Anda di halaman 1dari 3

Perang Banjar

Bentheim Teklenburg atas nama Belanda secara sepihak menobatkan Pangeran Tamjidillah II sebagai
Sultan Banjar di Martapura pada 3 November 1857.

Pangeran Tamjidillah II merupakan anak dari istri selir tertua mendiang Sultan Adam. Pengangkatan
secara sepihak ini menimbulkan protes dari istana. Yang dianggap paling berhak menjadi sultan adalah
Pangeran Hidayatullah II.

Setelah dinobatkan, Sultan Tamjidillah II melakukan penghapusan hak-hak istimewa kepada saudara-
saudaranya, yakni Pangeran Hidayatullah II dan Pangeran Anom.

Sultan Tamjidillah II menganggap tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam yang dikantongi Pangeran
Hidayatullah II. Bahkan, Pangeran Anom dibuang ke Bandung.

Gerakan protes terhadap penobatan Sultan Tamjidillah II bermunculan. Dari pedalaman Kalimantan,
gerakan kini dipelopori oleh Panembahan Muning atau Aling.
Aling dulu terkenal sebagai perompak.

Garis hidup Aling berubah setelah mengabdi kepada Sultan Adam di Kesultanan Banjar. Di akhir masa
pengabdiannya, Aling ditugaskan mengurusi perkebunan milik kesultanan di pedalaman.

Aling mendapat firasat bahwa yang berhak mengampu takhta Kesultanan Banjar adalah Pangeran
Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah II. Pangeran Antasari adalah keturunan dari Sultan
Muhammadillah, penguasa Kesultanan Banjar periode 1759-1761. Aksi yang dipimpin Aling dikenal
dengan nama Gerakan Datu Muning, berpusat di Kembayau atau Tambai Mekah, sebuah desa yang
berada di tepi Sungai Muning, Kalimantan Selatan.

Pangeran Antasari datang ke Kembayau atas undangan Aling. Selain mendapat dukungan dari Aling dan
pengikutnya, Pangeran Antasari juga memperoleh sokongan dari banyak pihak.

Beberapa pihak yang mendukung tersebut di antaranya adalah Kesultanan Pasir dan Kesultanan Kutai
Kartanegara dari Kalimantan Timur serta Tumenggung Surapati yang memimpin orang-orang Dayak.
Pada 25 April 1859, pasukan Pangeran Antasari menyerang kawasan tambang batu bara di wilayah
Pengaron, dilanjutkan dengan serbuan orang-orang Muning di bawah komando Panembahan Aling dan
puteranya, Sultan Kuning.

Pasukan Muning berhasil membakar kawasan tambang dan pemukiman Belanda. Mereka juga melakukan
penyerangan di perkebunan milik Belanda di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal.

Rangkaian kejadian inilah yang menjadi pemicu meletusnya Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran
Hidayatullah II dan Pangeran Antasari.

Strategi yang diterapkan adalah perang gerilya. Pangeran Hidayatullah II dan Pangeran Antasari
mendirikan pemerintahan di pedalaman dengan dukungan dari orang-orang Banjar dan Dayak.
Pangeran Antasari berhasil menyatukan Banjar dan Dayak dengan spirit perlawanan terhadap penjajah.

Helius Sjamsuddin dalam bukunya mengungkapkan, semangat perlawanan dari persatuan rakyat Banjar
dan Dayak diikat dengan relasi kekeluargaan dan kekerabatan melalui pernikahan sebagai sarana
pemersatu dan solidaritas untuk memerangi Belanda.

Akibat peperangan ini, pemerintahan Kesultanan Banjar menjadi semakin kacau. Belanda terpaksa
meminta Sultan Tamjidillah II untuk meletakkan takhtanya.

Pada 25 Juni 1859, secara resmi Sultan Tamjidillah II mengundurkan diri dan menyerahkan singgasana
Kesultanan Banjar kepada Belanda. Belanda kemudian mengasingkan Tamjidillah II ke Bogor.

Belanda menawarkan kepada Pangeran Hidayatullah II untuk menduduki takhta Banjar. Namun, tawaran
tersebut ditolak mentah-mentah karena Pangeran Hidayatullah II tidak ingin menjadi boneka Belanda.

Pangeran Hidayatullah II kemudian dinobatkan sebagai Sultan Banjar oleh para pengikutnya pada
September 1859 di Amuntai.
Belanda murka dan mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar pada 11 Juni 1860.

Pangeran Hidayatullah II yang dibantu oleh pengikut setianya, Demang Lehman, terus melancarkan
perlawanan secara gerilya. Begitu pula dengan Pangeran Antasari.

Belanda mengerahkan seluruh pasukannya untuk memadamkan perlawanan tersebut. Hingga akhirnya,
Pangeran Hidayatullah II terdesak dan ditangkap Belanda pada 28 Februari 1862.

Pangeran Hidayatullah II bersama anggota keluarganya kemudian diasingkan oleh Belanda ke Cianjur,
Jawa Barat.

Sepeninggal Pangeran Hidayatullah II, tulis Ahmad Basuni dalam buku Pangeran Antasari: Pahlawan
Kemerdekaan Nasional dari Kalimantan (1986), rakyat Banjar dan Dayak menabalkan Pangeran Antasari
sebagai Sultan Banjar pada 14 Maret 1862. Pangeran Antasari melanjutkan perjuangan menghadapi
Belanda yang mendatangkan pasukan bantuan dari Batavia. Di tengah perlawanan gerilya tersebut,
Pangeran Antasari jatuh sakit. Ia terserang penyakit cacar dan paru-paru hingga akhirnya wafat pada 11
Oktober 1862.

Perjuangan melawan Belanda diteruskan oleh putra Pangeran Antasari yang kemudian dinobatkan sebagai
pemimpin Banjar dengan gelar Sultan Muhammad Seman, dibantu oleh beberapa tokoh pejuang lainnya
seperti Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung Durrahman.

Kendati begitu, perlawanan ini tidak sebesar saat dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah II dan Pangeran
Antasari meskipun masih berlangsung hingga awal abad ke-20.

Kathy MacKinnon dalam The Ecology of Kalimantan (1996) mencatat, Sultan Muhammad Seman gugur
karena ditembak pasukan Belanda dalam pertempuran pada 24 Januari 1905.

Perang Banjar berakhir setelah tokoh-tokoh pejuang yang tersisa berguguran, ditangkap, juga banyak
yang diasingkan ke luar pulau. Selanjutnya, wilayah Kesultanan Banjar dikuasai pemerintah kolonial
Hindia Belanda.

Anda mungkin juga menyukai