1.1.1 Ceper
Ceper merupakan sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat.
Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai
lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra.
1.1.2 Beras
Beras atau wija sebagai lambang Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa
hidup. Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih
yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma
1.1.3 Porosan
Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai
lambang/nyasa Tri-Premana dan Tri Kaya.
1.1.5.Sampian Uras.
Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang
biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan
Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.)
1.1.6. Bunga
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati.
Di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati
dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
1.2 Daksina
Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga
merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat
kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina.
Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau
Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" kepada sekala-
niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai
pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nva
Daksina sebagai lambang Bhuana Sthana Hyang Widhi Wasa nampak dalam bahan-
bahan yang membentuk daksina tersebut. Beberapa unsur penting yang membentuk Daksina,
yaitu :
1.2.1 Bebedogan, dibuat dari daun janur yang sudah hijau yang bentuknya bulat panjang serta ada
batas pinggirnya pada bagian atasnya. Bebedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat
dilihat dengan jelas.
1.2.2 Serobong Daksina, disebut juga sebagai Serobong Bebedogan dibuat juga dari daun janur
yang sudah hijau tanpa tepi maupun dibawahnya. Serobog Daksina ini menjadi lapisan pada
bagian tengah dari bebedogan, segala bahan daksina ini masuk kedalam serobong daksina.
Serobong daksina ini lambang Akasa yang tanpa tepi.
1.2.3 Tampak, dibuat dari empat potong helai janur berbentuk seperti kembang teratai bersegi
delapan. Bentuk tampak ini melambangkan arah atau kiblat mata angin yang mengarah pada
delapan penjuru. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang
mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang
Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras
sejumput.
1.2.4 Telor itik/telor bebek, dibungkus dengan Urung Ketipat Taluh. Telor itik yang dibungkus
ketipat taluh ini lambang Bhuana alit yang menghuni bumi ini. Telur itik juga sebagai
lambang dari sifat-sifat satwam.
1.2.5 Beras, beras merupakan simbolis dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan umat
manusia di alam raya ini.
1.2.6 Benang Tukelan (benang Bali) adalah sebagai simbolis dari penghubung Jiwataman yang
tidak akan berakhir samapai terjadinya pralina. Sebelum pralina atman yang berasal dari
paratman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai
moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
1.2.7 Uang Kepeng, berjumlah 225 kepeng adalah simbol Bhatara Brahma yang merupakan inti
kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Angka 225 itu kalau dijumlahkan
menjadi angka sembilan angka suci lambang Dewata nawa sanga yang berada di sembilan
penjuru alam Bhuana Agung.
1.2.8 Pisang, Tebu dan Kekojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian
dari alam ini,. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan ajaran Tri Kaya Parisudha.
1.2.9 Porosan dan Kembang, porosan adalah lambang pemujaan pada Hyang Tri Murti. Sedangkan
kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna pada Hyang Tri Murti. Tujuan bakti pada
Hyang Tri Murti agar manusia mendapatkan tuntunan dalam menciptakan sesuatu yang patut
diciptakan dari Hyang Brahma. Tuntunan dari Hyang Visnu pada saat memelihara sesuatu
yang aptut dan wajar untuk dipelihara. Dari Hyang Rudra untuk menuntun umat manusia saat
meniadakan sesuatu yang patutdan wajar dihilangkan.
1.2.10 Gegantusan, unsur upakara ini lambang didunia ini mahluk lahir berulang-ulang sesuai
dengan tingkatan karmanya.
1.2.11 Pesel-peselan dan Bija Ratus, unsur upakara ini merupakan lambang hidup bersama di dunia
ini untuk menyatukan berbagai bibit. Bija Ratus adalah lambang suatu kerjasama dalam
menelorkan suatu ide bersama. Sebelum ide bersama itu muncul sebagai suatu kesepakatan.
Setiap pihak wajib mengeluarkan ide-idenya. Ide-ide inilah yang di sebut bija yang harus
diratus menjadi satu ide bersama.
1.2.12 Kelapa, sebagai unsur yang paling utama dalam Banten Daksina. Buah kelapa dari kulit
dengan seluruh isinya adalah lambang Bhuana Agung. Unsur-unsur buah kelapa itu
semuanya melambangkan sapta patala dan sapta loka. Mengapa buah kelapa yang dipakai
daksina harus dikupas dan dibersihkan kulitnya hingga kelihatan batoknya. Serabut kelapa itu
adalah lambang pengikat indria. Karena Daksina itu lambang Bhuana Agung Sthana Hyang
Widhitentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat. Karunia Hyang
widhi akan dapat kita capai apabila kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria. Kitalah
yang harus mengikat indria sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang bijaksana.
Banten “Peras” bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara
yang telah diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah
diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya.
Disebutkan juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasaida” artinya
“Berhasil”. Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan, bilamana upakaranya tidak disertai
dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan upacara itu dikatakan “Tan Paraside”,
maksudnya tidak akan berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah
sebagai lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa
konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam lubuk hati
sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah terkemas suatu
pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk mencapainya.
Dalam Lontar “Yadnya Prakerti” disebutkan bahwa Peras dinyatakan sebagai
lambang Hyang Triguna Sakti demikian juga halnya dalam penyelenggaraan “Pamrelina
Banten” disebutkan Peras sebagai “Pamulihing Hati” artinya kembali ke Hati, yaitu suatu
bentuk Sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta mencapai
tujuan yang diharapkan. Dan banten Peras terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa
Jejahitan / Reringgitan / Tetuasan, antara lain :
1.3.1 Taledan / Tamas / Ceper
Sebagai dasar dari semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang
mana taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya sama).
Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya. Makna dari Tamas
lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda).
Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
1.3.3 Tumpeng
Dibagian depan dari Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua
buah (simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani,
mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka
kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus
disatukan baru bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam
meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju
kepada Tuhan. Tumpeng terbuat dari nasi yang dibentuk mengkerucut besarnya seukuran
kojong terbuat dari janur dan daun pisang. Fungsi dari Tumpeng adalah sebagai suguhan
kehadapan Hyang Widhi. Bentuk kerucut yang letak lancipnya di atas adalah melambangkan
Tuhan itu Tunggal adanya dan tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya
akan dituju dengan jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa nafsu.
1.3.3 Rerasmen
Rerasmen (lauk pauk) terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan
(telur, ayam, teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan Desa Kala
Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau Ceper kacang yang
ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah dipergunakan sebagai tempat
Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu taledan berbentuk segitiga ukurannya
agak besar dan didalamnya diletakkan empat buah kojong janur masing-masing dijahit agar
tidak terlepas. Memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan
semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). Mengenai sisi pokok
Rerasmen yaitu : Kacang dan Ikan, dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” dijelaskan
sebagai berikut :
Kacang nga ; ngamedalang pengrasa tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian.
Artinya :
Kacang-kacangan itu menyebabkan perasaan menjadi satu, Kacang Komak yang terbelah dua
itupun melambangkan kesatuan.
Ulam nga; iwak nga; ebe nga; rawos sane becik rinengo
Artinya :
Ulam itu ikan yang dipakai sebagai Rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk
didengarkan.
1.3.4 Buah
Dibagian belakang tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel,
salak atau bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam Lontar
“Tegesing Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut :
Sarwa Wija nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu,
ngalangin ring kahuripan.
Artinya :
Segala macam dan jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan
yang tiga macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat
memberikan penerangan pada kehidupan.
1.3.5 Jajan
Jajan ada banyak jenis dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis banten
yang akan disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina, Uli, Dodol, Wajik,
Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten”
sebagai berikut :
Gina/ bagina nga; wruh, Uli abang putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena,
Dodol nga; pangan, pangganing citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal nga;
pahalaning hana nora, Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.
Artinya :
Gina lambang mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti
terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah lambang
kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari kesungguhan dan tidak
kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan, Satuh sama dengan patuh.
Banten sesayut hampir sama dengan banten tetebasan, bedanya hanya berisi nasi isehan, 1
ekaor ayam panggang, jajan dan buah-buahan. Banten ini bermakana suatu permohonan atau
harapan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, agar apa yang kita harapkan dalam yanjna itu
bisa terkabulkan. Banten sesayut atu tetebasan ini banyak jenisnya, seperti sesayut prayascita
luwih, sesayut saraswati, sesayut merta dewa, sesayut sida karya, sesayut sida purna, sesayut
langgeng sakti, dan yang lainnya. Dan adapun jenis-jenis banten Sesayut antara lain: Sesayut
prayascita sakti, Sesayut Saraswati, Sesayut Mertha Dewa, Sesayut Sida Karya, Sesayut Sida
Purna, dan Sesayut Langgen Amukti Sakti.
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana
untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan
melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan
keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam
Pañca Yajña. Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:
1.6.7 Segehan
Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada
Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran,
perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah
diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut.
Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh
emosional.
Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin
dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk
menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing
ngaletehin).
Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara
ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang
merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat
masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat
itu menjadi hilang/mati.