Anda di halaman 1dari 8

SESAYUT SIDHAKARYA: IMPLEMENTASI DHARMA KRIYA MELALUI

TETANDINGAN BANTEN DALAM UPACARA YAJÑA DI BALI

Oleh:
Wasudewa Bhattacarya, S.Ag.

I. Pendahuluan
Dalam ajaran agama Hindu terdapat empat jalan untuk menuju Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang disebut dengan Catur Marga, yang terdiri dari Bhakti Marga, Karma
Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga. Dalam pelaksanaannya Catur Marga tersebut
merupakan kesatuan yang utuh yang saling melengkapi. Salah satu contoh nyata dalam
pelaksanaan Catur Marga tersebut adalah melalui Upakara atau Banten pada upacara
keagamaan Hindu di Bali. Upakara atau Banten merupakan salah satu sarana dalam
pelaksanaan upacara bagi mereka yang menempuh jalan Bhakti Marga, akibat mempunyai
kemampuan yang sangat terbatas dalam berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Upakara atau Banten tersebut diwujudkan dengan Karma Marga yaitu dengan jalan bekerja
atau berbuat, yang nantinya akan dipersembahkan melalui Jnana Marga dan Yoga Marga,
sehingga ajaran Catur Marga sudah diamalkan dengan baik.
Pelaksanaan upacara di Bali tidak pernah terlepas dari Banten. Dalam Lontar
Tegesing Sarwa Banten menyebutkan pengertian banten sebagai berikut.
“Banten mapiteges pakahayunan, nga; pakahayunane sane jangkep galang”
Terjemahannya:
“Banten itu adalah buah pemikiran, artinya; pemikiran yang lengkap dan bersih.”
Berdasarkan petikan kalimat diatas, Banten merupakan wujud dari pemikiran yang
lengkap didasari dengan hati yang tulus ikhlas. Selanjutnya dalam Lontar Yadnya Prakerti
disebutkan mengenai simbol dari Banten itu adalah sebagai berikut.
“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara,
pinaka anda bhuana”
Terjemahannya:
“Semua jenis Banten (Upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang
kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuwana Agung (alam semesta)”
Banten sebagai sarana upacara yang dugunakan untuk memuja Ida Sang Hyang
Widhi beserta manisfestasinya yang digunakan untuk memohon keselamatan dan kerahayuan.
Melalui banten ini hendaknya manusia bisa lebih memahami hakekat karma dan bhakti dalam
kehidupan sehari-hari.

II. Banten Sesayut Sidhakarya


2.1 Banten Sesayut
Pada umumnya pelaksanaan upacara Yajña di Bali menggunakan Banten Sesayut.
Banten Sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” yang berarti mempersilahkan atau
men-sthana-kan, karena sayut disimbolkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Wijayananda, 2003: 8). Menurut Zeotmulder dalam Dunia
(2008: iii), kata Sesayut berasal dari kata sayut yang berarti tahan, cegah. Hal ini berarti
Sesayut memiliki pengertian untuk menahan dan mencegah agar orang terhindar dari
mala, gangguan yang merusak, kemalangan atau penyakit. Menurut Dunia (2008: iv),
terdapat 596 buah nama dan jenis Sesayut yang diperoleh dari berbagai sumber, dan
kemungkinan masih ada jenis Sesayut yang lainnya. Sesayut yang digunakan dalam
upacara Yajña tidak semuanya berbentuk sesajen atau persembahan, tetapi ada pula yang
berbentuk mantra saja seperti Sesayut Pengilang Ipian Ala.
Berdasarkan fungsinya, Sesayut memiliki berbagai kegunaan diantaranya sebagai
pemutusing karya, sebagai penyucian, sebagai sarana untuk memohon kerahayuan,
panjang umur, kesehatan, kebahagiaan, dan lain-lain. Banten Sesayut juga dapat
digunakan sebagai Usada Bebantenan ketika digunakan sebagai penebusan atau pemayuh
karena hanya dengan menggunakan sarana Sesayut ini seseorang diharapkan dapat
sembuh dari berbagai penyakit seperti Sesayut Agering, Sesayut Kadirgahayuan dan lain-
lain.
Apabila dilihat dari kedudukan dalam suatu upacara, maka banten Sesayut
memiliki dua kedudukan yaitu sebagai bagian dari satu unit bebantenan dan digunakan
secara menyendiri. Kedudukan banten Sesayut sebagai satu unit bebantenan artinya
Sesayut ini dirangkaikan dengan banten lain sebagai satu komponen yang utuh. Misalnya
Sesayut Agung yang digunakan pada Upacara Tigang Sasih (Nelu Bulanin/ Nyambutin),
maka dirangkaian dengan banten upacara Tigang Sasih lainnya. Begitu pula jenis Sesayut
lain seperti Sesayut Prayascita, Sesayut Pengambeyan, Sesayut Katututan dan lain
sebagainya. Apabila kedudukan banten Sesayut secara menyendiri berarti Sesayut
tersebut digunakan sebagai banten pokok tanpa ada banten lainnya, seperti Sesayut
Panebusan dan Pemayuh.
2.2 Banten Sesayut Sidhakarya
Banten Sesayut Sidhakarya merupakan banten yang paling sering digunakan
dalam upacara Yajña. Banten Sesayut Sidhakarya ditujukan kehadapan para dewa pada
saat melaksanakan upacara Yajña dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang
dilaksanakan tidak menemui kegagalan (Raras, 2006: 193). Pada umumnya banten
Sesayut Sidhakarya ini digunakan saat piodalan, ngenteg linggih, melaspas dan upacara
Dewa Yajña lainnya. Banten Sidhakarya ini juga digunakan dalam pertunjukkan Topeng
Wali yaitu Topeng Sidhakarya. Dalam hal ini, Sesayut Sidhakarya juga dapat berfungsi
sebagai pemuput suatu upacara Yajña. Apabila Sesayut Sidhakarya ini digunakan dalam
banten Catur maka Sesayut Sidhakarya ini ditujukan kepada Bhatara Mahesora yang
diletakkan pada arah mata angin tenggara/ Gneyan sesuai dengan pengider bhuwana
(Wijayananda, 2006: 3).
Dalam lontar Rare Angon disebutkan unsur-unsur Sesayut Sidhakarya sebagai
berikut,
“Sesayut sidhakarya, nga., mapinda citakan marpat, ring madya apit ring
tumpeng alit pada 1, tancebin kwangi 4, bilang bucu, muncuk tumpeng tancebin sekar
tunjung, tulung 2, rakajaja sarwa gelahan, sdah woh, raka woh-wohan dena jangkep”,
(Paketan, 2012: 56).
Apabila dirinci lagi maka unsur-unsur banten Sesayut Sidhakarya sebagai berikut.
1. Kulit Sesayut
2. Segehan (nasi) berbentuk segi empat
3. Tumpeng kecil
4. Bunga tunjung
5. Kwangen 4 buah
6. Tulung berisi nasi 2 buah
7. Raka-raka sakasidan (jajan dan buah)
8. Daun sirih dan pinang
9. Sampian sesayut. (Arwati, 2006: 5)

Adapun cara menatanya adalah menggunakan nampan atau nare sebagai alasnya,
kemudian alas bantennya menggunakan kulit sesayut, diatasnya diisi segehan (nasi) segi
empat dan ditengah-tengahnya berisi tumpeng kecil. Pada ujung tumpeng ditancapi
setangkai bunga tunjung. Pada bagian ujung-ujung sudut segehan (nasi) ditancapi
kwangen masing-masing satu buah kwangen. Disampingnya berisi dua buah tulung berisi
nasi, rerasmen, serta berisi raka-raka (jajan dan buah) yang dibawahnya dialasi dengan
daun sirih dan pinang lalu diatasnya berisi sampian sesayut berisi porosan, bunga dan
rampe.
Pembuatan Banten Sesayut tersebut merupakan salah satu wujud dari Dharma
Kriya. Dharma Kriya berarti selalu bekerja dan berperilaku berdasarkan atas kebenaran/
dharma untuk keselamatan dan kebahagiaan orang banyak. Prosesi pembuatan Banten
Sesayut dari tahap awal hingga menghaturkan merupakan tingkah laku yang berlandaskan
pada dharma. Banten Sesayut Sidhakarya ini juga merupakan wujud dari Karma dan
Bhakti Marga sebagai pengejawantahan dari ajaran Dharma Kriya. Prosesi pembuatan
banten ini merupakan wujud dari Karma Marga yang kemudian hasilnya dihaturkan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud Bhakti terhadap Beliau.
Umat Hindu menghaturkan Banten Sesayut ini sebagai bentuk pemohonan agar
kegiatan upacara yang laksanakan berjalan lancar dan berhasil. Melalui permohonan
tersebut, maka seseorang akan tersugesti dan termotivasi dalam hidupnya untuk selalu
bekerja dan berbuat baik. Seseorang akan melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik dan
sungguh-sungguh dan tulus ikhlas. Apabila bekerja dengan tulus ikhlas, maka diharapkan
akan mendapatkan hasil yang terbaik pula. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan
Banten Sesayut Sidhakarya merupakan salah satu implementasi dari Dharma Kriya yang
dilakukan oleh masyarakat Bali.

III. Penutup
Demikianlah penjelasan mengenai Banten Sesayut Sidhakarya. Banten Sesayut
Sidhakarya bukanlah hanya sekedar sarana upacara saja, tertapi di dalamnya sarat akan
makna filosofis maupun teologis yang sudah diwariskan oleh para leluhur agama Hindu
terdahulu. Oleh kerena itu, perlu adanya pemahaman terhadap Banten secara menyeluruh dan
utuh sehingga dapat meningkatkan Sradha dan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dan tercapainya tujuan dari Agama Hindu yaitu kebahagian di dunia dan kebahagiaan
yang abadi berdasarkan atas Dharma (Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma).
DAFTAR PUSTAKA:
Arwati, Ni Made Sri. 2006. Sesayut dan Kegunaannya. Surabaya: Paramita.
Dunia, I Wayan. 2008. Nama-nama Sesayut. Surabaya: Paramita.
Raras, Niken Tembang. 2006. Majejahitan dan Metanding. Surabaya: Paramita.
Paketan, Ida Bagus Anom. 2012. Tetandingan Upakara Yadnya Manut Lontar Rare Angon.
Denpasar: CV Kayumas Agung.
Wijayananda, Mpu Jaya. 2003. Tetandingan lan Sorohan Banten. Surabaya: Paramita.
PENGGUNAAN UPARENGGA KLAKAT SUDAMALA PADA BANTEN
ARDHANARESWARI

Oleh:
Wasudewa Bhattacarya, S.Ag.

Upacara Yajña di Bali tidak lepas dari penggunaan Banten. Berbagai jenis upacara
Yajña dari tingkatan Nista hingga Uttama pada umumnya menggunakan banten yang
disesuaikan pula dengan tingkatan upacara tersebut. Dalam pembuatan banten, tidak hanya
menggunakan sarana-sarana upacara saja, tetapi diperlukan pula sarana yang disebut dengan
uparengga sebagai pelengkap dari upacara tersebut yang keberadaannya tidak bisa
dipisahkan dengan upacara itu sendiri. Salah satunya adalah penggunaan uparengga Klakat
Sudamala pada banten Ardhanareswari.
Banten Ardhanareswari juga disebut banten dewa dewi. Banten ini digunakan pada
saat upacara Dewa Yajña, khususnya upacara dengan tingkatan besar besar di suatu pura.
Banten Ardhanareswari ini digunakan pada saat pasaksi di Sanggar Surya pada saat upacara
Ngenteg Linggih, upacara Pedudusan, dan upacara Memungkah. Banten Ardhanareswari ini
merupakan banten yang menyimbolkan setengah laki-laki setengah perempuan. Secara
Teologis, Ardhanareswari merupakan simbol Dewa Siwa dan Dewi Uma sebagai causa
prima yang menciptakan alam semesta ini beserta isinya. Banten Ardhanareswari juga
merupakan simbol Dewa Kama dan Dewi Ratih yang melambangkan Purusa dan Pradana.
Banten ini juga merupakan lingga sthana Ida Sang Hyang Widhi yang berwujud Purusa
Pradana yang menciptakan alam semesta (Paketan, 2012: 3-4).
Adapun unsur-unsur asorohan Banten Ardhanareswari adalah sebagai berikut.
1. Banten Dewa Dewi
Banten Dewa dewi menggunakan alas berupa tempeh, berisi beras, base tampel,
jinah 25 keteng, benang putih, kemudian ditutupi taledan yang dibungkus dengan kain
kasa satu lembar, pada bagian atasnya disusun klakat Sudamala lanang istri, yang
ujungnya/ katik-nya menghadap ke atas.
Pada bagian katik klakat Sudamala tersebut berisi daun biu kayu yang berbentuk
tampak dara, daun medori putih 8 lembar, daun ancak 8 lembar, yang dijahit semuanya
keliling membentuk seperti bunga Padma. Pada bagian atasnya masing-masing berisi
kwangen, kwangen dari daun bingin 8 buah, jinah bolong 8 keteng yang diletakkan di
sela-sela ujung daun ancak tersebut. kemudian susun kalpika dari daun beringin 5 buah,
pada masing-masing kalpika diselingi dengan jinah bolong 3 keteng sehingga total
memerlukan jinah bolong 15 buah. Terakhir pada ujung atau puncaknya berisi tipat
lingga dari daun ambengan/ ilalang. Dewa dewi tersebut diisi base tubungan keliling
dialasi dengan tamas canang burat wangi, nyuh gading yang sudah di-kasturi, dan
tigasan putih kuning satu lembar dan selembar kain kasa putih.

2. Banten Suci 2 Soroh


Banten Suci menggunakan alas tamas berisi suci, daksina, peras, ajuman, tipat
kelanan, duma, pabersihan, canang lenga wangi burat wangi, canang sari, 2 pisang,
parayunan dan rerasmen.

3. Daksina Gede
Pada wakulan daksina gede berisi tampak dara, beras, nyuh makelasan 4, telor
itik, bija ratus, gantusan, plawa peselan, base tampel, tingkih pangi, biu kayu mentah,
jinah, canang payasan (canang genten alasanya segi tiga, ditempel dengan reringgitan).
Boleh juga ditambahkan dengan canang sari dan canang burat wangi.

4. Pucuk Bau
Sarana Pucuk Bau menggunakan alas sebuah paso, berisi wakul daksina gede
pada bagian bibirnya maringgit/ lanying-lanying, isinya sama seperti daksina alit dan
berisi sampian seri kekili.

5. Siwa Bau
Sarana Siwa Bau sama dengan Pucuk Bau tetapi pada bagian bibir wakul daksina
tersebut tidak maringgit atau rata.

6. Kiwa Tengen
Sarana Kiwa Tengen menggunakan alas tamas gede 2, berisi pisang, tebu, bantal,
tape dan lain-lain (sama seperti banten suci masing-masing warna berisi satu buah), berisi
nasi penek/ tumpeng, rerasmen. Nasi penek putih diletakkan pada tamas, dan tamas yang
satunya diletakkan penek kuning.

Berdasarkan uraian diatas, maka uparengga Klakat Sudamala digunakan pada


sorohan Banten Dewa Dewi. Tempeh sebagai dasar atau alas dari banten dewa dewi
merupakan simbol Windu atau kosong. Kemudian terdapat dua lingga yang dialasi dengan
klakat sudhamala lanang istri sebagai dasar yang merupakan simbol Brahma Bhaga yang
berbentuk segi empat, diatasnya terdapat 8 lembar daun ancak, daun medori putih dan
daun bingin sebagai badan yang merupakan simbol Wisnu Bhaga yang berbentuk segi
delapan, pada bagian paling atas terdapat tipat lingga sebagai kepala yang merupakan
simbol Siwa Bhaga yang berbentuk bulat. Kedua lingga tersebut disatukan oleh silang
sebagai lambang pertemuan Purusa dan Pradhana yang menciptakan alam semesta ini.
Apabila kita cermati, maka struktur banten dewa dewi ini sesuai dengan wujud dari
Lingga dan Yoni yang juga memiliki makna pertemuan Purusa dan Pradhana yang
menghasilkan ciptaan dan kesuburan alam semesta.
Konsep Purusa dan Pradhana/ Prakerti ini jika dikaji dari filsafat Samkhya
Darsana maka Purusa adalah asas kesadaran atau kejiwaan dan Pradhana/ Prakerti
adalah asas ketidak sadaran atau kebendaan. Jika dalam konsep tattwa maka Purusa ini
disamakan dengan Cetana dan Pradhana adalah Acetana. Acetana adalah konsep
Siwatattwa yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu Siwatma, Sada Siwa dan Parama Siwa,
sedangkan Acetana adalah Maya Tattwa. Kedua unsur utama ini bersifat sangat halus dan
gaib. Unsur Cetana menjadikan unsur-unsur kejiwaan dalam makhluk hidup dan Acetana
menjadi unsur-unsur material. Penggabungan dari kedua unsur inilah yang menjadikan
terciptanya seluruh alam semesta beserta isinya. Hal inilah pula yang mendasari adanya
Lingga dan Yoni, yang secara tidak langsung membuktikan bahwa konsep Purusa/
Cetana dan Pradhana/ Acetana ini juga terdapat di Bali melalui bentuk Klakat Sudamala
pada tetandingan Banten Dewa-Dewi.

DAFTAR PUSTAKA:
Paketan, Ida Bagus Anom. 2012. Tetandingan Upakara Yadnya manut Lontar Rare Angon.
Denpasar: CV Kayumas Agung.
Sura, I Gede. 1999. Siwatattwa. Pemerintah Provinsi Bali.
Surayin, Ida Ayu Putu. 2002. Seri II Upakara Yajna: Bahan dan Bentuk Sesajen. Surabaya:
Paramita

Anda mungkin juga menyukai