Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL

PALINGGIH BHATARA ALIT DI PURA PADHARMAN I GUSTI AGUNG


PETANDAKAN DESA ADAT SEMARAPURA KECAMATAN
KLUNGKUNG KABUPATEN KLUNGKUNG
(KAJIAN BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA)

Oleh
I Gusti Agung Bagus Candra Prabawa Nugraha
2001013870

FAKULTAS ILMU AGAMA SENI DAN BUDAYA


UNIVERSITAS HINDU INDONESIA DENPASAR
2024
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-
Nya penulis bisa dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul yang
berjudul “Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan
Desa Adat Semarapura Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung (Kajian
Bentuk, Fungsi Dan Makna). Laporan proposal skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk mengerjakan skripsi pada Universitas Hindu Indonesia,
Denpasar.
Terselesaikannya penelitian proposal ini tidak lepas dari dorongan semua
pihak, dan dalam kesempatan kali ini tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr.h. I Made Damriyasa, M.S. Selaku rektor
Universitas Hindu Indonesia.
2. Bapak Prof. Dr. Drs. I Ketut Suda, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Agama, Seni, dan Budaya Universitas Hindu Indonesia.
3. Bapak I Gede Jaya Kumara, S.S, M.A. Selaku Ketua Program Studi
Ilmu Filsafat Agama Hindu, sekaligus pembimbing yang sabar
memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan proposal ini.
4. Seluruh Dosen pengajar di lingkungan fakultas Ilmu Agama, Seni, dan
Budaya Universitas Hindu Indonesia.
5. Seluruh pihak yang tidak sempat saya tulis namanya satu persatu
dalam kata pengantar ini, dan tentu saja sudah sangat membantu dalam
pembuatan proposal penelitian skripsi ini.
Tentu penulis dalam penyusunan hasil penelitian proposal ini sangat
menyadari adanya kekurangan dalam penulisan, serta masih banyak memerlukan
penyempurnaan. Dalam hal ini, penulis memohon kritik, dan saran yang
membangun.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.
Semarapura, Maret 2024

ii
Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 10
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................... 10
1.3.1Tujuan Umum................................................................................ 11
1.3.2Tujuan Khusus............................................................................... 11

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 12


1.4.1 Manfaat Teoritis........................................................................... 12
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL


PENELITIAN ........................................................................................... 13

2.1 Kajian Pustaka ...................................................................................... 13


2.2 Deskripsi Konsep.................................................................................. 15

2.2.1 Konsep Palinggih Bhatara Alit ............................................. 16


2.2.2 Konsep Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan............. 17

2.3 Landasan Teori...................................................................................... 18

2.3.1 Teori Simbol .......................................................................... 18


2.3.2 Teori Arsitektur Vitruvius.........................................................
2.3.3 Teori Religi Koentjaraningrat ................................................19
2.3.4 Teori Fungsional Struktural ................................................... 20
2.4 Model Penelitian/Kerangka Berfikir..................................................... 23

iii
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................27

3.1 Tempat Penelitian ....................................................................................27


3.2 Subjek dan Objek Penelitian ...................................................................28
3.3 Sumber Data ............................................................................................28

3.3.1 Sumber Data Primer....................................................................28

3.3.2 Sumber Data Sekunder ..............................................................28

3.4 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................29

3.4.1 Observasi ...................................................................................29

3.4.2 Wawancara.................................................................................29

3.4.3 Kepustakaan ..............................................................................30

3.5 Teknik Analisis Data ...............................................................................30

3.6 Teknik Penyajian Hasil Data....................................................................33

DAFTAR PUSTAKA

iv
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan pengamatan, kegairahan umat dalam melakukan

persembahyangan sangat menggembirakan. Jika sudah berada di dalam Pura,

tempat pemujaan Hindu saat hari raya atau pujawali maupun pada saat ada

persembahyangan seperti Purnama-Tilem amat mengesankan. Memang pura

adalah tempat kita memuja dan memuji Tuhan. Dari pemujaan itu, kita mendapat

kekuatan spiritual untuk meningkatkan kualitas diri. Dapat diamati umat jikalau di

Pura, demikian ikhlas berkorban, tidak egois, sangat ramah, patuh, ikhlas

menolong, jujur, berpikir suci dan menunjukkan sikap perilaku lainnya yang ideal.

Salah satu fungsi Pura adalah untuk menanamkan kekuatan spiritual,

peningkatan kualitas sikap dan perilaku untuk bekal mengarungi kehidupan. Pura

atau tempat pemujaan, hari raya agama, upacara agama adalah media sakral untuk

menempa diri terutama bagi umat yang awam untuk meningkatkan kualitas

spiritualnya agar dapat melaksanakan hidup ini pada jalan yang benar dan menuju

tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan terakhir mencapai Moksha

yakni bersatu dengan Brahman.

Di dalam Artharvaveda 2.31 disebutkan, bahwa tubuh kita ini adalah

Sthana Dewata (atman) dengan delapan roda sembilan pintu adalah pura dari

Atman yang terang dan luhur. Oleh karena itu Reg Veda XIII.44.15 menganjurkan,

konsentrasikanlah ke dalam diri yang ditempati api suci atman di tengah-tengah


2

pura dalam diri yang senantiasa bercahaya gemerlapan. Para Pandita dan Maharsi

telah mampu melaksanakan konsentrasi sebagaimana diajarkan oleh Reg Veda

tersebut sehingga badannya menjadi Dewa Laya. Sedangkan umat awam masih

membutuhkan media sakral seperti pura, upacara dan lain-lain untuk

meningkatkan kesucian dirinya sampai tahapan dewa laya. Dengan demikian ia

dapat melaksanakan hidup sehari-hari pada jalan dharma.

Secara umum pura diartikan sebagai tempat suci, tempat

persembahyangan atau pemujaan bagi umat Hindu. Kata “pura“ berasal dari

Bahasa Sansekerta “phur“ yang artinya tempat suci, istana, kota. Seperti diketahui

Semarapura nama sebuah kota di Kabupaten Klungkung. Pura, menurut tradisi

Bali diartikan sebagai tempat persembahyangan. Selain itu sering didapatkan

istilah “Kahyangan“ dan “Parhyangan“ istilah “Kahyangan“ diucapkan untuk

menyebut istilah pura umum, seperti Tri Kahyangan Jagat dan Sad Kahyangan

Jagat. Sedangkan istilah “Parhyangan“ dipakai dalam menyebut pembagian Tri

Hita Karana yaitu Parhyangan (sering juga ditulis Parhyangan), palemahan dan

pawongan. Pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di Bali di masa lampau ditata oleh

Mpu Kuturan yang mendampingi raja. Beliaulah yang mengajarkan pendirian

Kahyangan Jagat di Bali, desa pakraman dengan Kahyangan tiga-nya. Sampai saat

ini, kahyangan dan desa pakraman itu masih kita warisi bahkan makin terpelihara.

Pemujaan Tuhan di Kahyangan Jagat dibagi menjadi empat konsepsi

(Wiana, 1997:30) di dalam bukunya yang berjudul “Beragama bukan hanya di

Pura” menyatakan pertama, konsepsi Rwa Bhineda. Dalam konsepsi ini Tuhan

dipuja untuk memohon keseimbangan hidup lahir-bathin. Karena kehidupan yang


3

seimbang lahir-bathin inilah modal dasar dari peningkatan hidup menuju hidup

bahagia. Konsepsi Rwa Bhineda ini dituangkan oleh Mpu Kuturan dalam wujud

Pura Besakih sebagai Pura Purusa sedangkan sebagai Pura Pradana adalah Pura

Batur. Pura Besakih tempat memohon kebahagiaan Rohani sedangkan Pura Batur

tempat memohon kemakmuran ekonomi.

Kedua, konsepsi Catur Loka Pala yaitu konsepsi pemujaan Tuhan untuk

mendapat perlindungan dari Tuhan. Konkretisasi dari pemujaan Tuhan dalam Pura

Catur Loka Pala juga disebut dalam lontar Usana Bali. Pura Catur Loka Pala itu

adalah Pura Lempuyang luhur untuk arah timur. Pura Batukaru di arah barat, di

utara Pura Puncak Mangu sedangkan di arah selatan adalah Pura Andakasa.

Ketiga, konsepsi Sad Winayaka. Dalam Lontar Dewa Purana Bangsul ada

disebutkan pemujaan pada enam dewa manifestasi Tuhan yang secara

konsepsional berhubungan dengan Sad Kertih yang dijelaskan dalam Lontar

Purana Bali. Untuk ngertiang Sad Kertih itu. Mpu Kuturan mendirikan Sad

Kahyangan sebagaimana disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sebagai berikut

Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu,

Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.

Sad Kahyangan yang berbeda-beda dan umumnya tidak sama dengan Sad

Kahyangan yang diuraikan dalam Lontar Kusuma Dewa. Melalui penelitian yang

dilakukan Tim Institut Hindu Dharma tahun 1979/1980 ditetapkanlah bahwa Sad

Kahyangan yang paling tepat adalah berdasarkan Lontar Kusuma Dewa dan hal

ini juga sudah ditetapkan oleh Mahasabha PHDI tahun 1980. (Wiana,1997:31) di

dalam buku “Beragama bukan hanya di Pura”.


4

Keempat, Konsepsi Padma Bhuwana dari ketiga konsepsi Kahyangan

Jagat di Bali sebagai wadah pemujaan Tuhan disatukan lahirlah konsepsi Padma

Bhuwana yaitu Sembilan Kahyangan Jagat yang berada di Sembilan Penjuru

Pulau Bali. Sembilan Kahyangan Jagat itu adalah Pura Besakih, Lempuyang

Luhur, Andakasa, Goa Lawah, Luhur Uluwatu, Luhur Batukaru, Puncak Mangu,

Batur dan Pusering Jagat. Menurut karakteristiknya ( Wiana,1997:31) di dalam

buku yang berjudul “Beragama bukan hanya di Pura” menyatakan bahwa Pura

Dapat di bedakan menjadi (1) Kahyangan Jagat, Kahyangan yang bersifat umum

dan diemonng oleh umat Hindu secara umum dan merupakan tempat pemujaan

Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Dari sejumlah Pura umum di Bali ada

yang disebut Sad Kahyangan yaitu,

(1) Pura Lempuyang letaknya di Timur

(2) Pura Goa Lawah letaknya di Tenggara

(3) Pura Uluwatu letaknya di Barat daya

(4) Pura Watukaru letaknya di Barat

(5) Pura Bukit Pengelengan letaknya di Barat Laut

(6) Pura Besakih Letaknya letaknya di Timur Laut

Sedangkan menurut Sumiati (1977:28) Kahyangan Jagat di Bali ada

bermacam-macam yaitu (1) Tri Kahyangan Agung (2) Sad Kahyangan (3) Asta

Kahyangan dan (4) Nawa Kahyangan, Pura dalam keluarga di Bali disebut

Mrajan ( juga disebut Pamrajan ), Sanggah atau Sanggah Pamrajan. Pura ini

bersifat khusus untuk keluarga. Menurut Bhagawan Dwija (2008) istilah Sanggah

berasal dari Bahasa Kawi “ Sanggar “ yang berarti tempat untuk melakukan
5

kegiatan pemujaan suci. Istilah “ Pamrajan “ berasal dari Bahasa Kawi “ Praja “

yang berarti keturunan atau keluarga. (Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra,2019:5)

di dalam buku yang berjudul “Palinggih Rong Tiga/Kemulan” menyatakan bahwa

Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah

Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur, untuk

menguatkan kedudukan Kamulan dibangun Palinggih-palinggih lain

(Winanti,2009:19). Setelah keluarga makin berkembang dan bertambah banyak,

maka berkembang pulalah Sanggah atau Mrajan menjadi pura keluarga yang lebih

besar. Mulai dari Pura Kawitan, Pura dadya, Pura Panti, Pura ibu-Paibon, Sanggah

gede dan lain sebagainya.

Bagi umat Hindu di Bali Palinggih Ibu dan Panti sering disebut Pura Ibu

atau Pura Panti (Soebandi,2007:75). Sedangkan tempat pemujaan leluhur yang

tertinggi disebut Pura Padharman. Pura ini berada di Pura Besakih sebanyak 13

Pura Padharman, namun demikian Padharman tidak mesti di besakih dan

Padharman bisa dibangun dimana saja tergantung kejadian Sejarah yang melatar-

belakanginya. Tidak semua orang memilijki Padharman di kompleks Pura

Besakih. Padharman yang ada di besakih di bangun tahun 1840 an. Raja Putri

Dewa Agung Bale Mas yang ketika itu bersama raja-raja bali lannya ngaturang

karya Manca Wali Krama menyusul selesainya Karya Maligya di Puri Agung

Klungkung, (Balipost, Rabu Wage 16 Seotember 1998). Seperti contoh di

antaranya Padharman I Gusti Agung Petandakan ada di Jalan Puputan No. 6

Semarapura, Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung, Kabupaten

Klungkung tepatnya di sebelah Selatan Taman Kerthagosa.


6

Bagi I Gusti Agung Petandakan yang pernah berjasa diisthanakan pada

Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan (Adri,1985:6) di dalam buku

“Konsepsi Dewa Pitara di Bali” menyatakan bahwa Pura Padharman dan juga

palinggih-palinggih sebagai tempat pemujaan serta stana Ida Sang Hyang Widhi

Wasa dengan berbagai macam bentuk manifestasinya. Konsepsi Ketuhanan dalam

Agama Hindu membenarkan adanya pemujaan Ista Dewa yaitu manifestasi Hyang

Widhi yang diinginkan kehadirannya dalam pemujaan pada suatu Palinggih atau

pura. Pelinggih yang terdapat di Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan

merupakan simbol dari Tuhan sebagai sasaran didalam bekonsentrasi untuk

menuju kepada pusat yang dipujanya. Mengingat salah satu sifat dari Tuhan

adalah tidak berbentuk sehingga sulit untuk dibayangkan, maka umat Hindu

menggunakan simbol-simbol untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Wiana

(1992:24) di dalam buku “Sembahyang menurut Hindu” menyatakan memuja

Tuhan yang berwujud adalah suatu yang dianjurkan sebagai bentuk sebuah bhakti

umat terhadap Tuhan. Dengan Yoga umat Hindu di perkenankan memuja Tuhan

dengan menggunakan simbol-simbol sebagai alat atau instrument penghubung

antara pemuja dengan yang dipuja.

Berbicara perihal Pura Padharman dengan palinggih-palinggihnya

agaknya tidak bisa dipisahkan dengan seorang tokoh besar yang bernama Mpu

Kuturan . Ia datang ke Bali pada periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur

(1019-1042) kedatangannya ke Bali membawa perubahan kearah peningkatan

kehidupan beragama umat Hindu yang kala itu masih menonjolkan sekte-sekte.

Tercatat Mpu Kuturan berhasil mempersatukan sekte-sekte yang ada melalui


7

konsepsi Tri Murti, yang ditindaklanjuti dengan Pembangunan Kahyangan-

kahyangan, Sanggah atau Merajan termasuk pendirian pelinggih-pelinggih

sebagai tempat pemujaan kehadapan Hyang Widhi beserta Prabhawannya.

Pendirian Palinggih yang disebut Palinggih Bhatara Alit saat umat

Hindu yang kala itu masih menonjolkan paksa-paksa. Bangunan Suci Palinggih

Bhatara Alit merupakan salah satu simbol atau lambang alam semesta sebagai

stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya. Menurut seorang

peneliti kebudayaan Bali Dr. R. Goris di dalam buku Bali Kuno (Warsika,

2017:2) menyatakan terdapat Sembilan sekte Hindu yaitu Pasupata, Bhairawa,

Saiva Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.

Berdasarkan pengamatan, Pelinggih Bhatara Alit merupakan pengaruh dari

berkembangnya sekte Bhairawa Tantra sebagai bagian peradaban Jawa Kuno.

Mendirikan berupa pelinggih Bhatara Alit untuk melengkapi pelinggih-pelinggih

yang sudah ada dengan maksud untuk menyempurnakan tatanan kehidupan

beragama Hindu saat itu. Kata Bhatara Alit menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwadarminta terdiri dari 2 kata yaitu

Bhatara (batara) artinya 1. si dewa, 2. si. Sebutan dewi, dan alit artinya kecil. Jadi

keberadaan Pelinggah Bhatara Alit, mencermati arti kata di atas boleh dikatakan

pelinggih ini merupakan Sthana manifestasi Hyang Widhi atau Bhatara/Bhatari

sebagai pelindung umat manusia.

Mengutip dari hasil wawancara dengan Penglingsir Jero Agung

Petandakan I Gusti Made Warsika (15 Februari,2024). Menurut penuturan beliau

zaman dahulu, Bhatara Alit sempat tedun untuk mesolah melangsungkan


8

pementasan Calonarang di Jero Agung Petandakan dengan menunjukan kekuatan

mistisnya setiap mesolah Ida Bhatara Alit membuat pementasan Calonarang

ditunggu Masyarakat. Banyak Masyarakat yang nunas tamba (meminta obat) pada

Ida Bhatara Alit. Keberadaan Pelinggih Ida Bhatara Alit yaitu lambang sumber

energi atau kekuatan. Fungsi palinggih ini adalah sebagai Palinggih untuk

memohon kepada Tuhan agar dianugrahi kekuatan spiritual, untuk memelihara

semangat dan gairah hidup yang penuh godaan. Para Seniman di Bali, terutama

seniman pertunjukan mempercayai di palinggih inilah nunas Taksu. Taksu dalam

pengertian ini adalah kekuatan spiritual yang dapat berfungsi sebagai kekuatan

menambah daya tarik dari sebuah pertunjukan. Taksu ini sering disamakan dengan

inner beauty (kecantikan di dalam raga seseorang).

Bentuk Palinggih Bhatara Alit dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian

bawah disebut bataran, diatas bataran menggunakan empat tiang yang menyangga

semua ruangan atau rong lengkap dengan atapnya. Palinggih Bhatara Alit

memiliki kekuatan gaib saat dipentaskan dalam pertunjukan oleh I Gusti Agung

Jyesta Jaya Samudra, karena memiliki kekuatan gaib luar biasa. Akhirnya

ditempatkan di Palinggih Bhatara Alit.

1.2 Rumusan Masalah

Dari pemaparan tersebut di atas, dapat dipetik beberapa rumusan masalah

sebagai berikut :
9

1. Bagaimanakah bentuk arsitektur & sejarah Palinggih Bhatara Alit di Pura

Padharman I Gusti Agung Petandakan, Desa Adat Semarapura, Kecamatan

Klungkung, Kabupaten Klungkung ?

2. Bagaimanakah fungsi Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti

Agung Petandakan, Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung,

Kabupaten Klungkung ?

3. Bagaimanakah makna filosofi Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman

I Gusti Agung Petandakan, Desa Adat Semarapura, Kecamatan

Klungkung, Kabupaten Klungkung ?

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan, sudah tentu memiliki tujuan yang ingin

dicapai. Demikian pula dengan penelitian yang berjudul : Pelinggih bhatara alit

di Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan Desa Semarapura, Kecamatan

Klungkung (Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna). Tujuan dari penelitian dibagi

menjadi dua, yaitu :

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali,

mendokumentasikan serta mendapatkan pengetahuan mengenai Palinggih

Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan Desa Semarapura,

Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung (Kajian Bentuk, Fungsi dan


10

Makna). Sehingga penelitian ini bisa dipakai sebagai acuan perbandingan yang

berkepentingan dengan penelitian sejenis.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian “Palinggih Bhatara Alit di Pura

Padharman I Gusti Agung Petandakan Desa Semarapura, Kecamatan

Klungkung, Kabupaten Klungkung (Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna),”

berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan di atas, maka dirumuskan tujuan

khususnya yaitu :

1. Untuk mengetahui bentuk dan sejarah Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman

I Gusti Agung Petandakan, Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung,

Kabupaten Klungkung.

2. Untuk mengetahui fungsi Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti

Agung Petandakan, Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung, Kabupaten

Klungkung.

3. Untuk mengetahui makna filosofi Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I

Gusti Agung Petandakan, Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung,

Kabupaten Klungkung.

1.4 Manfaat Penelitian


11

Hasil Penelitian yang diperoleh nantinya diharapkan dapat memberikan

manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yang dapat diuraikan sebagai

berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dalam penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan serta
pengetahuan bagi penulis serta memberikan sumbangan analisis bagi
pengembangan hasil-hasil penelitian mengenai masalah-masalah yang berkaitan
tentang penelitian “Palinggih Bhatara Alit Di Pura Padharman I Gusti Agung
Petandakan Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung, Kabupaten
Klungkung ( Kajian Bentuk, Fungsi Dan Makna)”.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan

pemikiran dan berkontribusi baik terhadap peneliti sendiri, pembaca, maupun

program Studi Ilmu Filsafat Hindu Universitas Hindu Indonesia, seperti berikut :

1. Dijadikan bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya dalam penelitian yang

berkaitan dengan Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung

Petandakan.

2. Dapat berkontribusi dan menyumbangkan pemikiran kepada penyungsung dan

pengemong Pura Padharman tersebut.

3. Dapat bermanfaat bagi masyarakat luas khususnya masyarakat Bali dalam

memahami tradisi dan kebudayaan Bali yang tidak lepas dari kegiatan

berkesenian.
12

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN/KERANGKA BERFIKIR

2.1. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka adalah kajian terhadap penelitian sebelumnya yang

relevan dengan penelitian yang akan dilakukan saat ini. Pengkajian terhadap

sejumlah penelitian yang telah dilakukan sangat bermanfaat bagi seseorang

peneliti karena dapat menambah wawasan, pemahaman dan memanfaatkan

metode, konsep dan landasan teori yang relevan, ataupun mempersiapkan strategi

untuk mengatasi berbagai kendala yang mungkin muncul pada penelitian yang

dilakukan ( Tim, 2009:10 ). Penelitian ini penting dilakukan untuk mencari

sumber data dari perpustakaan kuno dan modern sebagai penunjang repository

ilmu komparatif dan literatur dalam penelitian :

1. Ida Ayu Eka Damayanti dalam skripsinya berjudul “ Palinggih Catur Muka Di

Pura Agung Kentelgumi Desa Pakraman Tusan Kecamatan Banjarangkan


13

Kabupaten Klungkung “ lebih menekankan Bentuk, Fungsi dan Makna dari

Palinggih Catur Muka di Pura Agung Kentel Gumi, tetapi dalam penelitian yang

peneliti angkat memfokuskan pada Bentuk, Fungsi dan Makna dari Pelinggih

Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan.

2. Ni Putu Winanti ( 2009 : 164 ) mengatakan dalam bukunya “ Pura Keluarga dan

Pratima “ menjelaskan tentang taksu adalah suatu daya kekuatan yang tercampur

dari seorang Pragina ( Seniman ) sehingga dengan daya kekuatan ini dia lebih

berhasil dalam pertunjukan. Terkait dengan penelitian ini, peneliti mengutip

tentang arti dari taksu Pragina.

3. I Ketut Soebandi ( 2008:10 ) dalam bukunya berjudul “ Riwayat Merajan di Bali

“. Mengatakan bahwa merupakan keharusan parati sentana ( keturunan ) selalu

hormat kepada ibu bapak dan berbakti dengan memuliakan dan memuja arwah

suci para leluhur serta Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabawa atau

manifestasi beliau, dalam penelitian ini peneliti mengutip tentang keharusan parati

sentana selalu hormat kepada leluhur. Buku ini peneliti gunakan sebagai acuan

dalam penelitian ini.

4. I Wayan Kertayasa dalam skripsinya berjudul “ Tapakan Barong dan Rangda di

Pura Mahawidya Mandira Universitas Hindu Indonesia Denpasar” lebih

menekankan alasan, proses sakralisasi dan nilai pendidikan tattwa dari Tapakan

Barong dan Rangda di Pura Mahawidya Mandira Universitas Hindu Indonesia.

tetapi dalam penelitian yang peneliti angkat memfokuskan pada Bentuk, Fungsi

dan Makna dari Pelinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung

Petandakan.
14

Demikian beberapa buah pustaka yang memuat petunjuk mengenai

keharusan membangun palinggih untuk memuliakan dan memuja arwah suci para

leluhur yang sekarang dikenal dengan sebutan Pura Padharman I Gusti Agung

Petandakan.

2.2 Deksripsi Konsep

Landasan konseptual merupakan pemahaman yang pertama kali

dipahami dalam penulisan ilmiah. Karena konsep dasar merupakan teori standar

yang dijadikan sebagai landasan dasar untuk menjawab dengan tepat

permasalahan yang diajukan, sehingga jawaban yang dihasilkan bersifat teoritis.

Berdasarkan dengan uraian di atas, maka konsep penelitian ini adalah

memecahkan masalah, merumuskan hipotesis dan secara sistematis

menggambarkan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan penelitian ini.

Penelitian ini mencari pemahaman atau konsep yang relevan dengan variabel-

variabel yang menjadi subjek penelitian ini. Dengan demikian, beberapa konsep

yang digunakan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut : Palinggih Bhatara

Alit, Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan.

2.2.1 Palinggih Bhatara Alit


15

Palinggih adalah sebagai sarana konsentrasi, pemusatan pikiran dalam

pemujaan kepada Ida Sang Hyang WIdhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa . Di

dalam Lontar Ciwagama antara lain di uraikan tentang ketentuan dan pengaturan

di dalam hal mendirikan pelinggih (bangunan suci). Yang dimaksud Palinggih di

dalam lontar ini adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci

para leluhur yang kini di Bali dikenal dengan Pura, Merajan.

Pada areal Pura Padharman ada sebuah Palinggih yang penting yaitu

Palinggih Bhatara Alit. Palinggih Bhatara Alit adalah tempat untuk

menghubungkan dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Taksu, bangunan

Pelinggih Bhatara Alit ini berbentuk gedong dengan tiga kaki penyangga gedong

serta ada bangunan dengan dua tiang (suku) di depannya.

Gambar 01 Gambar 02
Palinggih Bhatara Alit Bhatara Alit

Kata Taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang

dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala
16

aspek kerja. Misalnya para seniman, pragina, dalang, balian dan lain – lain.

Mereka berhasil karena dianggap “Metaksu“ sehingga kata “Taksu“ disini bersifat

universal dari merupakan kekuatan berbagai profesi masing-masing umat.

Dengan adanya profesi (gina) memerlukan sekali anugerah Sang Hyang

Widhi yang pengemong dan penyungsung percaya dalam manifestasinya sebagai

Bhatara Alit dengan Sang Hyang Aji Saraswati sebagai dewan Taksu nya. Dengan

demikian bangunan suci Palinggih Bhatara Alit sangat perlu dibuat sebagai

Bhatara para Pregina.

2.2.2 Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan

Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan terletak di pusat Kota

Semarapura termasuk wilayah Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung,

Kabupaten Klungkung. Pura ini berstatus sebagai salah satu Pura Padharman yang

merupakan tempat pemujaan keturunan Arya Kepakisan. Pura ini sebagai tempat

suci untuk memuliakan dan memuja Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) Yang Maha

Esa dalam manifestasinya sebagai Bhatara yang melindungi keturunan nya.

Ditinjau dari segi lokasi dan letak Pura Padharman I Gusti Agung

Petandakan yaitu berdekatan dengan Puri Semarajaya Klungkung dapat dipastikan

bahwa Pura Padharman ini sangat berkaitan dengan Kerajaan Klungkung. Pura

Padharman I Gusti Agung petandakan mudah dicapai, karena letaknya di Jalan

Puputan No.6 Semarapura, tepi jalan yang menghubungkan Kota Klungkung


17

dengan Desa Gelgel. Oleh karena itu Pura ini menjadi cukup dikenal, namun

terkadang masih kurang dipahami mengenai sejarah, status dan fungsinya.

Di dalam Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan terdapat tidak

kurang 19 pelinggih. Bagi pemimpin atau orang yang dianggap berjasa

dibuatkanlah sebuah Padharman yaitu bangunan suci yang sama fungsinya dengan

Candi, Hal ini dapat dilihat pada Padharman Raja Sri Kresna Kepakisan yang

berbentuk Meru Tumpang Sebelas yang terdapat di areal Pura besakih. Namun

demikian tidak semua Pura Padharman mesti berada di areal Pura Besakih. Jadi

kamulan maupun Padharman sarana untuk memuja Dewa Pitara (Widya Pustaka,

1986: 4).

2.3 Landasan Teori

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan

abstraksi dan hasil refkleksi atau kerangka kerja dan referensi yang terutama

bertujuan untuk menarik kesimpulan tentang dimensi. Setiap penelitian selalu

disertai dengan refleksi teoritis, dalam hal ini karena adanya hubungan timbal

balik yang erat antara teori dengan pengumpulan, pengolahan, analisis dan

konstruksi. Beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

2.3.1 Teori Simbol

Simbol tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Dari simbol

manusia menginterpretasikan dari gagasan yang ada dalam pikirannya seperti


18

misalnya: Bahasa, perilaku, benda keyakinan dan lain sebagainya. Simbol adalah

suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman terhadap objek

(Triguna,2000:7).

Untuk menggambarkan apa yang ada dalam pikiran manusia dan dapat

bersifat langgeng dan konsisten manusia menggunakan simbol-simbol dalam

interaksi sosial, budaya dan keagamaannya. Karya Herbert Blumber oleh Craig

dalam (Usman Pelly, 1994:86) menyatakan bahwa :

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar asumsi inter nilai

simbolik yang dimiliki itu ( kata, benda, atau isyarat ) dan

bermakna bagi mereka.

2. Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam

masyarakat manusia.

3. Makna-makna yang muncul dari simbol-simbol yang dimodifikasi

dan ditangani melalui proses penafsiran yang digunakan oleh setiap

individu dalam keterlibatannya dengan benda-benda dan tanda-

tanda yang digunakan.

Dalam pemikiran dan praktek keagamaan, simbol-simbol biasa

digunakan sebagai gambaran, kelihatan dari realitas tansenden dalam

bentuk bangunan, dan simbol-simbol keagamaan yang digunakan

merupakan kesepakatan tertulis dalam kitab-kitab suci yang

merupakan simbol-simbol dari pemikiran religious manusia, dan

bermakna dapat mengantarkan penghayatan umat kepada objek yang


19

universal yang sulit dijangkau dengan pikiran. Penulis menggunakan

teori ini untuk membahas rumusan masalah yang pertama yaitu bentuk

Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan.

2.3.2 Teori Arsitektur Vitruvius

Trilogi virtruvius merupakan teori yang muncul pada era arsitektur klasik sedang

berada pada puncak popularitas, teori tersebut menyatakan bahwa pada suatu

bangunan harus memiliki tiga aspek yaitu: utilitas (fungsi), firmitas (keindahan)

dan venustas (kekokohan).

1. Utilitas yang ditekankan adalah pengaturan ruang yang baik,

didasarkan pada fungsi, hubungan antar ruang, dan teknologi bangunan

(pencahayaan, penghawaan, dan lain sebagainya). Pengaturan seperti ini

juga berlaku untuk penataan kota. Misalnya: dimana kita harus

menempatkan kuil, benteng, dan lain-lainya di ruang kota.

2. Firmitas yang dimaksud Vitruvius mencakup penyaluran beban yang baik

dari bangunan ke tanah dan juga pemilihan material yang tepat. Vitruvius

menjelaskan setiap material yang ia pakai dalam bangunannya, seperti

batu bata, pasir, kapur, pozzolana, batu dan kayu. Setiap material

dijelaskan mulai dari karakteristik dari tiap jenis-jenisnya hingga cara

mendapatkanya/membuatnya. Kemudian, ia menjelaskan metode

membangunnya (konstruksi).

3. Venustas Proporsi dan simetri merupakan faktor yang dianggap Vitruvius

mempengaruhi keindahan. Hal ini ia dasarkan pada tubuh manusia yang


20

setiap anggota tubuhnya memiliki proporsi yang baik terhadap

keseluruhan tubuh dan hubungan yang simetrikal dari beberapa anggota

tubuh yang berbeda ke pusat tubuh.

Penulis menggunakan teori ini untuk membahas rumusan masalah yang pertama

terkait bentuk dari Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung

Petandakan.

Sumber : Yulistya, Yusnia Hanna., & Roosandriantini, Josephine. (2022). Kajian

Elemen Arsitektur Modern berdasarkan teori Vitruvius. Jurnal Lingkungan

Arsitektur, 1(2), 84-85.

2.3.3 Teori Religi Koentjaraningrat

Koentjaraningrat (1987: 58) azas asal mula religi digolongkan kedalam

tiga golongan ketiga golongan teori itu adalah : (1) teori yang dalam

pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi; (2) teori-teori yang dalam

pendekatannya berorientasi pada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang

gaib; (3) teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara religi

(Martha & Gede Wijaya 2019 : 38).

Menurut (Komang Indra Wirawan 2021 : 232). Menyatakan bahwa

terdapat lima unsur religi adalah sebagai berikut.


21

1. Emosi keagamaan (getaran jiwa) yang menyebabkan bahwa manusia didorong

untuk berperilaku keagamaan.

2. Sistem kepercayaan atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam,

alam gaib, hidup, maut dan sebagainya.

3. Sistem ritus dan upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan

dunia gaib berdasarkan sistem kepercayaan.

4. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan

mengaktifkan religi berikut sistem upacara-upacara keagamannya.

5. Alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara keagamaan.

Penulis menggunakan teori ini untuk membahas rumusan masalah yang

kedua dan ketiga terkait fungsi dan makna dari Palinggih Bhatara Alit di Pura

Padharman I Gusti Agung Petandakan.

2.3.4 Teori Fungsional Struktural

Teori fungsional struktural digunakan untuk mengamati aspek-aspek sosial

keagamaan konstitusional keagamaan, proses sosial keagamaan dan organisasi

keagaaman. Sangatlah tepat teori fungsional struktural menekankan pada

keteraturan (order) dan mengabadikan konflik serta perubahan-perubahan yang

terjadi dalam masyarakat beragama. Menurut teori ini masyarakat agama

merupakan sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian satu dengan yang lain

saling berhubungan, menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada

suatu bagian akan membawa perubahan pada bagian-bagian yang lainnya. Dalam
22

berpikir setiap struktur dalam sistem fungsional, maka struktur dalam sistem

Sosial itu akan hilang dengan sendirinya (Triguna, 2000:29).

Pengertian fungsi yang berarti berguna, bermanfaat, atau makna “fungsi”

identik dengan “guna” yaitu kegunaan dari institut dalam rangka memenuhi

kebututuhan psikologi individu-individu dalam masyarakat. Dalam rangka

memenuhi kebutuhan tersebut individu harus menjaga keseimbangan dan

kesinambungan kelompok sosial. Karena setiap struktur berfungsi [ada bagian

lain, teori fungsional memandang Agama dalam kaitan dengan aspek pengalaman

yang dikaitkan dengan sejumlah peristiwa, melibatkan kepercayaan dan tanggapan

kepada sesuatu yang berada diluar jangkauan manusia (Triguna, 1999:30).

Teori fungsional struktural dikembangkan oleh Talcot Parsons dalam Ningsih

(2009:210) dengan anggapan dasar sebagai berikut :

1. Masyarakat harus dilihat suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang

saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

2. Dengan demikian hubungan mempengaruhi antara bagian-bagian tersebut

adalah bersifat ganda dan timbal balik.

3. Sekalipun integritas sosial tidak pernah tecapai dengan sempurna secara

fundamental sistem sosial cenderung memelihara agar perubahan yang

terjadi dalam sistem dapat ditekan derajatnya seminimal mungkin.

4. Sekalipun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi,

tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut akan teratasi dengan

sendirinya melalui penyesuaian dan proses intitusional.


23

5. Perubahan dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara bertahap,

melalui penyesuaian-penyesuaian dan terjadi secara revolusioner.

Perubahan yang terjadi secara drastis umumnya hanya mengenal bentuk

luar saja sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan

dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.

6. Pada dasarnya perubahan sosial timbul dan terjadi akibat tiga macam

kemungkinan : 1) Penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut

terhadap perubahan yang datang dari luar (Extra Sistematis Change). 2)

Pertumbuhan melalui proses deferensiasi struktural dan fungsional. 3)

Penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.

Atas dasar asumsi diatas pemecahan masalah direkomendasikan melalui

Upaya penanganan atau pemecahan agar tidak terjadi pewarisan cacat

individual dari generasi ke generasi. Usaha penyembuhan dengan cara

yang lebih masuk akal ialah melalui proses resosialisasi, dalam pengertian

membuat individu yang menjadi sumber masalah sosial siap dan mampu

untuk berprilaku serta berperan sesuai dengan aturan nilai-nilai sosial

secara lebih baik.

Penulis menggunakan teori ini untuk membahas rumusan masalah yang

kedua dan ketiga terkait fungsi dan makna dari Palinggih Bhatara Alit di

Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan.

2.4 Model Penelitian / Kerangka Berfikir

Model penelitian adalah gambaran penelitian yang dilakukan oleh peneliti

dalam bentuk bagan yang menunjukkan hubungan antara pengaruh dan tidak
24

langsung serta keterkaitan antara konsep dengan konsep lain yang terdapat dalam

objek penelitian, sehingga memudahkan peneliti untuk mengembangkan suatu

kerangka bepikir sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan.

Adapun model penelitian yang peneliti gunakan disusun dalam bentuk

bagan, sebagai berikut :

Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan

Pelinggih Bhatara Alit

Teori Arsitektur Teori Fungsional Teori Religi


Teori Simbol Marcus Vitruvius Struktural Koentjaraningrat

Menyelidiki pemahaman
yang dibangun dari
makna, bentuk, keindahan
dan fungsi yang melekat Kepercayaan masyarakat Makna dan fungsi dari
pada Pelinggih Bhatara terhadap Pelinggih Bhatara Pelinggih Bhatara Alit
Alit Alit
25

Keterangan Simbol :

: Simbol berhubungan

: Simbol diteliti

Model Penelitian menjelaskan masyarakat sebenarnya terletak pada

hubungan-hubungan yang menyatukan mereka dalam usaha bersama dalam

tindakan dan timbal balik. sebuah jembatan konseptual antara pemikiran

fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat sosial dan psikologi

dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat kolektif,

yaitu masyarakat. Hubungan tiap-tiap komponen secara fungsional melalui

Palinggih Bhatara Alit itu yang bertujuan memelihara emosi-emosi serta

sentiment-sentimen kemasyarakatan, sehingga timbul ide yang dapat memelihara

sentimen-sentimen masyarakat tersebut berupa kepercayaan.

Palinggih Bhatara Alit tampak juga sebagai fungsi religius dan fungsi

sosial. Komponen-komponen lainnya yang dianggap penting dalam pelaksanaan

pelestarian Budaya adalah berupa tradisi merupakan pewarisan nenek moyang

yang dilakukan secara turun temurun. Biasanya tradisi ini meliputi, norma, agama,

aturan, hukum dan budaya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah

pelestarian budaya akan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Sebuah pelinggih/tapel dipertahankan keasliannya dikarenakan mempunyai

pijakan sejarah yang telah dianut oleh nenek moyang, baik itu berupa kebudayaan,

keyakinan, dan lain-lain.


26

Dalam masyarakat upacara keagamaan sangat penting karena bertujuan

mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan sistem kepercayaan. Konsep

religi yang menyatakan sebagai Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi

mewujudkan aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksnakan kebaktian

terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain dalam

usahanya untuk bekomunikasi dengan Tuhan dan penghuni gaib lainnya.

Menurut (Komang Indra Wirawan 2021 : 232). Menyatakan bahwa

terdapat lima unsur religi adalah sebagai berikut. Pertama emosi keagamaan

(getaran jiwa) yang menyebabkan bahwa manusia didorong untuk berperilaku

keagamaan. Sistem kepercayaan atau bayang-bayang manusia tentang bentuk

dunia, alam, alam gaib, hidup, maut dan sebagainya. Sistem ritus dan upacara

keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan

sistem kepercayaan. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang

mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi berikut sistem upacara-upacara

keagamannya, Alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara keagamaan.
27

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah salah satu cara yang digunakan peneliti untuk mencapai

suatu tujuan yang tepat dan akurat. Untuk mencapai hasil yang diharapkan harus

menggunakan metode yang tepat sasaran untuk menganalisa persoalan yang

diangkat dalam suatu objek penelitian. Sehingga dimungkinkan terjadinya suatu

analisa yang obyektif.

3.1 Tempat Penelitian

Desa Semarapura, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung dipilih sebagai

lokasi penelitian karena peneliti ingin menyumbangkan pemikirannya baik kepada

desa Semarapura dan Kabupaten Klungkung. Klungkung juga mempunyai sejarah

Kerajaan yang sampai saat ini menjadi Sejarah perlawanan bali melawan para

penjajah Belanda yang dimonumenkan, dan begitu juga peninggalan adanya

warisan leluhur berupa Padharman.

3.2 Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah Palinggih Bhatara Alit yang dipercaya memiliki

kekuatan magis. Objek penelitian ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan makna

dari Palinggih Bhatara Alit.

3.3 Sumber Data

Sumber data merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam penelitian. Ada

dua jenis data yang dapat dijadikan sebagai sumber data primer dan sumber data
28

sekunder, dan kedua sumber tersebut juga menjadi bahan bagi peneliti untuk

menunjang penyusunan penelitian ini, dua sumber tersebut adalah :

3.3.1 Data Primer


Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian

atau dengan melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan. Dan

dikumpulkan sendiri sesuai dengan realitas yang ada (Nasir,1998:58). Yang

menjadi sumber data premier dalam penelitian ini adalah : para penglingsir Pura

Padharman I Gusti Agung Petandakan, Jero Mangku, serta Sulinggih yang

memuput setiap karya di Pemerajan Padharman I Gusti Agung Petandakan yang

paham akan mengapa adanya Palinggih Bhatara Alit tersebut.

3.3.2 Data Sekunder


Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang

melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya

diperoleh dari perpustakaan atau laporan-laporan peneliatan sebelumnya

(Iqbal,2002:167). Data sekunder diperoleh adri sumber tidak langsung biasanya

berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi (Azwar,1999:36). Dalam penelitian

ini, data-data sekunder berupa buku-buku yang relevan dengan permasalahan

yang ditelitidan beberapa sumber seperti veda maupun koran yang membahas

masalah yang sedan diteliti.


29

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu

pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau

perilaku objek sasaran. Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan peneliti

dengan cara mengamati bentuk, makna dan simbol Palinggih Bhatara Alit.

3.4.2 Wawancara

Wawancara merupakan teknik lanjutan setelah melakukan pengamatan, yang

berguna untuk menggali data lebih dalam. Teknik wawancara digunakan untuk

mengetahui pandangan masyarakat (emik) dan sikap informan terhadap suatu hal

serta alasan-alasan atau motif-motif yang melatar belakanginya. Wawancara

diawali dengan wawancara luas atau bebas terhadap informan agar memperoleh

informasi yang sebenar-benarnya, dilanjutkan dengan wawancara secara

mendalam (indeepth interview) dengan menggunakan instrumen berupa pedoman

wawancara (interview guide) yang bersifat terbuka, dan dibantu dengan alat rekam

berupa tape recorder dan kamera foto. Penelitian ini juga dilakukan dengan

wawancara kasual atau wawancara sambil lalu terhadap informan yang dijumpai

secara kebetulan dalam setiap kesempatan di tempat penelitian.

3.4.3 Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah metode yang diperoleh dengan mempelajari dan

memahami buku-buku, jurnal, makalah dan literatur-literatur lainnya yang

berkaitan dengan pokok bahasan yang akan dipelajari. Studi kepustakaan dalam
30

hal ini adalah kumpulan buku-buku yang berkaitan dengan tema penetian,

kemudian akan dirangkum ide dari literatur-literatur tersebut dan kemudian

digunakan untuk menganalisis hasil penelitian untuk memperkaya kosakata,

bahasa dan makna yang mendukung pembahasan masalah penelitian.

3.5 Analisis Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri, peneliti

pada penelitian kualitatif bekerja sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data,

analisis, penafsiran, dan pada akhirnya melaporkan hasil penelitian.

Model analisis interaktif menurut miles dan huberman yaitu dalam penelitian

kualitatif memungkinkan dilakukan analisis data ketika peneliti berada di

lapangan ataupun sesudah kembali dari lapangan baru di adakan analisis. Dalam

penelitian ini analisis data telah dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan

data. (Kresna, 2019), alur analisis mengikuti model analisis interaktif. Dalam

penelitian proses analisis ini dilakukan melalui 4 tahap, berikut ini:

• Pengumpulan Data

Data yang didapat dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dicatat pada

catatan lapangan yang terdiri atas 2 bagian yaitu bagian deskriptif dan bagian

reflektif. Pengertian catatan deskriptif yaitu catatan alami, (merupakan catatan

mengenai apa yang disaksikan, didengar, dilihat dan dialammmi sendiri oleh

peneliti tanpa adanya penafsiran dan pendapat dari peneliti terhadap fenomena

yang dialaminya). Catatan reflektif adalah catatan yang isinya kesan, pendapat,

komentar serta tafsiran peneliti mengenai apa penemuan yang dijumpai. Selain itu

merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk tahap selanjutnya.


31

• Reduksi Data

Selanjutnya sesudah data terkumpul dibuat reduksi data, untuk menentukan data

yang relevan dan mempunyai maka, memfokuskan data yang mengarah pada

pemecahan masalah, penemuan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan

penelitian. Selanjutnya melakukan penyederhanaan serta menyususn secara

sistematis dan menjabarkan hal-hal penting mengenai hasil penemuan dan

maknanya. Dalam proses reduksi data, hanya temuan data atau temuan yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian yang direduksi. Sedangkan untuk data

yang tidak ada kaitannya dengan masalah penelitian dibuang. Atau dengan kata

lain reduksi data dipakai untuk analisis yang mengarahkan, menggolongkan,

menajamkan dan membuang yang tidak penting danmengorganisasikan data.

Dengan begitu maka akan mempermudahkan peneliti untuk menarik sebuah

kesimpulan.

• Penyajian Data

Penyajian data bisa berbentuk tulisan, gambar, tabel dan grafik. Tujuan penyajian

data untuk menggabungkan informasi sehingga bisa memberikan gambaran

terhadap keadaan yang terjadi. Dalam hal ini, supaya peneliti tidak mengalami

kesulitan dalam penguasaan informasi secara baik dan menyeluruh dan juga

bagian-bagian tertentu dari hasil peneltian. Maka dari itulah peneliti harus

membuat naratif, grafik atau matrik untuk mempermudah penguasaan data atau

informasi tersebut. Dengan cara seperti itu maka peneliti bisa tetap menguasai

data dan tidak tenggelam dalam kesimpulan informasi yang bisa membosankan.

Hal seperti ini dilakukan karena data yang tersususun kurang baik dapat
32

mempengaruhi peneliti dalam mengambil kesimpulan yang memihak dan dalam

bertindak secara ceroboh, dan tidak mendasar. Mengenai display data harus

dissadari sebagai bagian di dalam analisis data.

• Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan selama berlangsungnya penelitian, seperti halnya

proses reduksi data, sesudah data telah terkummpul memadai maka akan dapat

diperoleh kesimpulan sementara, dan sesudah data benar-benar lengkap maka

dapat diperoleh kesimpulan akhir.

3.6 Teknik Analisis Data

Berhubungan objek yang diteliti berupa Palinggih Bhatara Alit maka dalam hal

penelitian ini, penulis dengan cermat memperhatikan semua isi yang terkandung,

bentuk, makna, dan nilai yang terkandung didalam Palinggih Bhatara Alit.

Dengan demikian teknik analisis data yang akan dilakukan ialah sebagai berikut :

1. Dari hasil penelitian, peneliti menyeleksi bagian-bagian yang sesuai dengn

topik penelitian.

2. Tahap selanjutnya, peneliti mengelompokkan bagian-bagian yang

menginterpretasikan berkaitan dengan topik permasalahan dalam

penelitian.

3. Peneliti kemudian melakukan interpretasi atas hasil analisis tersebut

berlandasan pada konsep-konsep mengenai Palinggih Bhatara Alit di Pura

Padharman I Gusti Agung Petandakan (Kajian Bentuk, Fungsi dan

Makna).
33

4. Tahap terakhir, peneliti menarik kesimpulan dari hasil analisis.


Daftar Pustaka

Adri, Ida Ayu Putu.(1986). Konsepsi Dewa Pitara Di Bali. Widya Pustaka.
Denpasar. Percetakan Bali.

Agastia, IBG.(1982). Sastra Jawa Kuno Dan Kita. Denpasar : Wyasa Sanggraha.

Arwati, Dra Ni Made Sri. (2005). Bentuk, Fungsi, Makna Upakara Piodalan.
Denpasar : Upada Sastra.

Azwar, Saifuddin. (2001). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Bali Post, Tim Redaksi. 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan
Jagat. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Iqbal, Hasan. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan


Aplikasinya. Pustaka Pelajar Indonesia

I.W.Martha & Ida B.G. Wijaya. (2019). UPACARA MACARU SANAK MAGODEL
DI SASIH KESANGA DESA ADAT ABIANTUWUNG TABANAN. VIDYA
WERTTA. 2(1), April 2019
Komang Indra Wirawan. (2021). Teo-Estetika-Filosofis Topeng Sidakarya Dalam
Praktik Keberagamaan Hindu Di Bali. MUDRA Jurnal Seni Budaya
36(2), Mei 2021 p 232.

Phalguna nadi, MA, Prof. Dr. I Gusti Putu. (2010). Sekilas Sejarah Evolusi
Agama Hindu. Denpasar : Widya Dharma.

Prabawa Nugraha, Candra, (2020). Bahasan Konsepsi Panca Srada Pada Zaman
Upanisad dan Implementasinya Bagi Masyarakat Hindu di Bali Pada
Pasca Modern. Denpasar : - .

Prabawa Nugraha, Candra, (2020). Bangunan Bersejarah Kerthagosa, Denpasar :


-.

Pulasari, Jro Mangku, (2007), Nganteb Piodalan Alit Lan Sensana Pemangku
Nyabran Rahina, Surabaya : Paramita.

Sara Shri Satya Jyoti, Ida Rsi Bhujangga Waisnawa, (2019), Palinggih Rong
Tiga / Kamulan. Denpasar : PT BP.

Sari, Manteb. (2013). Kasuksman Palinggih Ring Pemerajan. Surabaya :


Paramita.
Soebandi, Ketut, (2007), Pura Kawitan / Padhraman Dan Penyungsungan Jagat.
Denpasar : CV Kayumas Agung.

Soebandi, Ketut, (2008), Riwayat Merajan Di Bali. Denpasar : CV Kayumas


Agung.

Soebandi, Ketut, (2018). Sejarah Pembangunan Pura-Pura Di Bali. Denpasar :


CV Kayumas Agung.

Triguna M.S., Dr. Ida Bagus Gde Yudha. (2000). Teori Tentang Simbol. Denpasar :
Widya Dharma.

Warsika, I Gusti Made , (2017). Bali Kuno. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Wiana, I Ketut. (1997), Beragama Bukan Hanya Di Pura, Denpasar : Yayasan


Dharma Naradha.

Wiana, I Ketut, (1992). Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar : Pustaka Bali


Post.

Wiana, I Ketut, (2000), Makna Agama Dalam Kehidupan, Semestinya Kita Malu
Kepada Tuhan, Denpasar : PT BP.

Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya, (2004). Makna Filosofis Upacara Dan
Upakara, Surabaya : Paramita.

Yulistya, Yusnia Hanna., & Roosandriantini, Josephine. (2022). Kajian Elemen


Arsitektur Modern berdasarkan teori Vitruvius. Jurnal Lingkungan
Arsitektur, 1(2), 84-85.

Zoetmulder, P.J , (1983). Kalangan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Den
Haag : Marthinus Nijhoff.

Anda mungkin juga menyukai