Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Al Qadar Ramadhan (20)

Kelas : X IPA 4

Asal Usul Nama Jalan Pangeran Hidayatullah Cianjur

Bagi mayoritas warga Cianjur, Pangeran Hidayatullah bukanlah nama yang asing. Selain
digunakan sebagai nama seruas jalan di kawasan kota, dia meninggalkan banyak jejak. Salah
satunya Kampung Banjar. “Ya memang di kawasan itulah kakek buyut saya tinggal setelah
dibuang Belanda dari Banjarmasin pada 1862,” ujar Johan Rangga (44), yang akrab dipanggil
Bonang.

Menurut Bonang, kendati nama Hidayatullah dikenal khalayak di Cianjur, dia sangsi mereka
tahu sejarah hidup kakek buyutnya. Terlebih selama 42 tahun tinggal di tanah pembuangan,
sepakterjang Sang Pangeran sangat dibatasi. “Ruang lingkup hidupnya seolah rumah-masjid
agung-rumah-masjid agung saja,” ujarnya.

Kisah Hidayatullah yang pernah melawan Belanda juga dirahasiakan. Selain pejabat dan petugas
pemerintah Hindia Belanda, hanya bupati Cianjur dan keluarganya yang tahu. Praktis,
masyarakat kala itu hanya mengenalnya sebagai ulama kharismatik yang selalu memakai jubah
kuning bila pergi beribadah ke Masjid Agung Cianjur.

Hidayatullah bukanlah sembarang pangeran. W.A. van Rees, veteran Perang Banjar (menurut
versi Belanda berlangsung dari 1859 hingga 1863), menyebutnya
sebagai hoofdopstandeling alias kepala pemberontak. “Di antara orang-orang Banjar yang
memberontak dialah yang paling berbahaya,” tulis van Rees dalam De Banjermasinche Krijg
1859-1863.

Menurut Gusti Mayur, keterlibatan Hidayatullah dalam Perang Banjar bermula dari campur-
tangan pemerintah Hindia Belanda dalam masalah internal Kesultanan Banjar. Secara sepihak,
pada 3 November 1857, pemerintah menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan menyusul
mangkatnya Sultan Adam Alwasikubillah. “Padahal jika mengikuti adat-istiadat, Pangeran
Hidayatullah-lah yang berhak atas posisi tersebut,” tulis Mayur dalam Perang Banjar.

Penolakan kalangan istana terhadap Tamjidillah tak dihiraukan Hindia Belanda. Wajar saja
karena, dari sekian pangeran Banjar, hanya Tamjidillah-lah yang berani memberikan konsesi
pertambangan batu bara kepada orang-orang Belanda. Sebagai catatan, pemerintah Hindia
Belanda saat itu bernafsu menguasai batu bara yang terdapat dalam perut bumi Kalimantan
Selatan. Selain untuk keperluan industri, mereka membutuhkannya sebagai bahan bakar kapal-
kapal perang uap mereka.

Maka, perang besar tak terhindarkan. Demi menghadapi orang-orang Banjar yang dipimpin
Hidayatullah, pemerintah tak mau ambil risiko. Menurut van Rees, pada tahap awal saja, mereka
mengirimkan 3.000 serdadu, ratusan senjata berat, dan 22 kapal perang ke palagan Banjar.
Namun keunggulan teknis persenjataan itu tak membuat Hindia Belanda menang dengan mudah.
Mereka justru kewalahan menghadapi kecerdikan taktik perang gerilya dan strategi bumihangus
dari orang-orang Banjar.

Sadar perang tak tentu ujungnya, Hindia Belanda menawarkan penyelesaian damai. Mereka
kemudian menjebak Hidayatullah dalam suatu penangkapan berkedok perundingan.
“Demikianlah pada 3 Maret 1862 jam 9 malam, kapal Bali membawa Pangeran Hidayatullah dan
pengikutnya dari Banjarmasin ke tanah pengasingan di Pulau Jawa,” ujar Mayur.

Sesampainya di Batavia, Hidayat diberangkatkan ke Cianjur, tempat penjara besar bagi dirinya.
Di kota yang terletak di kaki Gunung Gemuruh ini, Sang Pangeran sempat memperistri seorang
perempuan bangsawan setempat bernama Nyai Etjeuh yang menurunkan silsilah orang Banjar di
Cianjur. Pada 24 November 1904, Hidayatullah mangkat dalam usia 82 tahun. Jasadnya
dikebumikan di sebuah dataran tinggi yang masuk wilayah Sawahgede.

https://historia.id/politik/articles/empat-raja-yang-dibuang-ke-cianjur-DOa2V/page/4

Anda mungkin juga menyukai