Anda di halaman 1dari 11

SKI MA KELAS XII : WALISONGO

Agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sumatera, selanjutnya penyiaran agama Islam
berkembang ke pulau-pulau lain di Nusantara. Ketika kekuatan Islam semakin melembaga, berdirilah
kerajaan-kerajaan Islam. Berkat dukungan kerajaan-kerajaan serta upaya gigih dari para ulama, Islam
sampai ke tanah Jawa.
Pada sisi lain ada yang menyatakan penyebaran Islam di Jawa dirintis oleh para saudagar
muslim dari Malaka. Malaka merupakan kerajaan Islam yang mencapai puncak kejayaannya pada
masa pemerintahan Sultan Mansur Syah. Para saudagar muslim pada mulanya perambah daerahdaerah pesisir utara Jawa. Di daerah-daerah ini terdapat beberapa kerajaan kecil yang telah
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Giri. Melalui
kontak perdagangan tersebut, akhirnya masyarakat Jawa mengenal Islam.
A. Nama-nama Walisongo
Walisongo sebagai jantung penyiaran Islam di Jawa. Ajaran-ajaran walisongo memiliki
pengaruh yang besar di kalangan masyarakat Jawa, bahkan kadangkala menyamai pengaruh seorang
raja. Masyarakat jawa memberikan gelar sunan kepada walisongo. Kata Sunan diambil dari kata
susuhunan yang artinya, yang dijunjung tinggi / dijunjung di atas kepala, gelar atau sebutan yang
dipakai para raja. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, Walisongo memiliki nilai kekeramatan dan
kemampuan-kemampuan di luar kelaziman. Walisongo merupakan sembilan ulama yang merupakan
pelopor dan pejuang penyiaran Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Sekalipun masih terdapat
perbedaan pendapat tentang nama-nama Walisongo. Namun yang lazim dikaui sebagai Walisongo
sebagai berikut.
1.

Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik

2.

Raden Rahmat atau Sunan Ampel

3.

Raden Maulana Makhdum Ibrahim

4.

Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga

5.

Raden Paku (Raden Ainul Yakin) atau Sunan Giri

6.

Raden Kosim Syarifuddin atau Sunan Drajat Sedayu

7.

Raden Jafar Sadiq atau Sunan Kudus

8.

Raden Said (Raden Prawoto) atau Sunan Muria

9.

Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati

Proses islamisasi Jawa adalah hasil perjuangan dan kerja keras para walisongo. Proses
islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai, nyaris tanpa konflik baik politik maupun kultural.
Meskipun terdapat konflik, skalanya sangat kecil sehingga tidak mengesankan sebagai perang,
kekerasan, ataupun pemaksaan budaya. Penduduk Jawa menganut Islam dengan sukarela.
Kehadiran walisongo bisa diterima dengan baik oleh masyarakat, karena Walisongo
menerapkan metode dakwah yang akomodatif dan lentur. Kedatangan para wali di tengah-tengah
masyarakat Jawa tidak dipandang sebagai sebuah ancaman. Para wali menggunakan unsur-unsur
budaya lama (Hindu dan Budha) sebagai media dakwah. Dengan sabar sedikit demi sedikit walisongo
memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam unsur-unsur lama yang sudah berkembang. Metode ini
biasa disebut dengan metode sinkretis.
B. Kontribusi Walisongo
Walisongo memiliki pendekatan yang khas dalam melakukan dakwah kepada khalayak. Mereka
mampu memahami secara detail kondisi sosio-kultural masyarakat Jawa. Terdapat beberapa bentuk
budaya lama telah dimodifikasi para wali, misalnya:
a.

Sunan Kalijaga membolehkan pembakaran kemenyan. Semula pembakaran kemenyan menjadi


sarana dalam upacara penyembahan para dewa tetapi oleh Sunan Kalijaga fungsinya diobah sebagai
pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa. Dengan suasana ruangan yang harum itu,
diharapkan do'a dapat dilaksanakan dengan lebih khusyuk .

b.

Sunan Kudus melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus. Larangan ini adalah
bentuk toleransi terhadap adat istiadat serta watak masyarakat setempat yang sebelumnya yang masih
kental dengan agama Hindunya. Dalam keyakinan Hindu, lembu termasuk binatang yang dikeramatkan
dan suci.

c.

Para wali mengadopsi bentuk atap masjid yang bersusun tiga, yang merupakan peninggalan tradisi
lama (Hindu). Namun, para wali memberikan penafsiran baru terhadap bentuk atap susun tersebut.
Bentuk atap itu merupakan melambangkan iman, Islam, dan ihsan.
Apa yang sudah disebutkan merupakan beberapa contoh akomodasi yang dikembangkan
oleh para wali dalam melaksanakan dakwah Islam di Jawa khususnya. Namun demikian
sesungguhnya kontribusi wali songo dalam penyiaran Islam di jawa sangat besar sesuai kapasitas
personal yang dimilikinya.

a.

Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik


Pada akhir abad ke-14, Maulana Malik Ibrahim datang dan mendarat di pantai Jawa Timur
yang disertai beberapa orang kawan dekatnya untuk selanjutnya bermukim di Gresik. Maulana Malik

Ibrahim adalah keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad saw. dan saudara sepupu Raja
Chermen (menurut sebagian pendapat Chermen berasal dari India, namun sebagian lagi menyebutnya
dari Sumatera). Kehadiran Maulana Malik Ibrahim disertai Raja Chermen untuk mengislamkan Raja
Majapahit. Kegiatan dakwah Islam di Jawa dipandang sukses ketika dilakukan oleh Maulana Malik
Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim pada awal dakwahnya menggunakan pendekatan kekeluargaan
dengan menawarkan putrinya untuk diperistri Raja Majapahit. Upaya ini rupanya tidak berhasil, karena
belum sampai tujuan, rombongan terkena serangan penyakit hingga banyak yang meninggal. Namun
demikian tantangan ini rupanya tidak menyurutkan tekad Maulana Malik Ibrahim untuk berdakwah
untuk mengislamkan kerajaan Majapahit.
Pada langkah berikutnya Maulana Malik Ibrahim mengambil jalur pendidikan dengan
mendirikan pesantren. Sistem pendidikan pesantren adalah adaptasi dari bentuk pendidikan biara dan
asrama yang lama dikembangkan pendeta atau biksu dalam agama Hindu dan Budha. Model ini
dinamakan pesantren karena merupakan tempat belajar para santri. Konon kata santri diambil dari
kata shastri (bahasa India), yang berarti orang yang mengetahui dan memahami buku-buku suci
agama Hindu.
Upaya pendidikan di pesantren oleh syekh Maulana Malik Ibrahim dimaksudkan untuk
menampung dan menjawab permasalahan-permasalahan sosial keagamaan serta menghimpun santri.
Usahanya ini tidak mengalami banyak kendala, karena Maulana Malik Ibrahim telah memiliki banyak
pengikut yang setia serta pendanaan dari hasil usaha dagangnya. Dalam kegiatan sehari-hari Maulana
Malik Ibrahim tidak segan-segan membawa para santri untuk bekerja di lahan pertanian seharian
penuh. Kemudian Malam harinya, Wali yang juga terkenal dengan sunan Gresik ini mengajar santri
dengan pelajaran-pelajaran dasar dasar keislaman, khususnya Al-Quran dan Hadits. Karena
kometmen dan konsistensinya dalam mendakwahkan Islam, Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai
Bapak Spiritual Walisongo.
Dalam perjalanann hidupnya, Maulana Malik Ibrahim tetap bermukim di Gresik untuk
menyiarkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya pada tanggal 12 Rabiulawal 822 H, bertepatan dengan
8 April 1419 M. Maulana Malik Ibrahim akhinya lebih dikenan dengan panggilan Sunan Gresik, setelah
meninggal beliau dimakamkan di Perkuburan Gapura Wetan, Gresik. Makamnya banyak diziarahi
masyarakat Jawa hingga sekarang. Sunan Gresik dianggap sebagai penyiar Islam pertama di tanah
Jawa.

b. Raden Rahmat atau Sunan Ampel (Campa, Aceh 1401 Tuban Jawa Timur 1481)

Raden Rahmat adalah putra Sunan Gresik dari istrinya yang bernama Dewi Candrawulan.
Raden Rahmat sebagai penerus perjuangan ayahnya dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Untuk melancarkan misi dakwahnya pada tahap awal, Raden Rahmat membangun pesantren
di Ampel Denta, dekat Surabaya. Pada pesantren yang diasuhnya Raden Rahmat mendidik kaderkader da'i yang kemudian disebar ke seluruh Jawa. Sunan Ampel telah mendidik murid-murid yang
terkenal antara lain Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Syarifudin (Sunan Drajat) yang tak
lain keduanya adalah putra Sunan Ampel sendiri, Maulana Ishak (penyebar Islam di Blambangan),
Raden Paku (Sunan Giri), dan Raden Patah (Sultan Demak),
Raden Rahmat dikenal masyarakat dengan gelaran Sunan Ampel, Raden Rahmat dikenal
sebagai negarawan, tokoh yang mempunyai gagasan dan perencana berdirinya kerajaan Islam
pertama di tanah Jawa. Menurut bukti sejarah Raden Rahmat sebagai orang yang mengukuhkan
Raden Fatah sebagai sultan pertama Kesultanan Demak Bintoro. Pada akhirnya kesultanan Demak
Bintoro menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Kesultanan Demak Bintoro
menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan. Masjid Masjid Demak didirikan pada tahun
1479 yang diprakarsai oleh Raden Rahmat bersama dengan para walisongo.
Raden Rahmat [Sunan Ampel] dikenal tegas dan radikal dalam menyampaikann ajaran Islam,
khususnya dalam bidang akidah. Raden Rahmat sangat mengkhawatirkan adanya penyimpangan di
bidang akidah akibat tradisi masyarakat Jawa, seperti kenduri, slametan, dan sesaji, yang berkembang
di kalangan masyarakat. Sekalipun demikian Raden Rahmat tetap memiliki toleransi, sehingga atas
pertimbangan wali lainnya tradisi itu tetap dibiarkan, sampai akhirnya pada suatu saat masyarakat
mengerti dan menanggalkanya. Karena itu dalam praktiknya, para wali memasukkan nilai-nilai ajaran
Islam ke dalam tradisi-tradisi.
Raden Rahmat [Sunan Ampel] wafat pada tahun 1481. Beliau dimakamkan di Masjid Ampel,
Surabaya. Sampai sekarang makan beliau banyak dikunjungi peziarah dari berbagaai derah diseluruh
pelosok Nusantara.
c.

Maulana Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, (Ampel Denta, Surabaya 1465 Tuban 1525)
Maulana Makhdum Ibrahim adalah putra dari Sunan Ampel dari istri yang bernama Dewi
Candrawati. Maulana Makhdum Ibrahim merupakan sepupu dari Sunan Kalijaga yang banyak dikenal
sebagai pencipta gending pertama.
Sebelum terjun dimedan Dakwah, Maulana Makhdum Ibrahim banyak belajar di Pasai,
kemudian sekembalinya dari Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim mendirikan pesantren di daerah Tuban.
Santri yang belajar pada pesantren Maulana Makhdum Ibrahim, berasal dari penjuru daerah di Tanah
Air. Dalam menjalankan kegiatan dakwahnya Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] mempunyai

keunikan dengan cara merubah nama-nama dewa dengan nama-nama malaikat sebagaimana yang
dikenal dalam Islam. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya persuasif terhadap penganut ajaran Hindu
dan Budha yang telah lama dipeluk sebelumnya .
Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] ] sangat memperhatikan tradisi dan budaya
masyarakat yang telah berkembang. Pada masa itu masyarakat Jawa memiliki kegemaran terhadap
seni pewayangan yang ceritanya diambil dari ajaran hindu dan budha. Melihat kenyataan yang ada,
maka Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] memanfaatkan wayang sebagai media untuk
menyampaikan dakwahnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali dan Sunan Bonang pada khususnya,
berisi ajaran tauhid dan peribadatan. Setiap bait selalu diselingi dengan syahadatain (dua kalimat
syahadat), sehingga kita sekarang mengenal gamelan sekaten, yang merupakan pengucapan
masyarakat Jawa terhadap syahadatain. Salah satu tembang ciptaan Maulana Makhdum Ibrahim
[Sunan Bonang] adalah tembang durma, sejenis macapat yang menggambarkan suasana tegang,
bengis, dan penuh amarah dalam kehidupan dunia yang fana.
Setelah ayah Maulana Makhdum Ibrahim wafat, ia mengadakan musyarawah dengan para wali
untuk membahas estafet kepemimpinan di pesantren milik ayahnya. Hasil musyawarah para wali
mempercayakan kepada Raden Fatah sebagai penerus kepemimpinan di pesantren Ampel Denta.
Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang] memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada
Raden Fatah, yang tak lain adalah putra raja Majapahit yang bernama Prabu Brawijaya V. Pada
perjalanan selanjutnya, Raden Fatah diangkat dan dinobatkan menjadi sultan pertama kerajaan
Demak.
Karya yang berupa catatan-catatan pengajaran Maulana Makhdum Ibrahim [Sunan Bonang]
dikenal dengan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Suluk atau primbon hasil karya
Sunan Bonang berbentuk prosa dalam gaya Jawa Tengah, dan penggunaan kalimat-kalimatnya banyak
sekali dipengaruhi bahasa Arab. Terdapat pula karya lainnya, yaitu Sekar Damarwulan, Primbon
Bonang I dan II, dan Serat Wragul. Karya-karya Maulana Makhdum Ibrahim ini antara lain bisa ditemui
di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Sunan Bonang meninggal pada tahun 1525 dan
dimakamkan di Tuban, daerah pesisir Utara Jawa yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.
d. Raden Mas Syahid atau Sunan Kalijaga (Tuban akhir abad ke-14 - Demak pertengahan abad ke15)
Raden Mas Syahid atau dikenal dengan panggilan Sunan Kalijaga, beliau juga dijuluki Syekh
Malaya. Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta yang menjadi bupati Tuban,
sedangkan ibunya bernama Dewi Nawang Rum. Sebutan Kalijaga menurut sebagian riwayat berasal
dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang artinya pelaksana dan membersihkan. Menurut pendapat

masyarakat Jawa memberikan arti kata qadizaka dengan Kalijaga, yang berarti pemimpin atau
pelaksana yang menegakkan kesucian atau kebersihan .
Raden Mas Syahid [Sunan Kalijaga] dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar,
berpandangan luas, berpikiran tajam, intelek, Cerdas, kreatif, Dinamis serta berasal dari suku Jawa
asli. Dalam menyebarkan misi dakwahnya, Raden Mas Syahid [Sunan Kalijaga] tidak menetap di
suatu daerah. Raden Mas Syahid senantiasa berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, sehingga
wilayah dakwah Sunan Kalijaga sangat luas. Raden Mas Syahid dianggap mampu menerapkan sistem
dakwah yang cerdas dan aktual, banyak orang dari golongan bangsawan dan cendekiawan
memberikan hormat dan simpati terhadapnya. Raden Mas Syahid mempunyai gaya dakwah yang
mudah diterima sehingga Sunan Kalijaga dikenal dan dihormati juga oleh lapisan masyarakat awam.
Metode dakwah yang diterapkan Sunan Kalijaga bisa dengan mudah diterima oleh semua kalangan
masyarakar, mulai rakyat bawah hingga kalangan atas bahkan para penguasa.
Raden Mas Syahid [Sunan Kalijaga] juga terkenal sebagai seorang negarawan dan menjadi
arsitek sistem pemerintahan Jawa. Sistem kabupaten yang berkembang pada masa sekarang dan
telah diterapkan secara nasional sebagai wujud gagasan Sunan Kalijaga. Raden Mas Syahid memiliki
pengaruh yang besar dalam kesultanan Demak Bintoro. Raden Fatah sangat menghormati berbagai
nasihat dan petunjuk Sunan Kalijaga. Dalam struktur pemerintahan Demak, di samping sebagai ulama
dan Da'i Sunan Kalijaga juga menjadi penasihat pribadi Sultan. Dan Atas jasa-jasanya, Raden Fatah
sebagai Sultan Demak memberi hadiah sebidang tanah di sebelah tenggara Demak sebagai desa
perdikan (bebas pajak), yang persembahkan bagi ahli waris dan keturunan Raden Mas Syahid.
Raden Mas Syahid sebagai orang yang paling berjasa menggunakan pendekatan kultural
dalam berdakwah, termasuk di antaranya wayang dan gamelan sebagai media dakwah. Sunan
Kalijaga mengarang berbagai cerita wayang yang islami, khususnya yang bertemakan akhlak atau budi
pekerti. Hobi masyarakat Jawa terhadap wayang dapat dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai media
menyebarkan dakwah Islam.
Disamping itu Sunan Kalijaga juga terkenal sebagai seniman dan amat berjasa dalam seni
suara, seni ukur, kesusastraan seni busana, dan seni pahat. Salah satu hasil karya Sunan Kalijaga
adalah dalam seni batik, corak batik yang diberi motif burung merupakan buah karya Sunan Kalijaga.
Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu Artinya
jagalah dan qila artinya diucapkan dan bila digabungkan maka maksudnya adalah peliharalah
upacanmu sebaik-baiknya, yang menjadi salah satu ajaran etnik Sunan Kalijaga melalui corak batik.
Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid ) meninggal pada pertengahan abad ke-15 dan makamnya
ada di desa Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.

e.

Raden Paku atau Sunan Giri, (Blambangan, pertengahan abad ke-15 awal abad ke-16)
Raden Paku adalah putra dari Syekh Maulana Ishak (murid Sunan Ampel). Raden Paku dan
dikenal dengan sebutan Sunan Giri adalah saudara ipar dari Raden Fatah, dikarenakan istri mereka
bersaudara.
Pada saat ayah Raden Paku mengembara untuk memperdalam ilmu di Pasai, Raden Paku di
bawah asuahan seorang wanita kaya raya yang bernama Nyai Gede Maloka atau Nyai Ageng Tandes.
Setelah Menginjak dewasa, Raden Paku menimba ilmu di Pesantren Ampel Denta (Surabaya) milik
Sunan Ampel . Di sini ia bertemu dan bertaman baik dengan putra Sunan Ampel yang bernama
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Raden Paku [Sunan Giri] mendirikan pesantren di daerah Giri sebagai basis dalam
menyebarkan dakwah Islam. Dan Mayoritas Santrinya yang diasuh berasal dari masyarakat golongan
ekonomi tidak mampu. Dari pesantren milik Sunan Giri ini lahir da'i-da'i yang kemudian mereka
menyiarkan agama Islam ke luar Pulau Jawa, seperti Madura, Ternate, Bawean, Kangean, dan Tidore.
Kemudian dari hasil usaha santri menyiarkan Islam inilah, pesantren Sunan Giri dikenal luas oleh
masyarakat di Tanah Air.
Raden Paku [Sunan Giri] terkenal sebagai seorang pendidik yang mampu menerapkan metode
permainan yang bersifat agamis. Karya- karyanya berupa permainan atau tembang di antaranya Gula
Ganti, Jamuran, Jelungan, Jor, Ilir-ilir, dan Cublak-cublak Suweng. Karya yang lain yaitu Kitab Serat
Wali Sana dan Serat Widyapradana, berisi pengetahuan ilmu faal yang kemudian dikembangkan oleh
R. Ranggawarsita. Sunan Giri juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pemerintahan
Kesultanan Demak. Berbagai masalah atau keputusan penting sering menunggu pertimbangan Sunan
Giri.
Pada saat Sunan Giri hendak melaksanakan ibadah haji bersama Sunan Bonang, keduanya
menyempatkan singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu keimanan dan tasawuf. Pada sebuah kisah
diceritakan bahwa Raden Paku bisa mencapai tingkatan ilmu laduni. Dengan Prestasi yang dicapainya
inilah, Raden Paku juga terkenal dengan panggilan Raden Ainul Yaqin. Sunan Giri meninggal sekitar
awal abad ke-16, makam beliau ada di Bukit Giri, Gresik, sampai sekarag makamnya banyak diziarahi
masyarakat dari berbagai penjuru.

f.

Raden Kosim atau Syarifuddin atau Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya, 1470 Sedayu,
Gresik, pertengahan abad ke-16)
Raden Kosim atau Syarifuddin lebih dikenal dengan panggilan Sunan Drajat. Masyarakat
mengenalnya juga sebagai Sunan Sedayu, karena ia dimakamkan di dekat Kota Sedayu ( kuarang
lebih 30 Km dari Sedayu). Raden Kosim adalah putra Sunan ampel dari istri kedua yang bernama Dewi

Candrawati. Raden Kosim mempunyai enam saudara seayah-seibu, diantaranya Siti Syareat (istri R.
Usman Haji), Siti Mutmainnah (istri R. Muhsin), Siti Sofiah (istri R. Ahmad, Sunan Malaka) dan Raden
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Di samping itu, ia mempunyai dua orang saudara seayah
lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (istri R. Fatah) dan Dewi Murtasimah (istri R. Paku atau Sunan Giri).
Sedangkan istri Sunan Drajat, yaitu Dewi Sifiyah putri Sunan Gunung Jati. (Achmadi Wahid, dkk, 2006,
hal 152)
Raden Kosim [Sunan Drajat] mempunyai andil berdakwah dengan pendekatan kultural. Ia
menciptakan tembang Jawa yang sampai sekarang ini masih banyak disenangi masyarakat, yaitu
tembang Pangkur, dan Cariosipun Jaka Pertaka.
Raden Kosim memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Sunan Drajat
lebih mengedepankan tema-tema kepedulian sosial dan kegotongroyongan dalam aktifitas berdakwah.
Raden Kosim senantiasa memberikan teladan dengan memberi pertolongan kepada kaum lemah.
Sunan Drajat sangat memahami bahwa menyantuni anak yatim dan fakir miskin merupakan sebuah
kewajiban yang diperintahkan.
g. Jafar Sadiq atau Sunan Kudus, (abad ke-15 Kudus 1550)
Jafar Sadiq atau Raden Undung, dikenal dengan panggilan Sunan Kudus, beliau juga dijuluki
Raden Amir Haji sebab ia pernah bertindak sebagai pimpinan Jamaah Haji (Amir).. Dikenal sebagai
seorang pujangga yang luas dan mendalam ilmunya.
Jafar Sadiq [Sunan Kudus] adalah putra Raden Usman Haji yang menyebarkan agama Islam
di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah. Menurut silsilah Sunan Kudus masih keturunan Nabi
Muhammad saw. Dengan silsilah lengkap sebagai berikut: Jafar Sadiq bin R. Usman Haji bin Raja
Pendeta bin Ibrahim al-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini al-Husein bin
Zaini al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayid Husein bin Ali ra. (Achmadi Wahid, dkk, 2006,
hal 153)
Jafar Sadiq [Sunan Kudus] mendapat julukan wali al-ilmi, karena sangat menguasai ilmu-ilmu
agama, terutama tafsir, fikih, usul fikih, tauhid, hadits, serta logika. Para santri yang diasuhnya datang
dari penjuru pelosok di tanah air untuk menuntut ilmu di pesantrennya. Sunan Kudus menyebarkan
dakwahnya di daerah Kudus dan sekitarnya.
Sunan Kudus juga dipercaya sebagai panglima perang Kesultanan Demak. Ia mendapat
kepercaan untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi pemimpin
pemerintahan (bupati) sekaligus pemimpin agama.
Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina. Pada saat berada di Baitul Maqdis, ia
berjasa memberantas penyakit yang banyak menelan korban. Berkat jasanya, Sunan Kudus diberi

ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina. Namun ia mengharapkan hadiah tersebut dikirim ke
Jawa. Oleh amir (penguasa setempat), permintaan itu dikabulkan. Setelah pulang ke Jawa, ia
mendirikan sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549. Masjid inilah yang sampai sekarang
terkenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Kemudian Sunan Kudus mengganti nama daerah
sekitar masjid menjadi Kudus, yang diambil dari nama sebuah kota di Palestina, yaitu Al-Quds.
Jafar Sadiq [Sunan Kudus] dalam melaksanakan dakwah menggunakan pendekatan budaya,
beliau juga memainkan peran sebagai sosok pujangga yang menciptakan berbagai lagu dan cerita
keagamaan. Karyanya yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Kudus
meninggal di Kudus pada tahun 1550, makamnya berada di dalam kompleks Masjid Menara Kudus
dan banyak diziarahi oleh kaum Muslimin dari dari berbagai penjuru di tanah Air.

h. Raden Umar Said atau Sunan Muria (abad ke-15 abad ke-16)
Raden Umar Said dikenal dengan panggilan Sunan Muria, sebab pusat kegiatan dakwah
ataupun makamnya terletak di Gunung Muria (sekitar 18 km sebelah utara Kota Kudus). Beliau adalah
putra Sunan Kalijaga, semasa kecil ia biasa dipanggil R. Prawoto.
Di dalam berdakwah Sunan Muria memiliki keunikan yaitu menjadikan desa-desa terpencil
sebagai medan dakwah Islamnya. Sunan Muria dikenal sebagai wali yang lebih gemar menyendiri,
bertempat tinggal di desa terpencil, dan bergaul dengan rakyat kebanyakan. Sunan Muria memberikan
pengajaran kepada masyarakat di sekitar Gunung Muria dengan mengadakan kursus-kursus bagi para
pedagang, nelayan, ataupun elemen masyarakat kecil lainnya.
Sunan Muria juga merupakan pendukung setia Kesultanan Demak dan ikut andil dalam
pendirian Masjid Demak. Beliau memiliki karya tulis yang masih digemari hingga saat ini, yaitu tembang
sinom dan kinanti. Dalam sejarah tidak diketahui secara persis tahun meninggalnya dan Menurut
perkiraan, Sunan Muria meninggal pada abad ke-16 dan dimakamkan di Bukit Muria, Kudus.
i.

Syarif Hidayatullah atau Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, (wafat: Gunung Jati, Cirebon, 1570)
Syarif Hidayatullah atau Fatahillah dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Beliau adalah
salah seorang dari Walisongo yang banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan agama Islam di
pulau Jawa, khususnya di daerah Jawa Barat. Syarif Hidayatullah dikenal sebagai pendiri Kesultanan
Cirebon dan Banten.
Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Sadjarah Banten menyatakan kedua nama
yaitu Fatahillah dan Nurullah merupakan nama satu orang. Nama aslinya adalah Nurullah, kemudian

dikenal juga dengan nama Syekh Ibnu Maulana. Laporan-laporan perjalanan orang Portugis mengenal
dengan nama Falatehan atau Tagaril.
Nurullah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai.
Penguasaan Portugis atas Malaka pada 1511 dan akhirnya Pasai pada tahun 1521 membuat Nurullah
tidak tinggal lama di Pasai. Dia segera berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah
kembali dari Tanah Suci pada tahun 1524, lalu langsung menuju Demak dan memperistri adik Sultan
Trenggana.
Dengan mendapat dukungan dari Sultan Trenggana, Nurullah berangkat ke Banten untuk
mendirikan sebuah permukiman muslim. Kemudian dari Banten, Nurullah melebarkan pengaruhnya ke
daerah Sunda Kelapa. Di sini, pada tahun 1526 dia berhasil mengusir bangsa Portugis yang hendak
mengadakan kerja sama dengan Raja Pajajaran. Berkat kemenangannya ini, Nurullah mengganti nama
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Di Banten, ia meninggalkan anaknya yang bernama Hasanuddin,
untuk memimpin Banten. Dan Hasanuddin inilah yang dalam sejarah diakui sebagai raja pertama
Kerajaan Banten.
Sunan Gunung Jati meninggal di Cirebon pada tahun 1570 dan usianya diperkiran sekitar 80
tahun. Makamnya terdapat di kompleks pemakaman Wukir Sapta Pangga di Gunung Jati, Desa Astana
Cirebon, Jawa Barat.
C. Teladan Spiritual dan Intelektual
Walisongo telah menunjukan peranan yang sangat berharga dalam menyiarkan Islam di tanah
jawa. Melihat keberhasilan dakwah walisongo, maka sebagai generasi muda Islam, harus dapat
meneladani kepribadianya diantaranya melalui:
1.

Sebagai generasi muda harus senantiasa mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt.,
karena hal itu adalah modal yang paling utama yang harus dimiliki

2.

Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan generasi muda untuk memperdalam penguasaan ilmu,
baik ilmu agama maupun pengetahuan lainnya, sehingga dapat memberikan manfaat baik bagi diri
sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya

3.

Unutuk mendapatkan kemuliaan dihari esok, maka generasi muda harus bersedia berjuang dalam
rangka meninggikan agama Allah, sesuai bidang yang ditekuninya

4.

Mengembangkan jalinan silaturahmi dengan cara-cara yang bijaksana, sehingga akan melahirkan
ukhuwah Islamiyah

5.

Diperlukan keahlian untuk menyampaikan kebenaran dan kebaikan dengan menggunakan cara-cara
yang cerdas dan simpatik, sehingga mudah diterima orang lain yang menjadi sasaran dakwah

6.

Dalam setiap situasi dan keadaan senantiasa menunjukkan kepribadian yang luhur serta
menghindarkan diri dari sifat-sifat yang kurang terpuji. Demikian beberapa sikap yang dapat
diungkapkan, sebagai upaya meneladani kepribadian dan perjuangan Walisongo. Wujudkan sikapsikap tersebut dalam diri dan kepribadianmu.
Lintas peristiwa
Akhir abad ke-14 M
1419 M
1401 1481 M
1479 M
1465 1525 M
Akhir abad ke-14 sampai pertengahan abad ke-15
Pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16
1470 pertengahan abad ke-16
Abad ke-15 1559 M
1500 1550 M
1549 M
Abad ke-15 abad ke-16
1570 M

Maulana Malik Ibrahim datang di pant


Maulana Malik Ibrahim wafat
Sunan Ampel hidup
Wali songo mendirikan Masjid Demak
Sunan Bonang hidup
Sunan Kalijaga Hidup
Sunan Giri hidup
Sunan Drajat hidup
Sunan Kudus hidup
Kerajaan Demak memerintah
Masjid Menara Kudus berdiri
Sunan Muria Hidup
wafatnya Sunan Gunung Jati

Mutiara Hikmah
Orang pesimis adalah orang yang selalu melihat kesulitan di dalam kesempatan, sedangkan orang
optimis adalah orang yang selalu melihat kesempatan atau peluang di dalam kesulitan . ( Watson)
Ikhtisar
1.

Para ulama yang aktif menyebarkan Islam di daerah Jawa dikenal dengan nama Walisongo. Para
walisongo tersebut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.

2.

Para walisongo telah menunjukkan peranannya yang sangat berharga dalam menyebarkan Islam di
Nusantara, maka hal ini dapat diambil teladannya ,baik dari aspek spiritual maupun intelektual bagi
generasi muda.

Anda mungkin juga menyukai