Anda di halaman 1dari 14

AJARAN SUSILA DALAM MANTRA SIWA SASANA

Mengenai Tri Kaya Parisudha Aguron-guron, Syarat-Syarat Menjadi Sisya, dan


Dharmaning Nabe

Dosen:
Ida Ayu Gde Wulandari. M. Pd. H

Mata Kuliah :
SUSILA

DISUSUN OLEH:
Nama : I Wayan Tegar Eka Suputra
Absen/ NIM : (10 / 1911021021)
Kelas : PBSA VI B Denpasar

UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR


FAKULTAS DHARMA ACARYA
SASTRA AGAMA DAN PENDIDIKAN BAHASA BALI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA AGAMA
2022

1
KATA PENGANTAR

Om Suastiastu

Penulis mengucapkan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Ajaran Susila
dengan judul " Ajaran Susila Dalam Mantra Siwa Sasana mengenai Tri Kaya Parisudha
Aguron-guron, Syarat-Syarat Menjadi Sisya, serta mengenai Dharmaning Nabe". Penulis
tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, 10 Maret 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang.......................................................................................................1
b. Rumusan Masalah.................................................................................................1
c. Tujuan Penulisan...................................................................................................1
d. Manfaat Penulisan.................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian Ajaran Susila dan Mantra Siwa Sasana..........................................


b. Ajaran Susila dalam Siwa Sasana mengenai Tri Kaya Parisudha Aguron-
guron.......................................................................................................................
c. Ajaran Susila dalam Siwa Sasana mengenai syarat-syarat menjadi sisya
dan mengenai Dharmaning Nabe.........................................................................

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan.............................................................................................................14
b. Saran.......................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan umat manusia sebuah agama memiliki peran yang amat
penting, yang dapat menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu
kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari peran agama amat
penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan
setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang memiliki makna untuk membentuk
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti,
dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Ajaran agama Hindu dapat
dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan tiga kerangka dasar, di mana bagian
yang satu dengan lainnya saling mengisi, dan satu kesatuan yang bulat, sehingga
dapat dihayati, dan diamalkan untuk mencapai tujuan yang disebut Moksa. Tiga
kerangka dasarnya, yaitu: (1) tattwa, (2) susila, dan (3) upacara, semua itu merupakan
satu kesatuan yang saling memberi fungsi atas sistem agama Hindu secara
keseluruhan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Ajaran Susila dan Mantra Siwa Sasana?
2. Bagaimana Ajaran Susila dalam Siwa Sasana mengenai Tri Kaya Parisudha
Aguron-guron?
3. Bagaimana Ajaran Susila dalam Siwa Sasana mengenai syarat-syarat menjadi
sisya dan mengenai Dharmaning Nabe?

1.3 Tujuan Penulisan


Dalam melakukan sesuatu, pastinya memiliki sebuah tujuan yang ingin di
dapatkan. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini iyalah :

1. Mengetahui Ajaran Susila dan Mantra Siwa Sasana


2. Mengetahui Ajaran Susila dalam Siwa Sasana mengenai Tri Kaya Parisudha
Aguron-guron
3. Mengetahui Ajaran Susila dalam Siwa Sasana mengenai syarat-syarat menjadi
sisya dan mengenai Dharmaning Nabe

4
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun diharapkan agar dapat berguna bahkan digunakan dengan
sebaik-baiknya serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Susila dan juga untuk
menambah wawasan kita mengenai ajaran Susila dalam Mantra Siwa Sasana tentang
Tri Kaya Parisudha Guron-guron, mengenai syarat-syarat menjadi sisya dan mengenai
Dharmaning Nabe.

BAB II
PEMBAHASAN

5
2.1 Ajaran Susila dan Mantra Siwa Sesana
Susila berasal dua kata serta berasal dari bahasa Sansakerta. Su yang memiliki
arti baik dan bagus. Sedangkan Sila memiliki makna dasar, prinsip, peraturan hidup
atau norma. Jadi, susila merupakan upaya membimbing, memandu, mengarahkan,
membiasakan masyarakat hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan di dunia ini
manusia yang ber-Susila atau bertingkah laku yang baik sangat diharapkan. Dalam
pandangan Agama Hindu pengertian Susila ialah tingkah laku hubungan timbal balik
yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan)
yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.

Ajaran Ketuhanan seperti ini direalisasikan dalam membangun merajan,


sanggah, pura, dalam banten, dalam puja dan sebagainya. Padma Tiga di Besakih,
gedong di pura, kemulan di sanggah adalah tempat memuja Bhatara Siwa apakah
sebagai Tri Murti atau Pitara sebagai wujud Bhatara Siwa. Jelas bahwa tawur, bagia
pulakerti dan sebagainya merupakan banten yang diilhami oleh konsep Ketuhanan
sebagai Dewata Nawa Sanga. Pujapun demikian. Sebagian besar puja (demikian pula
saa) ditunjukan kepada Bhatara Siwa dalam berbagai-bagai manifestasinya. Maka dari
itu terciptalah sebuah lontar yang bernama Lontar Siwa Sesana. Siwa Sasana adalah
sasana untuk pandita Saiwa (berarti berkaitan dengan Siva atau Kebenaran) serta
syarat maupun etika atau susila sebagai seorang pandita yang dapat juga dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari oleh semua Umat Hindu. Karena agama Hindu Indonesia
memuja Bhatara Siwa, maka Siwa Sasana adalah untuk semua sulinggih Hindu
Indonesia. Semuanya menunjuk pada seseorang yang melaksanakan hidup kerohanian
sebagai pandita. Kepada mereka itulah Siwa Sasana ini ditunjukan untuk dilaksanakan
dengan tujuan agar mereka dapat mempertahankan martabatnya sebagai pandita, dan
menegakkan dharmanya. Suatu uraian yang panjang dalam lontar ini ialah uraian
tentang syarat-syarat seorang acarya yang dapat dijadikan guru dan yang harus
dihindari sebagai guru. Acarya dan dang upadhyaya lebih cenderung berarti seorang
pandita guru.

6
2.2 Ajaran Susila Dalam Siwa Sasana mengenai Tri Kaya Parisudha Aguron-Aguron.
Tri Kaya Parisudha adalah bagian dari etika atau susila agama Hindu.
Timbulnya kata Tri Kaya Parisudha berasal dari kata Tri artinya tiga, Kaya artinya
gerak atau perbuatan dan parisudha artinya suci. Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak
atau perbuatan yang harus disucikan.

1. Berfikir yang bersih dan suci (Manacika)


2. Berkata yang benar (Wacika)
3. Berbuat yang jujur (Kayika).

Jadi dari pikiran yang bersih akan timbul perkataan yang baik dan perbuatan
yang jujur. Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yaitu
3 macam berdasarkan pikiran, 4 macam berdasarkan perkataan dan 3 macam lagi
berdasarkan perbuatan. Tiga macam yang berdasarkan pikiran adalah tidak
menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikiran buruk terhadap mahkluk lain
dan tidak mengingkari adanya hukum karmaphala. Sedangkan empat macam yang
berdasarkan atas perkataan adalah tidak suka mencaci maki, tidak berkata kasar
kepada makhluk lain, tidak memfitnah dan tidak ingkar pada janji atau ucapan.
Selanjutnya tiga macam pengendalian yang berdasarkan atas perbuatan adalah tidak
menyiksa atau membunuh makhluk lain, tidak melakukan kecurangan terhadap harta
benda dan tidak berzinah.

Dikatakan bahwa sang sadhaka (sulinggih pandita atau orang suci) juga harus
memiliki manacika atau pikiran yang bersih, Budiman, tenang, tangguh, senang
mengampuni, lapang hati yang berdasarkan maitri, karuna, mudita, dan upeksa, kasih
sayang. Terdapat juga ditegaskan bahwa seorang sadhaka hendaknya tidak curang,
licik, sombong, mabuk, congkak, loba, bingung, cepat naik darah, keras kepala, iri
hati, busuk hati, durhaka, menghina teman. Seorang sadhaka hendaknya ikhlas,
berbudi baik, hormat dan jujur. Hal ini tertuang dalam sloka (17a-17b)

Trikaya ini dilaksanakan berdasarkan subhakarma perbuatan-perbuatan baik.


Bila ketiga-tiganya sudah dilaksanakan dengan baik maka ia disebut
trikayaparamartha seperti yang disebutkan dalam sloka (17b-18a). Seorang dang
upadhyaya harus melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan kaya yaitu senang
bekerja, melangsungkan yadnya, melaksanakan puja dan japa, memuja Bhatara, terus

7
mendalami sastra agama, mengajar dharma atau kebajikan, sopan menerima tamu
sadhaka, membantu yang melaksanakan yoga dengan dana punya yang diperlukan.

Selanjutnya dalam sloka (18b) Seorang Dang Upadhyaya harus melaksanakan


kegiatan-kegiatan yang bersangkut-paut dengan wak yaitu :

1. Memperbincangkan tentang pemujaan kepada para dewa dan Brahmana.


2. Mendiskusikan pengetahuan, filsafat dan agama.
3. Mempelajari dan merapal mantra-mantra Weda.
4. Berkata jujur
5. Menepati janji
6. Tidak berkata-kata yang menyakitkan hati.
7. Tidak mengeluarkan kata-kata kasar
8. Tidak memfitnah
9. Tidak berbohong.
10. Tidak menghina.
11. Tidak mencerca sesama sadhaka dangupadhyaya
12. Tidak mencela brata sesama sadhaka.

Selain itu lebih ditegaskan bahwa sang sadhaka harus mengucapkan Kata-kata
yang manis, kata-kata yang benar, kata-kata yang lembut, kata-kata yang menarik
hati, kata-kata yang bersahaja. Hal ini tertulis dalam sloka (9a-9b)

2.3 Ajaran Susila dalam Siwa Sasana mengenai syarat-syarat menjadi sisya dan
mengenai Dharmaning Nabe
Setiap sisya yang akan didiksa harus dipilih. Tidak boleh sembarang orang
dijadikan sisya. Dalam sloka (11a) dijelaskan yang patut dijadikan sisya dan dapat
didiksa ialah :

1. Punya janma artinya bersifat sosial


2. Maha prajnana artinya arif bijaksana.
3. Satya wak artinya setia dengan kata-kata.
4. Sadhu artinya saleh.
5. Silawan artinya berbudi baik.
6. Sthira artinya tangguh.

8
7. Dhairya artinya berani.
8. Swami bhaktya artinya bhakti kepada junjungan.

Kemudian ditambah lagi syarat lain yang tercantum dalam sloka (11b) yaitu :

1. Suddha janma artinya orang suci


2. Maha pawitra kawangannya artinya kelahiran dari keluarga suci,
3. Wang satya wacana artinya orang yang jujur berkata-kata,
4. Wang sujana tuhu-tuhu artinya orang yang baik yang benar-benar mahardika,
5. Wang prajna wruh mengaji artinya orang pandai yang tahu mengkaji
pengetahuan
6. Wang satwika sadhu mahardika artinya orang yang sungguh-sungguh saleh
(Bijaksana)
7. Wang susila apageh ring winaya artinya orang berbudi baik tetap hati pada
winaya,
8. Wang sthira stiti ring abhipraya artinya orang yang teguh dengan tujuan,
9. Wang dherya dharaka angelaken artinya orang yang tahan uji menanggung
suka duka
10. Wang satya bhakti matuhan artinya orang yang setia bakti kepada junjungan
11. Wang mahyun ring kagayaning artinya orang yang mau melaksanakan dharma
(Dharma karya)
12. Wang mapageh magawe tapa artinya orang yang teguh melaksanakan tapa.

Dalam siwa sesana juga dijelaskan pada sloka (12a-14b) orang yang tidak
patut dijadikan sisya dan dapat didiksa ialah:

1. Wang cuntaka artinya seperti orang memegang mayat, pernah dihukum,


pernah dikencingi, pernah dipukul kepalanya dan sebagainya,
2. Wang patita walaka artinya seperti orang yang menyembah orang yang paling
rendah derajatnya, orang yang memikul usungan yang berisi orang, tikar,
kasur dan sebagainya,
3. Wang sadigawe seperti artinya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang hina,
4. Wang banijakrama artinya yaitu berjual beli, wang wulu-wulu: seperti
membuat periuk, menjadi tukang dan sebagainya,
5. Wang candala artinya seperti menjadi gagal, tukang cuci dan sebagainya,
6. Wang kuci angga artinya seperti orang cebol, bungkuk, bulai dan sebagainya,

9
7. Wang maha duhka artinya seperti orang yang menderita penyakit kusta, gila,
ayan, buta, tuli, bisu, pincang dan sebagainya.

Orang yang sudah didiksa juga tidak boleh didiksa lagi. Bila syarat-syarat
tersebut dilanggar maka baik guru maupun sisya sama-sama akan mendapatkan
hukuman. Hukumannya antara lain nama diksanya harus ditarik lagi dan yang
bersangkutan harus dibuang keluar pulau Jawa. Namun bila syarat-syarat orang
menjadi sisya dipenuhi maka ia dapat didiksa.

Dharmaning Nabe

Walaupun hal-hal tersebut di atas sudah dipenuhi, maka seseorang dang


upadhyaya juga tidak boleh tergesa-gesa melaksanakan krta diksa terhadap seorang
sadhaka. Sadhaka yang akan diberikan krta diksa perlu diteliti umurnya dan umur
istrinya. seperti yang tercantum dalam sloka (10a-10b). Bila sadhaka itu masih
keluarga dang upadhyaya itu dapat diberikan krta diksa pada umur 50 tahun, dan bila
tidak keluarganya pada umur 60 tahun. Bila umurnya sudah memenuhi syarat pada
waktu itulah ia dapat melaksanakan krta diksita dan yang didiksa boleh
mempergunakan/siwa upakarana yaitu perlengkapan seorang pandita dalam
melakukan pemujaan.

Dalam lontar Siwa Sasana juga ialah uraian tentang syarat-syarat seorang
acarya yang dapat dijadikan guru dan yang harus dihindari sebagai guru. Dalam sloka
(2a) dikatakan. Syarat-syarat acarya yang baik dijadikan guru ialah berkepribadian
baik, sastrawan, ahli Weda, menguasai hawa nafsu, taat melaksanakan brata, senior
dalam umur, ahli bahasa

Pada sloka (3a) dijelaskan Acarya krta diksita yaitu acarya yang menjadi
gurunya guru ialah acarya keturunan sadhaka yang memang disiapkan untuk menjadi
acarya. Ia juga disebut dang upadhyaya. Acarya yang demikianlah tempat orang
mohon sangaskara (penyucian) dan bhasma (abu suci). Dalam sloka (4a), dikatakan,
dia yang di-sangaskara oleh acarya seperti itu akan hilang nodanya, hilang papanya,
bebas dari mara bahaya, bebas dari duka nestapa.

Didalam skola (4b-5b) dinyatakan bahwa Orang harus menghindari acarya


yang tidak baik untuk dijadikan guru. Ialah Acarya yang pengetahuannya rendah,
acuh tak acuh, cepat bingung, linglung, kaku, Duryasa yaitu bermoral rendah seperti

10
rendah budi, congkak, curang, senang mabuk, licik, angkara murka, iri hati, senang
berbohong, benci berbuat jasa, bermusuh pada teman, menghina ibu bapaknya,
menghina brahmana dan menghina Tuhan. Acarya yang demikian akan terbentur-
bentur kesana kemari karena bodohnya sehingga ia akan menanggung hukuman para
dewa. Akibat dari semua ini, maka acarya yang demikian itu akan tetap hanyut dalam
perbuatan yang melawan dharma sehingga pintu neraka terbuka lebar-lebar untuknya.

Didalam sloka (6b) juga menyatakan bahwa, walaupun seseorang sudah


termasuk acarya yang baik, tidak baik tergesa-gesa melaksanakan krta diksa bila
belum matang dengan ajaran kependetaannya maka, Ia harus  Mengamat-amati akan
sifat-sifat baik dan dosa pada dirinya dan berusaha menjadikan dirinya suci serta
melaksanakan tugas-tugasnya sampai selesai. Oleh karana itu, adapun kewajiban-
kewajiban dalam melaksanakan kewajibannya sebagai guru seperti yang dijelaskan
dalam sloka (16b-17a) antara lain :

1. Ajarana-dharma ning sisya yaitu mengajar dharmanya sisya,


2. Maweha kriya artinya memberikan sisya tugas,
3. Mawaraha ring dasasila mwang pancasiksa, guru talpaka lawan trikaya
paramartha artinya mengajarkan dasasila dan pancasiksa, guru talpaka dan
trikaya paramartha,
4. Mangajarana kaling acara mwang karma sila winaya artinya mengajarkan
hakekat tingkah laku dan perbuatan sila dan winaya,
5. Ohuta ng upakrama ring agamanya artinya mencegah penyelewengan terhadap
agamanya,
6. Mwikarapageh deyanya gumegosanghyang Siwa brata artinya bersungguh-
sungguh dan teguh usahanya mengamalkan brata Sanghyang Siwa,
7. Aywa wimarga sake kabhujangganya artinya jangan menyimpang dari tata
tertib kependetaannya.

Pada sloka (17b-18b) juga dijelaskan sikap dan cara dang acarya mengajar
muridnya adalah

1. aywa krodha artinya jangan marah,


2. aywa lobha artinya jangan loba,
3. aywa parusya artinya jangan kasar,
4. aywa irsya artinya jangan iri,

11
5. aywa drohi artinya jangan berkianat
6. aywa sang guru nistura tumon sisya dina kalaran manmu dukha artinya
janganlah sang guru tidak menaruh kasih sayang terhadap muridnya yang hina
menderita menanggung duka,
7. aywa lwirtan uninga tumon sisya salah silanya mwang swabhawanya artinya
janganlah acuh tak acuh melihat tingkah laku dan keadaan muridnya yang
salah
8. aywa gigu mohut ri sisya magawe papakarma angde patitanya artinya
janganlah ragu-ragu mencegah murid berbuat hina yang menyebabkan
jatuhnya,
9. aywanangguh patita ring sisya mon ta byakta cihnanyan patita artinya
janganlah menuduh murid jatuh bila tanda-tanda jatuhnya tidak jelas,
10. aywagya kumaniscaya percaya ring sila mwang brata ning sisya artinya
janganlah cepat percaya akan tingkah laku dan bratanya murid,
11. aywa tan parcaya yan kateher byata ning silanya artinya janganlah tidak
percaya bila tingkah lakunya jernih terus menerus,
12. aywa ninda pracoda : jangan mencela,
13. aywa mucca sisya tan sayang akrama denda dosa artinya janganlah menyakiti
sisya, tidak sayang pada yang berbuat salah dan dosa,
14. aywa mucca sisya sulaksana artinya janganlah menyakiti sisya yang
bertingkah laku yang baik. Dalam lontar siwa sesana

Dalam lontar siwa sesana diakhiri dengan ancaman hukuman keras kepada
barang siapa yang berani melakukan perbuatan yang menyimpang kepada para
sadhaka. Seperti yang tercantum dalam sloka (20a-21b).

12
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Susila merupakan upaya membimbing, memandu, mengarahkan,
membiasakan masyarakat hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat dan memiliki hubungan timbal balik yang selaras dan
harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang
berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang, demi tegaknya
kebenaran dan keadilan di dunia ini. Lontar Siwa Sesana merupakan sebuah lontar
yang diperuntukan kepada para sadhaka yang menganut aliran siwa sidhanta dimana,
dalam lontar ini berisikan tata cara seorang sisya yang akan menjadi pandita. Semua
hal yang tercatat dalam Lontar Siwa Sesana masih relevan diterapkan dalam
kehidupan sosial jaman sekarang karena semua yang tercantum di dalamnya memang
begitu adanya sesuai dengan tatanan dan kewajiban seorang pandita. Pada hakekatnya
hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar
sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah
satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan

3.2 SARAN
Penulis perlu menambahkan pembahasan lebih lanjut mengenai ajaran Susila
dalam Mantra Siwa Sasana mengenai Tri Kaya Parisudha Aguron-guron, Syarat-
Syarat Menjadi Sisya, serta mengenai Dharmaning Nabe, agar informasi dapat
dimengerti dan terus belajar kembali dalam pembuatan makalah selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Pendidikan Agama Hindu


dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas XI. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.

Penerbit, Lontar Sang Hyang Siwa Sasana. Salinan Teks dan Terjemahan Lontar, Lontar
Taksu; http://www.lontar.my.id/2018/06/lontar-shanghyang-siwa-sesana.html

Duarsa Ari, Kajian Lontar Siwa Sasana; 2016. https://palingbelog.wordpress.com/kajian-


lontar-siwa-sesana-2/

Sura, I Gede. 1985. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Denpasar:
IHDN Denpasar.

Sumertini, Ni Wayan. 2021. Filsafat Kelepasan Dalam Yoga Sutra Patanjali. Jurnal Filsafat.
Denpasar: Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.

Tim Penyusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Pendidikan Agama Hindu


dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas XI. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.

14

Anda mungkin juga menyukai