Anda di halaman 1dari 27

Apa makna catur marga?

Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur berarti
empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha.
Catur Marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk
menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. jalan atau upaya menghubungkan atman dengan
brahman sehingga ada kedekatan untuk tujuan kemuliaan atman,
dengan harapan semoga jika tiba saatnya kita wafat, atman dapat
bersatu dengan brahman. Dengan kata lain, untuk mencapai moksah,
yakni tujuan hidup tertinggi dari catur purushartha (dharma, artha,
kama, moksa). Catur marga juga sering disebut dengan catur marga
yoga.
Di dalam agama Hindu tidak ada suatu keharusan untuk menempuh
satu-satu jalan, karena semua jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha
Esa diturunkan oleh-Nya untuk memudahkan umat-Nya menuju
kepada-Nya. Empat jalan untuk menghubungkan diri, yang dimaksud
adalah menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Usaha
untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa akan
berhasil bila didukung dengan metode, media maupun lokasi spiritual
yang kondusif untuk itu, di samping personalitas pribadi orang yang
menghubungkan diri kepada-Nya.
Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam pustaka suci
Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga
yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara
ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma
(perbuatan yang tidak baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak
berbuat (akarma) dan wikarma (perbuatan yang keliru).
Karma memiliki dua makna yakni karma terkait ritual atau yajna dan
karma dalam arti tingkah perbuatan.
Kedua, tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam
wujud yang abstrak dan menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata,
misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca atau
mantra.
Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan pengetahuan suci menuju
Tuhan Yang Maha Esa, ada dua pengetahuan yaitu jnana (ilmu
pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan itu).
Keempat, Raja Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan
yoga atau meditasi (konsentrasi pikiran) untuk menuju Tuhan Yang
Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Berikut sloka yang mendukung adanya perbedaan jalan dalam menuju
tuhan;
Yo yo ym ym tanum bhaktah raddhayrcitum
icchati, tasya tasycalm raddhm tm eva vidadhmy
aham (Bhagawadgita, 7:21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
E yath mm prapadyante tms tathaiva bhajmy aham,
mama vartmnuvartante manusyh prtha
sarvaah (Bhagawadgita, 4:11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku
memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan
berbagai jalan, wahai putera Partha.
Bagian Bagian Catur Marga Yoga
Catur marga terdiri dari empat bagian yaitu
1. Bhakti Marga, Sembahyang
2. Karma marga, Berprilaku baik
3. Jnana marga Ilmu pengetahuan
4. Raja Marga. Meditasi atau perernungan
Setiap orang boleh memilih salah satu dari keempat jalan ini sesuai
dengan situasi dan kondisi masing-masing.
a. Bhakti Marga Yoga
Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti ini digunakan untuk
menunjukkan kasih kepada objek yang lebih tinggi atau lebih luas
cakupannya. contoh: kepada orang tua, para leluhur, para dewa, Tuhan
Yang Maha Esa. Kata cinta kasih digunakan untuk menunjukkan cinta
kepada sesama manusia atau mahluk di bawah mansuia : kawan,
keluarga, pacar, tetangga, rekan kerja, binatang, tumbuh-tumbuhan,
alam samesta ini. Jalan Bhakti Marga: jalan untuk menuju Tuhan Yang
Maha Kuasa dengan menggunakan sarana RASA. Orang yang
melakukan jalan bhakti disebtu Bhakta.
Sivananda (1997:129-130) menyatakan bahwa bhakti merupakan kasih
sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
merupakan jalan kepatuhan atau bhakti.
Bhaktiyoga disenangi oleh sebagian besar umat manusia. Tuhan
merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan
melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya yang mengelora
dan menyerap segalanya. Cinta kepada Tuhan harus selalu diusahakan.
Mereka yang mencintai Tuhan tak memiliki keinginan ataupun
kesedihan. Ia tak pernah membenci mahluk hidup atau benda apapun,
dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul
semuanya dalam dekapan tingkat kasih sayangnya.
Kama (keinginan duniawi) dan trisna (kerinduan) merupakan musuh
dari rasa bhakti. Selama ada jejak-jejak keinginan dalam pikiran
terhadap objek-objek duniawi, seseorang tidak dapat memiliki
kerinduan yang dalam terhadap Tuhan. Atma-Nivedana merupakan
penyerahan diri secara total setulus hati kepada Tuhan, yang
merupakan anak tangga tertinggi dari Navavidha Bhakti, atau sembilan
cara bhakti. Atma-Nivedana adalah Prapatti atau Saranagati.
Penyembah menjadi satu dengan Tuhan melalui Prapatti dan
memperoleh karunia Tuhan yang disebut Prasada. Bhakti merupakan
suatu ilmu spiritual terpenting, karena mereka yang memiliki rasa cinta
kepada Tuhan, sesungguhnya kaya. Tak ada kesedihan selain tidak
memiliki rasa bhakti kepada Tuhan.
Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu
1. Para bhakti
2. Apara bhakti.
Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada
Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak
utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi
yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat
inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja.
Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan
kesadaran rohaninya tinggi.
Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak
terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadnya) serta menggunakan
berbagai simbol (niyasa).
Sedangkan Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para bhakti antara lain
sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa Agama
dan kuat/berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama
sehingga dapat mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik dimana
Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan) dan Manacika (pikiran) selalu
terkendali dan berada pada jalur dharma.
Bhakta yang seperti ini banyak melakukan
1. Drwya Yadnya (ber-dana punia),
2. Jnana Yadnya (belajar-mengajar),
3. Tapa Yadnya (pengendalian diri).
b. Jnana Marga Yoga
Sivanada (1993:133-134) menyatakan bahwa janayoga merupakan
jalan pengetahuan. Moksa (tujuan hidup tertinggi manusia berupa
penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa) dicapai melalui
pengetahuan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan
roh tertinggi atau Brahman. Penyebab ikatan dan penderitaan adalah
avidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil, karena ketidaktahuan secara
bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari Brahman. Avidya
bertindak sebagai tirai atau layer dan menyelubungi jiwa dari
kebenaran yang sesungguhnya, yaitu bersifat Tuhan. Pengetahuan
tentang Brahman atau Brahmajana membuka selubung ini dan
membuat jiwa bersandar pada Sat-Cit-Ananda Svarupa (sifat utamanya
sebagai keberadaan kesadaran- kebahagian mutlak) dirinya.
Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau
membenarkan. Ia bukan hanya persetujuan kecerdasan, tetapi realisasi
langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan yang tertinggi yang
merupakan paravidya. Keyakinan intelekual saja tak akan membawa
seseorang kepada Brahmajnana (pengetahuan dari yang mutlak).
Pelajar Janayoga pertama-tama melengkapi dirinya dengan tiga cara
yaitu:
1. pembedaan (viveka),
2. ketidakterikatan (vairagya),
3. kebajikan, ada enam macam (sat-sampat), yaitu: (a)
ketenangan (sama), (b) pengekangan (dama), (c) penolakan
(uparati), ketabahan (titiksa), (d) keyakinan (sraddha), (e)
konsentrasi (samadhana), dan (f) kerinduan yang sangat akan
pembebasan (mumuksutva).
Selanjutnya ia mendengarkan kitab suci dengan duduk khusuk di
depan tempat duduk (kaki padma) seorang guruyang tidak saja
menguasai kitab suci Veda (Srotriya), tetapi juga bagusp dalam
Brahman (Brahmanistha).
Selanjutnya para siswa melaksanakan perenungan, untuk mengusir
segala keragu-raguan. Kemudian melaksanakan meditasi yang
mendalam kepada Brahman dan mencapai Brahma-Satsakara. Ia
seorang Jivanmukta (mencapai moksa, bersatu dengan-Nya dalam
kehidupan ini).
Ada tujuh tahapan dari Jana atau pengetahuan, yaitu;
1. aspirasi pada kebenaran (subhecha),
2. pencarian filosofis (vicarana),
3. penghalusan pikiran (tanumanasi),
4. pencapaian sinar (sattwatti),
5. pemisahan batin (asamsakti),
6. penglihatan spiritual (padarthabhawana), dan
7. kebebasan tertinggi (turiya).
c. Karma Marga Yoga
Secara alamiah tidak seorangpun di dunia ini yang mampu menghidar
dari aktivitas kerja, karena kerja/actian adalah salah satu ciri mahluk
hidup, manusia merupakan salah satu mahluk hidup. Dia hidup karena
dia bergerak, jantungnya berdetak, darahnya mengalir, pencernaannya
beraktivitas normal, semua organ tubuh bergetar normal.
Karma berarti kerja. Jalan Karma artinya adalah Jalan menuju Hyang
Widdhi Wasa dengan menggunakan sarana Kerja (Action) yang tulus
ikhlas tanpa pamrih.
Yoga ini merupakan penolakan terhadap buah perbuatan. Karmayoga
mengajarkan bagaimana bekerja demi untuk kerja itu, yaitu tiadanya
keterikatan. Demikian juga bagaimana menggunakan tenaga untuk
keuntungan yang terbaik. Bagi seorang Karmayogin, kerja adalah
pemujaan, sehingga setiap pekerjaan dialihkan menjadi suatu
pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang Karmayogin tidak
terikat oleh karma (hukum sebab akibat), karena ia
mempersembahkan buah perbuatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut kitab suci Bhagavad Gita kerja adalah SUATU KWAJIBAN.
Nahi kascity ksanam api jatu tisthaty akarmakrit, karyate
hy awasah karma sarwah prakritijair gunaih.
(Bhagawadgita III.5)
Artinya : Walau sesaat jua tidak seorangpun untuk tidak berbuat
karena manusia dibuat tidak berdaya oleh hukum alam yang
memaksanya bertindak.
Niyatam kuru karma twam karma jyayo hy akarmanah,
sarirayatra pi ca te na prasidhyed
akarmanah. (Bhagawadgita III.8)
Artinya : Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat
lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tidak akan
berhasil dipelihara tanpa bekerja.
Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan
ketika tidurpun tanpa disadari jantung tetap berdetak, darah tetap
mengalir, dan nafas terus berhembus. Hyang Widhi -pun setiap detik
bekerja tiada henti seperti menggerakkan benda-benda angkasa,
menumbuhkan-memelihara-memusnahkan kehidupan mahluk-
mahluk, menghembuskan angin, meriakkan gelombang laut dll.
Yadi hy aham na warteyam, jatu karmany atandritah,
mama wartna nuwartante, mansyah partha sawarsah.
Utsideyur ime loka, na kuryam karma ced aham,
samskarasya ce karta syam upahanyam imah
prajah. (Bhagawadgita III.223.24 )
Artinya : Sebab kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti,
manusia tidak akan mengikuti jalan-Ku itu, dalam segala bidang
apapun juga. Dunia ini akan hancur bila Aku tidak bekerja; Aku
menjadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia.
Penjelasan tentang setiap pekerjaan dilaksanakan sebagai wujud
bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan dalam Bhagavadgita
IX.27-28 sebagai berikut.
Wahai Arjuna, apa pun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau
makan, apapun yang engkau persembahkan, dan engkau amalkan, juga
disiplin diri apa pun yang engkau laksanakan. Lakukanlah semuanya
itu hanya sebagai bentuk bhakti kepada Aku. Dengan demikian engkau
akan terbebas dari ikatan kerja atau perbuatan yang menghasilkan
pahala baik atau buruk. Dengan pikiran terkendali, engkau akan
terbebas dan mencapai Aku
Dalam kitab Bhagavadgita (III.19,30) juga mengamanatkan sebagai
berikut.
Laksanakanlah kerja yang engkau lakukan tanpa pamrih
Serahkanlah seluruh perbuatanmu kepada-Ku. bebaskan
dirimu dari kerinduan dan kepentingan itu, berjuanglah jangan
hiraukan kesedihan.
Setiap kerja menambahkan satu mata rantai terhadap ikatan samsara
dan membawa pada pengulangan kelahiran. Ini merupakan hukum
karma yang pasti. Tetapi, melalui pelaksanaan Karmayoga, akibat
karma dapat dihapus, dan karma menjadi mandul. Pekerjaan yang
sama, apabila dilakukan dengan sikap mental yang benar, semagat
yang benar, kehendak yang benar melalui yoga, tanpa keterikatan dan
pengharapan terhadap buahnya, dengan pikiran yang seimbang dalam
keberhasilan maupun kegagalan. Tidak ada menambahkan mata rantai
terhadap belenggu samsara tersebut. Sebaliknya, memurnikan hati dan
membantu untuk mencapai pembebasan melalui turunnya penerangan
Tuhan Yang Maha Esa atau merekahnya fajar kebijaksanaan.
Dengan demikian bila seseorang tidak bekerja dia akan dilindas oleh
arus perputaran dunia dan menderita akibatnya. Penderitaan itulah
yang menghancurkan hidupnya. Manusia sebagai Bhuwana alit dan
Hyang Widhi sebagai Bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai
setitik air dalam sungai. Titik air itu mengikuti dan menyatu dengan
sungai, sehingga manusiapun mengikuti dan menyatu dengan Hyang
Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi menciptakan
hukum Karma bagi manusia dan hukum Rta bagi alam semesta.
Contoh hukum Karma: seseorang bekerja sebagai karyawan, maka
setiap bulan ia menerima gaji.
Contoh hukum Rta: karena bumi beredar mengelilingi matahari maka
terjadilah hari siang dan malam di bumi.
BEKERJA KARENA PIKIRAN.
Pikiran adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil
suka dan duka dalam karma. Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia
akan membuahkan karma yang mulia, sedangkan kerja yang dilandasi
pikiran hina akan membuahkan karma yang hina pula. Karma yang
mulia menuntun manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita
sedangkan karma yang hina membawa manusia ke neraka.
BEKERJA UNTUK KEPENTINGAN MASYARAKAT DAN DIRI
SENDIRI.
Pola pikiran manusia dizaman purba mula-mula bekerja untuk
kepentingan diri sendiri. Lama kelamaan manusia sadar bahwa ia tidak
dapat hidup tanpa bantuan atau jasa manusia lain sehingga
mendorongnya bermasyarakat. Kini manusia bekerja untuk
masyarakat kemudian dirinya menikmati hasil kerjanya itu berupa
karma.
Dalam keseharian kita mengenal perkatan : saya, yang berasal dari
perkataan sahaya, artinya pengabdi.
Di Bali orang menyebut dirinya titiang berasal dari titah Hyang
(Widhi) artinya perintah Tuhan.
Di Jawa orang menyebut dirinya Kulo asal kata kaula (pengabdi).
Di Jawa Barat orang menyebut dirinya abdi (juga pengabdi).
Pengertian lebih luas adalah pernyataan bahwa saya adalah hamba
yang melaksanakan perintah Hyang Widhi untuk mengabdi pada
kepentingan Bhuwana Agung termasuk manusia.
MENCINTAI PEKERJAAN.
Manusia yang bekerja disayang Hyang Widhi. Makin rajin dan jujur ia
bekerja maka Hyang Widhi semakin kasih sayang kepadanya, sehingga
pahala dari karmanyapun berlimpah. Manusia dapat rajin bekerja dan
berhasil baik jika ia mencintai pekerjaannya. Mencintai pekerjaan
adalah sama dengan mencintai Hyang Widhi. Mereka yang yakin
bahwa bekerja baik adalah perintah Hyang Widhi, maka ia akan sedih
dan malu bilamana hasil pekerjaannya tidak baik atau bahkan
merugikan masyarakat secara langsung atau tidak langsung.
TRIGUNA DALAM BEKERJA.
Triguna: Satwam, Rajas, Tamas
adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan dalam melakukan
pekerjaan agar berhasil baik.
1. Pikiran-pikiran satwam adalah pikiran yang sesuai dengan
ajaran agama Hindu menjadi dasar utama motivasi bekerja.
2. Kemudian semangat yang tinggi mengerahkan daya pikir
dan physik menunaikan pekerjaan sebaik-baiknya disebut
sebagaiRajas.
3. Namun demikian manusia membutuhkan istirahat pikiran
dan physik misalnya bersantai dan tidur yang disebut Tamas.
Perimbangan antara satwam, rajas, dan tamas hendaknya diatur
berdasarkan kebijaksanaan masing-masing orang. Kepandaian
mengatur keseimbangan inilah yang menentukan keberhasilan
seseorang dalam bekerja. Dengan kata lain Triguna adalah alat untuk
mencapai hasil kerja.
KARMA PHALA.
Karma adalah perbuatan dan phala adalah hasil; jadi karma phala
artinya hasil dari perbuatan. Ini adalah hukum Hyang Widhi, termasuk
dalam Pancasrada dan Trikaya Parisuda. Hukum ini bersifat universal
berlaku bagi setiap umat manusia di dunia. Hasil pekerjaan berdampak
secara nyata (skala) dan tidak nyata (niskala). Wujud nyata banyak
berkaitan dengan keduniawian sedangkan wujud tidak nyata berupa
ketentraman bathin.
Ditinjau dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil
perbuatan karma phala dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Prarabda karma phala, yaitu karma yang dilakukan
semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup ini.
2. Kryamana karma phala, yaitu karma yang dilakukan
semasa hidup dan pahalanya diterima di nirwana.
3. Sancita karma phala, yaitu karma yang dilakukan
semasa hidup dan pahalanya diterima pada reinkarnasi
berikutnya.
Oleh karena itu bekerjalah sebaik-baiknya agar memperoleh karma
phala yang baik. Kehidupan di dunia ini singkat, maka jangan sia-
siakan waktu dengan tidak bekerja atau bekerja dengan hasil yang tidak
baik.
CATUR PURUSA ARTHA.
Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma
Agama, Susila dan Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur
Purusa Artha yaitu :
1. Dharma: bekerja mengutamakan kepentingan masyarakat
sesuai dengan ajaran agama.
2. Artha: pahala dari karma berupa benda-benda
keduniawian.
3. Kama: pemenuhan kebutuhan hidup: sandang, pangan,
perumahan dan kebutuhan physik lainnya seperti hiburan yang
sehat.
4. Moksa: kebahagiaan hidup lahir dan bathin yang menjadi
tujuan kehidupan utama.
Catur purusa artha ini urut-urutannya tidak boleh ditukar, misalnya
lebih dahulu mengejar artha barulah menuju dharma. Bila demikian
halnya maka dapat saja manusia bekerja tanpa pedoman moral yang
bersumber dari ajaran Agama, hal mana akan menyeret manusia
kelembah penderitaan.
d. Raja Marga
Dalam kehidupan nyata pelaksanaan Catur Marga menurut penulis
yang paling sulit adalah Raja Marga. Karna Raja Marga menyatakan
bahwa menggunakan pikiran sebagai alat . Sehingga memunculkan
pertanyaan bagaimana sesungguhnya pelaksanaan ajaran Raja Marga
dalam hal mengantarkan kita menuju tujuan akhir dari kehidupan.
Rajayoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, melalui pengekangan diri dan pengendalian diri dan
pengendalian pikiran.
Raja Marga menggunakan pikiran sebagai alat oleh karna itu
pengenalan terhadap pikiran itu sangat penting. Berhasil atau tidaknya
tergantung dari berhasil atau tidaknya kita mengendalikan
/mengalahkan pikiran.
Rajayoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan
vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui
tapa, brata, yoga dan semadhi.
Dalam Hathayoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Rajayoga
terdapat disiplin pikiran.
Melakukan raja marga yoga hendaknya dilakukan secara bertahap
melalui astangga yoga yaitu delapan tahapan yoga, yang meliputi Yama,
Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan
Samadhi.
Seseorang yang melaksanakan ajaran raja marga yoga disebut dengan
sebutan Yogi. Yogi berkonsentrasi pada cakra-cakra, pikiran, matahari,
bintang, unsur-unsur alam semesta dan sebagainya dan mencapai
pengetahuan supra manusia dan memperoleh penguasaan atas unsur-
unsur tersebut. Daya konsentrasi hanya kunci untuk membuka rumah
tempat penyimpanan kekayaan pengetahuan. Konsentrasi tak dapat
muncul dalam waktu seminggu atau sebulan, karena ia memerlukan
waktu. Pengaturan dalam melaksanakan konsentrasi merupakan
kepentingan yang utama. Brahmacarya, tempat yang dingin dan sesuai,
pergaulan dengan orang-orang suci (satsanga) dan sattvika merupakan
alat bantu dalam konsentrasi.
Konsentrasi dan meditasi menuntun menuju Samadhi atau
pengalaman supra sadar, yang memiliki beberapa tingkatan
pendakian, disertai atau tidak disertai dengan pertimbangan (vitarka),
analisa (vicara), kebahagiaan (ananda), dan kesadaran diri (asmita).
Demikian, kailvaya atau kemerdekaan tertinggi dicapai.
Untuk bisa mengalah pikiran pertama-tama kita harus tahu medannya.
Apa sebenarnya pikiran itu, bagaimana sifatnya dan apa fungsinya.
Setelah itu baru kita menyususn strategi bagaimana taktik untuk
mengendalikan dan apa sarana yang bisa digunakan untuk
menundukkan.
Sebelum kita menguraikan satu persatu dari rahasia pengendalian
pikiran ini barangkali akan lebih baik diketahui lebih dahulu cara yang
ditempuh Raja Marga dalam prakteknya mencapai tujuan
menunggalnya Atman dengan Arahman. Di Indonesia Raja Marga itu
dikenal dengan istilah meditasi, retreat atau samadi. Adapun hal-hal
dan cara dalam melakukan mediatasi adalah seperti dijelaskan di
bawah ini.
Konsentrasi dan Pemusatan Pikiran
Ada dua arah yang biasa ditempuh para yogi di dalam melaksanakan
pemusatan pikiran yaitu :
1). Pemusatan pikiran kepada Tuhan yang berada di luar diri
sendiri
Tuhan berada pada diri kita sehingga kita dapat memusatkan pikiran
pada diri sendiri tetapi sangat sulit sehingga diperlukan obyek di luar
dirinya sebagai simbol dirinya. Caranya dalam melatih pikiran agar
terpusat sebutlah nama Uthan berlulang-ulang dan bayangkan dalam
wujud paling disukai. Nama Tuhan itu sendiri adalah mantra, mantra
itu selalu murini dan selalu aktif. Apapun nama Tuhan yang paling
disukai misalnya Shanghyang Widhi, Siwa, Wisnu, Batara Guru dan
sebagainya.
2). Pemusatan pikiran kepada Tuhan yang berada di dalam
diri sendiri
Sebagian dari para yogi menempuh jalan sebaliknya Tuhan dicari di
dalam dirinya sendiri. Rumah Tuhan atau Pura adalah badan kita
sendiri. Di dalam Upanisad disebutkan bahwa di dalam diri kita
bertahta Atma dan Parama Atma dilukiskan seperti dua ekor burung
yang bertengger pada sebuah dahan. Yang satu dari padanya aktif
menikmati buah yang ada di dahan itu sedangkan yang lain hanya
menonton menyaksikan apa yang dilakukan oleh temannya. Tetapi
kedua burung itu adalah burung yang sama. Ciri dari pemusatan
pikiran yang berada di dalam diri adalah menyendiri, menyepi dan
tahan godaan. Sehingga pelaksanaannya sangat sulit dan berbahaya
maka diperlukan guru sebagai penuntun.
Dasar-dasar yang diperlukan dalam pemusatan pikiran
Baik untuk pemusatan pikiran keluar maupun kedalam, diperlukan
beberapa dasar yang melatar belakangi pikiran, agar jangan pemusatan
pikiran itu menimbulkan akibat negatif. Baik kepada diri sendiri
ataupun orang lain. Adapun beberapa dasar yang diperlukan tersebut
adalah :
1. Kesucian pikiran baik lahir dan batin
2. Kesabaran berlatih dengan penuh disiplin serta mematuhi
ketentuan dan aturan yang diperlukan
3. Memiliki kepuasan batin
4. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran.
Pemusatan pikiran tanpa kesucian bisa membahayakan
Jika sarat kesucian tidak dipenuhi maka tidak dapat dikatakan meditasi
itu meditasi yang benar. Bahayanya besar sekali baik untuk diri sendiri
maupun orang lain. Orang yang biasa memusatkan pikiran sama
dengan orang yang memiliki sebuah senjata atau pisau. Pisau bisa
berguna untuk membuat kebaikan dan juga bisa membahayakan kalau
digunakan untuk membunuh orang.
Pemusatan pikiran atau konsentrasi yang didasari oleh nafsu orang
mendorong untuk bermeditasi agar mendapatkan kepuasaan, pangkat
dan kesaktian. Hasil kesaktian yang mereka peroleh dipergunakan
untuk hal-hal yang tidak baik.
Dari keempat jalan tersebut semuanya adalah sama, tidak ada yang
lebih tinggi maupun lebih rendah, semuanya baik dan utama
tergantung pada kepribadian, watak dan kesanggupan manusia untuk
melaksanakannya.
Implementasi Ajaran Catur Marga Yoga dalam Kehidupan
Masyarakat Hindu.
Penerapan catur marga oleh umat Hindu sesungguhnya telah
diterapkan secara rutin dalam kehidupannya sehari-hari, termasuk
juga oleh umat Hindu yang tinggal di Bali maupun oleh umat Hindu
yang tinggal di luar Bali. Banyak cara dan banyak pula jalan yang bisa
ditempuh untuk dapat menerapkannya. Sesuai dengan ajaran catur
marga bahwa penerapannya disesuaikan dengan kondisi atau keadaan
setempat yang berdasarkan atas tradisi, sima, adat-istiadat, drsta,
ataupun yang lebih dikenal di Bali yakni desa kala patra atau desa
mawa cara.
Inti dan penerapan dan Catur Marga adalah untuk memantapkan
mengenai hidup dan kehidupan umat manusia di alam semesta ini,
terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta memantapkan
keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti)
terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dengan memahami dan menerapkan ajaran catur marga, maka
diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang
berkualitas, bertanggung jawab, memiliki loyalitas, memiliki dedikasi,
memiliki jati diri yang mulia, menjadi umat yang pantas diteladani oleh
umat manusia yang lainnya, menjadi umat yang memiliki integritas
tinggi terhadap kehidupan secara lahir dan batin, dan harapan mulia
lainnya guna tercapai kehidupan yang damai, rukun, tenteram,
sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan penerapan dan ajaran
catur marga diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat
manusia pada umumnya menjadi mantap dalam berke-sraddha-an dan
berke-bhakti-an kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta dapat
diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama manusia,
semua ciptaan Tuhan, dan lingkungan yang damai dan serasi di sekitar
kehidupan masing-masing
Tidak ada orang yang menjalankan catur marga itu sendiri-sendiri atau
terpisah-pisah, karena satu sama lainnya berkaitan. Perincian menjadi
empat itu hanyalah untuk mengukur dan memilih bobot jalan yang
mana yang bisa diutamakan, sesuai dengan kemampuan masing-
masing.
Misalnya seorang yang kurang pengetahuan agama-nya, mungkin
dengan mengutamakan bhakti marga dan karma marga saja, ditambah
pengetahuan minim (misalnya) rajin melakukan trisandya (termasuk
jnyana marga) dan asana (termasuk yoga marga). Bobotnya adalah
bhakti marga.
Tetapi seorang wiku tentu bobotnya pada jnyana marga dan yoga
marga, walaupun bhakti marga yang menjadi dasar dan karma marga
tidak juga ditinggalkan.
Kesimpulannya: keempat marga itu dilaksanakan bersama-sama,
namun pemilihan mana yang utama tergantung dari kemampuan
individu. Inilah salah satu contoh kebesaran Agama Hindu yang
membedakannya dengan agama-agama lain yang dogmatis.
a) Bhakti Marga Yoga

Pelaksanaan tri sandya dan yadnya sesa.


Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin
menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas dengan
melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari,
pagi, siang, dan sore hari serta melaksanakan yandnya sesa/ngejot
setelah selesai memasak. Dalam kehidupan sehari -hari sebagai upaya
dalam mewujudkan rasa bhakti sekaligus mendekatkan diri
kehadapanya hendaknya melaksanakan puja tri sandya tersebut
dengan tulus dan iklas.
Pelaksanaan pada hari-hari keagamaan
Implementasi bhakti marga yoga juga dapat dilihat pada hari-hari
keagaman hindu, seperti hari saraswati, tumpek wariga dan tumpek
uye. Hari saraswati adalah hari turunnya ilmu pengetahuan dengan
memuja dewi yang dilambangkan sebagai ilmu pengetahuan yaitu Dewi
saraswati. Hari saraswati ini jatuh pada hari Saniscara Umanis
Watugunung dan diperingati setiap 210 hari. Pada hari ini semua
pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai
lambang stana pemujaan Dewi Saraswati untuk diberikan suatu
upacara. Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata
Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari
atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan
membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan
sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh,
tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh.
Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari
dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan
melakukan malam sastra dan sambang samadhi. Adapun simbol-
simbol Dewi saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan yaitu :
Sedangkan Tumpek Wariga merupakan upacara untuk menghormati
keberadaan tumbuh-tumbuhan sebagai mahluk hidup didunia atau
dikenal dengan istilah ngotonin sarwa entik-entikan. Sementara
Tumpek Uye atau Tumpek Kandang upacara dalam menghormati
keberadaan hewan atau binatang yang hidup di dunia yang sering
dikenal dengan istilah ngotonin sarwa ubuhan. Keduanya jatuh tepat
setiap 210 hari dalam perhitungan hindu. Dalam konsep Tri Hita
Karana penghormatan kehadapan ida sang hyang widhi wasa atas
pengadaan hewan dan tumbuhan ini dilakukan dengan tulus dan iklas.
Dengan kata lain melaksanakan upacara tumpek ini adalah realisasi
dari konsep Tri Hita Karana alam kehidupan.Jika semua itu sudah kita
lakukan dengan rasa tulus dan iklas berarti kita telah melaksanakan
ajaran bhakti marga yoga.
Mengenai penerapan bhakti marga oleh umat Hindu seperti
berikut ini :
1. Melaksanakan doa atau puja tri sandhya seara rutin setiap
hari;
2. Menghaturkan banten saiban atau jotan/ngejot atau
yajnasesa;
3. Berbakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta semua
manifestasi-Nya;
4. Berbakti kehadapan Leluhur;
5. Berbakti kehadapan para pahlawan pejuang bangsa;
6. Melaksanakan upacara dewa yajna (piodalan/puja wali,
saraswati, pagerwesi, galungan, kuningan, nyepi, siwaratri,
purnama, tilem, tumpek landep, tumpek wariga, tumpek krulut,
tumpek wayang dan lain-lainnya);
7. Melaksanakan upacara manusia yajna (magedong-
gedongan, dapetan, kepus puser, macolongan, tigang sasihin,
ngotonin, munggah deha, mapandes, mawiwaha, mawinten, dan
sebagainya);
8. Melaksanakan upacara bhuta yajna (masegeh, macaru,
tawur, memelihara lingkungan, memelihara hewan, melakukan
penghijauan, melestarikan binatang langka, dan sebagainya);
9. Melaksanakan upacara pitra yajna (bhakti kehadapan guru
rupaka atau rerama, ngaben, ngerorasin, maligia, mamukur,
ngeluwer, berdana punya kepada orang tua, membuat orang tua
menjadi hidupnya bahagia dalam kehidupan di alam nyata ini,
dan sebagainya);
10. Melaksanakan upacara resi yajna (upacara pariksa, upacara
diksa, upacara ngelinggihang veda), berdana punya pada
sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, tirtha yatra ke
tempat suci bersama sulinggih atau pandita, berguru pada orang
suci, sungkem (pranam) pada sulinggih sebagai guru nabe,
menerapkan ajaran tri rnam, dan sebagainya.
b) Jnana Marga Yoga

Ajaran brahmacari
adalah mengenai masa menuntut ilmu dengan tulus iklas. tugas pokok
kita pada massa ini adalah belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas,
yakni belajar dalam pengertian bukan hanya membaca buku. Tetapi
lebih mengacu pada ketulus iklasan dalam segala hal. Contohnya: rela
dan iklas jika dimarahi guru atau orang tua. Guru dan orang tua, jika
memarahi pasti demi kebaikan anak. Maha Rsi Wararuci dalam Kitab
Sarassamuccaya, sloka 27 mengajari kita memanfaatkan masa muda ini
dengan sebaik-baiknya, yang beliau umpamakan seperti rumput
ilalang yang masih muda. Bahwa masa muda itu pikiran masih sangat
tajam, hendaknya digunakan untuk menuntut dharma, dan ilmu
pengetahuan. Dengan tajamnya pikiran seorang anak juga bisa me-
yadnya-kan tenaga dan pikirannya itu.
Ajaran aguron-guron
merupakan suatu ajaran mengenai proses hubungan guru dan murid .
namun istilah dan proses ini telah lama dilupakan karena sangat susah
mendapatkan guru yang mempunyai kualifikasi tertentu dan juga
sangat sedikit orang menaruh perhatian dan minat terhadap hal ini.
Maka untuk memenuhi kualifikasi tertentu, hendaknya seorang guru
mencari sekolah yang mempunyai kurikulum yang membawa
kesadaran kita melambung tinggi melampaui batas-batas senang dan
sedih, bahagia dan derita, lahir dan mati. Maka guru seperti itu pasti
akan datang kepada kita. Menuntun kita, menentukan arah tujuan kita,
menunjukkan cara dan metodenya, menghibur dan menyemangatinya.
Jangan ragu, pasti akan ada guru yang datang kepada kita.
Ajaran catur guru
Berhasilnya seseorang menempuh jenjang pendidikan tertentu (
pendidikan tinggi yang berkualitas) tidak akan mungkin bila kita tidak
memiliki rasa bhakti kepada Catur Guru. Mereka yang melaksanakan
ajaran Guru Bhakti sejak dini (anak-anak), mereka pada umumnya
memiliki disiplin diri dan percaya diri yang mantap pula. Dengan
disiplin diri dan percaya diri yang mantap, tidak saja akan sukses dalam
bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan. Di
sinilah kita melihat ajaran Catur Guru Bhakti senantiasa relevan
sepanjang masa, sesuai dengan sifat agama Hindu yang Sanatana
Dharma . Aktualisasi ajaran Guru Bhakti atau rasa bhakti kepada Catur
Guru dapat dikembangkan dalam situasi apapun, sebab hakekat dari
ajaran ini adalah untuk pendidikan diri, utamanya adalah pendidikan
disiplin, patuh dan taat kepada sang Catur Guru dalam arti yang seluas-
luasnya.
Beberapa model atau bentuk nyata dan penerapan jnana
marga berikut ini :
1. Menerapkan ajaran aguron-guron;
2. Menerapkan ajaran guru dan sisya;
3. Menerapkan ajaran guru bhakti;
4. Menerapkan ajaran guru susrusa;
5. Menerapkan ajaran brahmacari dan ajaran catur guru;
6. Menerapkan ajaran sisya sasana;
7. Menerapkan ajaran resi sasana;
8. Menerapkan ajaran putra sasana;
9. Menerapkan ajaran guru nabe, guru waktra, guru saksi;
10. Menerapkan ajaran catur asrama; dan
11. Menerapkan ajaran dalam wrati sasana, slokantara, sila
krama, dan ajaran agama Hindu yang bersumber pada Veda dan
susastra Hindu lainnya.
c) Karma Marga Yoga

Ngayah dan Matatulungan


Ngayah merupakan suatu istilah yang ada di bali yang identik dengan
gotong royong. Ngayah ini bisa dilakukan di pura-pura dalam hal
upacara keagamaan, seperti odalan-odalan/karya. Sedangkan
matatulungan ini bisa dilakukan terhadap antar manuasia yang
mengadakan upacara keagamaan pula, seperti upacara pawiwahan,
mecaru dan lain sebagainya. Sesuai dengan ajaran karma yoga, maka
hendaknya ngayah atau matatulungan ini dilakukan secara iklas tanpa
ada ikatan apapun. Sehingga apa yang kita lakukan bisa memberikan
suari manfaat.
Mekarme sane melah
Berbuat yang baik atau mekarma sane melah hendaknya selalu kita
lakukan. Dalam dalam agama hindu ada slogan mengatakanRame ing
gawe sepi ing pamrih, slogan itu begitu melekat pada diri kita sebagai
orang Hindu. Banyaklah berbuat baik tanpa pernah berpikir dan
berharap suatu balasan. Niscaya dengan begitu kita akan selalu
mendapat karuniaNya tanpa pernah terpikirkan dan kita sadari. Untuk
melaksanakan slogan itu dalam kehidupan sehari-hari, tidaklah mudah
untuk memulainya. Sebagai makhluk ciptaan Brahman, sepantasnya
kita menyadari bahwa sebagian dari hidup kita adalah untuk melayani.
Ber-karma baik itu adalah suatu pelayanan. Kita akan ikut berbahagia
bila bisa menyenangkan orang lain. Hal ini tentu dibatasi oleh
perbuatan Dharma. Slogan Tat Twam Asi adalah salah satu dasar
untuk ber-Karma Baik. Engkau adalah Aku, Itu adalah Kamu juga.
Suatu slogan yang sangat sederhana untuk diucapkan, tapi memiliki
arti yang sangat mendalam, baik dalam arti pada kehidupan sosial
umat dan juga sebagai diri sendiri/individu yang memiliki
pertanggungjawaban karma langsung kepada Brahman.
Ajaran Karmapahala
Karma phala merupakan hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan.
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa
hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa
hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang
akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk
pula yang akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada
kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu
berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita- cita yang
luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk.
Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk
neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang
didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma
buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka-
pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga
artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba
indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat
roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk
selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau
atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali
sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.
Mengenai penerapan karma marga oleh umat Hindu seperti
berikut ini :
1. Menerapkan filosofi ngayah;
2. Menerapkan filosofi matulungan;
3. Menerapkan filosofi manyama braya;
4. Menerapkan filosofl paras-paros sarpanaya salunglung
sabayantaka;
5. Menerapkan filosofi suka dan duka;
6. Menerapkan filosofi agawe sukaning wong len;
7. Menerapkan filosofi utsaha ta larapana;
8. Menerapkan filosofi makarya;
9. Menerapkan filosofi makarma sane melah;
10. Menerapkan filosofi ala kalawan ayu;
11. Menerapkan filosofi karma phala;
12. Menerapkan filosofi catur paramita;
13. Menerapkan filosofi tri guna;
14. Menerapkan filosofi trikaya parisudha; dan
15. Menerapkan filosofi yama niyama brata dan berbagai
ajaran agama Hindu.
d) Raja Marga Yoga
Ajaran astangga yoga
Astangga yoga merupakan delapan anggota dari raja yoga yang terdiri
dari Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana,
dan Samadhi adalah delapan anggota (anga) dari Rajayoga iyama
membentuk disiplin etika yang memurnikan hati.
Yama terdiri atas,
1. Ahimsa (tanpa kekerasan),
2. Satya (kejujuran),
3. Brahmacarya (selibat),
4. Asteya (tidak mencuri), dan
5. Aparigraha (tidak menerima pemberian
kemewahan). Semua kebajikan berakar pada Ahimsa.
Niyama adalah kepatuhan, dan tersusun atas:
1. Sauca (permurnian dalam dan luar),
2. Santosa (kepuasan jiwa),
3. Tapas (kesederhanaan/pengendalian diri),
4. Svadhyaya (belajar kitab suci dan pengucaran mantra) dan
5. Isvarapranidhana (berserah diri pada Tuhan Yang Maha
Esa).
Mereka yang bagus dalam Yama dan Niyama akan cepat maju dalam
melaksanakan Yoga pada umumnya. Dengan Yama dan Niyama
seseorang dapat mewujudkan Cittasuddhi atau Atmasuddhi (kesucian
hati).
Asana, Pranayama dan Pratyahara merupakan perlengkapan
pendahuluan dari Yoga.
1. Asana adalah sikap badan yang benar.
2. Pranayama adalah pengaturan napas, yang menghasilkan
ketenangan dan kemantapaan pikiran serta kesehatan yang baik.
3. Pratyahara adalah penarikan indria-indria dari objek-
objeknya. Seseorang harus melakukan Pratyahara untuk dapat
melihat di dalam batin dan memiliki kemusatan pikiran.
4. Dharana adalah konsentrasi pikiran pada suatu objek atau
cakra dalam Istadevata.
5. Dhyana, atau meditasi pengaliran yang tak henti-hentinya
dari pemikiran satu objek, yang nantinya membawa kepada
keadaan Samadhi, saat seperti itu yang bermeditasi dan yang
dimeditasikan menjadi satu. Semua vritti yakni gejolak pikiran
mengendap. Pikiran kehilangan fungsinya. Segala samskara,
kesan-kesan dan vasana (kecenderungan dan pikiran halus)
terbakar sepenuhnya dan Yogi (pelaksana Yoga)terbebas dari
kelahiran dan kematian. Ia mencapai kaivalya atau pembebasan
akhir (kemerdekaan mutlak)
Pelaksanaan Hari Raya Nyepi, pada hakekatnya merupakan penyucian
bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan mikrokosmos) untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita
dan moksa) terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam
(kebenaran), sivam (kesucian), dan sundaram
(keharmonisan/keindahan).
Catur Brata Penyepian
Hari raya nyepi Sesuai dengan hakekat Hari Raya Nyepi di atas maka
umat Hindu wajib melakukan tapa, yoga, dan semadi. Brata tersebut
didukung dengan Catur Brata Nyepi sebagai berikut :
1. Amati Agni, tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan
hawa nafsu,
2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani,
melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani,
3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan mawas
diri,
4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan
melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang
Hyang Widhi.
Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari Prabata yaitu fajar
menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24)
jam.
Dalam penerapan yoga marga oleh umat Hindu, realitanya
seperti berikut :
1. Melaksanakan introspeksi atau pengendalian diri;
2. Menerapkan ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi;
3. Menerapkan ajaran astangga yoga;
4. Melakukan kerja sama atau relasi yang baik dan terpuji
dengan sesama;
5. Menjalin hubungan kemitraan secara terhormat dengan
rekanan, lingkungan, dan semua ciptaan Tuhan di alam semesta
ini;
6. Membangun pasraman atau paguyuban untuk praktek
yoga;
7. Mengelola ashram yang bergerak di bidang pendidikan
rohani, agama, spiritual, dan upaya pencerahan diri lahir batin;
8. Menerapkan filosofi mulat sarira;
9. Menerapkan filosofi ngedetin/ngeret indriya;
10. Menerapkan filosfi mauna;
11. Menerapkan filosofi upawasa;
12. Menerapkan filosofi catur brata panyepian, dan
13. Menerapkan filosofi tapasya, pangastawa, dan menerapkan
ajaran agama Hindu dengan baik dan benar menuju keluhuran
diri sebagai mahluk sosial dan religius.
Pilihan menggunakan para atau apara bhakti tergantung dari tingkat
inteligensi dan kesadaran rohani masing-masing. Yang ditemukan di
masyarakat Hindu Indonesia dewasa ini adalah mix para dan apara
bhakti, namun bobotnya berbeda. Umat Hindu di Bali banyak
menggunakan apara bhakti, sedangkan umat Hindu diluar Bali banyak
menggunakan para bhakti.
Kenapa demikian ?
Apakah itu berarti umat Hindu di Bali inteligensi dan kesadaran
rohaninya kurang ?
Tidak selalu demikian. Ada umat Hindu di Bali yang inteligensi dan
kesadaran rohaninya tinggi tetapi dibelenggu oleh tradisi beragama
yang monoton dan feodalistis, sehingga menampakkan diri sebagai
apara bhakti. Sebaliknya umat Hindu diluar Bali lebih moderat,
demokrat, rasional dan reformis, sehingga memudahkan mereka
mencapai para bhakti.
Mengupayakan umat Hindu di Bali menjadi sebagian besar para bhakta
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena bottle-neck
yang menghadang ya itu tadi: tradisi beragama dan feodalisme. Itulah
sedikit ulasan kasus tentang para dan apara bhakti
Catur marga yoga ini merupakan salah satu cara atau jalan terbaik
untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh
karena itu, kita sebagai umat hindu hendaknya melaksanakan ajaran
catur marga yoga dengan hati yang iklas, sehingga kualitas kehidupan
kita akan lebih meningkat dan cenderung kea arah yang lebih baik
untuk menuju jalan kebenaran.
Manusia tidak bisa memilih dimana kita dilahirkan. jadi kalau
dilahirkan di keluarga Kristiani maka dipastikan anak tersebut akan
tumbuh dan besar menjadi orang Kristen. Kalau dilahirkan pada
keluarga Yahudi maka dipastikan akan menjadi orang Yahudi.
Sedangkan kalau dilahirkan di pedalaman Afrika, dilahirkan pada
keluarga pemeluk animisme penyembah patung berhala maka
dipastikan sampai matipun kita akan menjadi pemuja berhala. Jadi
dengan konsep catur marga yoga diatas maka semua ajaran dianggap
sama.
Demikian paparan kecil ini dapat disajikan, semoga bermanfaat bagi
umat sedharma sekalian. Harapannya, dapat terwujud manusia Hindu
yang berkualitas, bertanggung jawab, dan dapat terwujudnya hidup
dan kehidupan sesuai filosofi suka tan pawali duka. Mari kita terapkan
ajaran catur marga dengan baik dan benar dalam kehidupan
perseorangan maupun kehidupan bersama-sama dalam masyarakat
yang multikultural dan multi etnis di jagat raya ini. Jauhkan perilaku
apatis, primordial, partial, dan egoisme dalam tatanan kehidupan yang
multi dimensi di era multi iptek.

Anda mungkin juga menyukai