23160
Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak
menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran
Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan Tahmidillah
I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah. Keberhasilan ini disebabkan bantuan
Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh
Belanda menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda
dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada
tahun 1809. Sejak kecil Pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh intrik dan
dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak belajar agama
kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang.dan bertani.
Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar dan
penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang Belanda.
Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai pemimpin rakyat
tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha
untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayatullah yang menjabat
sebagai Mangkubumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar
tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari mengajak Pangeran Hidayatullah untuk bersama-
sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin oleh
Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron sekaligus lokasi tambang
Nassau Oranje milik Belanda, benteng diserbu bersama Panglima Perangnya Demang
Lehman. Pertempuran di benteng Pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di
berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Haji Buyasin,
Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
Sementara itu Pangeran Hidayatullah makin jelas menjadi penentang Belanda dan
memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa
Belanda menuntut supaya Pangeran Hidayatullah menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya
penguasa kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada
tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen
Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak,
memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayatullah,
langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial Belanda.
Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah posisinya. Setelah
memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi kesehatan, akhirnya
Pangeran Hidayatullah menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin
sepenuhnya oleh Pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi
maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai
pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14
Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup
untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan
bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi
‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’. Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran
Antasari untuk menolak, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan
bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan
rakyat. Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan
sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan
pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh
bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di hulu
Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh diselenggarakan
rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti
Muhammad Said (keduanya putera khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang
Lehman.
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari kejauhan.
Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu
Teweh.
Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh putera-
puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima yang
gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak pemimpin
perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang Lehman
kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para panglima, seperti
antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur
penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Perang Banjar berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat dengan jelas
bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam, dengan semboyan “Hidup untuk
Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan perang Sabil dibawah pimpinan seorang
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.