Anda di halaman 1dari 16

Catur Dresta

Leave a commentPosted by admin on July 26, 2012

1 Vote

Dalam praktek keagamaan, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan lebih berpijak pada
acara(tradisi). Tradisi mana tentunya tetap mengacu pada sumber tertinggi yaitu Sruti, namun
dalam pengamalannya lebih ditampilkan wujud prilaku(etika) dan wujud materi(upacara/upakara
jadya). Sedangkan wujud ide/nilai berupa pengetahuan(Jnana) cenderung dikesampingkan(gugon
tuwon). Itulah sebabnya, dalam hal menjalankan tradisi keagamaan umat Hindu dapat benar-benar
dapat dengan tekun/kuat mempertahankan tetamian leluhur itu. Tradisi leluhur dalam hal menerapkan
ajaran agama Hindu inilah yang kemudian berkembang menjadi dresta yang arti dan maknanya
lebih luas yaitu sebagai pandangan dari suatu masyarakat mengenai tata krama dalam menjalankan
hidup dan kehidupa dimasyarakat(desa pekraman). Dan karena setiap masyarakat dalam lingkup
desa/wilayah berbeda latar belakangnya(sosial,ekonomi,budaya,sifat keagamaannya) maka meski
tidak mencolok, yang namanya perbedaan dalam penampilan selalu muncul dan mewarnai perilaku
kehidupan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Munculah istilah pembenaran untuk
suatu perbedaan itu seperti: desa-kala-patra(perbedaan menurut tempat,waktu dan keadaan), desa
mawa cara(setiap wilayah mempunyai cara/kebiasaan yang berlainan), negara mawa tata(setiap
negara memiliki tata cara tersendiri) dan lahir pula istilah dresta.
Dresta terdiri dari 4(empat) jenis dengan acuan pembenarannya bervariasi, yaitu:
1.

Purwa Dresta; sering juga disebut Kuna Dresta, adalah suatu pandangan lama yang muncul
sejak dahulu dan terus dijadikan sebagai pedoman dari generasi pelaksanaan Nyepi dengan
catur bratanya.

2.

Loka Dresta; adalah suatu pandangan lokal yang hanya berlaku pada suatu daerah/wilayah.
Contohnya: tradisi tidak membakar mayat di daerah/wilayah Trunyan(Bali Aga).

3.

Desa Dresta, tidak jauh berbeda dengan loka dresta, dimana suatu pandangan yang sudah
mentradisi dan hanya berlaku disuatu desa tertentu saja. Misal: tradisi Ngusaba umumnya
dilakukan di desa-desa Bali timur, sedang di Bali Barat tidak begitu lumrah.

4.

Sastra Dresta, merupakan suatu pandangan yang dasar pijakannya adalah sastra atau
pustaka-pustaka agama yang mengacu pada kitab suci Weda. Misalnya: Manawadharmasastra,
Sarassamuscaya, Bhagawadgita, dll. termasuk lontar-lontar yang berisi petunjuk praktis dari
pelaksanaan upacara yadnya.
Dilihat dari sumber pijakan atau acuannya, maka diantara ke empat dresta tersebut diatas yang
menempati posisi tertinggi sebagai pedoman dalam melaksakan ajaran agama adalah Sastra Dresta
baik yang berstatus Sruti maupun Smrti, dimana keduanya merupakan Dharma Sastra> sumber
kebenaran agama dan wahyu Tuhan.

BISAMA | LOKA DRESTA


BISAMA LOKA DRSTA [1]
Oleh :
I PUTU SUDIARTA [2]

Om Swastyastu,

1. PENDAHULUAN

Dalam ajaran Agama Hindu umatnya diberikan sebuah kebebasan


untuk melaksanakan ajarannya, tidak mempergunakan dokrin -dokrin yang
diterapkan oleh ajaran Agama lain yang mengharuskan Umatnya sama dan
tidak boleh terjadi perbedaan. Jika berbeda dalam pelaksanaannya maka
mereka dianggap sesat dan tidak sesuai dengan ajaran Agamanya.
Di dalam pemahaman Agama Hindu terjadi banyak perbedaan dalam
melaksanakan ajarannya sehingga kelihatannya agama Hindu adalah
agama yang berbeda. Pebedaan disebabkan karena adanya drsta (kebiasankebiasaan) dalam penerapannya sehingga orang lain memandang dan bahkan
umat Hindu sendiri yang memilki pemahan rendah memandang bahwa Hindu
itu adalah agama yang berbeda dan tidak mungkin sama.

Dalam menghadapi penomena ini sebagai umat Hindu hendaknya


menyikapi dengan pandangan atau drsta yang sama.Walaupun berbeda
dalam pandangan namun sama dalam tujuan. Pada prinsifnya Hindu adalah
agama yang sama karena sama-sama mengacu pada ajaran Weda, kelihatan
berbeda karena dalam pelaksanaannya mempergunakan tafsiran tafsiran
yang berbeda sehingga dalam pelaksanaanyapun berbeda sesuai dengan
kemampuan dan tafsir. Untuk menyamakan persepsi dan cara pandang
terhadap Agama maka perlu adanya sebuah bisama dengan tujuan agar
perbedaan masing-masing dapat dipahami dan dihormati oleh pemanandang
yang berbeda.

2. KOSEP BISAMA LOKA DRSTA

a. Bisama
Dalam kamus Jawa Kuna Indonesia oleh Mardiwarsito, dikatakan
bahwa Bhisama berasal
dari
kata Bhisana (Sansekerta)
yang
berarti:
mengerikan, menakutkan, berbahaya, hebat ( Mardiwarsito, 1981). Penggunaan
kata ini misalnya dapat dilihat dalam kekawin Ramayana Sarga XX bait 23,
disana disebutkan : "....sabda nyatita bhisana kagiri-giri purakeng deg
widesa" artinya Sinarnya sangat menakutkan memenuhi segala penjuru"
P.J. Zoetmulder dalam kamus Jawa Kuna Indonesia menyebutkan bahwa
Bhisama berasal dari kata Wisana (Sansekerta) yang berarti : tak sama,
berbeda, ganjil, Tak dapat disamai, sulit, sukar, tak menyenangkan hati,
berbahaya, mengerikan, hebat, tak dapat disetujui, tak jujur, curang, tak adil
(Zoetmulder, 1995).Penggunaan kata ini dapat dilihat pula dalam kekawin
Ramayana 1.53., disana disebutkan:

An lakwekki Si Rama,
Lumange musuh maharsi ring patapan,

Pejahawas ya kasambya,
Apan rare tan wruhing bhisama. (RYL 53.)

Artinya:

Ya, jika sekiranya berjalan kini Sri Rama,Memerangi musuh sang maha Rsi di
pertapaan,Tentu akan matilah ia tertipu.Karena ia masih muda usia belum tahu
bahaya.
Hana kari catakanta ya kinon mahaseng prethiwi Sumusupananang alas
bhisama satru hang matapa Yakita tahanta bhayawa humeneng pwa kiteng
bhisama, Ya ikang kadurnayanta amengani bakanta pejah.

Artinya:

Utusan paduka tuanku yang dititahkan berkelana di dunia, Agar menyusupi


hutan belantara yang sulit dijalani tempat musuh melaksanakan tapa, Mereka
itulah yang patut tuanku pikirkan, Janganlah tuanku berdiam diri
terhadap bahayaMengancam. Itulah kekurang bijaksanaan Tuanku, Yang
menyebabkan bala tentara Tuanku menemui ajalnya.

Menurut Ida Pedanda Putra Telaga (mantan Ketua Umum PHDI Pusat)
menyatakan bahwa Bhisama adalah merupakan suatu piteket, perintah,
titah secara niskala datang dari atas dan secara skala datang
dari pengelingsir Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Bhisama adalah
merupakan warah-warah dari leluhur yang berisi suatu nasehat yang bertujuan
mengatur, dan apabila dilanggar maka yang melanggar akan mendapatkan
sanksi secara niskala, moral dan kena kutuk
Ida Pedanda Pemaron menyatakan bahwa Bhisama adalah sebuah kata
yang mengandung makna magis dan sakral, dalam bahasa Jawa Kuna

disebut tuah. Kata Bhisama juga bisa disejajarkan dengan kata pemastu yaitu
sebuah kata yang sangat suci dan sakral. Bhisama juga mirip dengan pengertian
kata tantu (misalnya Tantu Pagelaran). Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa
Bhisama adalah tuah, pemastu dan tantu yang diharapkan bisa menata,
mengarahkan perilaku umat Hindu.
Ida Bagus Putu Windia (mantan Wakil Ketua PHDI Prop Bali) dari Klungkung
mengatakan, Bhisama dapat dikatakan sebagai hukum untuk mengikat umat
Hindu dalam memantapkan pelaksanaan ajaran agama. Bhisama adalah
ketentuan yang mengatur tentang kewenangan dan wates-wates. Lebih lanjut
dikatakan Bhisama dapat diartikan pula sebagai pesan, hal ini dapat dilihat
dalam parwa-parwa seperti dalam Salya Parwa
Drs. Ida Bagus Gede Agastya memberi pandangan bahwa Bhisama adalah
kutukan, perintah, pewarah-warah dan juga aturan keluarga
Menurut Drs Ketut Wiana Bhisama adalah petuah atau pesan yang
sasarannya adalah masyarakat umum, agar manusia jangan lupa kepada Tuhan,
jangan lupa kepada leluhur dan selalu berbuat baik. Walaupun ada Bhisama
Raja, bhisama leluhur namun esensinya adalah sama yaitu petuah agar berbakti
kepada Tuhan.
Jero Mangku Gede Ketut Soebandi mengatakan bahwa Bhisama tersebut
memuat piteket yakni pemberitahuan, peringatan, nasehat, perintah dan
teguran dari Ida Bhatara-Bhatari Kawitan dan leluhur. Apabila ada pelanggaran
terhadap piteket-piteket tersebut, akan menimbulkan akibat fatal bagi
pelanggarannya.
Dari kutipan dan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
Bhisama adalah perintah-perintah (baik berupa pewarah-warah, dan nasehatnasehat) ataupun larangan-larangan (piteket-piteket) yang diharapkan bisa
menata, mengarahkan prilaku umat Hindu. Bagi siapa yang melanggar pewarahwarah, nasehat-nasehat ataupun piteket-piteket tersebut akan berakibat fatal
bagi pelanggarnya (akan kena sanksi yang berat dan berbahaya) berupa
kutukan-kutukan yang sangat memberatkan dan membahayakan. Bhisama ini
dikeluarkan oleh seorang pandita ataupun majelis pandita (Paruman Pandita),
orang yang betul-betul suci baik dilihat dari pengetahuannya, sikap dan
prilakunya sehari-hari (menjalankan ajaran agama terutama Trikaya parisudha).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Bhisama Parisada Hindu Dharma

Indonesia adalah aturan-aturan yang berisi perintah-perintah ataupun


larangan.larangan yang dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia
( Paruman pandita) yang bertujuan untuk menata, memantapkan dan
mengarahkan umat Hindu di Indonesia guna menyongsong kehidupan beragama
yang lebih baik.

b. Drsta
Ada empat jenis Dresta, yaitu: Kuna Dresta, Desa Dresta, Loka Dresta,
dan Sastra Dresta. Arti sebenarnya dari Dresta yang ditulis dalam kamus Bahasa
Kawi Prof. Drs. S. Wojowasito: drsta = terlihat, kelihatan, sudah dilihat.
Kuna Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual
yang diyakini dan sudah diwarisi sejak dahulu. Desa Dresta adalah kebiasaankebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini dan berlaku di suatu
wilayah tertentu. Loka Dresta adalah kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat
dan ritual yang diyakini oleh sekelompok orang. Sastra Dresta adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan ritual yang diyakini berdasarkan
kebenaran Weda, Wedangga, dan Upaweda.
Kuna Dresta, Desa Dresta, dan Loka Dresta adalah kelompok Dresta yang
tidak berdasar Weda, Wedangga dan Upaweda, oleh karena itu ketiga Dresta itu
terkena pengaruh: desa, kala, patra; artinya bisa tidak kekal atau dapat
berubah, dan tidak universal. Sastra Dresta berdasar Weda, Wedangga dan
Upaweda, oleh karena itu Sastra Dresta tidak terkena pengaruh: desa, kala,
patra; artinya kekal atau tidak dapat berubah, dan universal. Kuna Dresta, Desa
Dresta, dan Loka Dresta lahir dari perjalanan sejarah, sedangkan Sastra Dresta
lahir dari wahyu Ida Sanghyang Widhi Wasa dan anumana pramana para Maha
Rsi.

3. KEWAJIBAN UTAMA DESA PAKRAMAN MENEGAKKAN TATTWA

Evamacaaratodrstvaa
Dharmasya manuyo gatim
Sarvasya tapaso muulam
Aacaram jagrhuh param.
(Manawa Dharmasastra.I.110)

Maksudnya:
Orang suci hendaknya mengajarkan bahwa drsta (kebiasaan) itu harusnya
berdasarkan hukum suci (dharma) dan menetapkan bahwa perbuatan baik
adalah sumber terbaik dari semua pengendalian diri (tapa).

DESA pakraman menurut swadharmanya menegakkan linging Sang Hyang


Aji sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Mpu Kuturan. Dalam kamus Jawa
Kuno kata Sang Hyang Aji artinya kitab suci. Yang dimaksud kitab suci dalam hal
ini, sastra suci ajaran Hindu. Jadi, kewajiban utama dari desa pakraman adalah
menerapkan ajaran agama Hindu. Penerapan tersebut sampai menjadi sebuah
tradisi Hindu. Agama yang diamalkan sampai menjadi kebiasaan (Weda Abyasa)
dalam sloka yang dikutip di atas disebut drsta. Kata drsta berasal dari kata drs
artinya memandang. Drsta artinya pandangan atau paradigma. Yang diterapkan
dalam suatu desa pakraman adalah ajaran sastra suci Hindu yang sudah
menjadi pandangan bersama dalam suatu desa pakraman.
Ajaran Hindu itu sangat luas. Keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala
setiap desa pakraman itu sangat berbeda-beda. Namun yang harus ditegakan
oleh setiap desa pakraman adalah Tattwa dari agama Hindu yang sama dan
universal. Keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala yang berbeda-beda itu
menyebabkan bentuk luar penerapan tattwa agama Hindu yang universal itu
menjadi wujud drsta atau kebiasaan yang berbeda-beda. Namun yang dikemas
tetap adalah tattwa yang sama.
Drsta (kebiasaan) itu harus selalu berdasarkan dharma sebagaimana
dinyatakan dalam sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas. Drsta yang
diterapkan di desa pakraman adalah drsta yang berdasarkan kebenaran suci

atau dharma. Kebenaran suci itu juga disebut tattwa. Tattwa inilah yang harus
selalu menjadi isi dari pada drsta
Jangan sampai drsta itu jauh bertentangan dengan dharma. Zaman terus
berjalan dan terus berubah. Desa drsta atau kebiasaan dalam suatu desa. Loka
drsta yaitu kebiasan yang berlaku dalam suatu daerah. Purwa drsta atau
kebiasaan di masa lampau harus terus-menerus disesuaikan dengan perjalanan
zaman yang terus berubah itu. Jangan ada drsta yang sudah tidak menjadi
media penegakan Tattwa atau kebenaran dharma terus dipertahankan.
Pada kenyataannya masih banyak ada desa pakraman yang justru masih
mempertahankan drsta yang sudah usang dan bertentangan dengan dharma.
Seperti mempertahankan tradisi manak salah, asu mundung, alangkahi karang
hulu. Bahkan dewasa ini ada yang mewajibkan umatnya ikut aktif sabungan
ayam. Semuanya itu sudah sangat bertentangan dengan dharma.
Ada yang melakukan upacara agama yang mewah dengan tidak
memperhitungkan landasan sastra yang dijadikan acuan, demikian juga waktu,
dana dan tenaga yang dihabiskan. Semuanya itu akan menjadi beban yang
memberatkan umat. Umat memang sering tidak berani menyatakan
keberatannya itu secara terbuka. Umumnya takut kena suryak siu. Kalau hal ini
dibiarkan terus maka beragama itu akan bergeser menjadi beradat yang
memberatkan dan makin jauh dari kebenaran agama.
Karena itu, wajib direnungkan terus untuk dibenahi dengan mengevaluasi
dan menganalisis kembali berbagai drsta yang ada. Drsta mana yang perlu
diubah dan yang mana yang masih perlu dipertahankan. Semuanya itu dilakukan
semata-mata untuk menegakkan Tattwa sebagai kewajiban utama dari desa
pakraman. Kalau Tattwa ini sudah tidak ditegakkan lagi oleh desa pakraman
maka jati diri desa pakraman itu akan hilang. Mungkinkah Bali akan ajeg tanpa
mempertahankan jati diri desa pakraman sebagai lembaganya umat Hindu
untuk menegakkan kebenaran atau Tattwa?
Umat hendaknya mampu diajak berpikir bahwa melakukan yadnya itu
adalah suatu pengorbanan mereka yang beryadnya kepada orang lain. Tetapi
dewasa ini banyak upacara yadnya yang dilakukan dengan mengorbankan orang
lain. Misalnya, menutup jalan seenaknya. Bahkan ada sementara oknum
pecalang yang sangat arogan menggertak para pemakai jalan yang justru
dirugikan.

Kalau terpaksa menutup atau mengalihkan jalan, lakukanlah hal itu


menurut prosedur hukum yang berlaku. Relakanlah mengeluarkan tenaga untuk
mengatur lalu lintas membantu Polantas dengan tenaga yang memiliki etika
dan paham berkomunikasi yang baik. Desa pakraman jangan merekrut pecalang
dari orang yang ugal-ugalan bagaikan preman. Hal ini sangat wajib dilakukan
demi menjaga citra positif dari upacara yadnya yang dilakukan. Upacara yadnya
yang lebih banyak mengorbankan orang lain, maka upacara yadnya tersebut
adalah upacara yadnya yang berkualitas rendah. Desa pakraman hendaknya
menata pelaksanaan agama yang memuat umat maupun orang lain bersimpati

4. DEGRADASI (KEMEROSOTAN) DAN UPAYA INTIMIDASI UPACARA AGAMA

Upacara keagamaan yang di laksanakan Umat hindu merupakan


sebuah kewajiban dan diamanatkan oleh kitab suci Weda.dalam bawadgita
bahkan di sebutkan barang siapa yang mempersembahkan sedikit
bunga,daun,buah,air dan api akan di terima olehNya.Namun dalam
pelaksanaannya umat hindu mengembangkannya dengan berbagai macam
bentuk sesuai dengan budaya daerah masing-masing.
Dalam pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu di amanatkan
bahwa dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan. namun realita yang
penulis amati di tingkat masyarakat terjadi ketimpangan-ketimpangan.dimana
masih
adanya intimidasi,dokrinisasi
dari pihak tertentu
sehingga
pelaksanaannya di dasari dengan Yadnya yang tulus menjadi terpaksa dan
bahkan membuat menderita.
Indoktrinisasi adalah suatu cara memasukkan ajaran kepada orang lain
untuk mencuci otak orang yang mendengarkannya. Orang-orang yang
diindoktrinisasi lama kelamaan akalnya tidak berfungsi sehingga mereka
percaya membabi buta terhadap ajaran itu. Biasanya memakai mitos atau
dogma yang dikaitkan dengan agama Hindu agar umat Hindu cepat
menerimanya.
Sedangkan intimidasi adalah menekan dan menakut-nakuti agar mental
orang yang diintimidasi jatuh, tidak percaya diri, rendah diri (minder),
ketakutan dan menurut seperti kerbau yang dicolok hidungnya. Orang-orang

yang diintimidasi menjadi amat ketergantungan Dengan demikian, setiap


mereka akan melakukan upacara pasti mohon petunjuk kepada oknum
tertentu . Pada waktu mereka memohon petunjuk, disitulah oknum merekayasa
politik daksina dimasukkan pada upacara dengan cara menggelembungkan
tingkatan upacara.
Salah satu contoh indoktrinisasi sebagai berikut; Jika anda mau
berkorban suci melakukan upacara yadnya dengan tulus iklas untuk Sang Hyang
Widhi maka anda akan mendapatkan pahala kemakmuran, keselamatan,
ketentraman, dan kedamaian. Semua dresta, gering dan penyakit niskala akan
hilang dari pekarangan rumah anda. Karena dikatakan untuk Sang Hyang Widhi
dan dengan iming-iming niskala maka dengan sendirinya umat bersemangat
mengorbankan apa saja yang dimilikinya. Ada yang mengorbankan tanah,
ternak, perhiasan, bahkan ada dengan jalan pinjam kredit di Bank untuk biaya
upacara dengan harapan mendapat pahala tetapi lacur, setelah upacara
selesai, lama menunggu-nunggu yang datang bukannya pahala, tetapi tagihan
hutang dan kesulitan ekonomi.

Mengenai contoh masalah intimidasi dan Indokrinisasi di ungkapkan sebagai


berikut:
1.
Jika anda tidak melaksanakan upacara ngenteg linggih 30 tahun sekali,
maka tidak ada dewa atau bethara melinggih di merajan anda. Orang yang
otaknya sudah dibius dengan dogma-dogma menjadi ketakutan mendengar
penjelasan itu karena mereka merasa sudah lebih dari 30 tahun tidak
melaksanakan upacara ngenteg linggih. Dengan demikian mereka memaksakan
diri melakukan upacara ngenteg linggih dengan biaya ratusan juta rupiah.
Bahkan di salah satu desa pekraman ada yang menghabiskan biaya sampai 2,6
Milyar rupiah. Secara terpaksa mereka menjual apa saja yang dimiliki.
Beberapa diantaranya bahkan berhutang dengan harapan agar Dewa malinggih
di Merajannya. Tetapi umat yang cerdas dan mengerti dengan tattva vyapi
vyapaka nirvikara dan sarva jagat pratistanem yang artinya Sang Hyang
Widhi ada di mana-mana dan hadir di semua tempat seluruh jagat raya ini,
maka mereka tertawa geli mendengar pernyataan yang menyatakan tidak ada
Dewa malinggih di Merajan.
2.
Kalau kurang banten-nya, saya tidak berani muput. Kalau ada orang
lain yang berani muput, silahkan risikonya ditanggung sendiri. Orang yang
otaknya sudah dicuci menjadi ketakutan, sehingga terpaksa memaksakan diri
membuat banten sebanyak yang disuruh. Walaupun dengan jalan berhutang

membuat banten demi mau disahkannya upacara tersebut. Namun apa yang
terjadi setelah upacara selesai? Pikiran sang empunya upacara tidak pernah
tentram karena dihantui oleh bayang-bayang hutang.
3.
Kamu orang Sudra tidak boleh muput upacara. Sang Brahmana baru
boleh. Sekarang memang banyak orang pintar, tetapi bukan berarti boleh.
Krama Bali yang akalnya sudah terbius oleh dogma ini rela dirinya direndahkan
sehingga tidak berani menyelenggarakan upacara jika tidak dipuput oleh sang
Brahmana. Mereka mengira upacaranya tidak akan diterima oleh Sang Hyang
Widhi jika tidak dipuput oleh sang brahmana. Bahkan karena cap Sudra yang
diberikan, Krama Bali sampai kehilangan kepercayaan diri, minder dan
menganggap diri rendah sehingga mau saja diremehkan, dikata-katai kasar dan
dijadikan budak. Tetapi tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Krama Bali yang
cerdas. Mereka sudah pasti tidak mau tunduk pada politik akal busuk seperti
itu. Mereka berusaha membaca lontar-lontar dan kitab suci Veda yang ada.
Berusaha mengerti tentang banten, cara melakukan upacara dan pujamantranya. Setelah tahu caranya, maka mereka mampu melakukannya sendiri.
Mereka ingin merdeka dalam berhubungan langsung dengan Sang Hyang Widhi
tanpa harus dikekang. Jika oknum Krama Bali lainnya merendahkan soroh
jaba dan meninggikan soroh ida bagus, maka oknum ini sebenarnya dibenci
oleh Dewa Bayu karena melanggar hukum agama yang salah satunya tercantum
dalam Manawa Dharmasastra VII.20. Veda sendiri mengatakan vasudaiva
kutumbakam, semua mahluk hidup bersaudara. Jadi mereka yang melakukan
diskriminasi seperti itu pada dasarnya adalah orang yang durhaka terhadap
Veda. Mereka adalah orang-orang sok pintar tetapi sujatinya sangat bodoh.
Sistem wangsa yang ada di Bali bukanlah buah dari ajaran Hindu, tetapi buah
ajaran feodalisme. Veda tidak pernah mengatakan kedudukan Brahaman,
Ksatrya, Vaisya dan Sudra ini berasal dari keturunan. Berkali-kali Veda
menegaskan bahwa hal ini muncul dari guna (sifat) dan karma (pekerjaan)
orang yang bersangkutan. Mau dia keturunan Brahmana atau Kesatriya, kalau
tingkah lakuknya hanya judi dan mabuk-mabukan, sejatinya dia hanyalah kaum
candala yang kedudukannya lebih rendah dari keempat golongan (catur varna)
yang diakui Veda. Banyak tokoh-tokoh kita yang memiliki kedudukan terhormat,
diakui sebagai Brahmana, duduk di Parisada, di Departemen Agama atau di
organsiasi adat yang mengaku mampu ngalinggihan Veda tetapi perbuatannya
sangat sering melanggar sloka-sloka suci Veda. Inilah para tokoh musang
berbulu ayam. Politik daksinanya ibarat musang, Veda ibarat bulu ayam dan
soroh sudra adalah ayam. Walaupun si soroh sudra dilecehkan tetapi mereka
tetap setia dan hormat kepada Guru Belog Megandong. Jadi sebenarnya soroh
sudra inilah yang berbudi pekerti luhur, yang berusaha mempraktikkan Veda
meski tidak tahu isinya.

Dampak buruk indoktrinisasi dan intimidasi menyebabkan mental Krama


Bali miskin. Dari mental yang miskin menyebabkan mereka miskin harta benda.
Setelah miskin menjadi susah, kecewa, menyesal, menggerutu, jengkel, marah
campur aduk. Kondisi seperti itu membuat frustasi, depresi, mudah salah
paham, mudah diasut, akalnya lumpuh bahkan sampai ada yang struk. Akal
yang lumpuh tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang
salah.

5. PINANDITA IDEAL SEBUAH HARAPAN

Keberadaan seorang Pinandita dimasyarakat Hindu sangat dibutuhkan,


tidak ubahnya seperti kebutuhan masyarakat akan : Dokter, guru/dosen,
pedagang, petani, bahkan tukang cukur. Kebutuhan akan seorang Pinandita,
Pemangku, diperlukan untuk terjawabnya kebutuhan masyarakat akan
Pemimpin Yadnya (Nganteb), tentunya sesuai dengan batas-batas yang
diperbolehkan, karena Pinandita ini masih Eka-Jati. Kapabilitas seorang
Pinandita menjadi pertanyaan seperti halnya tenaga profesional lainnya. Secara
umum pertanyaan berpusat pada persyaratan untuk menjadi Pinandita,
seperti : syarat pendidikan, moral,etik, pemahaman akan ajaran agama,
wawasan luas,kemampuan berdarma-wacana, menjadi problem solving, dan
lainnya. Intinya masyarakat ingin memiliki Pinandita Yang Ideal. Tuntutan
umat ini sangat tinggi bahkan ideal untuk sosok seorang Pinandita. Disisi lain,
sebagai fihak yang dibutuhkan seharusnya Pinandita mempunyai daya tawar
atau bargainning power yang lebih minimal terhadap kesejahtraannya, tetapi
ironisnya banyak dari Pinandita ini sangat susah hidupnya, sementara umat
kurang memperhatikannya. Lalu fenomena apa sebenarnya yang terjadi dalam
interaksi antara Pinandita dan umat ini.
Wacana persyaratan pendidikan tertentu bagi Pinandita, seperti Sarjana
Agama atau pernah mengikuti Kursus-kursus agama, itu boleh-boleh saja
sepanjang syarat itu hanya salah satu dari beberapa syarat-syarat lainnya yang
juga penting seperti syarat moral/etik dan lainnya. Jangan sampai sekolah
agama menjadi syarat mutlak yang dikhawatirkan justru menyuburkan busines
sekolah sejenis ini atau dengan kata lain Pinandita jadi ladang busines. Jika

hanya fokus atau lebih berat pada Ilmu agama, dikhawatirkan hanya
memperoleh Pinandita yang mampu/kapabel pada Ilmu-nya atau pada
Sertifikat/Ijasah, padahal tidak kalah penting adalah penghayatannya. Hal ini
perlu disampaikan karena belajar itu tidak harus disekolah, seorang Pinandita
atau calon Pinandita bisa belajar dirumah atau dimana saja juga melalui
melihat langsung fenomena masyarakat, bahkan dengan cara ini seorang
Pinandita akan lebih menjiwai tugasnya. Syarat lain bahkan yang paling penting
adalah terkait dengan moral terutama kadar rohaninya. Seorang Pinandita
adalah komunikator antara umat (Sang Yajamana) dengan Sang Pencipta, maka
kedalaman batin yang bersumber dari kebersihan jiwanya sangat diperlukan
dalam hal ini. Kedalaman batin ini akan membawa dampak yang penting,
misalnya saja ketika memberikan pencerahan, atau pemaparan ajaran agama,
seorang Pinandita yang tinggi kadar rohaninya, mungkin saja tidak pernah
sekolah agama atau tidak bisa mereferensikan omongannya dengan Sloka Weda,
tetapi dari hati nuraninya yang dalam serta repleksi terhadap permasalahan
orang lain akan mampu menjelaskan atau menjabarkannya dengan baik karena
dia mampu berkomunikasi batin dengan orang lain. Pinandita yang tinggi kadar
batinnya akan mempunyai karisma yang sangat diperlukan dalam menjalankan
swadarmanya terutama ketika memberikan pencerahan. Seorang Pinandita
yang ideal memang adalah yang faham ajaran Agama dari Catur Weda dan
Bhagawad Gitta, tetapi juga dalam rohaninya, serta peka terhadap
permasalahan masyarakat, tetapi tidak mudah memperoleh kriteria itu,
sehingga kalau terpaksa harus memilih antara tinggu ilmu agama dengan tinggi
kedalaman Rohani dan kesuciannya, maka yang lebih menjadi pilihan adalah
Pinandita yang dalam rohaninya. Jadi kriteria utama Pinandita yang baik
adalah Moralnya.
Berikut mari umat memasuki kehidupan Para Pinandita, supaya mengerti
bagaimana kehidupan mereka. Silahkan datang dan lihat langsung kehidupan
mereka apa yang nanti anda lihat. Sebagai gambaran umum bisa disampaikan,
bahwa banyak dari kalangan Pinandita ini kehidupannya kurang layak secara
sosial ekonomi. Seorang Pinandita bukan Pandita (Brahmana) yang relatif sudah
lepas dengan kehidupan keluarga, walau dimasyarakat masih ada Pandita yang
disibukkan dengan kehidupan keluarga. Pinandita ini bukan Brahmana tetapi
tangan-tangan Brahmana, kedua kakinya berada didua sisi, satu sisi melakukan
Fungsi Ke-Pinanditaan, seperti Nganteb, darmawacana, dll. disisi lain dia perlu
menghidupi keluarga. Sumber penghasilan adalah Sesari walau sering kita

tidak faham dan enggan memberikan sesari lebih. Uang ini dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan dapur, anak sekolah, dan lain-lain, mana cukup ? kadang
ada Pinandita yang merangkap sebagai petani, tukang cat, sopir, dan pekerjaan
Warna Sudra lainnya, padahal Pinandita adalah menuju ke Warna Brahmana.
Kalau kerja rangkap seperti ini terjadi maka kita tidak akan mendapatkan
Pinandita yang Ideal. Bagi Pinandita sendiri, walau kurang tepat tetapi inilah
cara agar dirinya bisa melakukan tugasnya sekaligus bisa menghidupi keluarga.
Umat Hindu mengenal Panca Yadnya, tetapi sangat toleran dan berani
mengeluarkan uang besar untuk Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, bagaimana
dengan Rsi Yadnya, apa pernah kita memikirkan pakaian putih (kain/kampuh)
Pinandita, apa pernah menanyakan bagaimana sekolah anak-anaknya, padahal
perhatian dari kita itu sangat dibutuhkan. Di India dalam perayaan
Satyanarayana Wrata yaitu suatu perayaan untuk memberikan perhatian
(punia) kepada Pandita, Pinandita, dan orang miskin, ini dilakukan pada
Purnama. Di Slokantara dan Sarasamuccaya disebutkan Purnama-Tilem adalah
waktu yang baik untuk memberikan Punia pada mereka, tetapi ini jarang
dimanfaatkan. Tidak heran kemudian muncul Paiketan Pemangku di Bali,
sebelumnya sudah ada Paguyuban Pinandita Padma di Karanganyar, Solo, dan
sekitarnya. Tindakan Ini baik, karena bisa dimanfaatkan untuk peningkatan
pemahaman Ke Pinandita-an, juga bisa untuk mengatasi kebutuhan material.
Jangan-jangan muncul Koperasi Pinandita yang menjual kebutuhan seharihari bahkan Simpan-Pinjam padahal Pinandita harusnya tidak terikat lagi pada
hutang piutang jadi fokus pada Swadarma kePinanditaan. maka semakin
jauhlah kita dari kebenaran dengan melalaikan Rsi Yadnya. Masalah lain yang
dihadapi Pinandita khususnya yang suku Bali adalah masalah psychologis
menghadapi awidya/kebodohan umat atau bentuk keangkuhan, yang tidak mau
diperciki tirta Pinandita, dan banyak permasalahan lainnya yang kurang
mendapat perhatian Walaka juga pemerintah atau lembaga keagamaan.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan Pinandita
diluar Bali yang bukan suku Bali, misalnya di kantong-kantong Hindu di Jawa.
Masalah sosial ekonomi yang belum baik juga terjadi pada mereka, namun
permasalahan rendahnya tingkat pendapatan ini umumnya tidak hanya pada
Pinandita tetapi pada masyarakat secara umum di desa-desa kantong Hindu ini,
jadi perlu keterlibatan fihak luar untuk membantu. Masalah lain adalah
Format Ke Pinanditaan mereka. Hindu bangkit kembali di komunitas Suku
Jawa belum lama karena tenggelam sejak abad ke-14 sampai ke-19 (sejak

Majapahit Hindu runtuh). Seperti halnya Bebanten, bentuk yadnya, dan cara
Pinandita era Majapahit ini menghubungkan diri ke Sang Pencipta, juga
tenggelam. Itulah sebabnya Ageman ke Pinanditaan yang dipelihara di Bali oleh
leluhur kita dari Jawa yang menetap di Bali, dikembangkan menjadi seperti
sekarang dan diajarkan lagi kepada Pinandita baru dari suku Jawa.
Faktanya transfer knowledge ke-Pinanditaan ini belum berjalan mulus, apakah
karena belum memperoleh pendidikan yang baik dan intensif dari Bali atau
justru keengganan Pinandita Jawa mengikuti tata-cara di Bali perlu dicermati
lebih teliti. Memang dengan cara sederhana, mantram singkat atau hanya
ucapan biasa asal disertai ketulusan dan kepasrahan, maka sudah besar artinya,
tetapi tentu akan lebih baik jika kepada Pinandita dari Suku Non Bali ini
diberikan Format Pinandita Hindu Nusantara, yang sesuai dengan lingkungan
dan kebiasaan mereka dengan prinsif ke-aneka ragaman tetapi bersumber satu,
yaitu Sesana Ke-Pemangkuan yang benar. Ini adalah tanggung jawab Paruman
Pandita misalnya saja di PHDI Pusat untuk merumuskannya.

6. SIMPULAN

Bhisama adalah perintah-perintah (baik berupa pewarah-warah, dan


nasehat-nasehat) ataupun larangan-larangan (piteket-piteket) yang diharapkan
bisa menata, mengarahkan prilaku umat Hindu. Bagi siapa yang melanggar
pewarahwarah, nasehat-nasehat ataupun piteket-piteket tersebut akan
berakibat fatal bagi pelanggarnya (akan kena sanksi yang berat dan berbahaya)
berupa kutukan-kutukan yang sangat memberatkan dan membahayakan.
Kewajiban utama dari desa pakraman adalah menerapkan ajaran agama
Hindu. Penerapan tersebut sampai menjadi sebuah tradisi Hindu. Agama yang
diamalkan sampai menjadi kebiasaan (Weda Abyasa) dalam sloka yang dikutip
di atas disebut drsta.
Menghadapi kesejahteraan pemangku di butuhkan
Hindu untuk beryadnya utamanya Rsi Yadnya.

kesadaran umat

Om Santih, Santih, Santih.

Anda mungkin juga menyukai