. Pemujaannya ditujukan ke hadapan 
Panca Dewata yaitu Dewa Iswara, Dewa Brahma,
Dewa Mahadewa, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa.

Penjor

Pejor adalah sarana keagamaan sebagai


persembahan dan juga perlambangan Gunung
Agung, Naga Basuki dan Naga Ananta Boga.Penjor
dipasang pada hari penampahan Galungan di depan
pintu masuk sebagai pertanda kemenangan
dharma. Penjor dengan segala perlengkapannya,
yang menggunakan hiasan seperti daun daunan, ibi
ubian, buah buahan, jenis jajan, kain uang kepeng
sebagai simbul dari Naga Anantha Bhoga dan
Naga basuki.

Kedua Naga ini perlambang anugrah dari Hyang


56

Widhi. Naga Anantha Boga simbul tanah yang


dapat membrikan kesejahteraan dan kemakmuran
bagi kehidupan manusia. Sedangkan Naga Basuki
lambang keselamatan, yaitu selamat dari penyakit,
penderitaan. Itulah sebabnya, penjor menyerupai
bentuk Naga, dengan kepalanya di bawah penjor
dilukiskan mulut dari naga.

Pada hari Umanis galungan penjor tersebut


digoyang goyangkan sedikit agar dahan
perlengkapan yang tergantung jatuh dengan
maksud mohon anugrah dari Hyang Widhi. Setelah
budha keliwon Pegatwakan, 35 hari setelah
Galungan penjor dicabut dan sampahnya dibakar
habis abunya dimasukan ke dalam kelapa gading
ditanam di depan rumah dengan harapan agar
memberi sesuatu kekuatan untuk memperkokoh
jiwa agar penghuni menjadi selamat.

Lamak

Lamak adalah suatu ukiran dari janur, daun enau


57

baik yang warna hijau maupun yang warna krem


sebagai alas yang ditempatkan dalam suatu
bangunan pelinggih. Dalam lamak terdapat
berbagai ukiran simbol-simbol keagamaan yaitu:
Simbul Gunungan atau kekayonan, Cili-cilian, Bulan,
Bintang, Matahari dan sebagainya. Penggunaannya
dilengkapi denga Plawa, Canang dan Dupa

Anda mungkin juga menyukai