Oleh
I Gusti Agung Bagus Candra Prabawa Nugraha
2001013870
Om Swastyastu,
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-
Nya penulis bisa dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul yang
berjudul “Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung Petandakan
Desa Adat Semarapura Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung (Kajian
Bentuk, Fungsi Dan Makna). Laporan proposal skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk mengerjakan skripsi pada Universitas Hindu Indonesia,
Denpasar.
Terselesaikannya penelitian proposal ini tidak lepas dari dorongan semua
pihak, dan dalam kesempatan kali ini tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr.h. I Made Damriyasa, M.S. Selaku rektor
Universitas Hindu Indonesia.
2. Bapak Prof. Dr. Drs. I Ketut Suda, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Agama, Seni, dan Budaya Universitas Hindu Indonesia.
3. Bapak I Gede Jaya Kumara, S.S, M.A. Selaku Ketua Program Studi
Ilmu Filsafat Agama Hindu, sekaligus pembimbing yang sabar
memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan proposal ini.
4. Seluruh Dosen pengajar di lingkungan fakultas Ilmu Agama, Seni, dan
Budaya Universitas Hindu Indonesia.
5. Seluruh pihak yang tidak sempat saya tulis namanya satu persatu
dalam kata pengantar ini, dan tentu saja sudah sangat membantu dalam
pembuatan proposal penelitian skripsi ini.
Tentu penulis dalam penyusunan hasil penelitian proposal ini sangat
menyadari adanya kekurangan dalam penulisan, serta masih banyak memerlukan
penyempurnaan. Dalam hal ini, penulis memohon kritik, dan saran yang
membangun.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.
Semarapura, Maret 2024
ii
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
iii
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................27
3.4.2 Wawancara.................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
tempat pemujaan Hindu saat hari raya atau pujawali maupun pada saat ada
adalah tempat kita memuja dan memuji Tuhan. Dari pemujaan itu, kita mendapat
kekuatan spiritual untuk meningkatkan kualitas diri. Dapat diamati umat jikalau di
Pura, demikian ikhlas berkorban, tidak egois, sangat ramah, patuh, ikhlas
menolong, jujur, berpikir suci dan menunjukkan sikap perilaku lainnya yang ideal.
peningkatan kualitas sikap dan perilaku untuk bekal mengarungi kehidupan. Pura
atau tempat pemujaan, hari raya agama, upacara agama adalah media sakral untuk
menempa diri terutama bagi umat yang awam untuk meningkatkan kualitas
spiritualnya agar dapat melaksanakan hidup ini pada jalan yang benar dan menuju
tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan terakhir mencapai Moksha
Sthana Dewata (atman) dengan delapan roda sembilan pintu adalah pura dari
Atman yang terang dan luhur. Oleh karena itu Reg Veda XIII.44.15 menganjurkan,
pura dalam diri yang senantiasa bercahaya gemerlapan. Para Pandita dan Maharsi
tersebut sehingga badannya menjadi Dewa Laya. Sedangkan umat awam masih
persembahyangan atau pemujaan bagi umat Hindu. Kata “pura“ berasal dari
Bahasa Sansekerta “phur“ yang artinya tempat suci, istana, kota. Seperti diketahui
menyebut istilah pura umum, seperti Tri Kahyangan Jagat dan Sad Kahyangan
Hita Karana yaitu Parhyangan (sering juga ditulis Parhyangan), palemahan dan
pawongan. Pemujaan Tuhan oleh umat Hindu di Bali di masa lampau ditata oleh
Kahyangan Jagat di Bali, desa pakraman dengan Kahyangan tiga-nya. Sampai saat
ini, kahyangan dan desa pakraman itu masih kita warisi bahkan makin terpelihara.
Pura” menyatakan pertama, konsepsi Rwa Bhineda. Dalam konsepsi ini Tuhan
seimbang lahir-bathin inilah modal dasar dari peningkatan hidup menuju hidup
bahagia. Konsepsi Rwa Bhineda ini dituangkan oleh Mpu Kuturan dalam wujud
Pura Besakih sebagai Pura Purusa sedangkan sebagai Pura Pradana adalah Pura
Batur. Pura Besakih tempat memohon kebahagiaan Rohani sedangkan Pura Batur
Kedua, konsepsi Catur Loka Pala yaitu konsepsi pemujaan Tuhan untuk
mendapat perlindungan dari Tuhan. Konkretisasi dari pemujaan Tuhan dalam Pura
Catur Loka Pala juga disebut dalam lontar Usana Bali. Pura Catur Loka Pala itu
adalah Pura Lempuyang luhur untuk arah timur. Pura Batukaru di arah barat, di
utara Pura Puncak Mangu sedangkan di arah selatan adalah Pura Andakasa.
Ketiga, konsepsi Sad Winayaka. Dalam Lontar Dewa Purana Bangsul ada
Purana Bali. Untuk ngertiang Sad Kertih itu. Mpu Kuturan mendirikan Sad
Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu,
Sad Kahyangan yang berbeda-beda dan umumnya tidak sama dengan Sad
Kahyangan yang diuraikan dalam Lontar Kusuma Dewa. Melalui penelitian yang
dilakukan Tim Institut Hindu Dharma tahun 1979/1980 ditetapkanlah bahwa Sad
Kahyangan yang paling tepat adalah berdasarkan Lontar Kusuma Dewa dan hal
ini juga sudah ditetapkan oleh Mahasabha PHDI tahun 1980. (Wiana,1997:31) di
Jagat di Bali sebagai wadah pemujaan Tuhan disatukan lahirlah konsepsi Padma
Pulau Bali. Sembilan Kahyangan Jagat itu adalah Pura Besakih, Lempuyang
Luhur, Andakasa, Goa Lawah, Luhur Uluwatu, Luhur Batukaru, Puncak Mangu,
buku yang berjudul “Beragama bukan hanya di Pura” menyatakan bahwa Pura
Dapat di bedakan menjadi (1) Kahyangan Jagat, Kahyangan yang bersifat umum
dan diemonng oleh umat Hindu secara umum dan merupakan tempat pemujaan
Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Dari sejumlah Pura umum di Bali ada
bermacam-macam yaitu (1) Tri Kahyangan Agung (2) Sad Kahyangan (3) Asta
Kahyangan dan (4) Nawa Kahyangan, Pura dalam keluarga di Bali disebut
Mrajan ( juga disebut Pamrajan ), Sanggah atau Sanggah Pamrajan. Pura ini
bersifat khusus untuk keluarga. Menurut Bhagawan Dwija (2008) istilah Sanggah
berasal dari Bahasa Kawi “ Sanggar “ yang berarti tempat untuk melakukan
5
kegiatan pemujaan suci. Istilah “ Pamrajan “ berasal dari Bahasa Kawi “ Praja “
yang berarti keturunan atau keluarga. (Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra,2019:5)
Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah
maka berkembang pulalah Sanggah atau Mrajan menjadi pura keluarga yang lebih
besar. Mulai dari Pura Kawitan, Pura dadya, Pura Panti, Pura ibu-Paibon, Sanggah
Bagi umat Hindu di Bali Palinggih Ibu dan Panti sering disebut Pura Ibu
tertinggi disebut Pura Padharman. Pura ini berada di Pura Besakih sebanyak 13
Padharman bisa dibangun dimana saja tergantung kejadian Sejarah yang melatar-
Besakih. Padharman yang ada di besakih di bangun tahun 1840 an. Raja Putri
Dewa Agung Bale Mas yang ketika itu bersama raja-raja bali lannya ngaturang
karya Manca Wali Krama menyusul selesainya Karya Maligya di Puri Agung
“Konsepsi Dewa Pitara di Bali” menyatakan bahwa Pura Padharman dan juga
palinggih-palinggih sebagai tempat pemujaan serta stana Ida Sang Hyang Widhi
Agama Hindu membenarkan adanya pemujaan Ista Dewa yaitu manifestasi Hyang
Widhi yang diinginkan kehadirannya dalam pemujaan pada suatu Palinggih atau
menuju kepada pusat yang dipujanya. Mengingat salah satu sifat dari Tuhan
adalah tidak berbentuk sehingga sulit untuk dibayangkan, maka umat Hindu
Tuhan yang berwujud adalah suatu yang dianjurkan sebagai bentuk sebuah bhakti
umat terhadap Tuhan. Dengan Yoga umat Hindu di perkenankan memuja Tuhan
agaknya tidak bisa dipisahkan dengan seorang tokoh besar yang bernama Mpu
kehidupan beragama umat Hindu yang kala itu masih menonjolkan sekte-sekte.
Hindu yang kala itu masih menonjolkan paksa-paksa. Bangunan Suci Palinggih
Bhatara Alit merupakan salah satu simbol atau lambang alam semesta sebagai
stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya. Menurut seorang
peneliti kebudayaan Bali Dr. R. Goris di dalam buku Bali Kuno (Warsika,
beragama Hindu saat itu. Kata Bhatara Alit menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwadarminta terdiri dari 2 kata yaitu
Bhatara (batara) artinya 1. si dewa, 2. si. Sebutan dewi, dan alit artinya kecil. Jadi
keberadaan Pelinggah Bhatara Alit, mencermati arti kata di atas boleh dikatakan
ditunggu Masyarakat. Banyak Masyarakat yang nunas tamba (meminta obat) pada
Ida Bhatara Alit. Keberadaan Pelinggih Ida Bhatara Alit yaitu lambang sumber
energi atau kekuatan. Fungsi palinggih ini adalah sebagai Palinggih untuk
semangat dan gairah hidup yang penuh godaan. Para Seniman di Bali, terutama
pengertian ini adalah kekuatan spiritual yang dapat berfungsi sebagai kekuatan
menambah daya tarik dari sebuah pertunjukan. Taksu ini sering disamakan dengan
Bentuk Palinggih Bhatara Alit dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
bawah disebut bataran, diatas bataran menggunakan empat tiang yang menyangga
semua ruangan atau rong lengkap dengan atapnya. Palinggih Bhatara Alit
memiliki kekuatan gaib saat dipentaskan dalam pertunjukan oleh I Gusti Agung
Jyesta Jaya Samudra, karena memiliki kekuatan gaib luar biasa. Akhirnya
sebagai berikut :
9
Kabupaten Klungkung ?
Setiap penelitian yang dilakukan, sudah tentu memiliki tujuan yang ingin
dicapai. Demikian pula dengan penelitian yang berjudul : Pelinggih bhatara alit
Klungkung (Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna). Tujuan dari penelitian dibagi
Makna). Sehingga penelitian ini bisa dipakai sebagai acuan perbandingan yang
khususnya yaitu :
1. Untuk mengetahui bentuk dan sejarah Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman
Kabupaten Klungkung.
Klungkung.
Kabupaten Klungkung.
manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
Manfaat teoritis dalam penelitian ini diharapkan bisa menambah wawasan serta
pengetahuan bagi penulis serta memberikan sumbangan analisis bagi
pengembangan hasil-hasil penelitian mengenai masalah-masalah yang berkaitan
tentang penelitian “Palinggih Bhatara Alit Di Pura Padharman I Gusti Agung
Petandakan Desa Adat Semarapura, Kecamatan Klungkung, Kabupaten
Klungkung ( Kajian Bentuk, Fungsi Dan Makna)”.
program Studi Ilmu Filsafat Hindu Universitas Hindu Indonesia, seperti berikut :
Petandakan.
memahami tradisi dan kebudayaan Bali yang tidak lepas dari kegiatan
berkesenian.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN/KERANGKA BERFIKIR
relevan dengan penelitian yang akan dilakukan saat ini. Pengkajian terhadap
metode, konsep dan landasan teori yang relevan, ataupun mempersiapkan strategi
untuk mengatasi berbagai kendala yang mungkin muncul pada penelitian yang
sumber data dari perpustakaan kuno dan modern sebagai penunjang repository
1. Ida Ayu Eka Damayanti dalam skripsinya berjudul “ Palinggih Catur Muka Di
Palinggih Catur Muka di Pura Agung Kentel Gumi, tetapi dalam penelitian yang
peneliti angkat memfokuskan pada Bentuk, Fungsi dan Makna dari Pelinggih
2. Ni Putu Winanti ( 2009 : 164 ) mengatakan dalam bukunya “ Pura Keluarga dan
Pratima “ menjelaskan tentang taksu adalah suatu daya kekuatan yang tercampur
dari seorang Pragina ( Seniman ) sehingga dengan daya kekuatan ini dia lebih
hormat kepada ibu bapak dan berbakti dengan memuliakan dan memuja arwah
suci para leluhur serta Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai prabawa atau
manifestasi beliau, dalam penelitian ini peneliti mengutip tentang keharusan parati
sentana selalu hormat kepada leluhur. Buku ini peneliti gunakan sebagai acuan
menekankan alasan, proses sakralisasi dan nilai pendidikan tattwa dari Tapakan
tetapi dalam penelitian yang peneliti angkat memfokuskan pada Bentuk, Fungsi
dan Makna dari Pelinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung
Petandakan.
14
keharusan membangun palinggih untuk memuliakan dan memuja arwah suci para
leluhur yang sekarang dikenal dengan sebutan Pura Padharman I Gusti Agung
Petandakan.
dipahami dalam penulisan ilmiah. Karena konsep dasar merupakan teori standar
Penelitian ini mencari pemahaman atau konsep yang relevan dengan variabel-
variabel yang menjadi subjek penelitian ini. Dengan demikian, beberapa konsep
pemujaan kepada Ida Sang Hyang WIdhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa . Di
dalam Lontar Ciwagama antara lain di uraikan tentang ketentuan dan pengaturan
dalam lontar ini adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci
Pada areal Pura Padharman ada sebuah Palinggih yang penting yaitu
Pelinggih Bhatara Alit ini berbentuk gedong dengan tiga kaki penyangga gedong
Gambar 01 Gambar 02
Palinggih Bhatara Alit Bhatara Alit
Kata Taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang
dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala
16
aspek kerja. Misalnya para seniman, pragina, dalang, balian dan lain – lain.
Mereka berhasil karena dianggap “Metaksu“ sehingga kata “Taksu“ disini bersifat
Bhatara Alit dengan Sang Hyang Aji Saraswati sebagai dewan Taksu nya. Dengan
demikian bangunan suci Palinggih Bhatara Alit sangat perlu dibuat sebagai
Kabupaten Klungkung. Pura ini berstatus sebagai salah satu Pura Padharman yang
merupakan tempat pemujaan keturunan Arya Kepakisan. Pura ini sebagai tempat
suci untuk memuliakan dan memuja Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) Yang Maha
Ditinjau dari segi lokasi dan letak Pura Padharman I Gusti Agung
bahwa Pura Padharman ini sangat berkaitan dengan Kerajaan Klungkung. Pura
dengan Desa Gelgel. Oleh karena itu Pura ini menjadi cukup dikenal, namun
dibuatkanlah sebuah Padharman yaitu bangunan suci yang sama fungsinya dengan
Candi, Hal ini dapat dilihat pada Padharman Raja Sri Kresna Kepakisan yang
berbentuk Meru Tumpang Sebelas yang terdapat di areal Pura besakih. Namun
demikian tidak semua Pura Padharman mesti berada di areal Pura Besakih. Jadi
kamulan maupun Padharman sarana untuk memuja Dewa Pitara (Widya Pustaka,
1986: 4).
abstraksi dan hasil refkleksi atau kerangka kerja dan referensi yang terutama
disertai dengan refleksi teoritis, dalam hal ini karena adanya hubungan timbal
balik yang erat antara teori dengan pengumpulan, pengolahan, analisis dan
misalnya: Bahasa, perilaku, benda keyakinan dan lain sebagainya. Simbol adalah
suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman terhadap objek
(Triguna,2000:7).
Untuk menggambarkan apa yang ada dalam pikiran manusia dan dapat
interaksi sosial, budaya dan keagamaannya. Karya Herbert Blumber oleh Craig
masyarakat manusia.
teori ini untuk membahas rumusan masalah yang pertama yaitu bentuk
Trilogi virtruvius merupakan teori yang muncul pada era arsitektur klasik sedang
berada pada puncak popularitas, teori tersebut menyatakan bahwa pada suatu
bangunan harus memiliki tiga aspek yaitu: utilitas (fungsi), firmitas (keindahan)
dari bangunan ke tanah dan juga pemilihan material yang tepat. Vitruvius
batu bata, pasir, kapur, pozzolana, batu dan kayu. Setiap material
membangunnya (konstruksi).
Penulis menggunakan teori ini untuk membahas rumusan masalah yang pertama
terkait bentuk dari Palinggih Bhatara Alit di Pura Padharman I Gusti Agung
Petandakan.
tiga golongan ketiga golongan teori itu adalah : (1) teori yang dalam
pendekatannya berorientasi pada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal yang
gaib; (3) teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada upacara religi
3. Sistem ritus dan upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan
kedua dan ketiga terkait fungsi dan makna dari Palinggih Bhatara Alit di Pura
merupakan sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian satu dengan yang lain
suatu bagian akan membawa perubahan pada bagian-bagian yang lainnya. Dalam
22
berpikir setiap struktur dalam sistem fungsional, maka struktur dalam sistem
identik dengan “guna” yaitu kegunaan dari institut dalam rangka memenuhi
lain, teori fungsional memandang Agama dalam kaitan dengan aspek pengalaman
1. Masyarakat harus dilihat suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
6. Pada dasarnya perubahan sosial timbul dan terjadi akibat tiga macam
yang lebih masuk akal ialah melalui proses resosialisasi, dalam pengertian
membuat individu yang menjadi sumber masalah sosial siap dan mampu
kedua dan ketiga terkait fungsi dan makna dari Palinggih Bhatara Alit di
dalam bentuk bagan yang menunjukkan hubungan antara pengaruh dan tidak
24
langsung serta keterkaitan antara konsep dengan konsep lain yang terdapat dalam
dirumuskan.
Menyelidiki pemahaman
yang dibangun dari
makna, bentuk, keindahan
dan fungsi yang melekat Kepercayaan masyarakat Makna dan fungsi dari
pada Pelinggih Bhatara terhadap Pelinggih Bhatara Pelinggih Bhatara Alit
Alit Alit
25
Keterangan Simbol :
: Simbol berhubungan
: Simbol diteliti
dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat kolektif,
Palinggih Bhatara Alit tampak juga sebagai fungsi religius dan fungsi
yang dilakukan secara turun temurun. Biasanya tradisi ini meliputi, norma, agama,
aturan, hukum dan budaya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah
pijakan sejarah yang telah dianut oleh nenek moyang, baik itu berupa kebudayaan,
religi yang menyatakan sebagai Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi
terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain dalam
terdapat lima unsur religi adalah sebagai berikut. Pertama emosi keagamaan
dunia, alam, alam gaib, hidup, maut dan sebagainya. Sistem ritus dan upacara
keagamannya, Alat-alat fisik yang digunakan dalam ritus dan upacara keagamaan.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah salah satu cara yang digunakan peneliti untuk mencapai
suatu tujuan yang tepat dan akurat. Untuk mencapai hasil yang diharapkan harus
Kerajaan yang sampai saat ini menjadi Sejarah perlawanan bali melawan para
Subjek penelitian ini adalah Palinggih Bhatara Alit yang dipercaya memiliki
kekuatan magis. Objek penelitian ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan makna
Sumber data merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam penelitian. Ada
dua jenis data yang dapat dijadikan sebagai sumber data primer dan sumber data
28
sekunder, dan kedua sumber tersebut juga menjadi bahan bagi peneliti untuk
menjadi sumber data premier dalam penelitian ini adalah : para penglingsir Pura
melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya
yang ditelitidan beberapa sumber seperti veda maupun koran yang membahas
3.4.1 Observasi
perilaku objek sasaran. Dalam penelitian ini, observasi yang dilakukan peneliti
dengan cara mengamati bentuk, makna dan simbol Palinggih Bhatara Alit.
3.4.2 Wawancara
berguna untuk menggali data lebih dalam. Teknik wawancara digunakan untuk
mengetahui pandangan masyarakat (emik) dan sikap informan terhadap suatu hal
diawali dengan wawancara luas atau bebas terhadap informan agar memperoleh
wawancara (interview guide) yang bersifat terbuka, dan dibantu dengan alat rekam
berupa tape recorder dan kamera foto. Penelitian ini juga dilakukan dengan
wawancara kasual atau wawancara sambil lalu terhadap informan yang dijumpai
3.4.3 Kepustakaan
berkaitan dengan pokok bahasan yang akan dipelajari. Studi kepustakaan dalam
30
hal ini adalah kumpulan buku-buku yang berkaitan dengan tema penetian,
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri, peneliti
Model analisis interaktif menurut miles dan huberman yaitu dalam penelitian
lapangan ataupun sesudah kembali dari lapangan baru di adakan analisis. Dalam
penelitian ini analisis data telah dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan
data. (Kresna, 2019), alur analisis mengikuti model analisis interaktif. Dalam
• Pengumpulan Data
Data yang didapat dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dicatat pada
catatan lapangan yang terdiri atas 2 bagian yaitu bagian deskriptif dan bagian
mengenai apa yang disaksikan, didengar, dilihat dan dialammmi sendiri oleh
peneliti tanpa adanya penafsiran dan pendapat dari peneliti terhadap fenomena
yang dialaminya). Catatan reflektif adalah catatan yang isinya kesan, pendapat,
komentar serta tafsiran peneliti mengenai apa penemuan yang dijumpai. Selain itu
• Reduksi Data
Selanjutnya sesudah data terkumpul dibuat reduksi data, untuk menentukan data
yang relevan dan mempunyai maka, memfokuskan data yang mengarah pada
maknanya. Dalam proses reduksi data, hanya temuan data atau temuan yang
yang tidak ada kaitannya dengan masalah penelitian dibuang. Atau dengan kata
kesimpulan.
• Penyajian Data
Penyajian data bisa berbentuk tulisan, gambar, tabel dan grafik. Tujuan penyajian
terhadap keadaan yang terjadi. Dalam hal ini, supaya peneliti tidak mengalami
kesulitan dalam penguasaan informasi secara baik dan menyeluruh dan juga
bagian-bagian tertentu dari hasil peneltian. Maka dari itulah peneliti harus
membuat naratif, grafik atau matrik untuk mempermudah penguasaan data atau
informasi tersebut. Dengan cara seperti itu maka peneliti bisa tetap menguasai
data dan tidak tenggelam dalam kesimpulan informasi yang bisa membosankan.
Hal seperti ini dilakukan karena data yang tersususun kurang baik dapat
32
bertindak secara ceroboh, dan tidak mendasar. Mengenai display data harus
• Penarikan Kesimpulan
proses reduksi data, sesudah data telah terkummpul memadai maka akan dapat
Berhubungan objek yang diteliti berupa Palinggih Bhatara Alit maka dalam hal
penelitian ini, penulis dengan cermat memperhatikan semua isi yang terkandung,
bentuk, makna, dan nilai yang terkandung didalam Palinggih Bhatara Alit.
Dengan demikian teknik analisis data yang akan dilakukan ialah sebagai berikut :
topik penelitian.
penelitian.
Makna).
33
Adri, Ida Ayu Putu.(1986). Konsepsi Dewa Pitara Di Bali. Widya Pustaka.
Denpasar. Percetakan Bali.
Agastia, IBG.(1982). Sastra Jawa Kuno Dan Kita. Denpasar : Wyasa Sanggraha.
Arwati, Dra Ni Made Sri. (2005). Bentuk, Fungsi, Makna Upakara Piodalan.
Denpasar : Upada Sastra.
Bali Post, Tim Redaksi. 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan
Jagat. Denpasar : Pustaka Bali Post.
I.W.Martha & Ida B.G. Wijaya. (2019). UPACARA MACARU SANAK MAGODEL
DI SASIH KESANGA DESA ADAT ABIANTUWUNG TABANAN. VIDYA
WERTTA. 2(1), April 2019
Komang Indra Wirawan. (2021). Teo-Estetika-Filosofis Topeng Sidakarya Dalam
Praktik Keberagamaan Hindu Di Bali. MUDRA Jurnal Seni Budaya
36(2), Mei 2021 p 232.
Phalguna nadi, MA, Prof. Dr. I Gusti Putu. (2010). Sekilas Sejarah Evolusi
Agama Hindu. Denpasar : Widya Dharma.
Prabawa Nugraha, Candra, (2020). Bahasan Konsepsi Panca Srada Pada Zaman
Upanisad dan Implementasinya Bagi Masyarakat Hindu di Bali Pada
Pasca Modern. Denpasar : - .
Pulasari, Jro Mangku, (2007), Nganteb Piodalan Alit Lan Sensana Pemangku
Nyabran Rahina, Surabaya : Paramita.
Sara Shri Satya Jyoti, Ida Rsi Bhujangga Waisnawa, (2019), Palinggih Rong
Tiga / Kamulan. Denpasar : PT BP.
Triguna M.S., Dr. Ida Bagus Gde Yudha. (2000). Teori Tentang Simbol. Denpasar :
Widya Dharma.
Warsika, I Gusti Made , (2017). Bali Kuno. Denpasar : Pustaka Bali Post.
Wiana, I Ketut, (2000), Makna Agama Dalam Kehidupan, Semestinya Kita Malu
Kepada Tuhan, Denpasar : PT BP.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya, (2004). Makna Filosofis Upacara Dan
Upakara, Surabaya : Paramita.
Zoetmulder, P.J , (1983). Kalangan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Den
Haag : Marthinus Nijhoff.