Anda di halaman 1dari 9

1.

Pangeran Hidayatullah
2. Pangeran Antasari
3. Demang Lehman
4. Tumenggung Surapati
5. Patih Masih
6. Panglima Batur
7. Khatib Dayan

DAFTAR PAHLAWAN PERANG


BANJAR
gusti irwan rusadi 19:38
Share to:
URL
Perang Banjar adalah salah satu perang terlama di Indonesia yaitu, pecah pada tahun 1859
dan berakhir pada tahun 1905. Perang yang terjadi antara penduduk pribumi di Kalimantan
Selatan dengan penjajah Belanda ini berlangsung selama 46 tahun. Dalam ukuran perang
waktu 46 tahun itu waktu yang sangat lama. Tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa
yang gugur dalam perang tersebut, baik itu di pihak pribumi maupun di pihak Belanda.
Selama berlangsungnya Perang Banjar banyak bermunculan tokoh-tokoh pejuang yang
gagah berani melawan para penjajah demi kebebasan tanah kelahiran mereka. Walaupun
banyak dari mereka yang gugur dalam medan perang, tetapi semangat juang mereka patut
kita contoh terutama bagi generasi masa kini.
Memperingati hari pahlawan yang jatuh pada 10 Nopember, berikut saya akan tuliskan 10
daftar tokoh-tokoh pejuang/pahlawan Perang Banjar:

1. Pangeran Hidayatullah
Sultan Hidayatullah Halil illah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman, atau lebih
dikenal sebagai Pangeran Hidayatullah atau Hidayatullah II (lahir di Martapura,1822 –
meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun) adalah salah
seorang pemimpin Perang Banjar dan berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada
tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera
Utama.
Pangeran Hidayatullah adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda
ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya
ke Cianjur. Di sana dia tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan
Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur.
Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.
Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian
konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai
Mangkubumi Kesultanan Banjar yang sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan
kakeknya Sultan Adam.
Pada 9 Oktober 1856, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah
sebagai mangkubumi untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya
Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton
sebagai Sultan Muda.
Pada 18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik
Hindia Belanda dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng
Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan Hidayatulah .
Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah sebagai Sultan Banjar oleh
Kolonel A.J. Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan Siasat menempatkan Sultan
Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah karena
Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka berkaitan dengan kekuasaan di
Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan
ke tambang batubara Pengaron, sehingga harus dijinakkan dengan menempatkan Sultan
pada posisinya sesuai surat wasiat Sultan Adam. Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda
ini ditolak mentah-mentah dan didukung oleh seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.
Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran
Hidayat dihapuskan.[6] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen
Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.[1]
2. Pangeran Antasari
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809– meninggal di Bayan
Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan
adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu
Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang
batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan
dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos
Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai
Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan
pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang
oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus
pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng
pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada
pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave
Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

“ ...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta
ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)... ”
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun
sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang
tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-
tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu
Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang,
dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan
cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit
Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang
bernama Muhammad Seman.[2]

3. Demang Lehman

Demang Lehman, kemudian bergelar Kiai Adipati Mangku Negara (lahir


di Barabai tahun 1832 - meninggal di Martapura tanggal 27 Februari 1864 pada umur 32
tahun) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.Dia terlahir dengan
nama Idies. Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang sebuah
lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula merupakan
seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena
kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran
Hidayatullah II, dia diangkat menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam
Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah II).Demang Lehman memegang pusaka kerajaan
Banjar yaitu Keris Singkir dan sebuah tombak bernama Kalibelah yang berasal
dari Sumbawa.
Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri almarhum Sultan Adam, telah
menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar diserahkan
kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat
mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan
kepada Tumenggung Jalil (Kiai Adipati Anom Dinding Raja) berupa 20 pucuk senapan.
Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat
yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal
Sulil di daerah Barito (Tanah Dusun), Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah
Laut.
Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan
Pangeran Antasari yang berahsil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan
menyerbu pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh
pasukan Antasri pada tanggal 28 April 1859. Di samping itu, kawan-kawan seperjuangan
Pangeran Antasari juga telah mengadakan penyerangan terhadap pasukan-pasukan
Belanda yang dijumpai. Pada saat pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di
Pengaron, Kiai Demang Leman dengan pasukannya telah bergerak disekitar Riam Kiwa
dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun pada
tanggal 30 Juni 1859, kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di istana
Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 bersama Haji Buyasin dan Kiai Langlang, Kiai
Demang Leman berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio.
Pada tanggal 27 September 1859 pertempuran terjadi juga di benteng Gunung Lawak yang
dipertahankan oleh Kiai Demang Leman dan kawan-kawan. Dalam pertempuran ini
kekuatan pasukan Kiai Demang Leman ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan
musuh sehingga ia terpaksa mengundurkan diri. Karena rakyat berkali-kali melakukan
penyerangan gerilya, Belanda setalah beberapa waktu lamanya menduduki benteng
tersebut, kemudian merusak dan meninggalkannya. Sewaktu meninggalkan benteng,
pasukan Belanda mendapat serangan dari pasukan Kiai Demang Leman yang masih aktif
melakukan perang gerilya di daerah sekitarnya.[3]

4. Tumenggung Surapati
Tommengoeng Soera Pattie (EYD: Tumenggung Surapati) atau Tomongong Suro-
patty/Soero Patti (ejaan Jawa)atau Kiai Dipati Jaya Raja, kemudian bergelar Pangeran
Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat : 1875, Kalimantan Tengah) adalah hoofd van
de Doesson Oeloe, Moerong en Siang (Afdeeling Becompaij en Doesson dalam susunan
pemerintahan Hindia Belanda tahun 1848). Ia merupakan kepala suku Dayak Bakumpai-
Siang yang memihak kepada Pangeran Antasari.Ia menjadi panglima perang dalam Perang
Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar.
Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya,
wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun).
Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin
tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian
diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha.
Ngabe Tuha merupakan wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai. Ngabe (ngabehi)
adalah salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar. Ngabe Tuha mungkin
salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki
lima orang anak yaitu Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan
seorang anak perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena
sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Ajidan (Jidan). Seorang
cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Ajidan, karena
pernikahan tersebut Tumenggung Ajidan dianugerahkan gelar bangsawan Raden Dipati
Mangku Negara.[4]

5. Tumenggung Abdul Jalil


Nama lahirnya Jalil, kemudian bergelar Tumenggung Macan Negara(nama
populer Tumenggung Jalil),, kemudian bergelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja (lahir
di Kampung Palimbangan, Hulu Sungai Utara tahun 1840 – meninggal
di Benteng Tundakan, Balangan tanggal 24 September 1861 pada umur 21 tahun)
adalah panglima perangdalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di Banua Lima,
pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil merupakan seorang jaba (Banjar: bukan berdarah
bangsawan). Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu
berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di
Desa Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal
sebagai Kaminting Pidakan (Banjar: jagoan/jawara).
Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal perang Admiral van
Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam
dipimpin oleh Mayor Gustave Verspijck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio, dan
seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena rintangan
yang banyak di sungai. Pertempuran terjadi di sekitar Masjid Amuntai. Dari masjid inilah
keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu dengan hanya
bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan Allahu
Akbar menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang berhadapanpun terjadi.
Semangat membela agama dan berjuang melawan orang kafir dan mati dalam perang itu
adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur
melawan penjajah Belanda. Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat di bawah
pimpinan Matia atau Mathiyassin, pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani
mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang menjadi syuhada dalam
pertempuran itu, 44 orang di antaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah penduduk
ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan
rakyat Amuntai mempertahankan agama. Di antara kampung yang musnah adalah
Kampung Karias, dan di antara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah
Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru
terletak di pertemuan sungai Balangan dan sungai Tabalong. Pertempuran ini terjadi
pada 9 Februari 1860. Pasukan-pasukan Pangeran Hidayatullah yang tersebar di
sekitar Barabai bergabung dengan pasukan Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan
serdadu Belanda di sekitar Pantai Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi
di Lampihong di antara serdadu Belanda yang menjadi korban adalah Kapten De Jong.
Pertempuran ini menyebabkan serdadu Belanda mundur. Bantuan serdadu Belanda
kemudian diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan
memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu Belanda
menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati. Sesampai di daerah
Tabalong, terjadi pertempuran dengan pasukan Tumenggung Jalil. Perlawanan rakyat
cukup sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah
Kelua dan Amuntai. Baru pada bulan Juni 1860 Belanda berhasil menduduki daerah
Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan Pangeran Hidayatullah,
pasukan Tumenggung Jalil dan pasukan Pangeran Antasari dengan Tumenggung
Surapati yang berpusat di Tanah Dusun.[5]
6. Penghulu Rasyid
Penghulu Rasyid (lahir di desa Telaga Itar tahun 1815 – meninggal di desa Banua
Lawas, 15 Desember 1861 pada umur 46 tahun) adalah salah seorang di antara
sejumlah ulama Islam yang bangkit bergerak berjuang mengangkat senjata melawan
penjajah Belanda dalam Perang Banjar. Ayah dari Penghulu Rasyid bernama Ma’ali adalah
penduduk kampung Telaga Itar. Rasyid diperkirakan lahir sekitar tahun 1815. Pada waktu
terjadi Perang Banjar dan perjuangan yang menghangat di seluruh wilayah Banua
Lima tahun 1860 sampai tahun 1865, Rasyid berumur 45 tahun. Sejak kecil ia mempunyai
ciri-ciri kepemimpinan dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Dengan pengetahuan
agama Islam yang dimilikinya disertai dengan amaliah yang kuat, Rasyid pun dijadikan
sebagai pemimpin agama dengan sebutan Penghulu. Selanjutnya ia lantas dikenal sebagai
Penghulu Rasyid.
Sebagai seorang pimpinan agama, Penghulu Rasyid tergerak jiwa patriotismenya untuk
membela negara Kesultanan Banjar yang dijajah Belanda. Penghulu Rasyid dan para
ulama lainnya mengorbankan semangat juang, sebagai gerakan Baratib Baamal. Gerakan
Baratib Baamal ini meliputi hampir seluruh Banua Lima dengan pusat kegiatan di masjid
dan langgar (surau).[6]

7. Panglima Wangkang
Panglima Wangkang atau Demang Wangkang gelar Mas Demang
(lahir : Marabahan 1812) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dari
kalangan suku Bakumpai yang mempertahankan Distrik Bakumpai (sekarang Barito
Kuala). Panglima Wangkang merupakan panglima Dayak yang berdarah Banjar. Bapaknya
bernama Kendet (Pambakal Kendet), juga seorang pejuang dan pemimpin suku Bakumpai.
Ibunya bernama Ulan berasal dari Amuntai seorang suku Banjar.
Dalam membicarakan perlawanan di daerah Bakumpai perlu disebut tokoh Demang
Wangkang yang juga berpengaruh. Di Marahaban ia sepakat dengan Tumenggung Surapati
untuk menyerang ibu kota Banjarmasin. Pada tanggal 25 November 1870 ia bersama
pengikutnya sebanyak 500 orang meninggalkan Marahaban menuju Banjarmasin.
Pertempuran terjadi di dalam kota, tetapi karena kekuatana Belanda cukup besar, Demang
Wangkang menarik kembalipasukaannya keluar kota.
Demang Wangkang dan anak buahnya tidak kembali ke tempat pertahanan semula di
Marahaban, tetapi ke Sungai Durrakhman. Tidak berapa lama di situ, pada akhir Desember
1870 datang pasukan Belanda yang kuat, terdiri atas 150 orang serdadu dan 8 orang opsir.
Pasukan Belanda ini sudah mendapat tambahan pasukan bantuan yang di datangkan dari
Surabaya dan pasukan oarng Dayak di bawah pimpinan Suto Ono. Sebelum tiba di
Durrakhman, pasuakan Belanda ini telah datang ke tempat pertahana Deamang Wangkang
semula yaitu di Marahaban, tetapi ternyata kosong. Benteng Demang Wangkang di
Durrakhmandidekati pasukan pemerintah Belanda. Terjadilah pertempuran, dan dalam
pertempuran ini Demang Wangkang menemui ajalnya.[7]

8. Sultan Muhammad Seman


Sultan Muhammad Seman adalah Sultan Banjar dalam pemerintahan pada masa 1862—
1905 (versi lain 1875-1905). Nama lahirnya Gusti Matseman. Ia adalah putra
dari Pangeran Antasari yang disebut Pagustian (Kesultanan Banjar yang Baru) sebagai
penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Di zaman Sultan Muhammad
Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, di hulu sungai Barito. Sultan
Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai
Fatimah adalah saudara perempuan dari Tumenggung Surapati, panglima Dayak (Siang)
dalam Perang Barito. Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar yang berdarah
Dayak dari pihak ibunya.
Gusti Matseman pada bagian akhir bulan Agustus 1883 beroperasi di daerah Dusun Hulu.
Ia dengan pasukannya kemudian bergerak ke Telok Mayang dan berkali-kali mengadakan
serangan terhadap pos Belanda di Muara Teweh. Sementara itu, Pangeran Perbatasari,
menantu Gusti Matseman, mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Pahu, daerah
Kutai. Kekalahan yang di deritanya menyebabkan ia tertangkap pada tahun 1885. Pada
tahun 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning yang
sedianya akan menjadi tempat gerakan Beratib Beramal. Sultan Muhammad Seman
meneruskan perjuangan mengusir penjajah Belanda dari tanah Banjar. Sultan beserta
pejuang lainnya seperti Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan
beberapa pejuang lainnya terus menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh,
Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan di sepanjang sungai Barito. Pada
pertempuran di Benteng Baras Kuning, Sultan Muhammad Seman gugur sebagai syuhada,
setelah mempertahankan benteng dari serbuan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal
24 Januari 1905. Demikian pula perlawanan Tumenggung Gamar di Lok Tunggul tidak
berhasil sehingga ia dengan pasukannya terpaksa mengundurka diri ke Tanah Bambu. Di
tempat ini pertempuran terjadi lagi.[8]

9. Panglima Batur
Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada
tahun 1852 - meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur
53 tahun) adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai dalam Perang Banjar yang
berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan
dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan
Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah
beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan
pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan
sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik,
berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai
Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur
mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah
benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah
pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah
besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing
pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman
tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.[9]

10. Ratu Zaleha


Ratu Zaleha/Djaleha (lahir: Muara Lawung, 1880; wafat:Banjarmasin 24 September
1953)adalah puteri dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari yang gigih
berjuang mengusir Belanda dalam Perang Banjar melanjutkan perjuangan Pangeran
Antasari. Ratu Zaleha berjuang bersama wanita-wanita suku Dayak yang sudah memeluk
Islam seperti Bulan Jihad atau Wulan Djihad, Illen Masidah dan lain-lain. Ratu Zaleha
(nama lahir Gusti Zaleha) merupakan tokoh emansipasi wanita di Kalimantan.
Gugurnya Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing,
tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang dimulai dengan
penyerangan terhadap benteng dan pertambangan batu bara Oranje Nassau di Pengaron,
Banjar tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905.
Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya terpaksa
menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kesultanan Banjar sebagai tawanan
perang hidup dalam pengasingan sampai hayat mereka berakhir. Salah satu diantaranya
adalah Gusti Muhammad Arsyad, menantu Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad
Arsyad dibuang ke Buitenzorg (sekarang Kota Bogor) pada tanggal 1 Agustus 1904.[10]

8. Ini hanyalah sebagian tokoh-tokoh dari Perang Banjar. Masih banyak lagi tokoh-
tokoh lain yang tidak tertuliskan di sini, tokoh yang rela berkorban demi
membebeaskan tanah kelahiran dari penjajahan Belanda. Semoga dengan
mengenang jasa-jasa pahlawan, mempelajari jalan hidupnya, dan mewarisi
semangat juangnya kita bisa menjadi generasi penerus bangsa yang hebat dan
membangun negeri menjadi lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai