Pangeran Hidayatullah
2. Pangeran Antasari
3. Demang Lehman
4. Tumenggung Surapati
5. Patih Masih
6. Panglima Batur
7. Khatib Dayan
1. Pangeran Hidayatullah
Sultan Hidayatullah Halil illah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman, atau lebih
dikenal sebagai Pangeran Hidayatullah atau Hidayatullah II (lahir di Martapura,1822 –
meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun) adalah salah
seorang pemimpin Perang Banjar dan berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada
tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera
Utama.
Pangeran Hidayatullah adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda
ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya
ke Cianjur. Di sana dia tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan
Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur.
Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.
Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian
konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai
Mangkubumi Kesultanan Banjar yang sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan
kakeknya Sultan Adam.
Pada 9 Oktober 1856, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah
sebagai mangkubumi untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya
Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton
sebagai Sultan Muda.
Pada 18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik
Hindia Belanda dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng
Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan Hidayatulah .
Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah sebagai Sultan Banjar oleh
Kolonel A.J. Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan Siasat menempatkan Sultan
Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah karena
Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka berkaitan dengan kekuasaan di
Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan
ke tambang batubara Pengaron, sehingga harus dijinakkan dengan menempatkan Sultan
pada posisinya sesuai surat wasiat Sultan Adam. Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda
ini ditolak mentah-mentah dan didukung oleh seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.
Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran
Hidayat dihapuskan.[6] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen
Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.[1]
2. Pangeran Antasari
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809– meninggal di Bayan
Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan
adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu
Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang
batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan
dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos
Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai
Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan
pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang
oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng
pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada
pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave
Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“ ...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta
ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)... ”
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun
sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang
tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-
tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu
Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang,
dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan
cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit
Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang
bernama Muhammad Seman.[2]
3. Demang Lehman
4. Tumenggung Surapati
Tommengoeng Soera Pattie (EYD: Tumenggung Surapati) atau Tomongong Suro-
patty/Soero Patti (ejaan Jawa)atau Kiai Dipati Jaya Raja, kemudian bergelar Pangeran
Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat : 1875, Kalimantan Tengah) adalah hoofd van
de Doesson Oeloe, Moerong en Siang (Afdeeling Becompaij en Doesson dalam susunan
pemerintahan Hindia Belanda tahun 1848). Ia merupakan kepala suku Dayak Bakumpai-
Siang yang memihak kepada Pangeran Antasari.Ia menjadi panglima perang dalam Perang
Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar.
Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya,
wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun).
Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin
tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian
diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha.
Ngabe Tuha merupakan wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai. Ngabe (ngabehi)
adalah salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar. Ngabe Tuha mungkin
salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki
lima orang anak yaitu Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan
seorang anak perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena
sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Ajidan (Jidan). Seorang
cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Ajidan, karena
pernikahan tersebut Tumenggung Ajidan dianugerahkan gelar bangsawan Raden Dipati
Mangku Negara.[4]
7. Panglima Wangkang
Panglima Wangkang atau Demang Wangkang gelar Mas Demang
(lahir : Marabahan 1812) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dari
kalangan suku Bakumpai yang mempertahankan Distrik Bakumpai (sekarang Barito
Kuala). Panglima Wangkang merupakan panglima Dayak yang berdarah Banjar. Bapaknya
bernama Kendet (Pambakal Kendet), juga seorang pejuang dan pemimpin suku Bakumpai.
Ibunya bernama Ulan berasal dari Amuntai seorang suku Banjar.
Dalam membicarakan perlawanan di daerah Bakumpai perlu disebut tokoh Demang
Wangkang yang juga berpengaruh. Di Marahaban ia sepakat dengan Tumenggung Surapati
untuk menyerang ibu kota Banjarmasin. Pada tanggal 25 November 1870 ia bersama
pengikutnya sebanyak 500 orang meninggalkan Marahaban menuju Banjarmasin.
Pertempuran terjadi di dalam kota, tetapi karena kekuatana Belanda cukup besar, Demang
Wangkang menarik kembalipasukaannya keluar kota.
Demang Wangkang dan anak buahnya tidak kembali ke tempat pertahanan semula di
Marahaban, tetapi ke Sungai Durrakhman. Tidak berapa lama di situ, pada akhir Desember
1870 datang pasukan Belanda yang kuat, terdiri atas 150 orang serdadu dan 8 orang opsir.
Pasukan Belanda ini sudah mendapat tambahan pasukan bantuan yang di datangkan dari
Surabaya dan pasukan oarng Dayak di bawah pimpinan Suto Ono. Sebelum tiba di
Durrakhman, pasuakan Belanda ini telah datang ke tempat pertahana Deamang Wangkang
semula yaitu di Marahaban, tetapi ternyata kosong. Benteng Demang Wangkang di
Durrakhmandidekati pasukan pemerintah Belanda. Terjadilah pertempuran, dan dalam
pertempuran ini Demang Wangkang menemui ajalnya.[7]
9. Panglima Batur
Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada
tahun 1852 - meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur
53 tahun) adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai dalam Perang Banjar yang
berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan
dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan
Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah
beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan
pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan
sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik,
berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai
Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur
mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah
benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah
pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah
besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing
pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman
tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.[9]
8. Ini hanyalah sebagian tokoh-tokoh dari Perang Banjar. Masih banyak lagi tokoh-
tokoh lain yang tidak tertuliskan di sini, tokoh yang rela berkorban demi
membebeaskan tanah kelahiran dari penjajahan Belanda. Semoga dengan
mengenang jasa-jasa pahlawan, mempelajari jalan hidupnya, dan mewarisi
semangat juangnya kita bisa menjadi generasi penerus bangsa yang hebat dan
membangun negeri menjadi lebih baik.