Anda di halaman 1dari 4

Masa Keruntuhan Kesultanan Banjar

Saat-saat berakhirnya Kesultanan Banjar dapat ditandai dengan munculnya Perang Banjar yang
terjadi sekitar tahun 1826. Dengan pemimpin terakhir perang, yaitu Sultan Mohammad Seman,
beliau juga meninggal dalam pertempuran Perang Banjar dalam melawan Belanda di Sungai
Manawing. Kematian Sultan Mohammad Seman menandai runtuhnya Kesultanan Banjar dengan
seluruh wilayah serta pemerintahan Kesultanan Banjar jatuh ke tangan Belanda.

Adanya Belanda di Nusantara dibawah VOC membawa awal modernisasi barat. Namun sampai
abad ke-18 Kesultanan Banjar masih menjadi kesultanan yang berdaulat dan bertahan tanpa
adanya campur tangan signifikan dengan VOC. Walaupun VOC sudah cukup kuat dan membuat
situasi buruk di Jawa pada Kesultanan Mataram. Sampai pada abad ke-19 Belanda menjadi
mendominasi walaupun VOC sudah tidak berjaya lagi. Sehingga berdampak pada terjadinya
berbagai perlawanan rakyat Banjar melawan Belanda. Perlawanan ini dikenal juga sebagai
Perang Banjar.

Terjadinya perang Banjar disebabkan oleh beberapa penyebab. Penyebab umumnya adalah pada
dasarnya rakyat Banjar memang tidak memiliki ketertarikan apapun atau membenci Belanda di
Banjar dan upaya penguasaannya. Hal ini dapat diindikasi dari berbagai perilaku Belanda di
Banjar yang sangat merugikan masyarakat Banjar. Mulai dari hal monopoli perdagangan hingga
keikutsertaan dalam hal internal kesultanan. Sedangkan penyebab khusus terletak pada bidang
politik, dimana terjadi perpecahan dalam Kesultanan Banjar.

Selain ada penyebab terjadinya kekacauan di Kesultanan Banjar, terdapat perincian lain dalam
faktor yang mempengaruhi. Terdapat dua faktor, seperti:

1. Faktor ekonomi, pada abad ke-19 dunia sedang mengalami revolusi industri berskala
besar yang membuat bidang industri semakin maju dengan maraknya penggunaan mesin.
Banyak penggunaan mesin memanfaatkan batubara. Selain itu bahan bakar kapal-kapal
semuanya memakai batubara. Sehingga menjadikan batubara sebagai komoditas utama
yang sangat dibutuhkan orang Eropa. Hal ini pun sangat menarik Belanda, mengingat
tingginya harga batubara di negara Eropa lain.
Batubara di Banjar merupakan salah satu hasil alam yang berpotensi tinggi dan memiliki
kadar yang cukup banyak di Pangaronan, Tanah Laut, Kalangan, dan Sungai Durian serta
batubara juga telah ditambang oleh masyarakat Banjar. Namun tambang batubara rakyat
tersebut menjadi tujuan Belanda. Sebelumnya Belanda juga sudah memonopoli
perdagangan lada, rotan, emas, dan intan sejak abad ke-17. Tambang Batubara Oranje
Nassau di Pengaron yang juga sebagai tambang batubara pertama didirikan oleh Belanda
pada 1849.1 Dengan begitu selanjutnya Belanda melancarkan aksinya dengan
memonopoli dan terutama mencampuri urusan internal dengan mengerahkan bantuan
kepada pihak yang pro Belanda. Sehingga mampu memenuhi kontrak perjanjian produksi
tambang batubara di Banjar.

2. Faktor politik, situasi politik internal Kesultanan Banjar saat itu sudah mengalamu
ketidakstabilan. Peristiwa ini diawali dengan perpecahan dan perebutan kekuasaan di
tengah bangsawan. Selain itu hadirnya Belanda dalam politik Banjar semakin membuat
keadaan buruk. Perebutan kekuasaan dilakukan oleh tiga pangeran, yakni Pangeran
Tamjidillah merupakan putra Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang Nyai Besar
Aminah, Pangeran Hidayatullah putra Sultan dengan kalangan bangsawan bernama Ratu
Siti, dan Pangeran Prabu Anom, putra adik Sultan dengan Ratu Komala Sari. Diantara
ketiga pangeran ini Pangeran Hidayatullah lah yang paling cocok memerintah disamping
merupakan keturunan langsung yang berasal dari bangsawan. Tetapi ia juga memiliki
perilaku teladan yang disenangi masyarakat Banjar dan ulama.

Keadaan semakin runyam saat Belanda ikut campur dengan menolak dijadikannya
Pangeran Hidayatullah sebagai sultan dan lebih memilih Pangeran Tamjidillah untuk
dijadikan Sultan Banjar. Alhasil menimbulkan kekacauan pada bidang pemerintahan, dan
Belanda berubah pikiran pada 9 Oktober diangkatlah Pangeran Hidayat sebagai Sultan.
Namun hal ini tidak mengurangi kepanasan situasi politik disana.

1
Hendraswati dan Zulfa Jamalie, Pedagang dan Gerakan Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda Pada Masa
Perang Banjar (1859-1905), (Pontianak: Kepel Press. 2017), Hlm. 135
Pada April 1859, Sultan Kuning dari Muning sebagai wakil dari Panembahan Datu Aling
mengutus empat orang untuk meminta izik kepada Sultan Hidayatullah untuk memulai
penyerangan dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Penyerangan tersebut direstui dan
sebanyak 3.000 pasukan pun mulai menyerang Benteng Tambang Batubara Oranje
Nessau yang merupakan tempat paling penting bagi Belanda pada 28 April 1859.
Penyerangan terhadap Belanda semakin disukseskan di seluruh wilayah Banjar mencakup
Banua Lima, Tanah Laut, Bati-Bati, Tabanio, Sungai Durian, Tanah Bumbu, Kotabaru,
dan Kapuas hingga daerah sepanjang aliran Sungai Barito.

Perang Banjar

Gerakan perlawanan pun terus dilakukan di seluruh Banjar. Kiai Demang di Riam Kiwa, 30 Juni
1859 bersama Haji Nasrun di Martapura, lalu bersama Haji Bujasin dan Kiai Langlang berhasil
merebut benteng di Tabanio pada Agustus 1859. Selanjutnya pada 7 Maret 1860 Belanda
mendesak Banjar untuk menyerah. Namun desakan ini direspon dengan tegas oleh Sultan
Hidayat, bahwa ia tidak akan menyerah. Hal ini menyebabkan kekosongann jabatan sehingga
Kesultanan Banjar dihapuskan pada 11 Juni 1860.

Gerakan cepat penyerangan ini semakin membuat Belanda marah sehingga pada 5 Februari 1862
Sultan Hidayat diasingakn ke Cianjur Jawa Barat. Tidak berhenti disitu Pangeran Antasari
semakin melancarkan serangannya, setelah mendengan sepupunya diasingkan. Ia masih terus
memimpin perlawanan terhadap Belanda sampai akhir hayatnya pada tanggal 11 Oktober 1862
di Bayan Begok Muara Teweh.2 Perginya Pangeran Antasari diikuti para pemimpin lainnya dari
generasinya yang mati ditangan Belanda. Tetapi pada generasi putra Pangeran Antasari
perlawanan masih berlanjut, seperti pada Pangeran Muhammad Seman (Gusti Matseman).

Muhammad Seman di Tanah Dusun mati-matian mempertahankan benteng terakhir di Sungai


Manawing. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Christofel yang terkenal bengis
menyerbu Benteng Manawing pada Januari 1905. Pertempuran ini tidak seimbang dalam hal
jumlah pasukan dan persenjataan. Alhasil Sultan Muhammad Seman tak mampu bertahan dan
tertembak. Sampai akhir hidupnya ia benar-benar menjalankan amanat Pangeran Antasari

2
Ibid., Hlm. 149
dengan semboyan haram manyarah waja sampai kaputing yang bermakna pantang menyerah
dan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Dengan demikian Perang Banjar menjadi upaya terbesar seluruh komponen masyarakat Banjar
yang anti dan tidak tahan dengan perilaku merugikan Belanda yang sangat bertentangan dengan
tradisi dan adat orang Banjar sejak 1859 hingga 1905. Dengan gugurnya Sulltan Muhammad
Seman dalam peperangan maka berakhir pula perjuangan rakyat Banjar untuk memperjuangkan
dan merebut kembali Kerajaan Banjar beserta seluruh daerah Kalimantan Selatan. 3 Pasca Perang
Banjar upaya untuk membangkitkan dan memulai pemerintahan Kesultanan Banjar sungguh
tidak memungkinkan lagi. Dengan hal ini wilayah Kesultanan Banjar dimasukkan kedalam
tatanan baru Residentie Zuinder en Ooster Afdeeling van Borneo yang merupakan salah satu
bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda

Daftar Pustaka

Hendraswati, and Zulfa Jamalie. 2017. Pedagang dan Gerakan Perlawanan terhadap Kolonial
Belanda pada Mada Perang Banjar (1859-1905). Pontianak: Kepel Press.

Ushulha, Nisa. 2016. "Kerajaan Banjar dan Perang Banjar (1859-1905 M)." Skripsi Sejarah dan
Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.

3
Nisa Ushulha, “Kesultanan Banjar dan Perang Banjar (1859-1905)” dalam Skripsi Sejarah dan Kebudayaan Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016, Hlm. 51

Anda mungkin juga menyukai