Anda di halaman 1dari 17

1.

Musso

Musso atau Paul Mussotte [1]bernama lengkap Muso Manowar [2] atau Munawar
Muso (lahir: Kediri, Jawa Timur, 1897 - Madiun, Jawa Timur, 31 Oktober 1948) adalah seorang
tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an dan
dilanjutkan pada Pemberontakan Madiun 1948.

Masa Kecil dan Pendidikan


Musso berasal dari keluarga berada dan hidupnya berkecukupan. Ayahnya, Mas Martorejo adalah
pegawai bank di Kecamatan Wates. Ibunya mengelola kebun kelapa dan kebun mangga. Sedari
kecil Musso rajin mengaji di mushala di desanya.

Pada usia 16 tahun Musso melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Batavia. Di Batavia Musso
diangkat anak oleh G.A.J. Hazeu. Musso juga bertemu Alimin Prawirodirdjo yang nantinya menjadi
pentolan PKI. Setamatnya sekolah guru Mussso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg (Bogor).
Versi lain menyebut Musso bersekolah di Hogere Burger School.

Sewaktu berada di Surabaya, Musso kos di rumah Tjokroaminoto dan bertemu dengan H.J.F.M.
Sneevliet. Musso muda juga satu kos bersama Soekarno dan Kartosuwiryo muda yang kelak
mereka akan berbeda haluan ideologi dalam pemikiran.

Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912, Musso aktif di dalamnya. Musso juga
aktif di ISDV bentukan Sneevliet yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia[3].

1
Peran di PKI
Musso adalah salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin dan anggota
dari Internasional Komunis di Moskwa. Pada tahun 1925 beberapa orang pemimpin PKI membuat
rencana untuk menghidupkan kembali partai ini pada tahun 1926, meskipun ditentang oleh
beberapa pemimpin PKI yang lain seperti Tan Malaka. Pada tahun 1926 Musso
menuju Singapura dimana dia menerima perintah langsung dari Moskwa untuk melakukan
pemberontakan kepada pemerintahan kapitalis Belanda. Musso dan pemimpin PKI lainnya, Alimin,
kemudian berkunjung ke Moskwa, bertemu dengan Stalin, dan menerima perintah untuk
membatalkan pemberontakan dan membatasi kegiatan partai menjadi dalam bentuk agitasi dan
propaganda dalam perlawananan nasional. Akan tetapi pikiran Musso berkata lain. Pada bulan
November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota termasuk Batavia (sekarang
Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Musso dan Alimin
ditangkap. Setelah keluar dari penjara Musso pergi ke Moskwa, tetapi kembali ke Indonesia pada
tahun 1935 untuk memaksakan "barisan populer" yang dipimpin oleh 7 anggota Kongres Komintern.
Akan tetapi dia dipaksa untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke Uni Soviet pada tahun 1936.

Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta. Pada tanggal 5
September 1948 dia memberikan pidato yang menganjurkan agar Indonesia merapat kepada Uni
Soviet. Pemberontakan terjadi di Madiun, Jawa Timur ketika beberapa militan PKI menolak untuk
dilucuti. Pihak militer menyebutkan bahwa PKI memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" pada
tanggal 18 September 1948 dan mengangkat Musso sebagai presiden dan Amir Sjarifuddin sebagai
perdana menteri. Akan tetapi pemberontakan dapat dipadamkan oleh pihak militer. Pada tanggal 30
September 1948, Madiun direbut oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan
sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada tanggal 31
Oktober, ketika rombongannya bertemu dengan pasukan TNI yang memburunya.

Akhir Hidup
Setelah Madiun direbut tentara, Musso bersama Amir Sjarifoeddin dan pentolan PKI lain melarikan
diri ke Ponorogo. Musso berselisih dengan Amir dan memisahkan diri ke arah selatan dengan hanya
dikawal dua orang, sementara Amir melanjutkan ke Pacitan. Musso dan pengawalnya kabur dengan
menaiki sebuah delman sementara tentara mengejarnya. Dalam kejar-kejaran terjadi saling tembak
hingga kuda delman tertembak. Musso berlari dan bersembunyi di sebuah kamar mandi di sebuah
pemandian umum. Satu peleton tentara mengepung dan kembali terjadi baku tembak. Ketika keluar
kamar mandi, Musso tertembak dua kali. Mayatnya sempat dibawa ke RS Ponorogo untuk
diawetkan sebelum kemudian dibakar secara diam-diam[4].

2
2. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal
di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang
tokoh Islam Indonesia yang memimpin pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah Indonesia
dari tahun 1949 hingga tahun 1962, dengan tujuan mengamalkan Al-Qur'an dan mendirikan Negara
Islam Indonesia berdasarkan hukum syariah.

Sejarah hidup
Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini
menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah
salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini
disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat
itu.[1]

Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK).
Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia
masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil
masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo

3
mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti
alur pemikiran Muhammadiyah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran
Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi
ajaran-ajaran Islam.[2]

Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi
Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan
organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di
rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.
Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang
semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas
keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan
dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki
buku sosialis dan komunis.[2]

Karier
Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat
tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang
bekerja sama dengan Belanda. Dalam artikelnya tampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga
menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa
memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya. [1]

Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk
mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan
Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan
mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).

Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda.
Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi.
Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerja sama dengan Belanda tanpa mengenal
kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan
pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap ngotot pada pendiriannya,
walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan
dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial. [1]

4
Masa perang kemerdekaan
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya
membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah
pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu
merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan
Republik Indonesia. Karena semua perjanjian yang dibuat pemerintah Belanda menyengsarakan
rakyat Indonesia, perjanjian-perjanjian semuanya hanya untuk mengelabui orang orang penting agar
mereka taat kepada Hindia Belanda. Maka dari itu Kartosoewirjo menolak mentah mentah semua
perjanjian yang diadakan oleh Belanda.

Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu
menjabat Perdana Menteri. Pada waktu itu, Sugondo Djojopuspito, yang kenal baik dengan
Kartosoewirjo dan Amir Sjarifuddin ketika peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di Batavia, membujuk
Kartosoewirjo: Wis to Mas, miliho menteri opo wae asal ojo Menteri Pertahanan utowo Menteri
Dalam Negeri (Sudahlah Mas, pilih jadi menteri apa saja, tetapi jangan Menteri Pertahanan atau
Menteri Dalam Negeri). Kartosoewirjo menjawab: Emoh, nek dasar negoro ora Islam (Tidak mau,
kalau dasar negara bukan Islam).

Negara Islam Indonesia

Peristiwa Penangkapan Kartosuwiryo

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk


membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7
Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa
Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan
operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui

5
perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah
Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau
Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

6
3. Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil
Raymond Westerling

Untuk kelompok milisi APRA, lihat Angkatan Perang Ratu Adil.

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil


(APRA)
Kudeta 23 Januari

Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia

Para prajurit TNI yang tewas dalam Peristiwa Kudeta APRA

22 Januari–23 Januari 1950[2]


Tanggal
Lokasi Bandung dan Jakarta, Jawa
Hasil Pendudukan sementara Bandung oleh Tentara
APRA [3]
Percepatan integrasi negara-negara
bagian Republik Indonesia Serikat ke
dalam Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1950.[4]

Pihak terlibat

TNI Tentara APRA

KNIL[1]

Tokoh dan pemimpin

Kolonel Sadikin [5] Raymond Westerling [5]

Mayor Jenderal Engels[6] Letnan tak teridentifikasi[5]

Kekuatan

7
Divisi Siliwangi[2] 523 prajurit APRA [3]

4,500 Prajurit TNI[3]

Korban

Sekitar 100 jiwa[3] Ringan[3]

Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang
terjadi pada 23 Januari 1950 di mana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada
di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot
Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang
berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan
sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

Latar belakang[
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling
telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang
diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama
organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah
mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga
mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di
kota Medan.

Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van
Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling
berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah
mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya
penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling.

Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan
tersebut, tetapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.

Surat ultimatum

8
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang
isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara
bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara
Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar.

Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, tetapi juga di
pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani
Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri
Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat
sipil dan militer Belanda yang bekerja sama dengan Westerling.

Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih
menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk
mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjungi Sultan
Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949.
Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid
ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak
memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil
apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam
otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet
Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus
merahasiakannya.

Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van
Maarseveen berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven,
bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.

Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950
menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi
ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan
kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking
telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

9
Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST
dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar.

Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang
berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA
untuk ikut dalam kudeta, tetapi dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt.
Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin,
Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van
Vreeden di Jakarta.

Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang
sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol.
Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang
tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP
di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret
hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar
mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23
Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T.
Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui
Jalan Pos Besar menuju Bandung."

Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan.
94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan
di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST


dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap
Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan
KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga
serangan ke Jakarta gagal dilakukan.

Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan

10
pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik terhadap Westerling atas
kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada
perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.

Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST
dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling
melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan
elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming,
koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita
yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman
muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda
di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik
sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand
van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

11
4. Christiaan Robbert Steven Soumokil
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Dr.
Christiaan Robbert Steven Soumokil

Presiden Republik Maluku Selatan ke-2

Masa jabatan

3 Mei 1950 – 12 April 1966

Perdana Menteri Albert Wairisal

Pendahulu Johanis Hermanus Manuhutu

Pengganti Johan Manusama

Informasi pribadi

Lahir 13 Oktober 1905

Surabaya, Jawa Timur

Meninggal dunia 12 April 1966 (umur 60)

Pulau Ubi, Kepulauan Seribu

Alma mater Universitas Leiden (1934)

Dr. Christiaan Robbert Steven Soumokil (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 13


Oktober 1905 – meninggal di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, 12 April 1966 pada umur 60 tahun)
adalah presiden Republik Maluku Selatan (RMS) dari 1950 sampai 1966. Chris Soumokil dilahirkan
di Surabaya dan menempuh pendidikan di sana sebelum pergi ke Belanda. Setelah itu ia
mempelajari hukum di Universitas Leiden sampai 1934. Pada tahun 1935 ia kembali ke Jawa dan
menjadi pejabat hukum.

Pada 1942, penjajahan Jepang dimulai dan Soumokil ditangkap oleh tentara Jepang dan diasingkan
ke Burma dan Thailand. Setelah perang usai ia kembali ke Indonesia dan menjadi jaksa agung

12
dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT). Ia kemudian mendirikan RMS, menjadi Menteri
Luar Negeri RMS pada 25 April 1950, dan menjadi presiden pada 3 Mei 1950.

Setelah ditangkap oleh tentara Indonesia ia dibuang ke Pulau Buru dan Pulau Seram. Pada bulan
April 1964 ia diadili dan dibela oleh pengacara Mr. Pierre-William Blogg, teman lamanya dari Leiden.
Dalam persidangan Soumokil bersikeras berbicara dalam bahasa Belanda, walaupun bahasa ibunya
adalah bahasa Melayu.

Ia dihukum mati dan dieksekusi oleh peleton tembak pada 12 April 1966 di Pulau Ubi, Kepulauan
Seribu.

Riwayat Jabatan[sunting | sunting sumber]

 Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) (1945-1950)

 Menteri Luar Negeri RMS (1950)

 Presiden RMS (1950-1966)

13
5. Syafruddin Prawiranegara

Syafruddin Prawiranegara

Wakil Perdana Menteri ke-3


Masa jabatan
4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949
Presiden Soekarno
Perdana Menteri Mohammad Hatta
Pendahulu Adenan Kapau Gani
Setyadjit Soegondo
Wondoamiseno
Sjamsuddin
Penggant Abdul Hakim
Ketua Pemerintah Darurat
Republik Indonesia
Masa jabatan
19 Desember 1948 – 13 Juli 1949
Pendahulu Soekarno
Penggant Soekarno
Menteri Keuangan Indonesia ke-5
Masa jabatan
2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947
Presiden Soekarno
Pendahulu Surachman Tjokroadisurjo
Penggant Alexander Andries Maramis
Masa jabatan
6 September 1950 – 27 April 1951

14
Presiden Soekarno
Pendahulu Lukman Hakim
Penggant Jusuf Wibisono
Menteri Perdagangan ke-4
Masa jabatan
29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949
Presiden Soekarno
Pendahulu Adenan Kapau Gani
Penggant Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono
Menteri Pertanian Indonesia ke-5
Masa jabatan
29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949
Presiden Soekarno
Pendahulu Adenan Kapau Gani
Penggant Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono
Informasi pribadi
Lahir 28 Februari 1911
Serang, Banten, Hindia Belanda
Meninggal dunia 15 Februari 1989 (umur 77)
Jakarta, Indonesia
Partai politk Masyumi
Pasangan Tengku Halimah Syehabuddin Prawiranegara

Mr. Syafruddin Prawiranegara (Sunda: atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara; lahir
di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun)
adalah seorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri
dan pernah menjabat sebagai Ketua (setingkat presiden) Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Ia menerima mandat dari presiden Sukarno ketika pemerintahan Republik
Indonesia yang kala itu beribu kota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer
Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.[1][2][3] Ia kemudian menjadi Perdana Menteri bagi kabinet
tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Tengah tahun 1958.

Masa muda dan pendidikan[sunting | sunting sumber]


Sjafruddin memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal dari kata Udin pada nama Sjafruddin. Ia
memiliki darah keturunan Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak ibu. Buyutnya dari
pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatra Barat, yang dibuang
ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan
kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama Raden Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin

15
bekerja sebagai jaksa, tetapi cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang
oleh Belanda ke Jawa Timur.

Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada
tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya
di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas
Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara
dengan Magister Hukum).

Pra-kemerdekaan[sunting | sunting sumber]


Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-
1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen
Keuangan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas
sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Pemerintah Darurat RI]


"Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno,? " tanya Kamil Koto.

"Tidak persis begitu. Secara tugas memang iya, tetapi saya lebih suka menyebutnya
sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI"

– syafruddin Prawiranegara menjawab pertanyaan Kamil Koto. Buku "Presiden Prawiranegara"
oleh Akmal Nasery Basral

Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan
Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada
Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. Hatta yang telah
menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi mandat Sjafruddin untuk
melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.[3]

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-
Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan
kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno,
Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat
dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

16
Jabatan pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Syafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan
Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946, Menteri
Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun 1947. Pada
saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan
terbentuknya PDRI.

Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-
1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan
pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan
moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada
tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian
diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.

Keterlibatan dalam PRRI[sunting | sunting sumber]


Pada awal tahun 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI didirikan di Sumatra
Tengah akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang
terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai
Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk Kabinet tandingan sebagai jawaban atas
dibentuknya kabinet Ir Juanda di Jawa, tetapi PRRI tetap mengakui Soekarno sebagai Presiden
PRRI, karena ia diangkat secara konstitusional.

PRRI segera ditumpas oleh pemerintahan pusat hingga pada bulan Agustus 1958, perlawanan
PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-
wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian
menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan
pemberontakan, termasuk PRRI.

17

Anda mungkin juga menyukai