PENDAHULUAN
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar
pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka
Dasar.”
2. Susila
3. Upacara
Tattwa atau ajaran Filsafat yang merupakan Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam
Agama Hindu.
Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa
cara dan pendekatan yang disebut Pramana.
1. Agama Premana
2. Anumana Premana
3. Pratyaksa Premana
TRI PREMANA
Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran
hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan.
Kepercayaan adalah Sradha. Dalam Agama Hindu Sradha dibagi menjadi 5 Esensi, yaitu yang
disebut dengan Panca Sradha.
PANCA SRADHA
1. Brahman
2. Atman
3. Karmaphala
4. Punarbawa
5. moksa
Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik yang sesuai dengan ajaran Agama
Hindu.
Tri Mala
Sad Ripu
Catur Asrama
Catur Warna
Catur Guru
Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani
dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada.
Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara,
Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan
kebenaran yang abadi.
TATTWA
AGAMA
HINDU
UPACARA SUSILA
UPACARA
SUSILA
TATTWA
1. Sraddha
2. Susila
3. Yadnya
4. Kitab Suci
5. Orang Suci
6. Hari-hari suci
7. Kepemimpinan
8. Alam Semesta
9. Budaya dan Sejarah Perkembangan Agama Hindu.
BAB II
SRADDHA
A. Pengertian Sraddha
Secara estimologi kata sradha berasal dari akar kata “srat” atau “srad” yang berarti hati,
disambung dengan kata “dha” yang artinya meletakkan. Sehingga arti keseluruhan adalah
meletakkan hati seseorang pada sesuatu. Ada pula yang mengartikan “srat” sebagai kebenaran
(Yaskarya : Niganthu), dan sradha adalah sikap pikiran yang didasarkan pada kebenaran.
Sradha atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut
“Panca Sradha”, yaitu terdiri dari:
Hyang Widhi adalah yang menakdirkan, maha kuasa, dan pencipta semua yang ada. Kita
percaya bahwa beliau ada, meresap di semua tempat dan mengatasi semuanya “ Wyapi Wyapaka
Nirwikara “
Di dalam kitab Brahman Sutra dinyatakan “ Jan Ma Dhyasya Yatah “ artinya Hyang
Widhi adalah asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini. Dari pengertian tersebut bahwa
Hyang Widhi adalah asal dari segala yang ada. Kata ini diartikan semua ciptaan, yaitu alam
semesta beserta isinya termasuk Dewa – dewa dan lain – lainnya berasal dan ada di dalam Hyang
Widhi. Tidak ada sesuatu di luar diri beliau. Penciptaan dan peleburan adalah kekuasaan beliau.
Agama Hindu mengajarkan bahwa Hyang Widhi Esa adanya tidak ada duanya. Hal ini
dinyatakan dalam beberapa kitab Weda antara lain :
Dalam Chandogya Upanishad dinyatakan : “Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman”
artinya Hyang Widhi hanya satu tak ada duanya dan maha sempurna
Dalam mantram Tri Sandhya tersebut kata-kata: “Eko Narayanad na Dwityo Sti Kscit“
artinya hanya satu Hyang Widhi dipanggil Narayana, sama sekali tidak ada duanya.
Dalam Kitab Suci Reg Weda disebutkan “Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti“
artinya Hyang Widhi itu hanya satu, tetapi para arif bijaksana menyebut dengan berbagai
nama.
Dalam kekawin Sutasoma dinyatakan : “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrwa” artinya berbeda-beda tetapi satu, tak ada Hyang Widhi yang ke dua.
2. MAHIMA artinya sifat tuhan maha besar, segala tempat dipenuhi oleh-Nya dan tiada
ruang yang kosong oleh-Nya.
3. LAGHIMA artinya sifat tuhan maha ringan bahkan lebih ringan daripada ether
8. YATRA KAMA WASAYITWA artinya segala kehendaknya akan terlaksana dan tidak ada
yang dapat menentang kodratNya. Kodrat artinya takdir, dan takdir adalah kehendak Tuhan
(Rta).
Badan dengan atma ini bagaikan hubungan Kusir dengan Kereta. Kusir adalah atma, dan
kereta adalah badan. Indria yang ada pada badan kita tidak akan ada fungsinya apabila tidak ada
atma. Misalnya, mata tidak dapat digunakan untuk pengelihatan jika tidak dijiwai oleh atma.
Telinga tidak dapat digunakan untuk pendengaran jika tidak dijiwai oleh atma.
Atma yang berasal dari Hyang Widhi mempunyai sifat “ Antarjyotih “ (bersinar tidak ada
yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna). Dalm kitab Bhagadgita disebut
sifat-sifat atma sebagai berikut :
Jelaslah atma itu sifatnya sempurna. Tetapi pertemuan antara atma dengan badan yang
kemudian menimbulkan ciptaan menyebabkan atma dalam keadaan “ Awidhya “. Awidhya
artinya gelap lupa kepada kesadaran . Awidhya muncul karena pengaruh unsur panca maha butha
yang mempunyai sifat duniawi. Sehingga dalam hidup ini atma dalam diri manusia di dalam
keadaan awidhya.
Dalam keadaan seperti ini kita hidup kedunia bertujuan untuk menghilangkan awidhya
untuk meraih kesadaran yang sejati dengan cara melaksanakan Subha karma. Menyadari sifat
atma yang serba sempurna dan penuh kesucian menimbulkan usaha untuk menghilangkan
pengaruh awidhya tadi. Karena apabila manusia meninggal kelak hanya badan yang rusak,
sedangkan atmanya tetap ada kembali akan mengalami kelahiran berulang dengan membawa
“Karma Wasana“ (bekas hasil perbuatan). Oleh karena itu, manusia lahir kedunia harus berbuat
baik atas dasar pengabdian untuk membebaskan Sang Hyang Atma dari ikatan duniawi.
Sesungguhnya jika tidak ada pengaruh duniawi Hyang Widhi dan Atma itu adalah tunggal
adanya (Brahman Atman Aikyam)
Setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini baik atau buruk akan memberikan hasil.
Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari hasil atau pahala, langsung maupun tidak
langsung pahala itu pasti akan datang.
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik atau Subha karma membawa hasil yang
menyenangkan atau baik. Sebaliknya perbuatan yang buruk atau Asubha karma akan membawa
hasil yang duka atau tidak baik.
Perbuatan – perbuatan buruk atau Asubha karma menyebabkan Atma jatuh ke Neraka,
dimana ia mengalami segala macam siksaan. Bila hasil perbuatan jahat itu sudah habis terderita,
maka ia akan menjelma kembali ke dunia sebagai binatang atau manusia sengsara (Neraka
Syuta). Namun, bila perbuatan – perbuatan yang dilakukan baik maka berbagai kebahagiaan
hidup akan dinikmati di sorga. Dan bila hasil dari perbuatan=perbuatan baik itu sudah habis
dinikmati, kelak menjelma kembali ke dunia sebagai orang yang bahagia dengan mudah ia
mendapatkan pengetahuan yang utama.
Jika dilihat dari sudut waktu, Karma phala dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Adalah hasil dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang ini tanpa ada sisanya, sewaktu
masih hidup telah dapat memetik hasilnya, atas karma yang dibuat sekarang. Sekarang menanam
kebijaksanaan dan kebajikan pada orang lain dan seketika itu atau beberapa waktu kemudian
dalam hidupnya akan menerima pahala, berupa kebahagiaan. Sebaliknya sekarang berbuat dosa,
maka dalm hidup ini dirasakan dan diterima hasilnya berupa penderitaan akibat dari dosa itu.
Adalah pahala dari perbuatan yang tidak dapat dinikmati langsung pada kehidupan saat
berbuat. Tetapi, akibat dari perbuatan pada kehidupan sekarang akan dan di terima pada
kehidupan yang akan datang, setelah orangnya mengalami proses kematian serta pahalanya pada
kelahiran berikutnya. Apabila karma pada kehidupan yang sekarang baik maka pahala pada
kehidupan berikutnya adalah hidup bahagia, dan apabila karma pada kehidupan sekarang buruk
maka pahala yang kelak diterima berupa kesengsaraan.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari
perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Kita tidak dapat menghindari hasil
perbuatan kita itu baik atau buruk. Maka kita selaku manusia yang dilengkapi dengan bekal
kemampuan berpikir, patutlah sadar bahwa penderitaan dapat diatasi dengan memilih perbuatan
baik. Manusia dapat berbuat atau menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat
baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Samsara disebut juga Punarbhawa yang artinya lahir kembali ke dunia secara berulang-
ulang. Kelahiran kembali ini terjadi karena adanya atma masih diliputi oleh keinginan dan
kemauan yang berhubungan dengan keduniawian.
Kelahiran dan hidup ini sesungguhnya adalah sengsara, sebagai hukuman yang
diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran yang lampau. Jangka pembebasan diri
dari samsara, tergantung pada perbuatan baik kita yang lampau (atita) yang akan datang (nagata)
dan sekarang (wartamana).
Pembebasan dari samsara berarti mencapai penyempurnaan atma dan mencapai moksa yang
dapat dicapai di dunia ini juga. Pengalaman kehidupan samsara ini dialami oleh Dewi Amba
dalam cerita Mahabharata yang lahir menjadi Sri Kandi.
Selanjutnya keyakinan adanya Punarbhawa ini akan menimbulkan tindakan sebagai berikut :
Pitra Yadnya
Yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, karena kita percaya leluhur itu masih hidup
di dunia ini yang lebih halus.
Pelaksanaan dana Punya (amal saleh), karena perbuatan ini membawa kebahagiaan
setelah meninggal.
Berusaha menghindari semua perbuatan buruk karena jika tidak, akan membawa ke alam
neraka atau menglami kehidupan yang lebih buruk lagi.
Moksa berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan
duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam kebahagiaan yang tiada
tara. Karena telah lenyap dan tidak mengalami lagi hukum karma, samsara, maka alam
kamoksam itu telah bebas dari urusan – urusan kehidupan duniawi, tidak mengalami kelahiran
lagi ditandai oleh kebaktian yang suci dan berada pada alam Parama Siwa.
Alm moksa sesungguhnya bisa juga dicapai semasa masih kita hidup di dunia ini,
keadaan bebas di alam kehidupam ini disebut Jiwan Mukti atau moksa semasa masih hidup.
Moksa sering juga diartikan berstunya kembali atma dengan Parama Atma di alam
Parama Siwa. Dialam ini tiada kesengsaraan, yang ada hanya kebahagiaan yang sulit dirasakan
dalam kehidupan di dunia ini ( Sukha tan pawali Duhka ).
Syarat utama untuk mencapai alam moksa ini ialah berbhakti pada dharma, berbhakti
dengan pikiran suci. Kesucian pikiran adalah jalan utama untuk mendapatkan anugrah utama dari
Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dibandingkan dengan besi yang bersih dari karatan,
maka dengan mudah dapat ditarik oleh magnet. Tetapi besi itu kotor penuh dengan karatan maka
sangat sukar dapat ditarik oleh magnet.
Moksa merupakan tujuan akhir yang harus diraih oleh setiap orang menurut ajaran agama
Hindu. Tujuan tersebut dinyatakan dengan kalimat “ Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma “.
Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut Catur Marga yang
terdiri dari :