Anda di halaman 1dari 14

1.

Pendahuluan
Sebagai bagian dari produk manusia, karya sastra merupakan potret dan dokumentasi yang

memuat peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia. Dalam karya sastra, tidak jarang

sastrawan memasukkan unsur politik, sosial, agama, budaya, dan sejarah. Hal tersebut

merupakan bentuk apresiasi dan pengabadian sastrawan terhadap peristiwa atau keadaan

yang penting serta menarik untuk diabadikan dalam karyanya. Selain itu, pembaca tentu

diharapkan dapat mengetahui budaya dan keadaan sosial serta peristiwa penting yang

berkembang dalam suatu masyarakat di sebuah negara. Namun, dalam karya sastra unsur-

unsur tersebut digabungkan dengan cerita fiksi yang menarik sehingga pembaca akan lebih

mudah mengetahui kandungan unsur seperti sejarah, politik, dan sosial yang terkandung di

dalamnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Daiches (1964) mengacu pada Aristoteles

yang melihat “sastra sebagai suatu karya yang menyampaikan suatu jenis pengetahuan

yang tidak bisa disampaikan dengan cara lain, yakni suatu cara yang memberikan

kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.”

Salah satu karya sastra yang memasukkan unsur sejarah, politik, dan sosial masyarakat

Indonesia khususnya Jakarta pada masa penjajahan adalah novel Batavia 1936 karya Widya

W Harun. Penulis mempunyai pendapat bahwa novel Batavia 1936 merupakan novel yang

menarik karena terdapat unsur sejarah, politik, dan sosial yang terjadi di masa penjajahan.

Penulis juga beranggapan bahwa dengan membaca novel Batavia 1936, pembaca akan

belajar mengenai tempat-tempat menarik dan memiliki nilai sejarah yang ada di Jakarta.

Dalam makalah ini, penulis akan menganalisis unsur intrinsik novel Batavia 1936. Penulis

akan memaparkan tokoh, alur cerita, tema, amanat, dan latar dalam novel tersebut. Penulis

juga akan melihat keterkaitan unsur intrinsik dengan tema yang diangkat serta kepaduan

cerita dalam novel tersebut.

Sebelum melihat unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Batavia 1936, penulis akan

memaparkan ringkasan cerita secara garis besar tanpa mengurangi inti dari cerita tersebut.
2. Ringkasan cerita novel Batavia 1936

Di Batavia pada tahun 1936 terdapat Pasar Malam Gambir (sekarang Pekan Raya Jakarta).

Di dalam Pasar Malam Gambir banyak sekali orang berjualan termasuk segerombolan anak

muda yang menyewa satu unit toko. Kirani, Syam, Husein, Tomo, Poltak, dan Prawira

adalah segerombolan anak muda yang sedang melakukan aksi pergerakan dengan

membuat sebuah Koran Fajar. Mereka sengaja menyewa satu unit toko sebagai siasat

untuk menyebarkan Koran Fajaragar tidak dicurigai oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Kirani Rijkaard adalah seorang Indo, tetapi Syam, Husein, Tomo, Poltak, dan Prawira adalah

seorang pribumi. Kirani bertemu Syam, Husein, Tomo, Poltak, dan Prawira pada saat

bersekolah di MULO (sekolah lanjutan tingkat pertama untuk golongan Eropa). Pergerakan

ini timbul atas dasar pemikiran antikolonialisme yang sejalan dan mendapat bantuan dana

dari ayah Kirani yang seorang Indo bernama Ibrahim Rijkaard. Pada saat Koran Fajar sudah

terbitan ketiga, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan razia besar-besaran di dalam Pasar

Malam Gambir karena mencurigai adanya pergerakan. Mereka menjadi khawatir dan

melakukan siasat agar Koran Fajar bisa keluar dari Pasar Malam Gambir untuk

disebarluaskan. Pada saat melakukan siasat, Kirani melihat Syam dihadang dan dibawa ke

dalam sebuah mobil. Mereka mengira Syam ditangkap polisi. Belakangan diketahui bahwa

Syam tidak ditangkap polisi, tetapi diselamatkan oleh Hans van Deventer, seorang Indo,

agar Syam tidak terkena razia.

Di lain waktu, Kirani Rijkaard bertemu Hans van Deventer di sebuah acara ulang tahun anak

keluarga Speelman. Di dalam acara ulang tahun tersebut terdapat juga Kirana Rijkaard,

saudara Kirani Rijkaard. Kirana sangat mengagumi Hans dan menceritakan hal tersebut

pada ibunya. Kirana memang dekat dengan ibunya, sedangkan Kirani cenderung dekat

dengan ayahnya. Kirani bertemu kembali dengan Hans van Deventer ketika pada saat rapat

dengan kelompok pergerakan, Syam menghadirkan Hans. Belakangan diketahui Hans

merupakan seorang pengarang kumpulan syair Akoe Anak Indonesia di dalam

Koran Fajar dan juga seorang dokter. Pertemuan demi pertemuan dilakukan guna

membahas Koran Fajar yang telah dicurigai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sementara

itu, perasaan saling mengagumi telah bersemayam di dalam hati Kirani dan Hans.
Hans menanyakan perihal keluarga Rijkaard kepada ayahnya, Philip van Deventer. Namun,

pertanyaan Hans terhadap keluarga Rijkaard diartikan oleh Philip van Deventer bahwa Hans

menyukai dan hendak menikah dengan anak dari keluarga Rijkaard. Philip van Deventer

langsung menghubungi Ibrahim Rijkaard untuk menyampaikan maksud melamar anak gadis

keluarga Rijkaard. Ibrahim Rijkaard dan istri sempat kebingungan karena mereka

mempunyai dua anak gadis. Namun, kebingungan itu seketika sirna tatkala istri Ibrahim

Rijkaard ingat bahwa Kirana pernah bercerita tentang Hans van Deventer. Pada saat

lamaran, Hans sangat kaget mengetahui hendak melamar Kirana dan begitu juga Kirani.

Hans dan Kirani sangat terpukul atas peristiwa lamaran ini. Hans tidak menginginkan

lamarannya ditujukan kepada Kirana. Di sisi lain, hal tersebut sudah terjadi dan Hans tidak

ingin melukai hati Kirana. Oleh karena itu, Hans menjadi dokter sukarelawan ke daerah yang

terserang penyakit malaria agar dirinya terserang penyakit malaria sehingga pernikahan

tidak akan terjadi.

Di saat yang tidak terduga menjelang hari pernikahan, rumah keluarga Rijkaard mengalami

perampokan. Peristiwa perampokan tersebut menyebabkan istri Ibrahim Rijkaard meninggal

dan Kirana Rijkaard tidak sadarkan diri. Kirana divonis oleh dokter tidak dapat sadarkan diri

dan tinggal menunggu ajal menjemput. Sementara itu, Hans yang terbaring lemas terkena

malaria yang mengetahui peristiwa yang menimpa Kirana, mempunyai permintaan

ditempatkan di satu kamar dengan Kirana. Hal tersebut disebabkan rasa bersalah yang

dirasakan Hans kepada Kirana. Namun, kepercayaan keluarga Rijkaard yang tidak

mengizinkan orang yang bukan muhrim ditempatkan di satu kamar membuat Philip van

Deventer dan Ibrahim Rijkaard melangsungkan pernikahan agar permintaan Hans dapat

terpenuhi. Pernikahan akhirnya tetap dilangsungkan dengan suasana yang mengharukan

walaupun di akhir cerita Philip van Deventer dan Ibrahim Rijkaard mengetahui kesalahan

dalam pelamaran yang sebenarnya ditujukan Hans adalah Kirani.

3. Analisis Unsur Intrinsik Novel Batavia 1936

“Kalau cerita rekaan merupakan suatu sistem, maka subsistem yang terpenting di dalamnya

adalah alur, tema, dan tokoh” (Culler, 1975:192). Dari pendapat Culler dapat diketahui
bahwa sebuah karya sastra berupa novel harus terdiri dari alur, tema, dan tokoh. Tidak

hanya itu, sebuah novel juga harus mempunyai unsur-unsur seperti latar dan amanat untuk

mendukung penguatan cerita di dalam novel tersebut. Unsur-unsur seperti tokoh, alur, latar,

tema, dan amanat biasanya disebut sebagai unsur intrinsik dalam novel. Hal ini disebabkan

unsur-unsur tersebut merupakan unsur yang terdapat di dalam novel. Jika unsur tersebut

terdapat di luar novel maka biasanya disebut unsur ekstrinsik. Namun, yang akan dibahas

dalam makalah ini adalah unsur intrinsik novel Batavia 1936.

3.1 Tokoh

Istilah tokoh menunjuk pada orang atau pelaku pada suatu cerita atau karya sastra. Tokoh

menjadikan suatu cerita rekaan menjadi hidup karena tidak akan mungkin ada cerita rekaan

tanpa adanya tokoh yang diceritakan. “Tokoh adalah individu rekaan yang akan mengalami

peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa di dalam suatu cerita. Melalui tokoh-tokoh

peristiwa dalam suatu cerita dapat terjalin karena peristiwa atau kejadian yang terjadi

merupakan hasil dari hubungan para tokoh.” (Sudjiman, 1992:23)

Di dalam novel Batavia 1936 terdapat tokoh sentral dan tokoh bawahan. “Tokoh sentral

adalah tokoh yang memegang peran pimpinan” (Sudjiman, 1986:61), sedangkan tokoh

bawahan adalah “tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi

kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung kedudukan tokoh

sentral.” (Grimes, 1975:43)

3.1.1 Tokoh Sentral

Tokoh sentral di dalam novel Batavia 1936 adalah Kirani Rijkaard. Penulis memilih tokoh

sentral Kirani Rijkaard karena adanya keterlibatan tokoh di dalam peristiwa-peristiwa yang

membangun cerita. Kirani adalah seorang Indo. Ayahnya bernama Ibrahim Rijkaard seorang

Indo dan Ibunya bernama Hilalliah binti Hasan seorang pribumi. Kirani adalah seorang gadis

cantik dan pintar serta mendukung antikolonialisme. “Pergerakan Syam disokong kuat oleh

Kirani, seorang gadis cantik bernalar cerdas lagi kaya. Adalah Kirani pula yang bersiasat

pada ayahnya, tuan Ibrahim, agar Prawira dapat menyewa toko yang berpintu ruang

tersembunyi itu.” (Batavia 1936, 2009:7-8)


Dari kutipan tersebut dapat terlihat bahwa Kirani ikut melakukan pergerakan untuk

menentang kolonialisme. Kecantikan dan kecerdasannya dituliskan pula oleh pengarang

untuk menggambarkan kepribadian yang dimiliki oleh Kirani. Tidak hanya itu, pengarang

juga menggambarkan kekayaan yang dimiliki oleh Kirani dengan memaparkan bahwa ayah

Kirani, Ibrahim Rijkaard, yang dapat menyewa toko di Pasar Malam Gambir untuk

melakukan pergerakan menyebarkan Koran Fajar.

Kirani digambarkan pula tidak dekat dengan ibunya, Hilalliah. Kirani cenderung dekat

dengan ayahnya, Ibrahim Rijkaard. Kedekatan Kirani dan Ibrahim Rijkaard terjalin karena

kesamaan minat mengenai politik, pergerakan dan sastra. “Senyatanya, Hilalliah dan Kirani

memang jarang berbincang, bukan lantaran bermusuhan, melainkan karena minat yang

berbeda, sehingga seolah menjauhkan keakraban ibu dan anak ini. Minat Kirani pada dunia

politik dan pergerakan juga sastra jauh bertolak belakang dengan minat Hilalliah.” (hlm.20)

Dari kutipan tersebut dapat terlihat bahwa tidak dekatnya hubungan Hilalliah dan Kirani

menyebabkan sebuah kesalahpahaman. Kesalahpahaman tersebut muncul ketika Philip van

Deventer menghubungi Ibrahim Rijkaard bermaksud melamar anak gadis keluarga Rijkaard.

Namun, Ibrahim Rijkaard sempat binggung karena dia mempunyai dua orang gadis. Akibat

ketidakdekatan hubungan Hilalliah dan Kirani menyebabkan kedekataan Kirani dengan

Hans tidak diketahui oleh Hilalliah. Oleh sebab itu, Hilalliah langsung berpikir bahwa Hans

van Deventer hendak melamar Kirana karena Kirana yang menceritakan perihal perkenalan

dengan Hans van Deventer.

3.1.2 Tokoh Bawahan

Selain tokoh sentral, di dalam novel Batavia 1936 juga terdapat tokoh bawahan, yaitu Hans

van Deventer, Kirana Rijkaard, Ibrahim Rijkaard, dan Hilalliah Rijkaard. Hans van Deventer

adalah seorang dokter keturunan Indo. Hans juga merupakan pengarang kumpulan

syair Akoe Anak Indonesia dalam Koran Fajar terbitan Kirani dan teman-temannya.

“Teman-teman, kalian semua tahu adanya Hanafi-sekarang. Ya. Dia Dokter Hans van

Deventer yang sudah kalian kenal.(kepada Hans) Oh ya Hans, mereka sebenarnya sudah

tahu engkau. Ingat ketika engkau membawaku dengan mobilmu dua hari yang lalu? Mereka
melihatnya. Mereka mengira engkau orang suruhan polisi untuk menangkapku. Dua hari ini

pikiran mereka dipenuhi oleh persangkaan bahwa aku mendekam di tahanan, dan itu

didakwa karena engkau.” (hlm.77)

Dari kutipan tersebut dapat terlihat bahwa Hanafi adalah nama samaran Dokter Hans van

Deventer dalam Koran Fajar terbitan Kirani dan teman-temannya. Dari kutipan tersebut juga

terlihat hubungan Hans van Deventer dengan Kirani Rijkaard. Hans membawa Syam pada

saat berada di Pasar Malam Gambir ke dalam mobilnya untuk menyelamatkan Syam agar

tidak terkena razia polisi Pemerintah Kolonial Belanda. Penyelamatan Syam dimaksudkan

juga untuk menyelamatkan dirinya agar tidak terkena kasus pergerakan karena Hans

merupakan seorang Indo yang mendapat kedudukan di kalangan Eropa. Hal ini

menggambarkan bahwa Hans van Deventer mempunyai pemikiran antikolonialisme dan

memiliki jiwa nasionalisme terhadap Indonesia.

Di samping itu, Hans mempunyai sifat tidak terbuka, kurang berani, dan rapuh. Hal tersebut

terlihat dari kutipan berikut:

“Philip merasai tubuh Hans begitu dingin. Baju Hans sudah basah dengan peluh dingin yang

mengucur deras tanpa henti. Dibalikkannya tubuh Hans, dan terlihatlah olehnya, muka Hans

yang memucat serupa mayat. Ditepuk-tepuknya muka anaknya itu sembari berujar dengan

rasa khawatir dan panik.” (hlm.227)

Kutipan tersebut memperlihatkan kondisi Hans setelah mendatangi kediaman keluarga

Rijkaard untuk melakukan lamaran. Pada saat acara lamaran, Hans yang kaget mengetahui

bukan Kirani yang dilamar tidak berbuat apapun. Hans hanya diam dan tetap mengikuti

acara tersebut hingga akhir. Hal ini memperlihatkan sifat Hans yang tidak terbuka dan tidak

berani mengungkapkan perasaannya di depan umum. Keadaan Hans yang langsung lemah

akibat beban mental yang ditanggungnya setelah acara lamaran memperlihatkan

pembaca bahwa Hans adalah seorang yang mudah rapuh walaupun Hans seorang laki-laki.

Kirana Rijkaard adalah saudara Kirani Rijkaard. Kirana mempunyai sifat lemah lembut,

anggun, dan cantik. “Kirana banyak menuruni zahir ayahnya, keanggunannya menurun dari
ibunya. Kelembutan hati dan kebaikan budi mengimbuhi pola perilakunya yang anggun lagi

meneduhkan.” (hlm.29)

Selain itu, Kirana lebih cenderung dekat dan terbuka dengan Ibunya, Hilalliah Rijkaard.

“Di dalam kamar, Kirana secara terbuka bercerita tentang perkenalannya dengan Dokter van

Deventer. Memang mereka berdua, ibu dan anak ini, telah terbiasa terbuka dalam hal

semacam ini, tapi tidak bagi Kirani. Kirani malas menceritakan persoalan lelaki. Selalu saja

ia menghindar jikalau ibunya mulai memancing hal-hal serupa ini.” (hlm.66)

Dari kutipan tersebut dapat terlihat bahwa Kirana lebih terbuka dengan Hilalliah daripada

Kirani. Hal tersebut yang menjadi awal kesalahpahaman lamaran yang diajukan oleh

keluarga van Deventer. Philip van Deventer menghubungi Ibrahim Rijkaard bermaksud

melamar anak gadis keluarga Rijkaard. Namun, Ibrahim Rijkaard sempat binggung karena

dia mempunyai dua orang gadis. Kesalahpahaman ini muncul karena hanya Kirana yang

menceritakan perihal Hans van Deventer kepada Hilalliah. Ibrahim dan Hilalliah langsung

mengambil kesimpulan bahwa Hans van Deventer hendak melamar Kirana karena hanya

Kirana yang bercerita dan berkenalan dengan Hans.

Ibrahim Rijkaard merupakan ayah dari Kirani dan Kirana Rijkaard. Ibrahim Rijkaard adalah

seorang Indo yang sangat tampan. “Dari sisi zahir, Bram dianugerahi Tuhan wajah yang

sangat tampan. Meski ia keturunan ketiga dari pernikahan campuran garis Eropanya masih

sangat tegas terlihat. Kakeknya seorang Mestizo-putra seorang ibu pribumi dan ayah

berkulit putih.” (hlm.24)

Ibrahim Rijkaard mempunyai sifat tidak sabar dan kurang teliti. “Nah itulah masalahnya,

abang tak menanyainya. Sebabnya tuan Deventer pun tak menyebutkannya. Ia hanya

menerangkan bahwasanya putranya itu menjadi tergila-gila pada putri kita kala bertemu di

acara ulang tahun putri keluraga Speelman.” (hlm.126)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa setelah mendapat kabar dari Philip van Deventer yang

hendak melamar gadis keluarga Rijkaard, Ibrahim Rijkaard langsung tergesa-gesa pulang

dan mengabarkan hal ini kepada istrinya di rumah. Setelah mengutarakan hal tersebut

kepada Hilalliah, Ibrahim baru tersadar bahwa ia tidak menanyakan lamaran itu ditujukan
kepada siapa karena ia mempunyai dua orang gadis. Hal tersebut baru disadari setelah

Hilalliah menanyakan hal tersebut kepada Ibrahim Rijkaard. Ibrahim Rijkaard terlampau

senang mendapat kabar keluarga van Deventer hendak melamar. Kesalahpahaman

bermula dari hal ini.

Hilalliah Rijkaard adalah istri dari Ibrahim Rijkaard, seorang pribumi. Hilalliah juga

merupakan ibu dari Kirani Rijkaard dan Kirana Rijkaard. Hilallliah mempunyai paras yang

cantik serta menawan setiap hati pria yang melihatnya.

“Laku kakek buyutnya hingga ayahnya diturunkan Bram. Ia pun menikahi seorang wanita

pribumi. Dia adalah Hilalliah binti Hasan, gadis cantik nan elok kesayangan keluarga.

Hilalliah, putri saudagar dan tuan tanah kaya keturunan Batavia-Arab, Haji Hasan.

Kecantikannya kala dulu konon tersiar melalui pewartaan mulut ke mulut hingga penjuru

Batavia. Banyak pemuda dan bandot tua yang tertawan hati untuk merebut perhatiannya,

tak sedikit pula berani terang-terangan melamar, tapi hati Hilalliah hanya untuk Bram

seorang.” (hlm.29)

Dari kutipan tersebut terlihat kecantikan yang dimiliki Hilalliah. Kecantikan Hilalliah menurun

kepada Kirana dan Kirani Rijkaard. Oleh sebab itu, tidak heran bahwa perkawinan Ibrahim

Rijkaard, seorang Indo, yang sangat tampan dengan Hilalliah yang sangat cantik

menghasilkan anak gadis yang sangat cantik pula.

Hilalliah mempunyai sifat terlalu gegabah. “Kirana! Kirana cerita berkenalan seorang

pemuda yang sepertinya menarik hatinya. Namanya Hans…Dokter Hans.” (hlm.126)

Dari kutipan tersebut dapat terlihat bahwa Hilalliah terlalu gegabah dalam menyimpulkan

sesuatu. Hilalliah langsung mempunyai pikiran bahwa Hans van Deventer hendak melamar

Kirana karena hanya Kirana yang pernah bercerita berkenalan dengan Hans van Deventer.

Sikap Hilalliah ini menyebabkan kesalahpahaman lamaran. Sikap kurang hati-hati dan

terlalu cepat mengambil kesimpulan ini menyebabkan kesalahan lamaran yang dituju oleh

Hans van Deventer.


3.2 Alur

Alur pada novel Batavia 1936 memperlihatkan cerita kronologis atau berurutan dari waktu ke

waktu dengan diselingi sorot balik. “Sorot balik adalah urutan kronologis peristiwa-peristiwa

yang disajikan di dalam karya sastra di sela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya,

maka terjadilah apa yang disebut alih balik atau sorot balik” (Sudjiman, 1986:3). Sorot balik

yang ditampilkan adalah peristiwa yang memperlihatkan sebab terjadinya peristiwa yang

sedang terjadi. Dengan adanya sorot balik ini, pembaca akan lebih memahami cerita secara

utuh. Misalnya, kedekatan Kirani dengan Ibrahim dan Hilalliah dengan Kirana.

Ketidakdekatan Kirani dan Hilalliah menyebabkan tidak adanya keterbukaan dalam diri

Kirani kepada Hilalliah sehingga Hilalliah tidak mengetahui bahwa Kirani yang dekat dengan

Hans.

“Bram terpaksa berbagi pengasuhan anak dengan Hilalliah, istrinya, karena untuk beberapa

waktu lamanya istrinya tersebut harus membawa Kirana yang sedang sakit cacar

mengungsi ke rumah peristirahatan mereka di Buitenzorg. Untuk menghindari penularan

cacar kepada yang lain, terutama Kirani, Kirana harus dirawat jauh dari rumah. Tentu saja

pilihan siapa yang mendampingi perawatan Kirana tak lain adalah ibunya sendiri, tak

mungkin Bram.” (hlm.23)

Dari peristiwa sorot balik yang ditampilkan pengarang, maka pembaca dapat mengetahui

sebab ketidakdekatan Kirani dengan Hilalliah di samping tidak ada kesamaan minat yang

menyebabkan kesalahpahaman lamaran yang ditujukan oleh keluarga Rijkaard. Novel ini

dibuka dengan menampilkan peristiwa yang sedang terjadi. Setelah peristiwa yang sedang

terjadi telah diceritakan, barulah penulis menampilkan sorot balik agar pembaca mengetahui

keterkaitan peristiwa yang sedang terjadi di dalam cerita.

3.3 Tema dan Amanat

“Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel”

(Nurgiyantoro, 2000:70). Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan

sebelumnya oleh pengarang yang diperlukan untuk mengembangkan sebuah cerita.

Berdasarkan teori tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa tema dalam novel Batavia
1936 adalah pergerakan pemuda menentang kolonialisme. Penulis memilih tema tersebut

karena di dalam novel Batavia 1936memperlihatkan semangat pemuda dan keturunan

Indonesia menentang kolonialisme. Semangat pemuda dan keturunan Indonesia untuk

menentang kolonialisme terlihat dalam perbuatan yang dilakukan Kirani, Syam, Husein,

Tomo, Poltak, dan Prawira dengan menerbitkan Koran Fajar yang berisikan artikel maupun

syair mengenai menentang kolonialisme dan menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa

Indonesia. Dari perbuatan tersebut, Koran Fajar menjadi ancaman Pemerintah Kolonial

Belanda sehingga semua orang yang terlibat di dalam penerbitan Koran Fajar menjadi

buronan polisi. Tidak hanya itu, peristiwa bertemunya Kirani dan Hans juga disebabkan oleh

pergerakan ini. Jadi, peristiwa pergerakan ini yang menghubungkan semua tokoh cerita.

Amanat yang dapat diambil dari novel Batavia 1936 adalah pesan bahwa setiap orang harus

bersikap terbuka sehingga tidak terjadi kesalahan komunikasi. Pesan yang memperlihatkan

hal tersebut adalah ketika Kirani tidak menceritakan kedekatannya dengan Hans kepada

Hilalliah. Terlihat pula ketika Ibrahim Rijkaard tidak menanyakan langsung kepada Philip van

Deventer siapa yang hendak dituju untuk dilamar karena keluarga Rijkaard mempunyai dua

orang gadis. Kemudian ketika Ibrahim dan Hilalliah langsung menyimpulkan sendiri tujuan

lamaran keluarga van Deventer merupakan tindakan yang tidak mengedepankan

keterbukaan sehingga terjadinya kesalahan tujuan lamaran yang berbuntut panjang di dalam

cerita. Novel ini juga mengajarkan pembaca bahwa setiap orang harus mempunyai sifat

berani untuk membela yang benar dan mengambil sikap. Hal ini dimaksudkan agar

pembaca tidak mengalami kondisi yang serupa dengan tokoh yang ada di dalam novel ini.

Sikap berani ditunjukkan oleh tindakan Kirani, Syam, Husein, Tomo, Poltak, dan Prawira

dengan menerbitkan Koran Fajar yang berisikan artikel maupun syair mengenai menentang

kolonialisme dan menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Pesan agar

orang mempunyai sifat berani mengambil sikap tidak ditunjukkan oleh sikap Hans yang tidak

menyela acara lamaran dan menyatakan langsung dihadapan keluarga Rijkaard bahwa

sebenarnya Kirani yang dimaksud untuk dilamar.

3.4 Latar
Latar atau setting menyangkut tempat, waktu, dan situasi yang mendukung dalam suatu

cerita. Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2000: 216) “latar atau setting adalah landas tumpu,

menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.” Dalam bagian ini, penulis akan membahas

latar berdasarkan waktu, suasana, dan tempat. Menurut penulis, latar waktu yang

ditampilkan dalam novel ini adalah pada tahun 1936 sesuai dengan judul dari novel Batavia

1936. “Dan, bertambah lagi kecemasan mereka tatkala para pemuda-pemudi Hindia

mengikrarkan sumpah pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, beberapa tahun silam.”

(hlm.5)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tahun 1928 merupakan beberapa tahun yang jaraknya

tidak jauh dari tahun dalam cerita. Ini berarti bahwa latar waktu yang ada dalam cerita tidak

akan jauh-jauh dari tahun 1928. Menurut penulis, 1936 merupakan tahun yang tidak jauh

dari tahun 1928. Penulis mengambil kutipan tersebut karena hanya kutipan tersebut yang

memperlihatkan tahun. Dari tindakan pergerakan yang gencar dilakukan oleh para pemuda

juga memperlihatkan tahun sebelum Indonesia merdeka dan setelah Sumpah Pemuda.

Tahun 1936 merupakan tahun yang pas menggambarkan latar waktu dalam cerita.

Suasana yang terlihat dalam novel Batavia 1936 adalah tegang dan sedih. Kedua suasana

ini sering muncul di awal maupun di akhir cerita. Kondisi tegang diperlihatkan pada saat

polisi melakukan razia di Pasar Malam Gambir. Kirani dan teman-temannya tegang karena

mereka harus membawa Koran Fajar yang dicurigai polisi keluar dari Pasar Malam

Gambir. Tiba-tiba Syam dibawa oleh seorang Indo masuk ke dalam mobil. Kirani dan

teman-teman mengira Syam ditangkap polisi. Kondisi sedih terlihat pada saat Hans van

Deventer menceritakan kisah mengenai syair yang dibuatnya pada Koran Fajar kepada

Kirani. Hans menceritakan hubungan yang tidak dekat dengan Phlip van Deventer.

Kemudian Hans menceritakan mengenai ibunya yang telah meninggal. Pada saat Hans

menceritakan segala hal yang pernah dialaminya membuat suasana sedih.


Latar tempat yang akan dipaparkan dalam makalah ini adalah tempat yang mempunyai

keterkaitan dengan tema yang diangkat. Tempat yang dipilih penulis adalah Pasar Malam

Gambir, rumah Tante Joice, dan Wilhelmina Park.

Pasar Malam Gambir adalah tempat Kirani, Syam, Husein, Tomo, Poltak, dan Prawira

membuat Koran Fajar untuk melakukan aksi pergerakan untuk menentang kolonialisme.

“Pada permulaannya, gerakan mereka disuarakan melalui percetakan selebaran-selebaran

saja. Belakangan mereka menerbitkan sebuah Koran yang dinamai Fajar. Sudah dua kali

Koran Fajar terbit, dan untuk yang kedua kalinya beroplah cukup besar, tak kurang dari

5.000 eksemplar. Jumlah sebanyak itu membutuhkan waktu seminggu untuk

menghabiskannya. Untuk harga, mereka tak mematok angka nominal tinggi, sekadar cukup

untuk mengganti ongkos cetak. Koran ini tentu tak berizin pemerintah, sehingga ilegal.

Karena itu, penyebarannya harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pasar Malam

Gambir menjadi tempat yang baik untuk menyebarkan Koran Fajar.” (hlm.9)

Pasar Malam Gambir menjadi tempat yang baik untuk menyebarkan Koran Fajarkarena

Pasar Malam Gambir merupakan tempat berkumpulnya para penjual dan pembeli dari

segala penjuru yang mengitari ibukota Hindia. Jadi, dengan mencetak dan menyebarkan

Koran Fajar di Pasar Malam Gambir menjadi tindakan yang efektif. Hal ini disebabkan

Koran Fajar akan langsung dapat tersebar ke segala penjuru yang mengitari ibukota Hindia

tanpa harus melakukan perjalanan. Keefektifan penyebaran Koran Fajar juga terlihat dalam

razia yang dilakukan polisi Hindia Belanda karena mencurigai adanya pergerakan. Perasaan

curiga polisi Hindia Belanda mempunyai arti bahwa Koran Fajar bukan merupakan

pergerakan yang asal dan mempunyai pengaruh di kalangan masyarakat.

Rumah Tante Joice adalah tempat pertemuan kembali Hans van Deventer dengan Kirani

Rijkaard. Tante Joice adalah istri orang yang mempunyai pangkat tinggi di Kepolisian

Hindia. Kirani berkunjung ke rumah Tante Joice untuk mencari tahu mengenai Syam yang

disangka Kirani ditangkap polisi. Kirani hanya ingin mengetahui kepastian keadaan Syam.

Namun, kunjungan Kirani membuat dirinya bertemu kembali dengan Hans van Deventer,

seorang yang membawa Syam ke dalam mobilnya. “Sungguh Hans sangat menarik.

Tapi…Ia musuh.” (hlm.39)


Dari kutipan tersebut terlihat bahwa sebenarnya Kirani tertarik dengan Hans van Deventer,

tetapi Kirani teringat dengan peristiwa di Pasar Malam Gambir. Hal tersebut menyebabkan

Kirani tidak jadi mengagumi Hans. Sikap yang ditunjukkan Kirani memperlihatkan sikap yang

membenci segala hal yang berhubungan dengan kolonialisme. Kirani merupakan gadis yang

menentang kolonialisme walaupun dirinya keturunan Belanda. Namun, jika sudah

menyangkut pergerakan dirinya dengan teman-temannya, Kirani akan merasa tidak nyaman

dengan orang tersebut.

Wilhelmina Park adalah tempat yang Kirani ajukan untuk bertemu dengan Hans. Pertemuan

itu dibuat untuk mengajarkan Kirani cara membuat syair yang bagus seperti syair yang

dibuat oleh Hans. “Jangan di sana. Akan banyak orang yang akan melihat nantinya. Tak

ingin aku menjadi pergunjingan orang-orang Menteng. Bagaimana kalau di Wilhelmina Park,

besok pukul tiga pas?” (hlm.89)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Kirani meminta Hans untuk mengajarkan dirinya

membuat syair. Mulai dari peristiwa ini terjadi pergeseran. Pergeseran yang dimaksudkan

oleh penulis adalah cerita yang sudah merambah dalam hal percintaan. Pada saat berada

di Wilhelmina Park, Hans menceritakan pengalamannya membuat syair Akoe Anak

Indonesia kepada Kirani. Cerita pengalaman membuat syair membawa Hans menceritakan

pula masa lalunya kepada Kirani.

4. Penutup

Novel Batavia 1936 merupakan sebuah karya sastra sejarah. Pengarang memasukkan unsur

sejarah di dalam cerita. Unsur sejarah tersebut dapat terlihat dari tempat-tempat yang

digunakan oleh pengarang. Misalnya, Pasar Malam Gambir, Wilhelmina Park, Burgemeester

Bisschoplein, dan Centrale Burgelijke Ziekenhuis. Tempat-tempat tersebut mempunyai nilai-nilai

sejarah Jakarta. Bahkan, tempat-tempat tersebut masih ada hingga sekarang, tetapi nama

telah berubah sejak Indonesia merdeka. Pergantian nama tempat tersebut disebabkan

nama tempat-tempat tersebut mengandung unsur Belanda. Unsur sejarah merupakan

bagian yang penting dalam membangun jalannya cerita dalam novel tersebut.
Tokoh-tokoh dalam novel Batavia 1936 saling berkaitan satu sama lain. Tokoh juga

dihubungkan dengan latar sejarah. Misalnya, perkenalan Hans dan Kirani disebabkan oleh

pergerakan yang dilakukan oleh Kirani dan teman-temannya. Hans merupakan salah satu

pengarang artikel dalam Koran Fajar tersebut. Dari hal tersebut terlihat keterkaitan antara

tokoh Kirani dan Hans melalui tindakan pergerakan yang dilakukan Kirani dan teman-

temannya. Namun, tidak semua tokoh dihubungkan dengan latar sejarah.

Dalam segi alur, novel Batavia 1936 mempunyai alur secara kronologis dengan adanya sorot

balik. Sorot balik yang diperlihatkan pengarang membuat pembaca mengetahui sebab

akibat peristiwa yang terjadi. Jika dikaitkan dengan tema yang diangkat, novel Batavia

1936 mempunyai kejanggalan. Tema yang diangkat adalah pergerakan pemuda menentang

kolonialisme. Seharusnya alur cerita menceritakan pergerakan yang telah dilakukan oleh

Kirani dan teman-temannya. Namun, di tengah cerita, pergerakan Kirani dan teman-

temannya tidak lagi dibahas. Di tengah cerita pengarang malah menceritakan kisah

percintaan Hans dan Kirani yang salah dialamatkan. Begitu pula di akhir cerita, pengarang

mengakhiri cerita dengan memberikan akhir cerita cinta Hans dan Kirani. Pergerakan yang

dilakukan Kirani dan teman-temannya yang dicurigai oleh pihak polisi Belanda seolah hilang

tanpa penyelesaian akhir.

Menurut penulis, kisah percintaan Hans dan Kirani yang salah dialamatkan boleh saja

dikisahkan dalam novel, tetapi seharusnya pengarang tidak melupakan tema pergerakan

yang dilakukan oleh Kirani dan teman-temannya. Cerita akan lebih bagus jika pergerakan

yang dilakukan oleh Kirani dan teman-temannya juga menemui penyelesaian di akhir cerita.

5. Daftar Pustaka

Harun, Widya W. 2009. Batavia 1936. Jakarta: Penerbit Republika.

Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wahyudi, Ibnu. et. al. 2003. Membaca Sastra. Depok: Indonesiatera.

Anda mungkin juga menyukai