Anda di halaman 1dari 2

Biografi Asrul Sani

Asrul Sani adalah seorang sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia. Ia lahir di Rao,
Sumatera Barat pada 10 Juni 1926. Namun, saat ia menginjak usia 77 tahun, ia meninggal dunia di Jakarta
pada 11 Januari 2004. Asrul Sani merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan
Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang,
merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang
keturunan Mandailing.

Asrul Sani memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (sekolah dasar bentukan
pemerintah kolonial Belanda) di Bukit Tinggi pada tahun 1936. Lalu ia melanjutkan pendidikanya ke
SMP Taman Siswa, Jakarta pada tahun 1942. Setelah tamat, ia melanjutkan ke Sekolah Kedokteran
Hewan, Bogor. Akan tetapi, minatnya akan Sastra sempat mengalihkan perhatiannya dari kuliah
kedokteran hewan sehingga Asrul sempat pindah ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dengan
beasiswa Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, ia mengikuti pertukaran pelajar ke Akademi Seni
Drama, Amsterdam pada tahun 1952.

Namun, akhirnya ia kembali melanjutkan kuliah kedokteran hewan hingga memperoleh gelar
dokter hewan pada 1955. Pada masa kuliah itu juga Asrul sempat mengikuti seminar kebudayaan di
Harvard University pada 1954. Setelah tamat kedokteran hewan, Asrul kembali mengejar hasratnya akan
seni sastra dengan melanjutkan kuliah dramaturgi dan sinematografi di South California University, Los
Angeles, Amerika Serikat (1956) dan kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958). Menurut
Ajip Rosidi, Asrul dapat berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman

Di dalam dunia sastra, Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya
sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku
kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat
tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak
dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya
mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka. Selain itu, ia pun pernah menjadi redaktur
majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan pimpinan
umum Citra Film (1981-1982).

Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen,
dan drama. Cerpennya yang berjudul Sahabat Saya Cordiaz dimasukkan oleh Teeuw ke dalam Moderne
Indonesische Verhalen dan dramanya Mahkamah mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia
juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang
terkenal adalah Surat atas Kertas Merah Jambu (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda).

Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia
film. Garapan pertamanya di bidang film adalah skenario Pegawai Tinggi (1953). Debut pertama
penyutradaraan filmnya adalah Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959). Ia mementaskan Pintu Tertutup
karya Jean-Paul Sartre dan Burung Camar karya Anton P., dua dari banyak karya yang lain. Skenario
yang di tulisnya untuk Lewat Djam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), Apa Jang Kau Tjari,
Palupi? (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala
Citra 1979) memasukkan namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah
Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di Atas Kuburan (1973), dan sederet judul film lainnya.
Salah satu film karya Asrul Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah Nagabonar yang dibuat
sekuelnya, Nagabonar Jadi 2 oleh sineas kenamaan Deddy Mizwar. Selain menulis puisi, cerpen, esai,
naskah teater, dan skenario film, dia banyak menerjemahkan karya sastra mancanegara.

Sementara bergiat di film, pada masa-masa kalangan komunis aktif untuk menguasai bidang
kebudayaan, Asrul, mendampingi Usmar Ismail, ikut menjadi arsitek lahirnya LESBUMI (Lembaga
Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh partai politik Nahdhatul Ulama, yang mulai
berdiri tahun 1962, untuk menghadapi aksi seluruh front kalangan "kiri". Usmar Ismail menjadi Ketua
Umum, Asrul sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi penerbitan LESBUMI, Abad
Muslimin.

Memasuki Orde Baru, sejak tahun 1966 Asrul menjadi angota DPR mewakili NU, terpilih lagi pada
periode 1971-1976 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara itu sejak tahun 1968
terpilih sebagai anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Pada tahun 1976-1979 menjadi Ketua DKJ.
Sejak tahun 1970 diangkat menjadi salah satu dari 10 anggota Akademi Jakarta. Pernah menjadi Rektor
LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), kini bernama Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pernah
beberapa kali duduk sebagai anggota Badan Sensor Film, tahun 1979 terpilih sebagai anggota dan Ketua
Dewan Film Nasional, Sejak tahun 1995 menjadi anggota BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman
Nasional).

Anda mungkin juga menyukai