Anda di halaman 1dari 6

Lubang Tambang Mbah Soero merupakan salah satu tempat wisata yang paling mengesankan saya ketika berada

di Kota Sawahlunto, Sumatera


Barat. Lubang Tambang Mbah Soero dan Info Box Galeri Tambang Batubara berada di Jl. M Yazid, Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang,
Lembah Segar, Kota Sawahlunto, pada GPS -0.67955, 100.77927.
Sewaktu masih beroperasi, Lubang Tambang Mbah Soero, yang sebelumnya dikenal dengan nama Lubang Tambang Soegar, mempekerjakan
orang-orang hukuman yang dikenal sebagai ‘orang rantai’. Mbah Soero adalah mandor yang berasal dari Jawa yang dipekerjakan di lubang
tambang ini. Ia dikenal sebagai pekerja keras, tegas, taat beragama, dan memiliki ilmu kebatinan tinggi, sehingga sangat disegani oleh para buruh
tambang.

Gedung Info Box merupakan Galeri Tambang Batubara Sawahlunto. Dari tempat ini pengunjung masuk ke Lubang Tambang Mbah Soero yang
bRuang utama Gedung Info Box yang memamerkan foto-foto sejarah tambang batubara Sawahlunto, khususnya Lubang Tambang Mbah Soero.
Di tempat ini pengunjung akan diberi topi dan sepatu tambang sebelum masuk ke Lubang Tambang Mbah Soero. Tempat ini sebelumnya
merupakan Gedung Pertemuan Buruh yang dibangun pada 1947, tempat dilangsungkannya pertemuan dan berbagai acara hiburan.

Patung ‘orang rantai’ yang tengah mendorong lori berisi batubara, diawasi oleh seorang mandor. Patung ini berada di halaman diantara Gedung
Info Box dan Lubang Tambang Mbah Soero.

Pintu masuk ke Lubang Tambang Mbah Soero saat itu masih tertutup dan dikunci. Lubang Tambang Mbah Soero adalah tempat wisata yang
dibuka untuk umum, namun untuk turun ke dalam lubang, pengunjung harus ditemani oleh pemandu resmi.

Pak Wilizon (Pak Win), pemandu yang menemani kami, berdiri di mulut Lubang Tambang Mbah Soero, sesaat sebelum turun ke bawah.
Meskipun usianya telah menginjak 54 tahun, namun energi dan semangatnya masih sangat tinggi, dengan pengetahuan yang luas tentang seluk
beluk Lubang Tambang Mbah Soero.

Diceritakannya bahwa bekas tambang batubara ini dipugar sejak 26 Juni 2007 dengan mengerahkan 15 pekerja untuk memompa air yang
menggenangi lubang. Dibutuhkan waktu sekitar 20 hari untuk mengeringkan air di Lubang Tambang Mbah Soero ini. Renovasi terowongan ini
selesai dilakukan sekitar akhir Desember 2007.

Di beberapa tempat di sepanjang lorong Lubang Tambang Mbah Soero terdapat lorong tambang yang sengaja ditutup karena belum direnovasi.
Angka 2007 pada dinding adalah tahun dimana renovasi dan penutupan lubang ini dilakukan.

Lubang Tambang Mbah Soero dengan lebar dan tingginya sekitar 2 m ini memiliki kedalaman 15 m dari permukaan tanah, dan baru bisa
dimasuki sejauh 186 meter, dari bekas lubang galian tambang yang diperkirakan memiliki panjang keseluruhan sekitar 1 km.

Dasar Lubang Tambang Mbah Soero terlihat rapi dengan penerangan yang cukup baik. Udara segar dipompa ke dalam lubang dari permukaan
tanah dan dialirkan melalui pipa-pipa, yang membuat udara di dasar Lubang Tambang Mbah Soero tetap terasa segar. Pengeras suara pun telah
dipasang jika sewaktu-waktu diperlukan. Salah satu lubang di dasar Lubang Tambang Mbah Soero masih ditutup dengan pagar besi. Di beberapa
tempat, atap lorong dilapis pelindung untuk melindungi pengunjung dari tetesan air yang masih merembes turun dari langit-langit.

Susunan batubata yang tebal, serta pipa saluran udara di dasar Lubang Tambang Mbah Soero. Seorang teman, Lita Jonathans, tampak tengah
memotret dinding Lubang Tambang Mbah Soero yang masih menyimpan

lempengan-lempengan batubara. Ujung Lubang Tambang Mbah Soero yang konon mengandung energi mistik yang sangat besar.

Jalur pendakian menuju pintu keluar Lubang Tambang Mbah Soero sempat saya ambil fotonya dari atas. Saluran panjang berwarna kuning di
sebelah kanan adalah selubung yang mengalirkan udara segar ke dalam Lubang Tambang Mbah Soero. Ada pula foto Pak Win di pintu keluar
lubang ventilasi udara Lubang Tambang Mbah Soero.

NFO BOX - GALERI TAMBANG BATUBARA

Info Box terletak di kawasan Tangsi Baru. Bangunan ini oleh Pemda Kota Sawahlunto direkomendasikan sebagai Pusat Informasi sejarah tambang

batubara Kota Sawahlunto. Awalnya Info Box adalah sebagai tempat stock field (penumpukan batubara) yang digali dari Lobang Tambang Batubara

Mbah Soero. Tahun 1947 pada lokasi ini dibangun Gedung Pertemuan Buruh (GPB). Gedung ini berfungsi sebagai tempat hiburan sekaligus tempat

bermain judi bagi para buruh pekerja tambang yang tinggal di sekitar kawasan Tanah Lapang dan Air Dingin, di sinilah para buruh tambang

menghamburkan uangnya setelah mereka menerima upah.


INFO BOX & LOBANG TAMBANG MBAH SOERO

Tahun 1965 Gedung Pertemuan Buruh (GPB) berubah nama menjadi Gedung Pertemuan Karyawan (GPK). Pada masa ini gedung dimanfaatkan oleh

Anggota Partai Komunis sebagai ruang pertemuan dan setiap minggunya Anggota Partai Komunis mengadakan bazar (pasar murah) dengan tujuan untuk

merekrut anggota baru kedalam partai komunis dengan cara bagi siapa yang ikut berbelanja harus membuat tanda tangan yang berarti telah bergabung

dalam partai komunis. Tahun 1970-an, gedung ini dialihfungsikan menjadi perumahan karyawan tambang batubara hingga tahun 2004 dan dari tahun

2004 hingga tahun 2007 menjadi hunian masyarakat.

Dengan adanya penelitian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar pada awal 2007 menyatakan bahwa bangunan GPB tidak

termasuk dalam kategori Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi, maka bertolak dari hal tersebut bangunan akhirnya dirobohkan. Akhir 2007 dengan

adanya dana subsidi Pengembangan Kekayaan Budaya Daerah dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan

Pariwisata Republik Indonesia maka pada lokasi bangunan GPB dibangunlah gedung baru (Info Box) yang merupakan cikal bakal pendirian Museum

Tambang Batubara Kota Sawahlunto.

AREAL LOBANG TAMBANG MBAH SOERO

Lobang Tambang Mbah Soero dulunya dinamakan Lubang Soegar. Lubang ini merupakan lubang pertama di kawasan Soegar yang dibuka oleh Kolonial

Belanda pada tahun 1898. Pada lubang ini terdapat kandungan batubara yang paling bagus (kalori 7000) dibandingkan dengan daerah-daerah lain,
seperti Sungai Durian, Sigalut, Parambahan, dan Tanah Hitam. Hal ini disebabkan karena kawasan Soegar terletak di lapisan patahan paling bawah dari

permukaan Bumi.

Untuk membuka lubang ini Belanda mendatangkan buruh paksa dari berbagai penjara di Nusantara seperti Medan, Jawa, Sulawesi, dan Padang. Mereka

dibawa dengan kapal melalui Emma Haven (Pelabuhan Teluk Bayur) dan selanjutnya menggunakan transportasi kereta api dari pelabuhan menuju

Sawahlunto.

Sesampainya buruh ini di Sawahlunto, mereka dikirim ke penjara orang rantai yang khusus dibuat oleh Belanda untuk para buruh paksa (orang rantai).

Mereka bekerja membuka lobang tambang Soegar dengan kaki yang dirantai, makanan seadanya, dan upah kecil. Namun tenaga mereka dikuras untuk

menyelesaikan konstruksi lubang tambang.

Setelah lubang tambang selesai dibuka dengan 2 buah lubang angin (ventilasi udara) maka Belanda mulai melakukan eksploitasi batubara atau 'emas

hitam' yang sangat berkualitas itu. Jumlah produksi batubara yang dihasilkan oleh orang rantai pada tahun 1892 sebanyak 48.000 ton. Kemudian dengan

adanya lubang Soegar ini produksi batubara meningkat menjadi 196.207 ton pada tahun 1900. Hal ini membuktikan keberadaan lubang Soegar sangat

berpengaruh pada produksi batubara.

Meningkatkanya produksi batubara juga mendatangkan penderitaan bagi buruh paksa. Nasib mereka sangat menyedihkan, rata-rata tiga kali setahun

buruh paksa atau orang rantai mendapat hukuman cambuk. Selain perkelahian diantara sesama buruh untuk memperebutkan barang-barang langka

seperti rokok dan uang yang menimbulkan tidak sedikit korban jiwa. Kejadian ini dibiarkan oleh mandor tambang dengan syarat jumlah produksi tidak

kurang dari 6 ton/shift setiap kelompok.

Pada awal abad ke-20 orang Belanda mendatangkan mandor dari Jawa. Salah satunya Mbah Soerono yang lebih akrab dipanggil Mbah Soero. Mbah

Soero diangkat menjadi mandor oleh Kolonial Belanda karena ilmu kebatinan yang dimilikinya. Ia ditugaskan untuk mengawasi penambangan di Lubang

Soegar ini. Dalam kesehariannya ia dikenal sangat rajin bekerja, berperilaku baik dan taat beribadah.

Selanjutnya lubang ini ditutup pada tahun 1920-an karena adanya perembesan air dari Batang Lunto dan kadar gas metana yang terus meningkat.

Kemudian pada tahun 2007 sesuai dengan Visi dan Misi Kota Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang yang Berbudaya maka berbagai objek bekas

tambang kembali dibenahi, salah satunya Lubang Soegar. Untuk penghargaan kepada mandor Mbah Soerono yang dipanggil sebagai pahlawan pekerja

di masa buruh paksa (orang rantai), maka Lubang Soegar ini lebih popular (note: menurut KBBI 'populer', tapi juga muncul 'popularitas') di tengah

masyarakat Sawahlunto dengan sebutan Lobang Tambang Mbah Soero.


Terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang, Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat.
Lembah tersebut dibelah oleh aliran sungai Lunto. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan sungai “Lunto”. Lembah sungai lunto
yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batubara.

Willem Hendrik De Greve, seorang ahli geologi yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki keberedaan batubara di
Sawahlunto. Pada tahun 1868, dia menemukan kandungan batubara di sungai Ombilin. Setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan potensi
ekonominya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi. Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang
dan pendukungnya di Sawahlunto. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan pada tahun 1883 hingga 1894. Aktivitas pertambangan sendiri
sudah dimulai sejak tahun 1892 dengan produksi batubara sebanyak 48.000 ton Eksploitasi batubara terus berlanjut hingga berakhir pada 2004. Sejak
saat itu semua fasilitas pertambangan tidak difungsikan lagi sebagaimana mestinya. Namun beberapa tahun lalu pemda setempat berinisiatif
menjadikan Sawahlunto menjadi kota wisata tambang dengan tata ruang dan bangunan khas kolonial dengan mengusung slogan “Kota Wisata
Tambang yang Berbudaya”.

Pusat kota Sawahlunto yang terletak di lembah sungai Lunto relatif kecil namun masih banyak ditemukan bangunan tua peninggalan Belanda beserta
tata ruangnya. Pasar, Gereja St. Barbara, dan Gedung Societeit adalah sebagian dari bangunan tua yang masih lestari hingga sekarang. Namun yang
khas di Sawahlunto adalah beberapa bangunan yang ada kaitannya dengan tambang batu bara. Beberapa bangunan bekas kegiatan pertambangan
menjadi saksi bisu kejayaan tambang Sawahlunto selama lebih dari seabad.

Lubang Tambang Mbah Suro, merupakan salah satu situs tambang batubara yang sejak tahun 2007 dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. Nama
Mbah Suro sendiri diambil dari nama seorang mandor bernama Soerono yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 20 untuk
mengawasi kegiatan pertambangan. Ada beberapa versi cerita mengenai sosok mandor yang didatangkan dari Jawa ini. Menurut cerita, mbah Suro
adalah seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani karena dipercaya memiliki ilmu kebal. Namun dalam versi lain diceritakan
bahwa mbah Suro seorang mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya menggunakan cambuk. Entah versi mana yang benar, yang pasti mbah
Suro merupakan orang yang berpengaruh dalam kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan menjadi situs wisata ini.

Terowongan tambang ini dibuka pemerintah Hindia Belanda pada 1898. Pembuatan terowongan ini mengerahkan pekerja paksa yang berasal dari
berbagai penjara seperti Jawa, Sulawesi, Medan, dan Padang. Pekerja paksa yang berasal dari luar Sumbar, diangkut menggunakan kapal menuju
pelabuhan Teluk Bayur kemudian dilanjutkan perjalanan menggunakan kereta api menuju Sawahlunto. Jalur rel kereta dari Sawahlunto ke pelabuhan
Teluk Bayur telah ada sejak tahun 1894 yang digunakan untuk mengangkut hasil tambang batubara sekaligus alat transportasi. Sebagai fasilitas
pendukung, stasiun kereta api Sawahlunto dengan fasilitas memadai baru dibangun pada 1918. Kini stasiun kereta api tersebut dijadikan sebagai
museum kereta api.

[caption caption="stasiun kereta api Sawahlunto"]

[/caption]
Di Sawahlunto inilah para narapidana tersebut dipekerjakan untuk membuat terowongan tambang. Pekerja paksa ini dikenal juga dengan sebutan
orang rantai karena dalam kegiatan penambangannya kaki mereka dirantai. Siksaan berupa cambukan seringkali mereka terima dari mandor, makanan
yang diberikanpun terbatas, karena itu banyak orang rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa itu.

[caption caption="peralatan masak "]

[/caption]
Untuk memasok kebutuhan makanan pekerja tambang, dibuatlah dapur umum yang dibangun pada 1918. Dapur umum itu juga bertanggungjawab
pada ketersediaan makanan pasien rumah sakit di Sawahlunto. Setiap harinya, dapur umum tersebut mampu menyediakan makanan untuk sekitar
6000 orang. Dapur umum tersebut kini telah berubah fungsi menjadi Museum Goedang Ransum. Banyak orang dipekerjakan di dapur umum ini
termasuk juga anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa. Maklum saja keterisian perut ribuan orang bergantung
pada tempat ini. Untuk mendukung proses penyediaan makanan, dapur umum ini dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu.
Bahkan di awal abad 20, perlengkapan dapur modern di Sawahlunto menjadi yang pertama ada di Indonesia.

Sebelum masuk ke terowongan, pengunjung disarankan untuk memakai perlengkapan keamanan yang telah disediakan pihak pengelola. Helm dan
sepatu tambang tersedia di ruang khusus, selain itu disediakan pula loker tempat menyimpan barang-barang pengunjung. Setelah perlengkapan
dikenakan, seorang pemandu siap mengantar masuk ke terowongan tambang. Puluhan anak tangga mengantarkan pengunjung menuju ke dalam perut
bumi. Lampu-lampu sudah dipasang untuk menerangi terowongan. Hanya sampai kedalaman sekitar 18 meter saja, karena di bawah lagi masih
dipenuhi air. Sebelum dibuka, air menggenang hingga pintu masuk terowongan. Rembesan air yang berasal dari sungai Lunto ini memang menjadi
alasan terowongan tambang ini ditutup pada tahun 1920-an dan baru dibuka lagi pada 2007 untuk tujuan wisata.

[caption caption="lubang tambang batubara mbah Suro"]

[/caption]
Perjalanan kemudian dilanjutkan menyusuri terowongan. Sebagian jalan sudah dipasang paving blok, namun dinding yang berbentuk setengah
lingkaran masih asli berupa batu bata dan sebagian lagi dinding alami berupa lapisan batubara. Selang besar berdiameter 50 cm diletakkan di
sepanjang terowongan untuk memasok udara segar ke dalam. Tak sampai satu kilometer, perjalanan mentok sampai ujung terowongan yang ditutup
dengan beton. Sebenarnya di balik beton itu ada terowongan lagi yang menghubungkan langsung menuju bangunan pembangkit listrik tenaga uap
yang kini berubah fungsi menjadi Masjid Agung Sawahlunto. Rencananya beberapa tahun terowongan menuju masjid itu akan dibuka untuk wisata,
jika ada dana.

[caption caption="salah satu sudut galeri museum Goedang Ransoem"]

[/caption]
Kini Sawahlunto telah menjelma menjadi kota wisata tambang. Industri pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah setempat membuat warga
menjadikannya sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama. Beberapa kios souvenir berderet di sekitar lokasi museum. Meskipun demikian,
sebagai tempat wisata Sawahlunto masih terbilang sepi. Kota itu kalah populer dibandingkan dengan Padang atau Bukittinggi. Jarak 100 km, 2 – 3
jam perjalanan dari kota Padang bisa jadi membuat wisatawan dari luar kota berpikir panjang untuk mejadikan Sawahlunto sebagai destinasi utama.
Meskipun sebenarnya Sawahlunto memiliki keunikan yang sulit ditemukan di destinasi wisata lainnya di Sumatera Barat atau bahkan di Indonesia.
Diperlukan promosi yang gencar untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dan menjadikan Sawahlunto sebagai salah satu ikon wisata di Sumatera
Barat.

Sawahlunto, sebuah kota tua dengan beragam cerita. Cerita tentang batubara yang pernah jaya. Cerita tentang penderitaan para pekerja paksa dan
hasil karya mereka. Cerita yang terangkai dalam beberapa museum dan bangunan tua.

MEMASUKI kota Sawahlunto, dari kota Padang, Anda akan melihat kota mungil ini dikelilingi bukit. Setelah melalui
jalanan menanjak kemudian jalanan turun, maka tampaklah Kota Tambang itu di bawah. Kota seluas sekitar 274 km2
ini dihuni sekitar 53 ribu penduduk. Kota ini pernah ditinggalkan penduduk, yang kebanyakan penambang, kala
persediaan batubara di kota ini menipis. Itu terjadi di awal tahun 2000. Kini kota ini mulai menggeliat setelah Wali Kota
Amran Nur berkomitmen merevitalisasi kota lama Sawahlunto seluas sekitar 6 km2 beserta bangunan tua dan
peninggalan atau pusaka dari zaman kolonial.

Salah satu peninggalan Belanda yang sekitar dua tahun lalu ditemukan dan langsung dibenahi demi meningkatkan
wisata bekas kota tambang ini tak lain adalah Lubang Mbah Soero atau Lubang Mbah Suro. Tempat ini, sesuai
namanya, tak lain adalah lubang bekas tambang batubara. Lubang ini merupakan lubang utama bekas tambang
batubara yang ada di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.

Meski hanya berupa lubang bekas tambang batubara, namun tempat itu punya kisah panjang dan menarik. Dari sinilah
kemudian lahir nama “Orang Rantai”. Orang rantai tak lain adalah sebutan bagi pekerja tambang, yang tak lain adalah
pesakitan di zaman Belanda, yang dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk Batavia. Para buruh itu
dirantai sambil dipaksa menambang batubara demi kepentingan Belanda.

Adalah de Groet, ahli geologi Belanda, yang pada 1858 menemukan bahwa di sekitar Sungai Ombilin memiliki
kandungan batubara. Penemuan De Groet kemudian ditindaklanjuti oleh Ir Willem Hendrik De Greve pada 1867.
Penyelidikan yang lebih saksama oleh Ir Verbeck menghasilkan temuan kandungan batubara dengan kisaran mencapai
puluhan juta, sehinga dimulailah penambangan di wilayah tersebut. Produksi pertambangan batubara dari Ombilin
dimulai tahun 1892.

Lubang Suro disebut-sebut mirip dengan Goa Jepang di Bukittinggi, tampaknya tidak tepat. Sebab Lubang Suro
dibangun jauh lebih awal oleh Belanda sementara Goa Jepang dibangun oleh Jepang di sekitar tahun 1930-an. Lubang
Suro juga lebih unik karena berada di bawah kota Sawahlunto dan mengular hingga sekitar 1,5 km.

Mbah Suro dikenal sebagai mandor orang rantai dan masyarakat, beliau juga dikenal memiliki ilmu kebathinan yang
tinggi. Ia jadi panutan warga. Mbah Suro ini memiliki lima anak dengan 13 cucu. Istrinya adalah seorang dukun
beranak. Mbah Suro meninggal sebelum tahun 1930 dan dimakamkan di pemakaman orang rantai, Tanjung Sari, Kota
Sawahlunto.

Lebar lubang tambang ini sekitar dua meter dengan ketinggian dua meter. Lubang dengan kedalaman 15 meter dari
permukaan tanah ini sudah dipugar sejauh 186 meter. Masih ada lubang lain yang berada lebih di bawah lubang
pertama, namun belum tersentuh pemugaran. Di lubang pertama yang sudah dipugar, proses pembersihan lumpur dan
pemompaan air dari lubang ini dilakukan sekitar 20 hari.

Amran Nur langsung menyediakan anggaran untuk membuat aliran air dan saluran udara agar pengunjung tak sesak di
dalam lubang tersebut. Lampu penerang juga dipasang agar lubang tidak terlalu gelap. Di dinding tersebut masih bias
dilihat bahkan dipegang batubara kualitas super. Selama pemugaran, ditemukan banyak kerangka manusia, termasuk
paha manusia, dan peninggalan Belanda berupa minuman beralkohol. Tak aneh jika untuk masuk ke dalam lubang,
ada beberapa peringatan yang harus dipatuhi pengunjung. Selain harus menggunakan topi pengaman, karena air
masih menetes dari dinding lubang, pengunjung juga harus menggunakan sepatu bots karena lantai lubang basah dan
penuh air. Pengunjung juga diwanti-wanti agar tak bicara kotor dan bagi perempuan, tak boleh sedang datang bulan.

Tiket masuk seharga Rp 7.500 pengunjung bisa menapaktilas di bekas tambang batubara selama sekitar 25 menit.
Saat keluar dari lubang, kita akan muncul di seberang jalan.

Sebuah upaya yang nyata dengan komitmen tinggi ditunjukkan Amran Nur. Meski baru tahun 2007 ditemukan, Lubang
Suro sudah bisa beroperasi sebagai atraksi wisata tambang sejak tahun lalu dan dua tahun kemudian Lubang Suro
semakin banyak diminati wisatawan dari luar Sawahlunto, bahkan dari luar Sumatera.

Lobang Mbah Soero Ini Merupakan Lorong Panjang di Bawah Tanah


Lobang Tambang Mbah Soero merupakan salah satu lobang tambang pertama di Sawahlunto. Lubang Tambang Mbah
Soero adalah salah satu objek wisata sejarah yang terletak di Kelurahan Tanah Lapang, Lembah Segar, Kota
Sawahlunto, Sumatera Barat. Terletak di pusat kota, membuat akses ketempat ini menjadi sangat mudah. Terowongan sepanjang
185 meter ini dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1898.
Sawahlunto merupakan penghasil utama batubara pada masa penjajahan kolonial Belanda hingga era tahun 90-an. Penambangan
batubara di Sawahlunto pada masa dahulu masih sangat mengandalkan tenaga manusia. Tambang batubara di daerah ini terdapat di
bawah pemukaan tanah sehingga harus dibuat lubang yang tembus ke bawah tanah untuk mendapatkan batubara. Untuk keperluan
wisata, pemerintah daerah setempat merenovasi terowongan ini menjadi tempat yang layak dikunjungi baik dari segi keamanan
maupun kemudahan mencapai area dibawah tanah dengan membangun anak-anak tangga.
Renovasi mulai dilakukan sejak 27 Juni 2007 hingga Desember 2007. Kemudian diresmikan sebagai objek wisata pada 23 April 2008
lalu. Keasliannya yang masih tetap dipertahankan, dapat dilihat dari bagian atap dan dinding yang terbuat dari batu bara. Lubang
Tambang Mbah Soero dulunya dinamakan Lubang Soegar. Pada lubang ini terdapat kandungan batubara yang paling bagus (kalori
7000) dibandingkan dengan daerah-daerah lain, seperti Sungai Durian, Sigalut, Parambahan, dan Tanah Hitam. Hal ini disebabkan
karena kawasan Soegar terletak di lapisan patahan paling bawah dari permukaan Bumi.
Untuk membuka lubang ini Belanda mendatangkan buruh paksa dari berbagai penjara di Nusantara seperti Medan, Jawa, Sulawesi,
dan Padang. Mereka dibawa dengan kapal melalui Emma Haven (Pelabuhan Teluk Bayur), dan selanjutnya menggunakan transportasi
kereta api dari pelabuhan menuju Sawahlunto. Sesampainya buruh ini diSawahlunto, mereka dikirim ke penjara orang rantai yang
khusus dibuat oleh Belanda untuk para buruh paksa (orang rantai). Mereka bekerja membuka Lubang Tambang Soegar dengan kaki
yang dirantai, makanan seadanya, dan upah kecil. Namun tenaga mereka dikuras untuk menyelesaikan konstruksi lubang tambang.
Belanda mulai melakukan eksploitasi batubara atau 'emas hitam' yang sangat berkualitas itu. Meningkatkanya produksi batubara juga
mendatangkan penderitaan bagi buruh paksa. Nasib mereka sangat menyedihkan, rata-rata tiga kali setahun buruh paksa atau orang
rantai mendapat hukuman cambuk. Selain perkelahian diantara sesama buruh untuk memperebutkan barang-barang langka seperti
rokok dan uang yang menimbulkan tidak sedikit korban jiwa. Kejadian ini dibiarkan oleh mandor tambang dengan syarat jumlah
produksi tidak kurang dari 6 ton per shift setiap kelompok.

Pada awal abad ke-20 orang Belanda mendatangkan mandor dari Jawa. Salah satunya Mbah Soerono yang lebih akrab dipanggil
Mbah Soero. Mbah Soero diangkat menjadi mandor oleh Kolonial Belanda karena ilmu kebatinan yang dimilikinya. Ia ditugaskan untuk
mengawasi penambangan di Lubang Soegar ini. Dalam kesehariannya ia dikenal sangat rajin bekerja, berperilaku baik dan taat
beribadah. Selanjutnya lubang ini ditutup pada tahun 1920-an karena adanya perembesan air dari Batang Lunto dan kadar gas metana
yang terus meningkat. Kemudian pada tahun 2007, bekas tambang kembali dibenahi.
Untuk penghargaan kepada mandor Mbah Soerono yang dipanggil sebagai pahlawan pekerja di masa buruh paksa (orang rantai),
maka Lubang Soegar ini lebih popular di tengah masyarakat Sawahlunto dengan sebutan Lobang Tambang Mbah Soero. Untuk
bisa masuk ke dalam Lobang ini, Anda dipungut biaya Rp 8.000. Sebelum masukLubang Tambang, Anda harus menggunakan
peralatan pengaman yang disediakan seperti helm dan sepatu boots. Lubang Tambang Mbah Soero mempunyai lebar dan tinggi
sekitar 2 m dan memiliki kedalaman 15 m dari permukaan tanah. Untuk berkeliling ke Lubang Tambang Mbah Soero, Anda akan
ditemani seorang pemandu, dengan 20 pengunjung setiap masuk.
Wisata Lubang Tambang Mbah Soero menyuguhkan pula kisah historis serta memberikan nuansa magis dari sejarahnya. Jangan
lupa berdoa sebelum masuk ke dalamnya dan jangan iseng serta menghilang dari rombongan selama menyusuri Lubang Tambang
Mbah Soero. Untuk menempuh perjalanan ke wisata Lubang Tambang Mbah Soero Anda tidak perlu khawatir mengenai kendaraan.
Jalanan dalam kondisi baik dan bisa dilewati oleh kendaraan roda dua atau empat. Angkutan umum menuju wisata Lubang Tambang
Mbah Soero juga tersedia.

Anda mungkin juga menyukai