Anda di halaman 1dari 20

TUGAS INDIVIDU

BAHASA KAWI

NAMA : I MADE ARI PRIANTARA

NIM : 1911021002 / 01

JURUSAN : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA AGAMA

KELAS : II B

UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA


DENPASAR
2020
A. PENGERTIAN BAHASA KAWI
Kata kawi berasal dari kata kavya (Sansekerta) yang artinya puisi/ syair,
sama dengan Kakawin. Pada mulanya kata kawi ( India) berarti seorang yang
mempunyai pengertian luar biasa, seorang yang bisa melihat hari depan,
seorang yang bijak. Dalam sastra klasik berarti seorang penyair, pencipta atau
pengarang (Zoutmulder, 1985: 119-120). Berdasarkan pengertian ini maka
Bahasa Kawi berarti bahasanya pengarang, atau pujangga (bahasa ragam tulis
yang merupakan bagian dari Bahasa Jawa Kuno.
Bahasa Kawi adalah merupakan Bahasa Jawa Kuna yang kata-katanya
dipilih oleh para raja Kawi (pengarang) untuk kesusastraan. Jadi bahasa Kawi
hanyalah sebagian saja dari bahasa Jawa Kuno. Karena itu lebih tepatlah bahwa
yang dipergunakan dalam kesusastraan disebut Bahasa Kawi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pengertian Bahasa Kawi
yaitu : Bahasa Jawa Kuno ragam tulis yang dipergunakan oleh para kawi untuk
menampung buah pikirannya. Karya-karya tersebut sebagian besar adalah
warisan Hindu Jawa dari abad ke-9 sampai abad ke-15.

B. SEJARAH BAHASA KAWI


Sumber sejarah Bahasa Kawi terutama berdasarkan piagam-piagam dan
prasasti lama. Sumber tertulis yang paling tua mengenai BahasaKawi (Jawa
Kuno) ditemukan di Sukabumi, sehingga disebut Prasasti Sukabumi. Pada
prasti itu terdapat penanggalan sebagai berikut: "Tahun 726 Saka, Bulan
Caitra, hari kesebelas paro terang, hari Haryang, Wage, Saniscara...". Prof. Dr.
P.J. Zoetmulder menyimpulkan berdasarkan prasasti tersebut, bahwa prasasti
Sukabumi di tulis pada tanggal 25 Maret tahun 804 Masehi.
Prasasti Sukabumi merupakan piagam yang pertama memakai Bahasa
Jawa Kuno (Kawi), dan sejak saat itu Bahasa Jawa Kuno dipakai dalam
kebanyakan dokumen resmi. Berdasarkan hal itu maka Prasasti Sukabumi atau
tanggal 25 Maret 804 dianggap sebagai tonggak yang mengawali sejarah
Bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi).
Bukti tertulis lainnya tentang sejarah Bahasa Kawi adalah berupa naskah
Candakarana. Prof Dr. RMG Poerbatjaraka, dalam bukunya Kepustakaan Jawa
menyimpulkan bahwa naskah yang tertua adalah Candakarana. Naskah ini
berisi pengetahuan tentang bagaimana membuat Kakawin (Syair Jawa Kuna)
dan daftar kata-kata Kawi (Kamus Kawi). Naskah ini disebut naskah tertua
karena di dalamnya disebut-sebut seorang raja keturunan Syailendra yang
mendirikan Candi Kalasan + tahun 700 Saka atau tahun 778 Masehi.
Prof. Dr. RMG. Poerbatjaraka mengelompokkan sastra Kawi berdasarkan
gaya bahasa, tahun penulisan dan nama raja yang disebut-sebut menjadi 3
bagian yaitu :
1) Naskah Jawa Kuna yang tergolong tua (abad 9-11)
Naskah ini terdiri dari prosa dan puisi.

a.Prosa
 Candakaraóa
 Sang Hyang Kamahayanikan
 Brahmãódapurãóa
 Agastya Parwa
 Uttarakãóða
 Ãdiparwa
 Kunjarakaróa

b.Puisi:
 Kakawin Rãmãyaóa

2) Kitab-kitab Jawa Kuna yang bertembang (abad 11-13)


 Kakawin Arjunawiwãha
 Kakawin Kåûódyana
 Kakawin Gaþotkacãúraya
 Kakawin Sumanasãntaka
 Kakawin Smaradahana
 Kakawin Bhomakãwya
 Kakawin Bhãratayuddha
 Kakawin Hariwangúa

3) Kitab-kitab Jawa Kuna Yang Tergolong baru (abad 14 sampai


runtuhnya Majapahit).
 Kakawin Brahmãódapurãóa
 Kakawin Kunjarakaróa
 Kakawin Nãrakrþãgama
 Kakawin Arjunawijaya
 Kakawin Sutasoma
 Kakawin Pãrthayajna
 Kakawin Nitiúãstra
 Kakawin Nirartha Prakerta
 Kakawin Dharmaúunya
 Kakawin Hariúraya

Wayan Simpen AB. dalam bukunya Riwayat Kesusastraan Jawa Kuna


mengklasifikasikan kesusastraan Kawi atas lima bagian sebagai berikut:

1. Zaman sebelum abad ke-9 (Zaman prasejarah sastra Kawi)


Kehidupan bersastra pada zaman sebelum abad ke-9 diduga
zaman karya sastra Jawa Kuna lisan. Cerita-cerita diwariskan secara
lisan

2. Zaman Mataram
Zaman ini mulai abad ke 9 -10, yaitu zaman memerintahnya
Mpu Sindok (tahun 925-962 Masehi), di Mataram sampai zaman Raja
Dharwangsa Teguh (tahun 991-1007 Masehi). Pada masa ini lahir
karya sastra prosa dan Kakawin Rãmãyana.
3. Zaman Kediri
Dimulai dari bertahtanya raja Kediri Prabu Airlangga (1019-
1049) masehi sampai masa pemerintahan raja Kertanegara (1268-
1292) Masehi di Singasari. Karya sastra Kawi yang lahir pada masa
ini adalah karya sastra yang tergolong bertembang.

4. Zaman Majapahit I
Periode ini diawali sejak lahirnya kerajaan Majapahit (1239
Masehi) sampai kerajaan mencapai puncak keemasannya yaitu masa
bertahtanya Hayam Wuruk (1350-1389 Masehi). Karya sastra Kawi
yang lahir pada masa ini adalah Brahmãódapurãóa, Sutasoma, dan
Pãrthayajna.

5. Zaman Majapahit II
Zaman ini mulai dari bertahtanya Wikrama Wardana (1389-
1482 Masehi) sampai runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 Masehi).
Karya-karya yang lahir pada periode ini antara lain: Kakawin
Nitiúãstra, Nirartha Prakerta, Dharmaúunya, Hariúraya.

Pada zaman peralihan (abad ke-16) disebut-sebut seorang pujangga


keraton Majapahit yang gemar mengembara di pesisir pantai dan di gunung-
gunung (nyagara -giri). Beliau adalah Dang Hyang Nirartha. Pada tahun 1489
Masehi beliau pindah ke Bali. Bekas-bekas pesanggrahan beliau kini menjadi
tempat suci (pura ) di Bali yaitu : Pura Purancak, Rambut Siwi, Tanah Lot, Peti
Tenget, Uluwatu, Nusa Dua, Sakenan, Masceti, Air Jeruk, Batu Klotok. Di
tempat-tempat ini beliau menikmati keindahan, dan menciptakan karya sastra.
Karya sastra beliau antara lain: Kidung Rasmi Sancaya, Edan Lalangon, Kakawin
Anyang Nirartha, Kakawin Mayadanawantaka, Kakawin Nirarta Prakerta,
Nitisastra, Dharma Sunya.
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit Kesusastraan Kawi berkembang
di Bali, yaitu pada zaman Kerajaan Gelgel dengan rajanya yang bertahta pada saat
itu Raja Waturenggong. Di Bali sastra Kawi mendapat tempat istimewa di
kalangan pecinta sastra. Mereka yang tergabung dalam sekaa Mabebasan atau
sekaa Makakawin dan Pasantian dengan tekun membaca, memahami dan
mengupas hasil sastra Kawi secara mendalam. Di samping itu mereka
menciptakan karya-karya sastra baru yang bersumber dari karya-karya yang telah
ada sebataudandengan tekun membaca, memahami dan mengupas hasil sastra
Kawi secara mendalam. Di samping itu mereka menciptakan karya-karya sastra
baru yang bersumber dari karya-karya yang telah adaebataudandengan tekun
membaca, memahami dan mengupas hasil sastra Kawi secara mendalam. Di
samping itu mereka menciptakan karya-karya sastra baru yang bersumber dari
karya-karya yang telah adaelumnya. Sistem pendidikan tradisional ini dikenal
dengan istilah malajah sambilang magending atau magending sambilang malajah.
Ada Dua tokoh terkenal yang lahir dari sistem tradisional ini yaitu:

(1) Ida Padanda Made Sidemen (Wafat th 1984) dengan karya


sastranya antara lain: Purwadigama (Siwagama), Kakawin
Gayadijaya (Kakawin Cantaka, Kakawin Candra Bherawa
(Kakawin Dharmawijaya), Kakawin Singhalayangyala, Kakawin
Kalpasanghara, Kidung Pisaca Harana, Geguritan Panitip, dll.
(2) Ida Ketut Jelantik (wafat tanggal 18 -November 1961). Karya-
karya beliau adalah; Geguritan lokika, Geguritan Sucita Subudi,
Geguritan Bhagawadgita, Satua Men Tingkes, Sebuah Kitab
Tattwa (Filsafat) yaitu Aji Sangkya. Kitab ini merupakan ringkasan
dari ajaran Siwa Tattwa yang tertuang dalam lontar-lontar yang
tersimpan di Bali

C. PENGARUH BAHASA SANSKERTA TERHADAP BAHASA KAWI


Bahasa Kawi termasuk rumpun bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan
sub bagian dari kelompok Linguistis Austronesia. Bahasa ini banyak menyerap
kosa kata bahasa Sansekerta. Perbandingan jumlah kosa kata Sansekerta yang
diserap oleh bahasa Kawi diungkapkan oleh Juynboll dalam bukunya
Woordenlijst sebagai berikut: 6790 Buah bahasa Sansekerta, 6925 Buah bahasa
Kawi J. Gonda mengatakan bahwa puisi Jawa Kuna yang disusun dalam
bentuk Kakawin mengandung + 25% sampai 30% kata-kata Sansekerta. Ada
dua sifat khas bahasa Kawi:
(1) Perbendaharaan Bahasa Kawi amat diperkaya oleh Bahasa
Sansekerta;
(2) Walaupun ada pengaruh besar dari bahasa Sansekerta yang secara
linguistis termasuk rumpun bahasa yang lain sama sekali, tetapi
bahasa Kawi tetap mempertahankar/tn identitasnya sebagai salah
satu bahasa Nusantara.
a. Pengaruh Formal
Pengaruh formal adalah pengaruh Bahasa Sansekerta secara langsung
yaitu diangkatnya kata-kata Sansekerta ke dalam Bahasa Kawi. Adanya kata
serapan dari Bahasa Sansekerta dalam Bahasa Kawi dapat dilihat dalam Kamus
Kawi -Indonesia (Wojowasito). Dalam Kamus tersebut kata-kata yang berasal
dari Bahasa Sansekerta ditandai dengan huruf (S) dibelakang kata.
Contoh:
abdhi, (S) Lautan
acchabbala, (S) Beruang
acintya, (S) tak terbayangkan
adri, (S) gunung
bahni, (S) api
dewī, (S) dewi; putri raja; kekasih; istri
dhana, (S) uang; pajak; harta,
karuni, (S) belas kasihan
nãra, (S) Air.
priyã, (S) kekasih; istri, dll
satwika, (S) Jujur
soma, (S) Senin
stuti, (S) Pujian
sura, (S) Dewa
surã, (S) minuman keras
sürya, (S) Matahari
swarga, (S) Sorga
tanaya, (S) Putra
tåóa, (S) Rumput
upawãsa, (S) Berpuasa
wana, (S) hutan
Kata-kata Sansekerta yang masuk ke dalam Bahasa Kawi berupa:
(1) Kata Benda dan Kata Sifat dalam bentuk Lingga (bentuk
dasar,belum dideklinasikan)
Contoh:
aga, (S) Gunung
asita, (S) Hitam
atmaja, (S) Anak
ãrjawa, (S) jujur, baik hati
bhasma, (S) Abu
candrika, (S) Indah
dhãraka, (S) Tabah
dhãraóãa, (S) Sabar
dhota, (S) Putih
dibya , (S) sakti, mulia
ghana, (S) awan
komala, (S) lemah lembut
úakti, (S) Sakti
úiûþa, (S) Utama
úuci, (S) Suci
úüra, (S) berani

(2) Kata-kata Majemuk Sansekerta


Contoh :
dewa putra, (S) putra dewa
dewadüta, (S) utusan dewa
jatu grha, (S) rumah damar
kurapati, (S) raja Korawa
kurukûetra,(S) daerah (lapangan)Kuru
madanãri, (S) musuh cinta ( Dewa Siwa )
pita, (S) sopan santun
priyamitra, (S) teman baik
puspawåûti, (S) hujan bunga
sarpayajña,(S) korban ular
suranadī, (S) sungai dewata
surendra, (S) raja dewa
ratnagåha, (S) rumah permata
wanawasa, (S) diam di hutan
warûakãla, (S) musim hujan

Kata Majemuk Sansekerta memiliki struktur (M-D) artinya kata yang


menerangkan mendahului kata yang diterangkan. Sebaliknya kata Majemuk
Bahasa Kawi memiliki struktur (D-M) artinya kata yang diterangkan
mendahului kata yang menerangkan.
Contoh :
Anakhyang ' putra dewa'
sembah Hyang ' memuja Dewa'
welas harep 'belas kasihan'
anakbi ‘orang perempuan’
bapebu ‘ayah ibu (orang tua)

(3) Beberapa kata penghubung


Contoh:

yadi,(S) ' apabila, bilamana, jika, namun, juga, meskipun'


yapuan, S 'tetapi kalau'
atha,(S) ' sesudah itu, maka, hatta: sesudah itu, kemudian
selanjutnya'

api,(S) ' seperti, sama, kendatipun,

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Sansekerta


dibaurkan dalam bahasa Kawi sedemikian rupa sehingga susunan dan sifatnya
masih tetap mempertahankann identitas bahasa nusantara secara utuh.
b. Pengaruh Non Formal
Pengaruh non formal maksudnya asalah pengaruh bahasa sansekerta
yang berkaitan dengan isi konseptual kata-kata pinjaman tersebut yang
berkaitan dengan pengaruh kebudayaan yang lebih luas termasuk lingkungan
hidup dan alam pikiran yang melahirkannya.
Menurut Zoutmulder (1985:14-15) akulturasi merupakan faktor
perubahan yang penting dalam setiap bahasa. Hal ini terjadi pula dalam bahasa
Kawi. Masuknya agama dan budaya Hindu pada masyarakat Jawa dengan
membawa serta konsep-konsep religius dan peristilahan khas dalam ajaran
tersebut. Pada masa itu kitab-kitab Hindu yang berbahasa Sansekerta didisain
dengan menggunakan Bahasa Kawi. Apabila terdapat kata-kata atau istilah-
istilah yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Kawi maka kata-kata
sansekerta itu diterima secara utuh untuk kepentingan ide dan konsep yang
tertuang di dalamnya. Istilah tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut dengan
Bahasa Kawi.
Penyerapan kosa kata sansekerta dalam Bahasa Kawi bukan semata-
mata karena kata-kata tersebut merupakan kata-kata baru yang tidak ada dalam
bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pemilihan kata sansekerta merupakan suatu
ekspresi untuk menyusuaikan diri dengan kebudayaan baru. pada masa itu
sastra Sansekerta dijunjung tinggi sebagai contoh untuk dipelajari dan ditiru.
Memakai Bahasa Sansekerta pada masa itu juga dianggap sebagai suatu mode,
untuk menunjukan bahwa seseorang tidak ketinggalan jaman serta
melambangkan status sosial yang lebih tinggi. Pemilihan kata-kata Sansekerta
untuk nama-nama pribadi telah muncul pada prasasti-prasasti abad 9.
Kecendrungan untuk memilih nama yang kedengarannya modern yang berasal
sari bahasa asing (Sansekerta dll) masih hidup dalam masyarakat sampai saat
ini.
Kata-kata pinjaman yang bersal dari Bahasa Sanssekerta sering
mengalami pergeseran arti karena disesuaikan debgan keadaan alam dan
budaya Jawa. Contoh: Hima (India) berarti : embun, cuaca penuh es, salju.
Hima (Jawa) : kabut. Saratsamaya (India) : musim semi. Saratsamaya (Jawa) :
sasih kapat (Oktober).
Pemakaian kata-kata Sansekerta dalam bahasa kawi oleh para pengawi
(pujangga) juga disebabkan oleh adanya tuntutan aturan-aturan metrum yang
ketat dikenal dengan pola guru laghu dalam karya sastra Kakawin. Dalam hal
ini perlu pengetahuan kosa kata yang luas, dan sinonim yang kaya terutama
dalam peristilahan dan konsep-konsep religius yang khas.

D. KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA KAWI


1) Kedudukan Bahasa Kawi
Bahasa Kawi merupakan salah satu bahasa Dokumenter yang
tertuayang memiliki materi yang terkaya dan nilai yang tidak dapat
diabaikan diantara bahas-bahasa Nusantara pada khususnya dan bahasa
Austronesia pada umumnya. Sastra Kawi mengandung nilai-nilai budaya
bangsa yang indah dan luhur.
2) Fungsi Bahasa Kawi
 Bahasa Kawi merupakan Kunci untuk mengungkapkan
perikehidupan kebudayaan bangsa indonesia.
 Bahasa dan sastra Kawi menjadi sumber pengetahuan dan
kekayaan bagi masa depan perkembangan kebudayaan bangsa.
 Bahasa dan sastra kawi merupakan bahan studi bagi ilmu-
linguistik, filologi dan kesusastraan.
 Pengetahuan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna dapat menjadi faktor
penunjang bagi :

 Penelitian sejarah bahasa-bahasa daerah dalam rangka usahanya


masing-masing.
 Usaha pengembangan bahasa indonesia secara sadar dan aktif.

 Usaha pengembangan sastra indonesia dan sastra-sastra daerah.

E. PENGERTIAN DAN FAEDAH FONOLOGI


Fonologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bunyi-bunyisuatu
bahasa tertentu.
Bahasa terdiri dari dua unsur yakni unsur bunyi dan makna. Kedua unsur
ini tidak bisa saling meniadakan. Bunyi tanpa.makna adalah.suatu kegaduhan,
keributan. Seperti bunyi desah angin, bunyi ember jatuh dan lain-
lainnya.Sebaliknya makna yang tidak diwadahi oleh bunyi, bukan pula
bernama bahasa. Mengingat definisi bahasa adalah:

Suatu sistem simbul-simbul bunyi bebas yang diucapkan dalam atau melalui
mulut manusia, yang disetujui dan dipelajari bersama oleh masyarakat
pendukungnya, untuk dipergunakan sebagai alat kerjasama atau berhubungan
(Jendra, 1986:2).

Manfaat atau faedah dari fonologi (ilmu bunyi) ini adalah sebagi berikut.
 Fonologi bermanfaat untuk berbicara dengan ucapan yang setepat-
tepatnya dan sebaik-baiknya.
 Fonologi bermanfaat untuk menyimak ucapan orang lain dengan baik
dan tepat.
a.Kita bisa mengetahui bahwa orang lain berasal dari Flores,
Batak,
Jawa dan lain-lain, yang ikal berdasarkan dialek.
b. Kita mengetahui pula dari kelas sosial mana orang yang
bersangkutan berasal, dengan memperhatikan lafal atau ucapan
kata-katanya.
 Fonologi bermanfaat untuk menulis ucapan orang lain dengan baik dan
tepat. Menulis karangan dapat dilakukan dengan tulisan atau
transkripsi: (1) ejaan/othografis, (2) fonetis dan (3) fonemis.
 Fonologi bermanfaat untuk menulis karangan dengan baik dan tepat.
 Fonologi bermanfaat untuk menganalisis system fonem suatu Bahasa
dan tataran Bahasa yang lebih tinggi yaitu morfologi dan sintaksis.
F. SISTEM EJAAN BAHASA KAWI

Segala macam lambang untuk menuliskan bahasa disebut sebagai huruf


atau aksara. Secara otomatis, huruf atau aksara itu merupakan lambang atau
gambaran dari bunyi. Sedangkan rentetan dari beberapa huruf disebut sebagai
abjad.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa bahasa Kawi sangat


dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Dalam hal ejaan fonemnya bahasa Kawi
ternyata juga banyak mendapat pengaruh bahasa Sanskerta. Sebagai contoh vokal
panjang/dīrga/diphthong yang dilambangkan dengan huruf ā, ī, ū; kemudian bunyi
beraspirat (bh, dh, kh, gh, ph, ch, th, dsb) serta bunyi desis (ṡ, ṣ, s).

Sementara itu untuk Abjad Kawi banyak ditulis dengan akṣara Jawa
ataupun aksara Bali. Dalam sebagian besar naskah di Bali abjad Kawi banyak
ditulis dalam aksara Bali, kecuali lontar-lontar kuno asli peninggalan Hindu Jawa
yang masih bisa diselamatkan. Bentuk antara aksara Jawa dan Bali sendiri tidak
jauh berbeda. Aksara atau Abjad ini juga sebagai lambang dari ejaan fonem
bahasa Kawi.

Sebagaimana bahasa Sanskerta, ejaan fonem bahasa Kawi dibagi atas


dua golongan besar yakni ejaan fonem vokal (akṣara swāra) dan ejaan fonem
konsonan (akṣara wyañjana).

Berikut ini ikhtisar penggolongannya serta transkripsinya dalam huruf latin.

a. Ejaan Fonem Vokal (Akṣara Swāra)

Fonem vokal dalam bahasa Kawi dibedakan menjadi dua yaitu : vokal
pendek (Swāra hṛṣva) dan vokal panjang (Swāra dīrgha).
b. Ejaan Fonem Konsonan (Vyañjana)

Konsonan dalam abjad Kawi berjumlah 33 buah. Konon 33 huruf tersebut


merupakan aksara suci dari 33 Dewa yang disebutkan dalam Veda. Oleh
karenanya para pendeta baik di India maupun di Indonesia menggunakan 33
konsonan tersebut sebagai Vijaksara yang diucapkan pada waktu mereka
melaksanakan puja. Dalam Ajaran Tantra, Vijaksara itu dituliskan dalam bentuk
Yantra atau aksara Suci yang ditulis dalam Aksara Swalalita atau Modre
(Jawa/Bali).Ejaan Fonem Konsonan bahasa Kawi dapat dibedakan menjadi lima
warga. Berikut beberapa penjelasan mengenai kelompok konsonan tersebut.

a.Guttural, disebut juga “Kāṇṭhya”. Bunyi ini dihasilkan dengan cara


mendekatkan lidah kepada guttur (kaṇṭha), yakni bagian langit-langit
kerongkongan.

b.Palatal, disebut juga “talavya”. Bunyi ini dihasilkan dengan cara


mendekatkan lidah pada palatun (talu) atau tekak (langit-langit lembut).

c.Lingual atau cerebral, yang disebut juga “mūrdhanya”. Kelompok ini


dibunyikan atau dibaca dengan cara menggetarkan lidah (lingua) di dekat
langit-langit keras (cerebrum atau mūrdha) ataupun dengan merapatkan lidah
pada langit-langit keras.

d.Dental, yang disebut juga “danthya”. Kelompok ini dibaca dengan cara
mendekatkan gigi (denta atau dantha) atas dan gigi bawah sebelum
membunyikannya.

e.Labial, yang disebut juga “oṣṭhya”. Bunyi pada kelompok ini dihasilkan
dengan cara mendekatkan kedua bibir (labium atau oṣṭha) atas dan bawah.
Untuk aksara desah ”ha” terdapat pengecualian, karena aksara ini tidak masuk
dalam lima warga tersebut di atas. Aksara ini berdiri sendiri sebagai bunyi desah.

Contoh penggunaan dari masing-masing konsonan sebagai berikut.

1. Akṣara Kāṇṭhya (huruf kerongkongan)

2. Akṣara Tālavya (huruf langit-langit).


3. Akṣara Mūrdhanya ( huruf lidah)

4. Akṣara Daṇṭya (huruf gigi)

5. Akṣara Oṣṭhya (huruf bibir)


6. Akṣara Ardha Swāra (huruf setengah suara)

7. Akṣara Uṣma (bunyi desis)

8. Akṣara Wisarga

9. Pasangan aksara Wiyanjana


10. Sandangan Aksara Swara
11. Sandangan Aksara Lainnya

Anda mungkin juga menyukai