Anda di halaman 1dari 10

Goa suro

MEMASUKI kota Sawahlunto, dari kota Padang, Anda akan melihat kota mungil ini dikelilingi
bukit. Setelah melalui jalanan menanjak kemudian jalanan turun, maka tampaklah Kota
Tambang itu di bawah. Kota seluas sekitar 274 km2 ini dihuni sekitar 53 ribu penduduk. Kota
ini pernah ditinggalkan penduduk, yang kebanyakan penambang, kala persediaan batubara
di kota ini menipis. Itu terjadi di awal tahun 2000. Kini kota ini mulai menggeliat setelah Wali
Kota Amran Nur berkomitmen merevitalisasi kota lama Sawahlunto seluas sekitar 6 km2
beserta bangunan tua dan peninggalan atau pusaka dari zaman kolonial.

Salah satu peninggalan Belanda yang sekitar dua tahun lalu ditemukan dan langsung
dibenahi demi meningkatkan wisata bekas kota tambang ini tak lain adalah Lubang Mbah
Soero atau Lubang Mbah Suro. Tempat ini, sesuai namanya, tak lain adalah lubang bekas
tambang batubara. Lubang ini merupakan lubang utama bekas tambang batubara yang ada
di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.

Meski hanya berupa lubang bekas tambang batubara, namun tempat itu punya kisah
panjang dan menarik. Dari sinilah kemudian lahir nama “Orang Rantai”. Orang rantai tak lain
adalah sebutan bagi pekerja tambang, yang tak lain adalah pesakitan di zaman Belanda,
yang dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk Batavia. Para buruh itu
dirantai sambil dipaksa menambang batubara demi kepentingan Belanda.

Adalah de Groet, ahli geologi Belanda, yang pada 1858 menemukan bahwa di sekitar Sungai
Ombilin memiliki kandungan batubara. Penemuan De Groet kemudian ditindaklanjuti oleh Ir
Willem Hendrik De Greve pada 1867. Penyelidikan yang lebih saksama oleh Ir Verbeck
menghasilkan temuan kandungan batubara dengan kisaran mencapai puluhan juta, sehinga
dimulailah penambangan di wilayah tersebut. Produksi pertambangan batubara dari
Ombilin dimulai tahun 1892.

Lubang Suro disebut-sebut mirip dengan Goa Jepang di Bukittinggi, tampaknya tidak tepat.
Sebab Lubang Suro dibangun jauh lebih awal oleh Belanda sementara Goa Jepang dibangun
oleh Jepang di sekitar tahun 1930-an. Lubang Suro juga lebih unik karena berada di bawah
kota Sawahlunto dan mengular hingga sekitar 1,5 km.

Mbah Suro dikenal sebagai mandor orang rantai dan masyarakat, beliau juga dikenal
memiliki ilmu kebathinan yang tinggi. Ia jadi panutan warga. Mbah Suro ini memiliki lima
anak dengan 13 cucu. Istrinya adalah seorang dukun beranak. Mbah Suro meninggal
sebelum tahun 1930 dan dimakamkan di pemakaman orang rantai, Tanjung Sari, Kota
Sawahlunto.

Lebar lubang tambang ini sekitar dua meter dengan ketinggian dua meter. Lubang dengan
kedalaman 15 meter dari permukaan tanah ini sudah dipugar sejauh 186 meter. Masih ada
lubang lain yang berada lebih di bawah lubang pertama, namun belum tersentuh
pemugaran. Di lubang pertama yang sudah dipugar, proses pembersihan lumpur dan
pemompaan air dari lubang ini dilakukan sekitar 20 hari.

Amran Nur langsung menyediakan anggaran untuk membuat aliran air dan saluran udara
agar pengunjung tak sesak di dalam lubang tersebut. Lampu penerang juga dipasang agar
lubang tidak terlalu gelap. Di dinding tersebut masih bias dilihat bahkan dipegang batubara
kualitas super. Selama pemugaran, ditemukan banyak kerangka manusia, termasuk paha
manusia, dan peninggalan Belanda berupa minuman beralkohol. Tak aneh jika untuk masuk
ke dalam lubang, ada beberapa peringatan yang harus dipatuhi pengunjung. Selain harus
menggunakan topi pengaman, karena air masih menetes dari dinding lubang, pengunjung
juga harus menggunakan sepatu bots karena lantai lubang basah dan penuh air. Pengunjung
juga diwanti-wanti agar tak bicara kotor dan bagi perempuan, tak boleh sedang datang
bulan.

Tiket masuk seharga Rp 7.500 pengunjung bisa menapaktilas di bekas tambang batubara
selama sekitar 25 menit. Saat keluar dari lubang, kita akan muncul di seberang jalan.

Sebuah upaya yang nyata dengan komitmen tinggi ditunjukkan Amran Nur. Meski baru
tahun 2007 ditemukan, Lubang Suro sudah bisa beroperasi sebagai atraksi wisata tambang
sejak tahun lalu dan dua tahun kemudian Lubang Suro semakin banyak diminati wisatawan
dari luar Sawahlunto, bahkan dari luar Sumatera.
Apa yang terbesit jika memasuki dapur? Pastilah alat masak. Namun di dapur yang
satu ini terdapat alat masak yang bukan biasa melainkan alat masak serba besar.

Alat masak serba besar ini bisa ditemui di Dapur Umum Sawahlunto yang kini berubah
menjadi Museum Goedang Ransoem. Disebut dapur umum, karena memang dulunya
bangunan ini berfungsi sebagai dapur untuk mengolah bahan makanan bagi pekerja
tambang batu bara.

Di dalamnya berisi mulai dari periuk, wajan, hingga tungku pembakaran. Semuanya
berukuran besar. Karena dapur yang dibangun pada masa kolonial Belanda ini, dahulu
menyuplai makanan untuk lebih dari 100 orang. Terdiri dari pekerja tambang, pasien rumah
sakit dan keluarga pekerja.
Makanya pengolahan makanan pun dalam skala besar. Setiap harinya memasak sekitar
3.900 kilogram nasi. Bisa dibayangkan betapa sibuknya situasi memasak pada saat itu.

Museum Gudang Ransum menempati sebuah kompleks bangunan bekas dapur umum para
pekerja tambang batu bara dan pasien RSU Sawahlunto yang ketika itu berjumlah ribuan.
Gedung Museum Gudang Ransum sendiri dibangun pada 1918 sewaktu penjajahan Belanda.
Dapur umum ini dilengkapi dua buah gudang besar dan steam generator (tungku
pembakaran) untuk memasak 3.900 kg beras setiap hari bagi para pekerja tambang batu
bara.[1]

Kaba Tempoe Dahoeloe


6 September 2013 by goedang ransoem

Veldpolitie op de fiets, vermoedelijk te Doerian bij Sawahloento.


Sumber Foto: kitlv.nl

Oleh: Yonni Saputra, SS

Judul foto dalam bahasa Belanda tersebut membentangkan tentang keberadaan Polisi
Bersepeda, di Durian Sawahlunto.

Dokumentasi foto bertahun 1932 di website resmi kitlv.nl[1] ini berdimensi 11,5 x 15 cm.
Lebih lanjut disebutkan;

Souvenir van het Personeel Detachement Veldpolitie Doerian en van de Gewestelijke


Recherche te Sawah-Loento, Sumatra’s Westkust, 29 April 1932
(Kenang-kenangan dari Petugas Polisi bagian Investigasi Kriminal dari Detasemen Durian
Regional Sawah-Loento, di Pantai Barat Sumatera, 29 April 1932).

Info Box dan Lobang Tambang Mbah Soero


Pengantar | Komentar | Galeri Foto

INFO BOX - GALERI TAMBANG BATUBARA

Info Box terletak di kawasan Tangsi Baru. Bangunan ini oleh Pemda Kota Sawahlunto
direkomendasikan sebagai Pusat Informasi sejarah tambang batubara Kota Sawahlunto.
Awalnya Info Box adalah sebagai tempat stock field (penumpukan batubara) yang digali dari
Lobang Tambang Batubara Mbah Soero. Tahun 1947 pada lokasi ini dibangun Gedung
Pertemuan Buruh (GPB). Gedung ini berfungsi sebagai tempat hiburan sekaligus tempat
bermain judi bagi para buruh pekerja tambang yang tinggal di sekitar kawasan Tanah Lapang
dan Air Dingin, di sinilah para buruh tambang menghamburkan uangnya setelah mereka
menerima upah.
Lubang Jepang Bukittinggi adalah salah satu objek wisata sejarah yang ada di Kota
Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan
(bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk
kepentingan pertahanan.[1]
Sebelumnya, Lubang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan
perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-
kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan
ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.

Selain lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan
Sumatera Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis tanah yang
jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang Sumatera Barat
tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.

Diperkirakan puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan dari
pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali terowongan ini. Pemilihan tenaga
kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan
megaproyek ini. Tenaga kerja dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk
mengerjakan terowongan pertahanan di Bandung dan Pulau Biak.

Tak Ada Kerja Paksa

ADALAH Hirotada Honjyo, lahir 1 Januari 1908, di kota kecil Iizuka, Provinsi Fukuoka,
Kepulauan Kyushu, Jepang Selatan. Tamatan Fukultas Hukum, Hosei University, Tokyo,
penggemar olahraga rugby ini, bekerja di perusahaan tambang batu bara, Asou Koggyo. Ia
beroleh pengetahuan dasar tentang pertambangan dan terowongan. Berikut ini penuturannya
yang ditulis tanggal 17 April 1997. Ia meninggal dunia tahun 2001.

Honjyo-san harus membuat “lubang perlindungan” di Ngarai Bukittinggi, atas instruksi


Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Bala Tentera Jepang, Letjen Moritake Tanabe. Waktu
itu, ia berpangkat Kapten Angkatan Darat, perwira staf keuangan, sebagai jurubayar, untuk
merencanakan, membuat dan mengawasi pelaksanaan sebuah “lubang perlindungan”.

Semua berkas mengenai rencana, gambar, spesifikasi dan anggarannya, sudah tidak ada lagi.
Semua dibakar sesaat balatentara Jepang kalah, tanggal 15 Agustus 1945, sesuai perintah
Panglima Letjen Moritake Tanabe. “Walaupun telah lewat 50 tahun lebih, saya masih ingat
menggambarkan dan menyatakan cara pembuatan dan perencanaan pelaksanaan lubang
lindungan tersebut,” kata Hojyo-san.

Konstruksinya mulai dikerjakan bulan Maret 1944, dan selesai pada awal Juni 1944. “Hal ini
tidak bisa saya lupakan, karena sampai sekarang ada album kenang-kenangan yang saya
simpan,” katanya. Pembuatan terowongan dikerjakan di bawah pimpinan tiga ahli tambang
batubara, dikirim dari perusahaan Hokkaido — Tanko Kisen Co. Perusahaan tambang batu
bara terkenal di Hokkaido ini selama pendudukan balatentera Jepang, juga mengerjakan
tambang batubara Ombilin.

Ketiga ahli terowongan itu adalah (1) Ir. Toshihiko Kubota, sebagai ketua, (2) Ir. Ichizo Kudo
(3) Ir. Uhei Koasa. Mereka sudah meninggal. Selain dari orang-orang Jepang, ada juga
beberapa orang Indonesia yang bekerja di tambang batubara Ombilin diperbantukan
mengerjakan “lubang perlindungan” ini.

Saya adalah seorang perwira staf keuangan, sebagai ahli jurubayar dan selama bertugas tidak
menggunakan kekuasaan tentara dan fasilitas lainnya,” kata Honjyo-san. “Kepada saya
diperbantukan seorang sersan dari Markas Besar Panglima dan beberapa lori untuk keperluan
angkutan kerja”.

Selama tiga bulan bertugas, katanya, tidak ada terjadi insiden atau kecelakaan. Dan selama
bertugas tidak menggunakan senjata, baik senjata berupa pedang samurai maupun senjata api
lainnya. “Lubang perlindungan Jepang” itu tidak merupakan benteng pertahanan. tapi
hanyalah lubang untuk melindungi diri. Supaya terhindar dari serangan bahaya udara.

Instruksi Panglima Divisi ke-25 Angkatan Darat Balatentara Jepang itu menyebutkan lagi: (1)
membuat sebuah lubang perlindungan yang bisa menahan getaran letusan bom sekuat 500kg.
(2) membuat lubang perlindungan yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan untuk keperluan
Markas Besar, ruang kantor dan fasilitas-fasilitas lainnya untuk keperluan Divisi ke-25
Angantan Darat.

Konstruksi lubang perlindungan tersebut tidak rahasia dan tidak ada yang perlu dijaga. Untuk
bisa menahan getaran letusan bom di atas 500kg, perlu penggalian sedalam 40-meter dari
permukaan bumi atau 20-m dari ujung penggalian jurang tebing. Untuk menguatkan dan
kokohnya dinding lubang, dibuat bentuk “torii-gumi” — menyerupai pintu depan lambang
agama Shinto. Yaitu bagian bawah lebih besar daripada bagian atas.
kittinggi - Saat akhir pekan di Bukittinggi, jangan cuma melihat Jam Gadang atau tembok
raksasa Janjang Koto Gadang. Ada juga Lobang Jepang dengan pemandu yang suka bercerita
horor. Hiii!

Lobang Jepang terletak di Taman Panorama, dekat dengan Janjang Koto Gadang di
Bukittinggi. detikTravel mengunjungi tempat ini beberapa waktu lalu. Kami menggunakan
jasa pemandu untuk menyusuri gua bersejarah ini.

Selain bercerita dan menjelaskan tentang sejarah, bapak pemandu juga pandai menyenangkan
pengunjung dengan humor-humornya yang penuh misteri. Ujung-ujungnya, wisatawan selalu
dibuatnya tertawa terbahak-bahak.

Yang agak seram, pemandu membawa kami ke salah satu sudut Lobang Jepang yang menjadi
penjara buat para pekerja yang ketahuan dan tertangkap karena melarikan diri saat membuat
gua. Konon cerita dari bapak pemandu, penjara ini juga digunakan sebagai tempat
penampungan orang-orang yang sakit dan dibiarkan meninggal disana.

Jadi, bisa dibilang itu tempat yang angker di dalam Gua Jepang. Menurut dia, sering terlihat
beberapa penampakan pada CCTV yang terpasang di situ. Penjara tersebut pernah digunakan
sebagai tempat 'Uji Nyali' pada sebuah program acara televisi.

Bahkan pernah ditemukan beberapa barang pusaka yang berupa pedang samurai peninggalan
tentara Jepang. Karena takut digunakan hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian
barang purbakala, maka depan penjara dipasang CCTV.

Kami juga di bawa ke depan ruangan yang diberi pagar. Tempat itu dinamakan Cafe oleh
para tentara Jepang. Fungsinya sebagai tempat untuk makan bersama dengan para tentara
yang lainnya. Kita mengistilahkannya sebagai Kantin.

Di dalam Lobang Jepang ada lorong panjang yang lokasinya sangat pas untuk mengambil
foto bareng keluarga atau teman. Lorong memanjang di belakang sangat mengesankan kalau
ini adalah gua yang panjang dengan adanya bantuan cahaya lampu pada langit-langit gua.
Namun lagi-lagi ada kisah seram di situ. Lagi-lagi menurut pemandu, pernah ada
penampakan mahluk astral di ujung yang gelap pada foto

Anda mungkin juga menyukai