Anda di halaman 1dari 17

Sultan Mahmud Badaruddin II

Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang, 1767 - Ternate, 26 September 1852)


adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode
(1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan
Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan
adalah Raden Hasan Pangeran Ratu.

Semenjak ditunjuk menjadi Sultan Kerajaan Palembang menggantikan ayahnya


Sultan Muhammad Baha'uddin, Sultan Mahmud Badaruddin melakukan
perlawanan terhadap Inggris dan Belanda.

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran


melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng.
Ketika Batavia berhasil diduduki pada tahun 1811, Sultan Mahmud justru
berhasil membebaskan Palembang dari cengkeraman Belanda
padatanggal14Mei1811.

Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang


dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. Demi menjalin kontrak
dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang.

Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor
dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).

Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang
sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles
berusaha membujuk Sultan Mahmud Badaruddin II untuk mengusir Belanda dari
Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, Sultan Mahmud Badaruddin II membalas surat Raffles yang
intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan
antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan
Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana
pihak Palembang lebih diuntungkan.

Melalui perjuangan panjang dalam membebaskan tanah Palembang dari tangan


Belanda, namun akhirnya pada tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke
tangan Belanda.

Pada Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, Sultan mahmud


badarudin II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan
Batavia. Dari Batavia sultan mahmud badarudin II dan keluarganya diasingkan
ke Ternate oleh belanda dan sampai akhir hayatnya 26September1852.

Sebagian Keluarga Sultan karena tidak mau ditangkap, mengasingkan diri ke


daerah Marga Sembilan yang di kenal sekarang sebagai Kabupaten Ogan
Komering Ilir dan berasimilasi dengan penduduk di Desa yang dilewati Mulai
dari Pampangan sampai ke Marga Selapan Kecamatan Tulung Selapan Panglima
Radja Batu Api sampai meninggal disemayamkan Di Tulung Selapan. ( selama
35 tahun tinggal di Ternate dan sketsa tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan
Ratu Mahmud Badaruddin / Sultan Mahmud Badaruddin II disimpan oleh Sultan
Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).
Pangeran Diponegoro
adalah salah satu pahlawan yang berjasa bagi Indonesia. lahir di Yogyakarta, 11
November 1785-meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada
umur 69 tahun] ialah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia.
Makamnya berada di MakassarIa seorang keturunan dari Keraton Yogyakarta
bersama dengan rakyat Indonesia ia melawan pemerintahan Belanda yang
dimulai pada tahun 1825 hingga 1830. Lima tahun berperang dengan Belanda
telah memakan korban jiwa dan kerugian yang cukup banyak dialami oleh dua
pihak oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa perang tersebut merupakan
perang dengan korban jiwa paling besar di Indonesia.

Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November di Yogyakarta. Ia adalah


putra pertama dari Hamengkubuwana III yang pada saat itu menjabat sebagai
Raja ke tiga di Kesultanan Yogyakarya. Ibunya bernama R.A.Mangkarawati,
seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan.

Pangeran Diponegoro mempunyai nama asli, yaitu Bendara Raden Mas


Antowirya. Ia pernah menolak tawaran dari Sultan Hamengkuwuana III, untuk
mengangkatnya sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta. Salah satu alasannya
menolak tawaran tersebut adalah mengingat ibunya bukanlah permaisuri (istri
raja yang pertama).

Walaupun merupakan keturunan ningrat, Diponegoro lebih suka pada


kehidupan yang merakyat sehingga membuatnya lebih suka tinggal di Tegalrejo
yang merupakan tempat tinggal dari eyang buyut putrinya, permaisuri dari
Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo daripada di Keraton.

Perang Diponegoro (1825-1830)


Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah
dialami oleh Belanda selama menjajah di Indonesia. Peperangan ini melibatkan
seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Salah
faktor kuat yang mempengaruhi terjadinya Perang Diponegoro adalah saat
pihak Belanda memasang patok di tanak milik Diponegoro di desa Tegalrejo.
Setelah kekalahan Belanda dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah
Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan
keuangan mereka dengan memberlakukan pajak di wilayah jajahannya,
termasuk di Hindia Belanda (Indonesia). Belanda juga melakukan monopoli
perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak dan praktek monopoli
tersebut yang dilakukan oleh Belanda membuat rakyat Indonesia menderita.

Tidak hanya itu, untuk memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda


mulai berusaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, salah satu di
antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV
wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun,
diangkat sebagai Raja Kesultanan sehingga membuat pemerintahan pada
waktu itu dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda.

Pangeran Diponegoro memulai pemberontakannya terhadap keraton karena


Patih Danuredjo sangat mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda.
Belanda banyak mengubah susunan tata cara kehidupan di Keraton. Sejak saat
itulah pemberontakan dilakukan oleh Diponegoro karena ia menganggap bahwa
Belanda tidak menghargai adat istiadat setempat dan menarik pajak kepada
masyarakat setempat untuk kepentingan pihak Belanda.

Perang yang terjadi antara pribumi yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro
dengan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral De Kock. Perlawanan
yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro untuk menentang Belanda mendapat
dukungan dari rakyat. Atas saran dari pamannya, ia membuat sebuah markas
di Gua Selarong. Semenjak saat itu, ia mulai menyatakan untuk perang
melawan Belanda. Perang Sabil itulah nama perlawanan dari Diponegoro yang
mempunyai maksud "perlawanan menghadapi kaum kafir".

Perang Sabil membawa pengaruh sampai luas hingga ke wilayah Jawa. Salah
satu seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan
pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangannya mendapat dukungan dari
Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.

Belanda juga melakukan sayembara untuk penangkapan Pangeran Diponegoro,


yang dimana siapa yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan diberi
hadiah oleh Belanda mengingat saat peperangan yang dimulai pada tahun
1825 hingga 1830 tersebut beliau sering berpindah-pindah tempat.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro


dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.

Pada tanggal 28 Maret 1830, saat Jenderal De Kock membuat sebuah


perundingan yang dimana ia meminta agar langsung bertemu dengan
Pangeran Diponegoro di Magelang, namun dalam perundingan tersebut
Belanda sudah menyiapkan rencana untuk menangkap Diponegoro. Beliau
menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggotanya
dilepaskan.

Diponegoro mengalami pengasingan selama beberapa kali mulai dari Ungaran,


Batavia, Manado, hingga Makassar. Pada tanggal 8 Januari 1855, beliau
meninggal dunia di Benteng Rotterdam. Selama berlangsungnya peperangan
ini Belanda mengalami kerugian dari segi finansial dan pasukan yang gugur
saat berperang.
Kapitan Pattimura

Biografi. Beliau merupakan salah satu pahlawan nasional yang sangat gigih
melawan penjajah Belanda.
Mengenai profil Pattimura, Beliau memiliki nama asli Thomas Matulessy ada
juga yang mengatakan nama aslinya adalah Ahmad Lussy.

Beliau lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku pada tanggal 8 Juni 1783. Dan
meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun. Ia
adalah putra Frans Matulesi dengan Fransina Silahoi.

Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali
terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama
Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang
terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di
negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah
pemberian Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara,
leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa
(makhluk agamis).

Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran


mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu,
tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka
takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian


khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai
sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka
orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang
dianggap memiliki kharisma.

Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian


mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan
adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan
"kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam


militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata "Maluku" berasal dari bahasa
Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa
itu banyaknya kerajaan

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak


Belanda dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak
atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi
Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11
memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan
dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur.

Dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika
pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon
harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas
militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam
pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali kolonial
Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat.

Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan


kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit
mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada waktu
pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817

Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai
pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat
kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur
strategi perang bersama pembantunya.

Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam


melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur
pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng
pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja
Patih maupun rakyat biasa.

Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan


kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang
Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer
yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah
seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di


darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para
penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina
dan Ulupaha.

Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan


benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah
Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.

Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu
muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh
pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat ditangkap.

Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda di sebuah Rumah di


daerah Siri Sori. Pattimura kemudian diadili di Pengadilan Kolonial Belanda
dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.

Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang


gantungan, Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja
sama dengan pemerintah kolonial Belanda, namun Pattimura menolaknya.

Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada


tanggal 16 Desember 1817 di depan Benteng Victoria di kota Ambon. Untuk
jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan
Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.

Pangeran Antasari

Beliau lahir di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan


Selatan, 1797 atau 1809 dan meninggal di Bayan Begok, Kabupaten Barito
Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun. Ia
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Sebagai seorang pangeran, ia
merasa prihatin menyaksikan kesultanan Banjar yang ricuh karena campur
tangan Belanda pada kesultanan semakin besar. Gerakan-gerakan rakyat timbul
di pedalaman Banjar. Pangeran Antasari diutus menyelidiki gerakan-gerakan
rakyat yang sedang bergolak.

Ia meninggal karena penyakit paru-paru dan cacar di pedalaman sungai Barito,


Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan
kembali di Taman Makam Perang Banjar Banjarmasin Utara, Banjarmasin.
Perjuangan beliau dilanjutkan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman dan
mangkubumi Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said) serta cucunya
Pangeran Perbatasari (Sultan Muda) danRatuZaleha.

Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan


tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak
dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan
yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari
adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad
Aminullah. Ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari
mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari/Ratu Sultan yang
menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu
sebelum memberi keturunan. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai
pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan,
Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang
berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.

Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera


Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur,
maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.
Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai
sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya
sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara
(Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan
dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!"
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan
Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi
"Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan,
panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[6]

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus
menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah
kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab
sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam


pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara Perang
Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang
tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859.
Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di
seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan
pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di
Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai
Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul


Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan.
Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan
persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan
akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun
beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan
untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
....Dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul
minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)”
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun
yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan
10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima
tawaran ini. Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari
kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah,
tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober
1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75
tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang
dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung,
Tundakan.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito,
atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11
November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang
masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai
rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Komplek Pemakaman
Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Jika Pangeran Antasari selalu menekankan bahwa "Haram Menyerah" kepada
musuh, maka semestinya ini bisa kita jadikan pencerahan untuk diri kita. Bisa
saja kita menyemangati diri kita dengan semangat "Haram Menyerah" kepada
kemiskinan, ketidak adilan atau apa saja yang hendak kita capai! Terkadang
dengan kata semangat dan keingin dari diri sendiri, bukan mustahil ini bisa
menjadi penambah kekuatan untuk diri kita dalam menggapai apa yang kita
inginkan-dalam arti tujuan yang mulia tentunya!!!.
Sultan Hasanuddin.

Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di


Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja
Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan


Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan
Sultan Hasanuddin saja.

Oleh Belanda ia di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa
Belanda disebut de Haav van de Oesten karena keberaniannya melawan
penjajah Belanda.. Beliau diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam
usia 24 tahun (tahun 1655).

Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15.
Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.

Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai


jalur perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis
Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi
belum berhasil menundukkan Gowa.

Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha


menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur
untuk melawan Kompeni. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan
Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.

Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone yang merupakan kerajaan
taklukan dari Kerajaan Gowa. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala
akhirnya tewas tetapi Aru Palaka berhasil meloloskan diri dan perang tersebut
berakhir dengan perdamaian.

Akan tetapi, perjanjian dama tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan
Hasanuddin yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua
kapal Belanda , yaitu de Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.

Lalu Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh
Cornelis Speelman. Aru Palaka, penguasa Kerajaan Bone juga ikut menyerang
Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat
untuk menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya
pada tanggal 18 November 1667.

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan


terhadap Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng
Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil
dikuasai Belanda.

Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama


dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta
kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Sejarah rempah-rempah
Rempah-rempah pernah bernilai seberat emas, dan sumbernya terselubung
dalam kerahasiaan. Karena penting dalam perdagangan internasional, rempah-
rempah telah membangkitkan gairah politik dan kekuasaan-kekuasaan baru.

Di Nusantara, rempah ini merupakan bagian dari sejarah “kelam” dan juga
cerita kebanggaan dari masa keemasan perdagangan. Nusantara pada masa itu
seolah menjadi tanah yang dijanjikan.

Kapan perdagangan rempah-rempah internasional dimulai untuk saat ini belum


begitu jelas tentang catatan sejarahnya. Meskipun begitu, kita bisa menggali
lebih jauh tentang bagaimana rempah-rempah dikenal dan menyebar ke
berbagai penjuru dunia.

Syahdan,…

pada abad ke-4 Sebelum Masehi raja-raja Cina mengirim beberapa orang untuk
mencari bahan-bahan yang dapat memperpanjang usia dan rahasia tentang
hidup kekal.

Mereka kemudian berkelana ke pulau-pulau menakjubkan. Namun, banyak di


antara orang-orang yang pergi itu tidak pernah kembali. Sebagian dianggap
telah mencapai Jepang dan tinggal dengan damai.

Sebagian lagi kabarnya tiba di India, dan bahkan ada yang mencapai benua
yang kelak disebut Amerika. Kemisteriusan orang-orang yang tidak pernah
kembali itu justru telah menambah semangat orang Cina lainnya untuk terus
melakukan penjelajahan, kali ini mereka mengarungi perjalanan laut yang
penuh dengan risiko.
Seabad kemudian, pada masa Cina dikuasai oleh Dinasti Han ada peraturan
ketat untuk para pejabat Kekaisaran dan utusan lainnya, bahwa mereka harus
terlebih dahulu mengunyah cengkih ketika akan menghadap Sang Kaisar.

Rupa-rupanya, orang Cina itu telah berhasil mendarat di sebuah tempat asal
“obat panjang usia” yang tumbuh dengan subur di Maluku.

Jauh sesudahnya, sejumlah kronik Cina yang ditulis pada abad ke-14; catatan
bertarikh 1350, memuat kabar bahwa Maluku sebagai asal cengkih dan kapal-
kapal pengelana dan pedagang Cina yang dahulu telah berhasil berlayar
langsung ke daerah itu mulai mengurangi intensitasnya.

Cengkih sudah dengan mudah mereka dapatkan di Banda-bandar dagang—


selain pedagang Cina, Pedagang Jawa, Sumatra, India, Gujarat, dan Arab telah
mengetahui nilai ekonomi dari komoditas cengkih.

Sejarah pelayaran guna menemukan rempah-rempah, selain dilakukan bangsa


Cina pada abad ke-3 Sebelum Masehi—dan kelak bangsa-bangsa Eropa pada
abad ke-16 Masehi—cengkih ternyata telah lama digandrungi oleh bangsa
Mesopotamia, bahkan sejak 1.700 Sebelum Masehi!

Hal ini sekurang-kurangnya didasarkan bukti arkeologis dari penemuan


jambangan di situs penggalian Terqa, Efrat Tengah, Syria yang berisi cengkih.

Terqa masa lalu, adalah salah satu wilayah dari peradaban Mesopotamia.
Penggalian yang dilakukan oleh arkeolog Giorgio Buccellati di rumah seorang —
yang diperkirakan pedagang—membuatnya terkagum-kagum.

Awalnya sang arkeolog juga tidak percaya, setelah diteliti bersama rekannya
yang ahli paleobotani (botani purbakala), Kathleen Galvin, yakin lah ia bahwa
benda tersebut memang cengkih.

Bagaimana cengkih yang hanya tumbuh di Maluku itu bisa mencapai wilayah
Mesopotamia? Dan yang lebih mencengangkan lagi bagaimana bisa pada abad
ke-17 Sebelum Masehi? Saat ini, kami masih mencari tahu.

Sejauh ini Jika kita menelaah sumber-sumber Romawi Kuno, seperti catatan
Pliny The Elder (Si Tua Pliny) yang diperkirakan hidup awal Masehi, maka akan
didapati informasi tentang sekelompok pelaut gagah berani dari Timur.

Juga dari Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi Yunani dalam bukunya
“Geographike Hyphegesis” yang menyebut daerah-daerah di timur jauh
bernama Argyre (berarti perak atau Merak?) yang terletak di sebelah barat
Iabadiou.

Iabadiou ini ada yang menyamakan dengan Jawa, ada juga yang
menyamakannya dengan Kalimantan, dan Pulau Sumatra. Tapi jelaslah bahwa
yang dimaksud adalah Nusantara.

Pedagang dari Timur datang ke Yunani membawa pelbagai barang dagang yang
“eksotis” termasuk diantaranya kayu manis yang disebut cassia. Hingga 500
tahun Sebelum Masehi, nyatanya orang-orang kaya di kota-kota Yunani telah
memelihara burung merak di pekarangan mereka, seiring dengan perdagangan
antara Yunani, Romawi, dan India menjadi pesat.

Perlu digarisbawahi, baik kayu manis atau burung merak tersebut ditenggarai
berasal dari Nusantara. Walau tulisan-tulisan Yunani kuno itu tidak
bersangkutan paut dengan cengkih, dapat kita bayangkan bahwa
pengangkutan burung merak dan juga cassia itu bersamaan dengan
pengangkutan rempah-rempah seperti cengkih.

Akan tetapi, keberadaan cengkih di Mesopotamia—38 abad yang lalu—tetap


merupakan sebuah misteri. Apakah para pelaut Maluku yang terkenal berani itu
telah membelah samudra sepanjang ratusan mil ke negeri para nabi—Jika
memang cengkih tersebut dibawa oleh mereka—atau orang Mesopotamia
mendapatkan cengkih dari pelaut Arab, Afrika atau India yang telah membawa
rempah-rempah itu dari Maluku? Sekali lagi, kami belum tahu.

Sebelum para pelaut Eropa terlibat langsung dalam perdagangan dan distribusi
cengkih pada abad ke-16, cengkih yang ada di seluruh dunia itu hanya berasal
dari lima pulau di barat Halmahera: Bacan, Makian, Moti, Ternate, dan Tidore.

Cengkih bersama komoditas terkenal lainnya seperti wewangian, kayu


cendana, bulu cenderawasih, lada dan pala, cula badak, intan, emas, rotan, dan
barus pernah menjadi primadona yang membuat para pedagang dari seluruh
penjuru dunia berlomba-lomba mendapatkannya, menguasainya, dan bahkan
tak ayal dengan melakukan berbagai cara.

Sejarah setidaknya mencatat bahwa rempah-rempah itu memang telah menjadi


anugerah,tapi sekaligus petaka yang mengerikan.

Perdagangan dan Perang untuk Rempah-Rempah

Sebelum Portugis tiba di Pulau Banda tahun 1512, perdagangan rempah


dilakukan oleh pelaut Gujarat, Arab, Jawa, Cina, dan Sumatra yang
berhubungan dengan para tengkulak Venesia.

Mengharap menemukan rempah baru, cadangan baru, jalur lebih baik,


kemasyhuran, dan harta kekayaan, membangkitkan pelayaran besar-besaran
dilakukan untuk menemukan sumber awal—seperti yang dilakukan oleh orang
Eropa abad ke-15 dan ke-16.

Tiga abad kemudian, Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris bertempur untuk
me-monopoli, mengawasi, dan menghancurkan rempah-rempah.

Rempah tercatat telah diimpor ke Constantinopel abad ke-6 dan menyebar di


antara bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-12. Sampai abad ke-18 pulau
Banda, meliputi wilayah yang luasnya 50 km2 , merupakan satu-satunya sumber
pala dan bunga pala di dunia.

Sumber rempah ini tertutup, hanya untuk beberapa pedagang Arab, sampai
Portugis menemukan pulau itu awal abad ke-16. Pada saat itu, pulau ini
merupakan tempat penyaluran barang-barang penting, juga perdagangan
cengkih dari Ternate dan Tidore, bulu burung cenderawasih, serta budak.

Pengumpulan dan pengangkutan rempah Maluku setelah pelaut dan Pedagang


Cina mengurangi intensitasnya, distribusi rempah khususnya ke belahan barat
ditangani orang-orang Melayu Sumatra, Jawa, Makasar, dan Banda—terletak di
selatan Maluku, penghasil pala dan bunga pala yang sangat terkenal pada abad
ke-17).

Para pedagang Maluku membawa rempah-rempah mereka ke pelabuhan untuk


dijual kepada pedagang yang kebetulan lewat. Orang Portugis lah yang
meminta untuk memisahkan cengkih dari daun dan ranting, mengeringkan, lalu
memasukkan ke dalam karung.

Selanjutnya pembudidayaan baru dari rempah-rempah terutama cengkih dan


pala ini dilakukan oleh penduduk di wilayah Maluku dan Banda sebagai
penyesuaian akan kebutuhan pedagang-pedagang Eropa.

Akhirnya Belanda dan Inggris datang membangun benteng; banyak yang hilang
dalam merebut kekuatan dan keuntungan. Untuk mengatur monopoli
perdagangan pala, Belanda menebangi pohon rempah yang berada di wilayah
jauh dari pengawasan VOC, antara tahun 1652-1653

Dikenal dengan politik extirpatie (pemusnahan) agar tetap mengendalikan dan


menjaga harga yang tinggi di pasaran Eropa, Belanda ber tindakan di luar
batas. Banyak laki-laki Banda harus kehilangan nyawa.

Mereka juga membagi tanah antara kelompok bekas narapidana dan petualang
yang menggunakan budak belian untuk memanen pala. Hampir 50 tahun
setelahnya, Inggris menyerahkan lebih dahulu Run di barat pulau Banda untuk
ditukar dengan Pulau Manhattan milik Belanda. Sementara itu Inggris
mengambil pala ke Penang dan India Barat.

Pala

Pala (Myristica fragans) merupakan pohon hutan yang kecil tinggi sekitar 18
meter. Tumbuh baik di keteduhan pohon tinggi lainnya. Tumbuhan ini berkulit
abu-abu tua, dau mengkilat panjang, seperti rhododendron, bunga kecil kuning,
serta menghasilkan buah berukuran dan berwarna seperti aprikot.

Pembelahan terbuka ketika masak menampakkan biji coklat mengkilap dengan


aril seperti jala berwarna merah cerah yang menarik kawanan burung besar
yang merupakan pelaku utama persebaran biji pala.

Ketika kering, aril dijual sebagai bunga pala dan biji bagian dalam ditumbuk
menjadi tepung pala. Pala dan bunga pala digunakan sebagai penyedap,
pengawet, obat,serta parfum, dan bahan kosmetik.

Bunga pala terasa sama dengan pala tetapi lebih halus dan karena itu lebih
mahal. Kulit pohon pala tipis dan ketika digores menghasilkan cairan merah,
yang ketika kering berwarna gelap sampai warna darah kering.

Cengkih

Cengkih (Syzgium aromaticum) merupakan pohon rendah, mencapai tinggi 9-


12 meter. Banyak daerah Nusantara mempunyai sisi bukit yang ditumbuhi
pohon berujung khas dengan daun hijau-oranye-kemerahan ini.

Seperti kebanyakan tumbuhan bawah pohon, cengkih tidak dapat berbiak pada
matahari penuh dan mempunyai biji yang dapat berkecambah dalam waktu
yang relatif pendek.

Cengkih ditanam dengan biji di persemaian yang teduh dab ditanam setelah
dua tahun. Penggunaan cengkih yang sebenarnya adalah bunganya, se-gugus
bunga yang tumbuh di ujung cabang.
Bunga yang belum terbuka itu dipetik hati-hati dan keringkan di bawah
matahari sebelum ditumbuk atau digunakan seluruhnya. Pohon setinggi 8
meter menghasilkan 2-3 kilogram cengkih kering per-tahun.

Cengkih dikenal oleh orang Cina abad ke-3 Sebelum Masehi, yang
mendatangkan nama warna-warni, Ordiferous nail. Cengkih digunakan di Eropa
abad ke-4. Sebelum Belanda langsung terlibat, semua cengkih di dunia datang
dari hanya lima pulau kecil di sebelah barat Halmahera: Ternate, Tidore, Moti,
Makian, dan Bacan.

Walaupun pala dan bunga pala dijual secara besar-besaran, cengkih yang
menguasai perdagangan sehingga berarti nilai moneter pada waktu itu.

Kini, sulawesi utara menanam seperempat cengkih nasional, diikuti Jawa


tengah, Lampung, dan Sumatra Barat.

Saat ini Pulau Banda menghasilkan sedikit pala, kebanyakan datang dari
Sulawesi, Grenada, dan Sri Lanka; walaupun masih mungkin mengunjungi
rumpun pala yang wangi di bawah knopi pohon Canorium di Lontar, Pulau
Banda yang terbesar.

Banyak daerah Indonesia “demam cengkih”; tanah tandus dan pinggir hutan
mereka tanami cengkih dengan harapan mendapat keuntungan. Harapan
petani sia-sia akibat harga rendah, serta hama seperti kumbang pengerek,
yang menghabiskan ribuan hektare perkebunan cengkih selama sejarahnya.

Cengkih memang sempat menjadi primadona yang digunakan untuk bumbu


masakan, kesehatan dan pemeliharaan gigi, namun kini sebagian besar di
antaranya digunakan untuk perusahaan kretek.

Kira-kira 85% dari hampir 30.000 ton cengkih Indonesia digunakan setiap tahun
untuk industri rokok. Namun, seperempat jumlah itu sekarang diimpor,
terutama dari Zanzibar, Afrika Timur.

Anda mungkin juga menyukai