Anda di halaman 1dari 3

Nama : Anak Agung Bagus Gede

Kls : 12 MIPA 3
No :1

Sejarah Puputan Badung

Perang Puputan Badung 1906 merupakan salah satu perang melawan penjajah
Belanda yang paling diingat dan membekas di ingatan masyarakat Bali. Dalam perang itu
segenap masyarakat Bali yang dipimpin oleh Raja Badung VII, I Gusti Ngurah Made Agung
memilih melanggengkan tradisi puputan atau perang habis-habisan sampai mati melawan
Belanda.
Puputan merupakan istilah yang berasal dari bahasa Bali "puput", yang artinya
tangga, putus, habis, ataupun mati. Istilah tersebut tak jauh beda kala puputan diterjemahkan
dalam bahasa Inggris, yang berarti “conclusion” atau “bringing to the end.”
Intinya, puputan berarti suatu akhir yang betul-betul tuntas sebagai bentuk jalan terhormat
yang dipilih Raja Badung ketika berlangsungnya perang. Karenanya, orang Bali mengenal
tradisi puputan sebagai bentuk menjaga harga diri raja dan masyarakat Bali. Sebagaimana
dijelaskan Joko Darmawan dalam buku Ketika Nusantara Berbicara (2017), orang Bali
percaya akan tiga hal tentang puputan.
Pertama, nyawa seorang ksatria berada di ujung senjata. Kematian di medan
pertempuran adalah kehormatan. Kedua, dalam mempertahankan kehormatan tidak dikenal
istilah menyerah kepada musuh. Ketiga, merujuk ajaran Hindu, mereka yang mati dalam
peperangan maka roh mereka akan masuk surga.
Wujud ksatria dalam perang puputan sempat pula ditulis dalam laporan surat kabar
Hindia-Belanda, De Lokomotief. Pada 1908, mereka menulis bahwa keyakinan masyarakat
Bali yang memilih melanggengkan puputan adalah bentuk jalan hidup seorang ksatria sejati.
“Tidak boleh mati di rumahnya. Itu adalah pengecut. Itulah sebabnya mengapa ada puputan.”
Pemicu puputan Badung
Perang puputan bermula dari kandasnya kapal berbendera Belanda milik Kwee Tek
Tjiang, Sri Kumala, di Pantai Sanur, malam hari 27 Mei ke dinihari 28 Mei 1904. Atas
kandasnya kapal, Belanda menuduh penduduk desa di sekitar pantai itu menjarah muatan
kapal.
Ditulis P. Swantoro, dalam buku Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung
Menjadi Satu (2002), dengan alasan penjarahan kapal, pemerintah kolonial Belanda menuntut
raja Badung untuk membayar 3.000 ringgit. Akan tetapi, Raja Badung menolak. Raja Badung
meyakini apa yang dilakukan tidak melanggar aturan.
Singkat cerita, penolakan Raja Badung segera dijawab dengan aksi militer. “Tak bisa
dipungkiri bahwa peristiwa Sri Kumala itu hanya sekadar alasan untuk melancarkan
ekspedisi militer terhadap Badung. Tujuan Belanda sebenarnya adalah mewujudkan
kekuasaan tertinggi atas semua daerah yang menolak tunduk, untu melaksanakan kebijakan
belanda “Pax Neerlandica”.
Kendati demikian, sebelum melakukan aksi militer, Gubernur Jenderal Hindia-
Belanda, Joannes Benedictus van Heutsz (1904–1909) mengirim surat lebih dulu kepada
Menteri Jajahan pada oktober 1905. Isi surat tersebut tak lain untuk meyakinkan sang menteri
bahwa Raja Badung perlu menyadari pemerintah Hindia-Belanda adalah “penguasa
sesungguhnya yang harus dipatuhi.”

Berlangsungnya perang puputan


Pasukan Belanda yang telah tiba di Bali pada 20 September 1906 segera melakukan
aksi militernya. Belanda, dengan peralatan perang modern segera membombardir daerah
kekuasaan kerajaan Badung sejak pagi buta. Mereka pun melontarkan bom-bom lewat kapal
perang belanda yang berjatuhan dari langit Denpasar.
Alhasil, istana, puri-puri, hingga rumah warga ikut terbakar. Oleh sebab itu, serdadu
Belanda dengan cepat dapat memasuki wilayah kerajaan. Lantas, dalam kondisi terdesak, raja
kemudian memutuskan untuk segara melawan. Sebab, untuk terus bertahan sudah tidak
mungkin lagi dilakukan. Artinya, puputan menjadi pilihan satu-satunya.
Rincian peristiwa puputan ditulis dalam laporan seorang saksi mata, H.M van Weede.
Kala itu, Weede merupakan seorang turis kaya. Ia mendapatkan izin untuk mengikuti
ekspedisi Belanda di Bali. Dengan izin itu, Weede menjadi embedded journalist atau jurnalis
yang mengikuti pasukan perang.
Weede menulis, pada 20 September 1906 pagi, di halaman depan Puri Denpasar
nampak pemandangan yang sangat mengesankan. Digambarkan, mulai dari raja, permaisuri,
para pangeran, pelayan, pendeta, dan seluruh warga kerajaan memakai pakaian serba putih
yang dilengkapi keris sebagai senjata.
“Kelihatan orang-orang terkemuka berkumpul untuk mengakhiri nyawanya di
hadapan pasukan Belanda. Raja dengan pangeran dan para pengikutnya mengenakan busana
yang serba indah, bersenjatakan keris yang hulunya terbuat dari emas berwarna merah atau
hitam. Rambut mereka diatur rapi berminyak wangi,” ungkap Weede.
Tak hanya itu, para wanita mengenakan pakaian mereka yang paling indah dan semua
berselendang putih. Raja lalu memerintahkan agar Puri dibakar, dan semua yang dapat
dirusak supaya segera dihancurkan.
Rombongan raja terus bergerak, sampai akhirnya mereka bertemu dengan pasukan
infanteri dari Batalyon ke-11. Kala itu, mereka dipisahkan oleh sebidang tanah lapang. Saat
pasukan Belanda memerintahkan agar tidak bergerak, yang didapat malah sebaliknya.
Rombongan raja bergerak cepat ke depan, dan akhirnya berlari menuju kubu lawan.
Karena itu, pasukan Belanda melepaskan tembakan pertama. Di antara mereka yang gugur
pertama adalah Raja Badung. Namun, bukannya mundur, perlawanan makin deras. Mereka
kemudian mencoba menyerang sampai akhirnya dibredel oleh peluru.
Para prajurit Bali yang luka ringan pun menikam sampai mati rekan-rekan mereka
yang luka luka berat. Sedangkan kaum wanita mencoba membuka dada untuk mengakhiri
hidupnya. Sampai-sampai beberapa wanita bahkan melemparkan uang emas kepada para
serdadu Belanda sebagai bentuk upah untuk kematian mereka.

Anda mungkin juga menyukai