Anda di halaman 1dari 10

Di

S
U
S
U
N
OLEH:
Nama Kelompok : 1.Alfitri Khaira
2.Alfitrian Zakia
3.M . Avivul azmi
4.Rozatul Mahyul
5.Shakira Amalia
Guru pembimbing :
BAB I
I. Pendahuluan
Pada abad ke-15, penakhluk yang berkebangsaan Portugis di India dan Asia
Tenggara berhadapan dengan pemeluk agama Islam, yaitu agama yang telah dikenal
dalam sejarah sebagai agama yang selama berabad-abad menjadi agama keturunan
raja yang penting di India, maka di kepulauan Indonesia (pulau Jawa) agama dan tata
kemasyarakatan yang pra-Islam masih tetap bertahan sampai pada permulaan abad
ke-16. Di bidang politik, orang-orang portugis mampu menahan pengaruh Islam yang
terus meluas terhadap kerajaan-kerajaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan itu hampir
semuanya masuk ke dalam kekuasaan Islam. Sebaliknya, agama Islam di Asia Tenggara
tidak dapat meluas lebih jauh kearah timur semenanjung Malaka dan Filipina.

Sejak abad ke-20 telah diterbitkan buku-buku dalam bahasa Belanda mengenai
sejarah Jawa dan Bali pada masa pra-Islam, yang sebagian besar berdasarkan data
yang digali dari sumber-sumber pribumi. Salah satu keberatan utama terhadap
pandangan mengenai sejarah Jawa yang sampai belum lama ini umum diterima ialah
gambaran bahwa ada jurang yang dalam antara zaman Hindu-Jawa dan zaman Islam.

II. Rumusan Masalah


A. Teori-teori Masuknya Islam di Jawa

B. Teori-teori penyebaran Islam di Jawa

C. Peranan Walisongo

III. Pembahasan
A. Teori-teori Masuknya Islam di Jawa

Situasi masyarakat indonesia khususnya di pulau Jawa sebelum kedatangan Islam,


kehidupannya dipengaruhi oleh Sistem Kasta atau peradabaan golongan kelas,
sehingga kehidupan masyarakat terpecah-pecah.
Dan karena mereka yang tergolong kasta tinggi tidak diperkenankan bergaul dengan
orang yang berkasta rendah. Sebagaimana mereka membagi kasta menjadi empat :

1. Kasta Brahmana

Brahmana merupakan golongan pendeta dan rohaniwan dalam suatu


masyarakat, sehingga golongan tersebut merupakan golongan yang paling dihormati.
Seseorang dikatakan menyandang gelar Brahmana karena keahliannya dalam bidang
pengetahuan keagamaan. Jadi, status sebagai Brahmana tidak dapat diperoleh sejak
lahir. Status Brahmana diperoleh dengan menekuni ajaran agama sampai seseorang
layak dan diakui sebagai rohaniwan.

2. Kasta Ksatria

Ksatriya merupakan golongan para bangsawan yang menekuni bidang


pemerintahan atau administrasi negara. Ksatriya juga merupakan golongan para
kesatria ataupun para Raja yang ahli dalam bidang militer dan mahir menggunakan
senjata. Kewajiban golongan Ksatriya adalah melindungi golongan Brahmana, Waisya,
dan Sudra. Apabila golongan Ksatriya melakukan kewajibannya dengan baik, maka
mereka mendapat balas jasa secara tidak langsung dari golongan Brāhmana, Waisya,
dan Sudra

3. Kasta Waisya

Waisya merupakan golongan para pedagang, petani, nelayan, dan profesi


lainnya yang termasuk bidang perniagaan atau pekerjaan yang menangani segala
sesuatu yang bersifat material, seperti misalnya makanan, pakaian, harta benda, dan
sebagainya. Kewajiban mereka adalah memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan,
papan) golongan Brahmana, Ksatriya, dan Sudra.

4. Kasta Sudra

Sudra merupakan golongan para pelayan yang membantu golongan Brāhmana,


Ksatria, dan Waisya agar pekerjaan mereka dapat terpenuhi. Dalam filsafat Hindu,
tanpa adanya golongan Sudra, maka kewajiban ketiga kasta tidak dapat terwujud. Jadi
dengan adanya golongan Sudra, maka ketiga kasta dapat melaksanakan kewajibannya
secara seimbang dan saling memberikan kontribusi

Agama Islam masuk ke wilayah nusantara melalui celah-celah masyarakat dan


budayanya yang masih berorientasi pada tata susunan masyarakat dan budaya Hindu-
Budha tanpa menimbulkan goncanagan-goncangan ataupun keresahan dalam
masyarakat.
Menurut catatan ahli sejarah, Agama Islam masuk ke Pulau Jawa sekitar abad XI
Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Arab dan disebarkan Muballigh dari Pasai
(Aceh Utara).

Tetapi sebagian lagi dari ahli sejarah mengatakan, bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia yang pertama adalah di Pulau Jawa. Karena pada tahun 929 - 949 M, masa
kekuasaan Prabu Sindok, para saudagar dari Pulau Jawa sudah banyak yang berlayar
sampai ke Baghdad. Demikian juga para pedagang dari Persia dan Gujarat sudah ada
yang datang ke Indonesia.

Dikatakan lebih dahulu di pulau Jawa, karena ditemukan satu bukti pada batu nisan
seorang wanita Islam yang bernama Fatimah Binti Maimun, yang dimakamkan di Desa
Leran Gresik, tertulis wafatnya tahun 475 H atau tahun 1082 Masehi.[2]

Hingga pertengahan abad ke 13 bukti-bukti kepurbakalaan maupun berita-berita asing


tentang masuknya islam di jawa sangatlah sedikit. Baru sejak akhir abad ke 13 masehi
hingga abad-abad berikutnya, terutama sejak majapahit mencapai puncak
kejayaannya, bukti-bukti proses pengembangan islam di temukan lebih banyak lagi.
Misalnya saja penemuan kuburan islam di troloyo, trowulan dan gersik, juga berupa
ma huan (1416 masehi) yang menceritakan tentang adanya orang-orang islam yang
bertempat tinggal di gresik. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu telah terjadi
proses penyebaran agama islam, mulai dari daerah pesisir dan kota-kota pelabuhan
sampai ke pedalaman sampai ke pusat kerajaan majapahit. Adanya proses penyebaran
agama islam di kerajaan majapahit terbukti dengan di temukannya nisan-nisan makam
muslim di trowulan yang terletak berdekatan dengan kompleks makam para
bangsawan majapahit.

Adapun yang didatangi pertama oleh Islam di Pulau Jawa yaitu di daerah-daerah pesisir
utara Jawa Timur. Agama yang nampak perkembangannya di pulau Jawa itu, sejak
datangnya Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang kemudian menjadi pusat penyebaran
Islam di Jawa Timur.

Pertumbuhan masyarakat muslim di sekitar majapahit sangat erat kaitannya dengan


perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang
islam yang telaah memiliki kekuatan politik dan ekonomi di kerajaan samudra pasai
dan malaka. Untuk masa-masa selanjutnya pengembangan islam ditanah jawa di
lakukan oleh para ulama’ dan mubaligh yang kemudian terkenal dengan sebutan
walisanga (sembilan wali).
B. Teori-teori penyebaran Islam di Jawa

Penyebaran Islam di Jawa melalui :

1. Perdagangan

Pedagang-pedagang muslim yang melalui perkembangan lalu lintas pelayaran dan


perdagangan dunia yang ramai mulai abad ke-7 sampai abad ke-16, yaitu antara Eropa,
Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina banyak menetap di kota-kota pelabuhan
dan membentuk perkampungan muslim.[3] Di perkampungan itu, ada beberapa orang
yang melakukan proses islamisasi yang dibantu para pedagang muslim untuk lebih
mengenal Islam. Mereka tertarik masuk Islam karena mereka melihat bahwa Islam
tidak memaksa atau merepotkan penduduk non muslim untuk mengikuti ajaran Islam.
Mereka dapat bersosialisasi dengan baik dengan penduduk non muslim tanpa adanya
perpecahan atau kekerasan. Proses itu dipercepat oleh situasi politik beberapa
kerajaan dimana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan
pemerintah pusat.

2. Perkawinan

Para pedagang yang sudah menetap itu kedudukan ekonomi dan sosialnya semakin
baik. Ia menjadi kaya dan terhormat, tetapi keluarganya tidak dibawa serta. Para
pedagang itu kemudian mengawini gadis-gadis setempat dengan syarat mereka harus
masuk Islam. Cara ini pun tidak mengalami kesulitan. Saluran Islamisasi lewat
perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila saudagar atau ulama Islam berhasil
mengawini anak raja atau adipati. Kalau raja atau adipati itu sudah Islam maka
rakyatnya akan mudah untuk diIslamkan. Misalnya : perkawinan Maulana Iskhah
dengan putri raja Blambangan melahirkan sunan Giri. Raden Rahmat (Sunan Ngampel)
kawin dengan Nyai Gede Manila, putri Tumenggung Wilatikta. Perkawinan putri
Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Perkawinan putri adipati Tuban
(R.A. Teja) dengan syeh Ngabdurahman (muslim Arab) melahirkan syeh Jali
(Laleluddin).[4]

3. Ajaran Tasawuf

Tasawuf adalah ajaran ke-Tuhanan yang telah bercampur dengan mistik dan hal-hal
yang magis. Karena itu para ahli tasawuf ini biasanya mahir dalam soal-soal magis dan
mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Kedatangan ahli-ahli tasawuf ke
Indonesia diperkirakan sejak abad ke-13, yaitu masa perkembangan dan penyebaran
ahli-ahli tasawuf dari persia dan India yang sudah beragama Islam.
Bersamaan dengan perkembangan tasawuf ini maka dalam mengajarkan agama Islam
disesuaikan dengan pola fikir masyarakat yang masih berorientasi pada agama Hindu
Budha, sehingga mudah untuk dimengerti. Itulah sebabnya maka orang jawa begitu
mudah menerima agama Islam.

4. Pendidikan

Lembaga pendidikan yang paling tua adalah pondok pesantren. Murid-muridnya


(santri) tinggal di dalam pondok pesantren semacam asrama dalam jangka waktu
tertentu menurut tingkatan kelasnya. Yang mengajar adalah guru-guru agama (kyai
dan ulama). Para santri itu jika sudah tamat lalu pulang ke daerah asalnya dan menjadi
tokoh keagamaan yang juga terus mengajarkan ilmunya kepada masyarakat
disekitarnya.

Dengan cara ini Islam terus berkembang memasuki daerah-daerah yang terpencil.
Pondok pesantren yang telah berdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa antara lain
: Pondok Ampel Denta di Surabaya yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel),
pondok sunan Giri dimana santrinya banyak yang berasal dari Maluku (daerah Hitu).
Sedangkan raja-raja dan keluarganya, kaum bangsawan, biasanya juga mendatangkan
kyai atau ulama untuk menjadi guru dan penasihat agama.

5. Seni Budaya

Misalnya seni bangun (masjid), seni pahat (ukir), seni tari, seni musik, dan sastra.
Dalam seni bangunan masjid, mimbar, ukir-ukirannya masih menunjukkan seni
tradisional bermotifkan budaya Indonesia-Hindu seperti yang terdapat pada candi-
candi Hindu atau Budha. Hal yang demikian dapat dijumpai di masjid-masjid kuno
Demak, Sendang Duwur, Agung Kasepuhan (Cirebon), masjid Agung Banten, dan
sebagainya. Juga adanya pintu gerbang pada keraton-keraton Islam atau makam
orang-orang yang dianggap keramat menunjukkan bentuk candi bentar, kori agung.
Begitu pula nisan kubur-kubur kuno di Demak, Kudus, Corebon, Tuban, dan Madura.
Semua menunjukkan budaya sebelum Islam.

Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Islam tidak meninggalkan seni budaya
masyarakat yang telah ada, tetapi justru ikut memeliharanya.

Misalnya dalam perayaan Grebeg Maulud (Sekaten) di Yogyakarta, Surabaya, dan


Cirebon. Juga lewat pertunjukan wayang yang telah dipoles dengan unsur-unsur Islam.
Menurut cerita, sunan Kalijaga juga pandai memainkan wayang. Islamisasi lewat sastra
ditempuh dengan cara menyalin buku-buku tasawuf, hikayat, dan babad ke dalam
bahasa pergaulan (melayu).
Proses Islamisasi di Indonesia itu dipercepat lagi oleh adanya faktor-faktor [5]:

a. Syarat-syarat masuk agama Islam cukup mudah dan ringan.

b. Pelaksanaan ibadahnya sederhana dan biayanya murah.

c. Tidak mengenal sistem kasta, semua orang derajatnya sama.

d. Agama Islam dari Gujarat telah mendapat pengaruh Hindu dan tasawuf sehingga
pemahamannya mudah.

e. Aturan-aturan dalam Islam itu fleksibel dan tidak memaksa.

f. Runtuhnya kerajaan Hindu Majapahit pada akhir abad ke-15.

Agama Islam yang disebarkan dengan cara damai dan kekeluargaan itu ternyata
berhasil membawa beberapa perubahan sosial, budaya, memperhalus, dan
memperkaya budaya Indonesia. Penyesuaian antara adat dan syari’ah selalu ada.[6]

C. Peranan walisongo

Gerakan penyebaran Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dengan peranan


Walisongo. Wali adalah sebutan bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakat
pengetahuan dan penghayatan agama Islam yang sangat dalam dan sanggup berjuang
untuk kepentingan agama. Karena itu ia menjadi sangat dekat dengan Allah sehingga
mendapat gelar Wali’ullah (orang yang sangat diakasihi Allah).

Jumlah wali diangap sembilan (songo) walau sebenarnya lebih dari itu, karena jumlah
sembilan dianggap keramat, selain itu juga untuk menyebarkan nilai-nilai moral ke
segala penjuru. Sehubungan dngan segala penjuru wilayah ini orang jawa mengenal
istilah keblat papat limo pancer. Keblat papat, yaitu utara-timur-selatan-barat,
dilengkapi dengan arah diantaranya berjumlah delapa, ditambah dengan pusatnya
(pancer) menjadi sembilan. Istilah keblat papat limo pancer ini selalu diucapkan oleh
orang yang memimpin suatu kenduri menurut adat Jawa, berbeda dengan apa yang
diucapkan oleh modin atau kaum yang memimpin kenduri dengan warna Islam.[7]

Sembilan wali tersebut ialah[8]:

1. Maulana Malik Ibrahim (sunan Gersik, wafat di Gersik pada tahun 1419)

Sunan Gresik disebut juga "Maulana Maghribi". Dikalangan rakyat kecil beliau
terkenal sebagai ulama yang berbudi luhur dan sangat dermawan. Beliau berperan
menyebarkan Islam di Gresik dan sekitarnya.

2. Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Surabaya.


Dalam berdakwah beliau berusaha membimbing rakyat agar menjalankan
ajaran Islam dengan menghilangkan kebiasaan masyarakat yang bukan ajaran Islam.
Beliau salah seorang yang berjasa mendirikan Masjid Demak dan Kerajaan Demak.

3. Sunan Bonang, (Raden Maulana Makdum Ibrahim)

Beliau berperan menyebarkan agama Islam didaerah Tuban dan Lasem. Dalam
berdakwah beliau menggunakan media gamelan yang disebut bonang, sehingga beliau
dipanggil Sunan Bonang, juga melalui ajaran tasawwuf.

4. Sunan Giri (Raden Paku), putra dari Maulana Iskhak dengan putri Blambangan.

Dalam Penyebaran Islam beliau mendirikan pondok pesantren. Muridnya berasal dari
berbagai penjuru tanah air, misalnya dari Ternate, Tidore, Pulau Bawean, Madura dsb.

5. Sunan Drajad (Raden Qosim) , putra suanan Ampel.

Beliau terkenal sebagai ulama yang besar jiwa sosialnya. Gamelam merupakan media
dakwah yang digunakan. Beliau berperan menyebarkan Islam didaerah Drajat, sekitar
Lamongan.

6. Suanan Kalijaga (Raden Mas Sahid), putra tumenggung Majapahit,

Beliau terkenal sebagai ulama yang berjiwa besar, pandai bergaul disemua
lapisan masyarakat. Wayang kulit adalah media syiar Islam yang beliau gunakan.
Disamping sebagai seorang mubaligh, beliau juga ahli filsafat, budayawan dan
kesenian. Sunan Kalijaga berperan menyebarkan Islam didaerah sekitar Demak.

7. Sunan Kudus (Ja'far Shodiq)

Beliau berperan menyebarkan Islam didaerah Kudus. Beliau seorang wali yang
menguasai ilmu agama Islam, seperti tauhid, fiqih dan Hadist. Menara Kudus adalah
peninggalan beliau yang sangat terkenal.

8. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria putra Sunan Kalijaga berperan menyebarkan Islam didaerah Colo
lereng Gunung Muria. Beliau suka bergaul dengan rakyat jelata sambil berdakwah.

9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).

Beliau adalah cucu Prabu Siliwangi. Beliau berperan menyebarkan Islam di


Banten dan Cirebon. Disamping sebagai ulama beliau juga penglima perang, dan
sebagai raja.
Para wali itu adalah guru-guru agama Islam yang terus menerus berjuang dan
mengabdikan hidupnya untuk kepentingan agama Islam dengan berbagai cara masing-
masing. Jadi peranan wali-wali itu tidak hanya memberikan dakwah islamiyah saja,
tetapi juga sebagai pengembang kebudayaan, sebagai dewan penasehat dan
pendukung raja-raja yang memerintah, serta sebagai arsitek pembangunan masjid-
masjid kuno. Gerakan Islamisasi oleh para wali itu dipusatkan di daerah sepanjang
pantai utara Jawa, mulai dari Banten sampai Blambangan dengan mendirikan pusat-
pusat pengembangan Islam. Setiap kota didirikan masjid-masjid sebagai pusat belajer
agama Islam dan pengatur strategi Islamisasi.

Secara garis besar peranan wali adalah:

1. Dibidang agama sebagai penyebar agama Islam, baik melalui dakwah,


mendirikan pondok pesantren maupun melalui media seni.

2. Di bidang politik, sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam meupun sebagai


penasehat raja-raja Islam, atau sebagai raja.

3. Dibidang seni budaya, berperan sebagai pengembang kebudayaan setempat


yang disesuikan dengan budaya Islam baik melalui akulturasi maupun asimilasi
kebudayaan.

IV. Kesimpulan
A. Teori-Teori Masuknya Islam Di Jawa

Menurut catatan ahli sejarah, Agama Islam masuk ke Pulau Jawa sekitar abad XI
Masehi yang dibawa oleh para pedagang dari Arab dan disebarkan Muballigh dari Pasai
(Aceh Utara).

Adapun yang didatangi pertama oleh Islam di Pulau Jawa yaitu di daerah-daerah pesisir
utara Jawa Timur. Agama yang nampak perkembangannya di pulau Jawa Itu, sejak
datangnya Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang kemudian menjadi pusat penyebaran
Islam di Jawa Timur.

B. Teori-teori penyebaran Islam di Jawa

Penyebaran agama Islam di Jawa melalui :

1. Perdagangan

2. Pernikahan

3. Ajaran Tasawuf
4. Pendidikan

5. Seni Budaya

C. Peranan Walisongo

1. Dibidang agama sebagai penyebar agama Islam, baik melalui dakwah, mendirikan
pondok pesantren maupun melalui media seni.

2. Di bidang politik, sebagai pendukung kerajaan-kerajaan Islam meupun sebagai


penasehat raja-raja Islam, atau sebagai raja.

3. Dibidang seni budaya, berperan sebagai pengembang kebudayaan setempat yang


disesuikan dengan budaya Islam baik melalui akulturasi maupun asimilasi kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai