Anda di halaman 1dari 17

KONSEP PENDIRIAN TEMPAT SUCI

OLEH :
50. AGUNG MANIK SINTA LAKSMI ( 2311031434 )
24. KOMANG ELSA YANIATI ( 2311031352 )
52. NI NYOMAN PUTRI JEMPIRING CAHYANI ( 2311031446 )
29. NI GUSTI AYU MADE DEWI CANDRAYANI ( 2311031367 )
45. NI LUH PUTU NOVA PURNAMI ( 2311031419 )
DHARMA ACARYA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
TABANAN
2023

i
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Konsep Pendirian Tempat Suci.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Konsep Pendirian
Tempat Suci ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Tabanan, 12 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH..........................................................................1
1.3 TUJUAN...................................................................................................1
1.4 MANFAAT................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 ZAMAN PRASEJARAH..........................................................................4
2.2 MASUKNYA BUDAYA HINDU............................................................5
2.3 KONSEP PURA........................................................................................7
2.4 PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI...........................................................8
2.5 PENGELOMPOKAN PURA....................................................................9
BAB III PENUTUP ..............................................................................................12
3.1 KESIMPULAN.......................................................................................12
3.2 SARAN...................................................................................................12

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hindu adalah salah satu agama yang memiliki banyak tempat suci yang
dianggap sangat penting bagi umat Hindu di seluruh dunia. Tempat-tempat
suci ini sering kali dianggap sebagai pusat spiritualitas dan keagamaan,
tempat di mana umat Hindu melakukan berbagai upacara keagamaan,
meditasi, dan doa.
Dalam Hindu, kehadiran di tempat suci dipercaya dapat memperkuat
hubungan spiritual dengan Tuhan, membawa berkah dan keberuntungan, serta
membantu dalam pencarian makna kehidupan. Oleh karena itu, tempat-
tempat suci ini seringkali menjadi tempat ziarah bagi umat Hindu dari seluruh
dunia. Namun, perlu diingat bahwa tempat-tempat suci Hindu juga memiliki
nilai sejarah, arsitektur, dan budaya yang penting, sehingga perlu dijaga dan
dihormati sebagai warisan kebudayaan yang berharga bagi seluruh umat
manusia.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana masuknya agama hindu di Bali
2. Bagaimana konsep pura sebagai tempat suci pemujaan masyarakat Hindu
di Bali?
3. Mengapa pura disebut sebagai tempat suci agama hindu?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana masuknya agama hindu di Bali
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep pura sebagai tempat suci pemujaan
masyarakat Hindu di Bali?
3. Untuk mengetahui alasan mengapa pura disebut sebagai tempat suci agama
hindu?

1
1.4 MANFAAT
1. Supaya kita mengetahui bagaimana masuknya agama hindu di Bali
2. Untuk Supaya kita mengetahui bagaimana konsep pura sebagai tempat
suci pemujaan masyarakat Hindu di Bali?
3. Supaya kita mengetahui alasan mengapa pura disebut sebagai tempat suci
agama hindu?

2
BAB II

PEMBAHASAN

Umumnya, prasasti-prasasti Bali Kuno tidak memberikan petunjuk yang


jelas atau pasti dalam mengidentifikasi tempat suci keagamaan pada zaman itu.
Meskipun demikian, terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk tujuan
tersebut, yaitu berupa sebutan. Sebutan tersebut terdiri dari nama-nama tempat
yang digunakan secara tunggal maupun dalam bentuk gabungan. Berikut adalah
beberapa contoh sebutan yang dimaksud.
- Hyang/Sang Hyang/parhyangan/kahyangan; Dalam beberapa prasasti masa Bali
Kuno, istilah Hyang/Sang Hyang/parhyangan/kahyangan sering digunakan untuk
merujuk pada tempat suci atau dewa yang dipuja. Contohnya adalah Hyang Api,
Hyang Tanda, Hyang Karimama (ditemukan di Pura Kehen Bangli A), Hyang
Tahinuni (ditemukan di Pura Batur Gobleg A), Sang Hyang di Turuan (ditemukan
di Turuan AI)
- Bhatara; kata'bhatara' berasal dari bahasa Sanskerta, berarti 1) 'dewa, betara'; 2)
'raja yang telah mangkat dan disucikan atau diidentifikasikan sebagai dewa/betara;
3) raja yang masih hidup atau masih aktif memerintah; 4) tempat atau kompleks
banguan suci tempat memuja dewa/betara. Contohnya, beberapa dewa seperti
Bhatara Da Tonta (Turuan AI), Bhatara Puntahyang (Sembiran AI), Bhatara ring
Antakujarapda (Dawan)
- Ulan; sebutan ulan hanya ditemukan dalam prasasti Sukawana AI (804 ), yakni
ulan di
- bukit cintamani (tempat suci di bukit Kintamani).
- Dangudu/Pangudwan; sebutan dangudu ditemukan dalam prasasti Bangli Pura
Kehen A kutipan selengkapnya "..dangudu kibhaktyan sang ratu di hyang
karimama, (Goris, 1954a : 59) artinya 'tempat suci yang dipuja oleh raja di Hyang
Karimama'. Adapun sebutan pangudwan (pangudwan bhatra i baturan) ditemukan
dalam prasasti Batuan.

3
- Partapn/patapan; misalnya partapan di Bukit Ptung (Babahan I), patapan i thani
Latngan (Angsri B), dan partapn Langgaran (Langgahan)
- Tirtha; sebutan tirtha hanya ditemukan dalam prasasti Manukaya (884) yaitu
tirtha di (air) mpul. Dalam kitab-kitab keagamaan India, tirtha sebagai unsur alam
disebutkan sebagai panca maha bhuta atau panca bhuta (lima unsur alam) yakni
udara, api, air (tirtha), tanah atau bumi, dan akasa (ether, gas ruang angkasa).
- Katyagan; sebutan katyagan ini ditemukan dalam prasasti tengkulak A (945 S)
serta juga dalam Tengkulak E (1103 S) yakni katyagan ring amarawati.
- Sambar; sebutan sambar ini ditemukan dalam prasasti Tulukbiyu A (933 ) yakni
sambar i turuan.
- Meru; meru adalah suatau tipe bangunan yang digunakan sebagai tempat
pemujaan yang merupakan lambing dari gunung memeru. Meru ini mememiliki
bentuk myang menonjolkan keindahan ataonya yang bertingkat yang disebut atap
tumpang. Meru ini dalam jumblah atapnya selalu ganjil yaitu 3,5,7,9 atau 11
dalam lingkup sebagai tingkatan tinggi.

2.1 ZAMAN PRASEJARAH

Sejak masa prasejarah di kalangan masyarakat Bali ada anggapan bahwa


tanah-tanah yang meninggi seperti bukit ‘ngenjung’ dan gunung ’wukir, hulu,
lingga’ merupakan tempat para arwah leluhur yang telah suci. Oleh karena itu,
bukit dan gunung dianggap sebagai tempat suci dan keramat. Pada masa itu
masyarakat Bali tradisi mempunyai suatu kepercayaan, bahwa roh orang yang
meninggal akan hidup abadi di alam lain dengan tempat manusia hidup di bumi
ini. Oleh karena itu, dikenal adanya bermacam-macam cara merawat mayat agar
rohnya dapat hidup dengan layak di alam baka.
Di Bali, situs-situs masa prasejarah terutama dari masa megalitik dijumpai
pada dataran tinggi dan perbukitan, seperti di desa Tenganan Pegringsingan
(Karangasem), daerah Kintamani (Bangli), Penebel (Tabanan), Keramas
(Gianyar), Sembiran (Singaraja), dan lain-lain.

4
Sesungguhnya tradisi megalitik tidak semata-mata hanya menghormati
dan memuja roh nenek moyang, walaupun kultus terhadap roh nenek moyang
terbukti sangat kuat terasakan dalam tradisi megalitik. Pemujaan terhadap roh
nenek moyang mempunyai tujuan praktis yang dapat dirasakan langsung oleh para
pemujanya. Dengan memuja roh leluhur, para pendukung tradisi megalitik
agaknya mengharapkan juga perbaikan-perbaikan dalam kehidupan, seperti
mengharapkan hasil panen yang lebih baik, terhindar dari bencana alam atau
wabah penyakit, memperoleh keberuntungan dan pengungkapan rasa syukur.

2.2 MASUKNYA BUDAYA HINDU

Setelah pengaruh budaya India masuk ke Bali pada sekitar abad VIII, Bali
mulai menapaki masa sejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya dokumen
tertulis berupa prasasti-prasasti pada tablet-tablet tanah liat di desa Pejeng,
Tatiapi, dan Blahbatuh di Kabupaten Gianyar. Tampaknya, pemujaan terhadap
tempat-tempat tinggi atau gunung suci tetap berlangsung terus, dan bahkan
mendapat bentuk baru yang dikuatkan dengan kisah-kisah tentang para dewa yang
bersemayam di puncak-puncak gunung. Sumber prasasti sering menyebut, bahwa
gunung dan bukit yang menjadi sthana para dewa di Bali, antara lain bukit
Humintang (prasasti Dausa, Pura Bukit Indrakila A II 983 Saka, Gunung
Bangkyang Sidi (sekarong Bangkyang Sidem), bukit Karimana, bukit Tunggal,
bukit atau Wukir Kulit Byu dan lain-lain.
Adapun nama-nama para dewa yang bersernayam di puncak gunung atau
puncak bukit itu tidak disebutkan secara jelas di dalam prasasti-prasasti Bali
Kuno. Tidak disebutkannya nama-nama dewa itu kemungkinan besar karena
kepercayaan masyarakat pada masa itu menganggap bahwa menyebut nama-nama
dewa sangat berdosa bahkan bisa kena kutukan. Dengan kata lain, penyebutan
nama dewa sangat ditabukan dan dianggap sebagai pantangan. Di dalam sumber-
sumber prasasti Bali Kuno biasanya yang disebut hanya nama-nama gelarnya,
seperti hyang, da hyang, ra hyang, sang hyang, dan bhatara. sebagai contoh, ialah

5
Hyang Bukit Sidi artinya “dewa atau bhatara yang bersemayam di puncak bukit
Sidi”, demikian seterusnya.
Kemudian dari sumber-sumber lontar, dan babad diketahui pula sejumlah
nama-nama gunung yang dianggap suci tempat bersemayan para dewa. Gunung-
gunung itu, antara lain Gunung Lempuyang (Karangasem) tempat bersemayam
dewa atau Bhatara Genijaya, Gunung Beratan (Tabanan) tempat bersemayam
Bhatara Watukaru, Gunung Mangu (Badung) tempat bersemayam Bhatara
Danawa, Gunung Andakasa tempat bersemayam Bhatara Hyang Tugu dan
Gunung Agung (Karangasem) tempat bersemayam Bhatara Purnajaya.
Lama kelamaan oleh karena kebudayaan manusia makin maju, maka
dalam perkembangan sejarah bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua
ruangan (merong dua). Dalam perkembangan selanjutnya bangunan rong dua
berkembang menjadi Bali yang beragama Hindu. Bangunan seperti ini merupakan
tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur mereka yang telah
disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan yang memakai
ruangan tiga (rong telu) disesuaikan dengan konsep Trimurti yang terdiri dari tiga
dewa, yakni Brahma, Wisnu, dan Iswara. Ketiga dewa ini merupakan perwujudan
dari Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Mahaesa), yang masing-masing
berfungsi sebagai dewa pencipta, pemelihara dan pemralina. Kesatuan ketiga
dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Pengaruh
konsep Trimurti inilah menyebabkan bangunan rong telu berfungsi ganda.
Pertama, untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, dan yang kedua
untuk memuja Sang Hyang Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara.
Untuk tempat pertemuan Ida Bhatara- Bhatari yang berlangsung pada
setiap ada upacara di sanggah pamerajan, mereka membuat lagi bangunan balai-
balai yang disebut balai piyasan, yakni balai untuk Bhatara-Bhatari berhias.
Walaupun sudah mendirikan sanggah kemulan, mereka juga memuja dewa-dewa
yang ada di dalam tempat suci asalnya. Pemujaan ini dilakukan pada setiap
adanya upacara dalam tempat suci tersebut. Untuk menghemat biaya dan untuk
memudahkan jalan persembahyangan, dewa-dewa yang bersemayam di tempat
suci asalnya dibuatkan pelinggih dalam sanggah pamrajan yang bam itu.

6
Kedatangan Mpu Kuturan, Resi Markandya, dan Dang Hyang Nirartha ke Bali
membawa perubahan-perubahan besar dalam tata keagamaan di pulau ini. Mpu
Kuturan menganjurkan pembuatan Kahyangan Catur Lokapala, Sad Kahyangan
Jagat. Selain itu, juga mengajarkan membuat kahyangan secara fisik dan spiritual,
seperti jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan sebagaimana diuraikan dalam
lontar Dewatatwa. Penyempumaan kehidupan agama Hindu di Bali dilakukan
pula oleh Dang Hyang Nirartha. Beliau datang ke Bali pada abad XV pada masa
pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel, Klungkung. Pelinggih ini
untuk memuja Hyang Widhi dan sekaligus membedakan pelinggih pemujaan
dewa roh leluhur.

2.3 KONSEP PURA

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat suci pemujaan masyarakat


Hindu Bali digunakan setelah dinasti Kresna Kepakisan yang berkeraton di
Klungkung sekitar abad XVII. Pada umumnya pura dibagi atas tiga halaman,
yaitu jabaan (halaman luar/kanistha), jaba tengah (halaman tengah/madhya) dan
jeroan (halaman dalam/uttama).
Menurut konsep Hindu, pura adalah simbolis gunung. Tuhan, para dewa,
dan roh suci leluhur dianggap bersemayam di puncak gunung, sehingga gunung
dipandang sebagai tempat suci. Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam
semesta didasarkan atas pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian
yag disebut triloka, yaitu alam bawah (bhur loka), alam tengah (bwah loka) dan
alam atas (swah loka). Dalam diri manusia pandangan itu terwujud ke dalam
konsep tri angga, yaitu kaki, badan dan kepala. Demikian pula dalam suatu
bangunan suci candi misalnya, bagian-bagiannya terdiri atas dasar, badan dan atap
candi. Azas itu tercermin pula pada struktur tempat suci pura yang terdiri atas tiga
halaman seperti telah disebutkan di atas.

7
2.4 PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI

Seperti yang disampaikan diatas Bali adalah sebuah pulau kecil diantara
gugusan pulau yang membangun negeri kita Indonesia dari Sabang sampai
Merauke. Bali adalah salah satu pulau dari lebih tiga belas ribu pulau yang
membangun bumi Nusantara.
PURA KAYANGAN JAGAT,yaitu Pura umum tempat pemujaan Hyang Widhi
dengan segala prabhawa-Nya serta roh suci leluhur, termasuk didalamnya Pura
Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan.
Pura Lempuyang sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Iswara
diujung Timur pulau Bali.
Pura Andakasa sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Brahma
terletak di Selatan pulau Bali.
Pura Batu Karu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Maha Dewa
terletak di bagian Barat pulau Bali.
Pura Ulun Danu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Wisnu
terletak di Utara pulau Bali.
Pura Goa Lawah sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Maheswara
terletak di Tenggara pulau Bali.
Pura Ulu Watu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Rudra terletak
di Barat Daya pulau Bali.
Pura Puncak Mangu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Sangkara
terletak di Barat Laut pulau Bali,
Pura Besakih sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Sambhu terletak
di Timur Laut pulau Bali. Disamping merupakan Pura Kahyangan Jagat sthana
Dewa Sambhu, Besakih juga menjadi pusat Kahyangan dan bertempat di
”Kadyanikang Bhuana” ditengah-tengah pulau Bali sebagai sthana Hyang Widhi
dalam prabhawa-Nya Siwa.

8
2.5 PENGELOMPOKAN PURA

Mengenai istilah Pura yang dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat


Hindu diperkirakan padsa jaman Dalem berkuasa di Bali. Sebelum dikenal istilah
Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu di Bali dikenal istilah
Kahyangan atau Hyang. bahkan pada jaman Bali kuno dipakai istilah “Ulon” yang
berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk berhubungan dengan ke-
Tuhanan. Hal ini dimuat dalam prasasti sukawana A I (th. 882 M)
Di Bali khususnya di dalam orang-orang mendirikan suatu pura lebih-lebih
pura khayangan jagat berlandaskan konsepsional filosopis yang relevan dengan
ajaran Tattwa agama Hindu di Bali. Dari uraian tersebut di kemukakan tiga
landasan konsepsi filosopis yaitu konsepsi rwa bhineda, konsepsi Catur Loka Pala
dan konsepsi Sad Winayaka, sebagai berikut :
A. Konsepsi Rwa Bhineda :
Konsepsi ini merupakan kesatuan purusa dan pradana. konsepsi ini
melandasi pendirian kahyangan :
Kahyangan Gunung Agung (Besakih sebagai Purusa)
Kahyangan Batur sebagai Pradana
B. Konsepsi Catur Loka Pala :
Konsepsi ini merupakan konkritisasi dari pada Cadu Sakti, yaitu empat
aspek kemahakuasaan Hyang Widhi. konsepsi inilah yang melandasi
pendirian Kahyangan Catur Loka Phala yaitu :
Pura Lempuyang di timur,
Pura Andakasa di selatan
Pura Batu Karu di barat
Pura Puncak Mangu di utara.
C. Konsepsi Sad Winayaka :
konsepsi ini adalah landasan pendirian Sad Kahyangan di Bali yang secara
konsepsional terkait dengan Sad Kertih, yaitu :
Pura Besakih
Pura Lempuyang
Pura Goa Lawah

9
Pura Ulu Watu
Pura Batu Karu
Pura Pusering Jagat
Ketiga landasan filosofis inilah yang menjadikan dasar mendirikan
kahyangan jagat yang dinamakan Padma Buana sebagai stana dari Hyang
Widhi dalam berbagai aspek yang diwujudkan dalam sembilan (9)
Kahyangan Jagat yaitu :
Pura Lempuyang di timur tempat memuja Iswara
Pura Andakasa di selatan tempat memuja Brahma
Pura Batu Karu di barat tempat memuja Mahadewa
Pura Batur di utara tempat memuja Wisnu
Pura Besakih di timur laut tempat memuja Sambhu
Pura Goa Lawah di tenggara tempat memuja Maheswara
Pura Ulu Watu di barat daya tempat memuja Rudra
Pura Puncak Mangu di barat laut tempat memuja Sangkara
Pura Pusering Jagat di tengah tempat memuja Siwa
Kemulan Rong Tiga Linggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur
Linggih Sedahan Penglurah
Gedong Linggih Taksu
Catatan :
Pura Desa dan Pura Puseh apabila digabung dalam satu pelebahan Pura
dengan catatan :
Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pelinggih Pura Puseh sama terletak di
hulu
Padmasana hanya dibangun satu buah
Meru minimal dibangun yang bertumpang tiga
Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pura Puseh digabung dalam satu
Pelebahan Pura :
Gedong Lingga Sthana Dewa Brama
Lingga Sthana Ratu Ketut Petung
Lingga Sthana Sedahan Penglurah

10
Padmasana Lingga Sthana Ida Sang Hyang Widhi
Lingga Sthana Dewi Danuh
Lingga Sthana Tepas Mecaling
Meru Lingga Sthana Dewa Wisnu (sekurang-kurangnya meru tumpang
tiga)
Lingga Sthana Ratu Made Jelawung
Linggih Sthana Ibu Pertiwi (Naga Ananta Bhoga)
Gedong Bebaturan (Panghulun Bale Agung) Lingga Sthana Dewi Sri
Rambut Sedana (Melanting)
Bale Agung Lingga Sthana Bhagawan Penyarikan / Dewi Bhagawati.

Tentang Meru :
Meru adalah melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan Sthana /
Pelinggih Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari Leluhur berdasarkan Lontar Purana
Dewa, Lontar Resuma Dewa, Lontar Widhi Sastra, Lontar Wariga Catur Winasa
Sari dan Lontar Jaya Purana. Landasan filosofis dari meru adalah berlatar
belakang pada kepercayaan terhadap gunung yang disucikan sebagai sthana para
dewa dan roh leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung yang suci
tersebut disymbolkan / nyasa berbentuk replika (tiruan) bangunan yang disebut
dengan candi, prasada, meru.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dalam agama hindu penting adanya tempat-tempat suci dalam


menunaikan persembahyangan hal dan penting juga mengetahui istilah-
istilah serta prasasti yang meliputinya, Prasasti-prasasti Bali Kuno
mengindikasikan terdapatnya tempat suci pada masa Bali Kuno sebagai
tempat memuja Sang Hyang Widhi (Tuhan yang Maha Esa) dengan segala
manifestasinya beserta roh leluhur yang telah suci. Tempat suci tersebut
disebut dengan berbagai istilah yang pada intinya memiliki makna sama
dan di dalamnya terdapat bangunan pemujaan. Lokasi yang dipilih sebagai
tempat pemujaan pada dasarnya dipercayai memiliki keistimewaan sesuai
dengan konsep kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa
tersebut.

3.2 SARAN

12
DAFTAR PUSTAKA

https://www.mutiarahindu.com/2022/03/struktur-dan-proses-membangun-
tempat.html?m=1#google_vignette

https://lenteradharma.blogspot.com/2015/12/syarat-syarat-tempat-suci.html?m=1

https://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/05/esensi-konsepsi-pura-sebagai-
tempat-suci-di-bali/

https://www.kompasiana.com/amp/gusti82692/6423e06c08a8b53b704cedb2/
tempat-tempat-suci-agama-hindu

13

Anda mungkin juga menyukai