Anda di halaman 1dari 5

CUT NYAK DIEN

Cut Nyak Dien adalah salah satu Pahlawan Nasional wanita yang berasal dari Aceh. Cut Nyak Dien
dikenal melalui perjuangannya mengusir penjajah dari Aceh. Kala itu, Belanda mengirimkan armada-
armada kapalnya ke Aceh dan berencana menguasai Aceh.

Suami pertama Cut Nyak Dien yang bernama Ibrahim Lamnga berjuang mengusir Belanda ketika
wilayah VI Mukim diserang. Namun sangat disayangkan, suami dari Cut Nyak Dien tersebut harus
gugur dengan terhormat di medan perang, tepatnya pada tanggal 29 Juni 1878.

Gugurnya suam Cut Nyak Dien menambah semagat Cut Nyak Dien untuk berjuang bersama rakyat
Aceh demi mengusir penjajah Belanda. Untuk menjelaskan lebih dalam mengenai perjuangan Cut
Nyak Dien, di bawah ini Liputan6.com telah merangkum biografi singkat Cut Nyak Dien dari berbagai
sumber,

Biografi singkat Cut Nyak Dien dimulai dari masa kelahiran dan latar belakang keluarga beliau. Cut
Nyak Dien adalah wanita kelahiran Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848. Sayangnya, tidak
diketahui dengan pasti mengenai tanggal lahir dari Cut Nyak Dien.

Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan yang memang sangat taat dalam beragama. Keluarga
dari Cut Nyak Dien bertempat tinggal di Aceh Besar, wilayah VI Mukim.

Ayah dari Cut Nyak Dien bernama Teuku Nanta Setia, yang merupakan seorang uleebalang VI
Mukim, dan merupakan keturunan Machmoed Sati, seorang perantau dari Sumatera Barat. Machmoed
Sati datang ke Aceh sekitar abad ke 18 di saat kesultanan Aceh kala itu diperintah oleh Sultan Jamalul
Badrul Munir. Jadi tidak heran jika ayah dari Cut Nyak Dien masih merupakan keturunan
Minangkabau. Beda halnya dengan ibu dari Cut Nyak Dien. Ibu Cut Nyak Dien merupakan seorang
putri uleebalang Lampagar.

Di masa kecilnya, Cut Nyak Dien dikenal sebagai seorang gadis yang cantik. Dirinya memperoleh
pendidikan pada bidang agama dan juga pendidikan rumah tangga. Tidak heran jika kala itu Cut Nyak
Dien disukai oleh banyak laki-laki. Bahkan, karena kecantikannya, banyak laki-laki yang berusaha
melamarnya.

Pada tahun 1863, tepatnya ketika Cut Nyak Dien tepat berusia 12 tahun, dirinya dinikahkan oleh orang
tuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Pria tersebut merupakan putra tunggal dari uleebalang
Lamnga XIII.
Biografi Singkat Cut Nyak Dien: Meletusnya Perang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Belanda melalu armada kapal
Citadel van Antwerpen, mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan. Kemudian pada tanggal 8
April 1873, Belanda di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler berhasil mendarat di Pantai
Ceureumen dan langsung menguasai Masjid Raya Baiturrahman kemudian membakarnya.

Perlakuan Belanda tersebut memicu perang Aceh yang saat dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan
Machmud Syah melawan 3.198 prajurit Belanda. Namun, Kesultanan Aceh bisa memenangkan perang
pertama melawan Belanda tersebut dengan tewas tertembaknya Köhler.

Kemudian pada tahun 1874-1880, di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, wilayah VI
Mukim berhasil diduduki Belanda begitu juga dengan Keraton Sultan yang akhirnya harus mengakui
kekuatan Belanda.

Hal tersebut memaksa Cut Nyak Dien dan bayinya mengungsi bersama ibu-ibu serta rombongan lain
pada tepatnya pada 24 Desember 1875. Namun, suami dari Cut Nyak Dien tetap bertekad untuk
merebut kembali daerah VI Mukim. Sayangnya, ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum,
dirinya tewas bertepatan dengan tanggal 29 Juni 1878. Hal tersebut akhirnya membuat Cut Nyak Dien
sangat marah dan bersumpah untuk menghancurkan Belanda.

Teuku Umar (duduk di tengah) gugur di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, Aceh, pada 11 Februari 1899.
Perjuangannya dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nyak Dien.

Kemudian, setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dien dilamar oleh Teuku Umar, yang merupakan
tokoh pejuang Aceh. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, akan tetapi karena Teuku Umar
memperbolehkan Cut Nyak Dien untuk bertempur, akhirnya Cut Nyak Dien menerima pinangan
Teuku Umar dan mereka menikah pada tahun 1880.

Bergabungnya kedua insan tersebut menyebabkan moral dan semangat para pejuang Aceh semakin
berkobar. Akhirnya perang tersebut berlanjut dengan gerilya, lalu tercetuslah perang fi’sabilillah.

Seakan tidak ingin menyianyiakan kesempatan, pada tahun 1875 Teuku Umar mencoba untuk
mendekati Belanda dan mempererat hubungannya dengan orang Belanda. Hal tersebut berlanjut
dengan Teuku Umar beserta pasukannya yang berjumlah 250 orang, pergi menuju Kutaraja dan
“menyerahkan diri” kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893.

Strategi dari Teuku Umar akhirnya berhasil mengelabui Belanda hingga mereka memberi Teuku Umar
gelar yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikan Teuku Umar sebagai komandan unit pasukan
Belanda yang memiliki kekuasaan penuh.

Demi melancarkan aksinya, Teuku Umar rela dianggap sebagai penghianat oleh orang Aceh. Tidak
terkecuali Cut Nyak Meutia yang datang menemui Cut Nyak Dien kemudian memakinya. Namun,
meski begitu Cut Nyak Dien tetap berusaha menasehatinya untuk fokus kembali melawan Belanda.

Akhirnya, di saat kekuasaan Teuku Umar dan pengaruhnya cukup besar, Teuku Umar memanfaatkan
momen tersebut untu mengumpulkan orang Aceh di pasukannya. Ketika jumlah orang Aceh di bawah
komando Teuku Umar sudah cukup, kemudian Teuku Umar melakukan rencana palsu ke orang
Belanda dan mengklaim jika dirinya ingin menyerang basis Aceh.

Kemudian Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan seluruh pasukan serta perlengkapan berat,
senjata, dan amunisi Belanda. Tapi, mereka tidak pernah kembali ke markas Belanda. Strategi
penghianatan tersebut disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Strateg dari Teuku Umar untuk mengkhianati Belanda membuat Belanda marah dan melancarkan
operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Tapi para gerilyawan Aceh
saat ini sudah dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Ketika Jenderal Van Swieten diganti, orang yang menggantikan posisinya yaitu Jenderal Jakobus
Ludovicius Hubertus Pel dengan cepat terbunuh oelah geriliyawan Aceh, hingga akhirnya membuat
para pasukan Belanda berada dalam kondisi yang sangat kacau.

Setelah penghianatan tersebut, Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya.
Demi melancarkan aksinya untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, Belanda akhirnya
mengirim unit “Maréchaussée”. Unit ini didominasi orang Tionghoa-Ambon yang dikenal susah
ditaklukkan oleh orang Aceh.

Bahkan, karena saking kuatnya unit tersebut, Belanda merasa iba terhadap rakyat Aceh, hingga
akhirnya Van der Heyden membubarkan unit “Maréchaussée” tersebut. Pasca bubarnya unit tersebut,
jenderal yang memimpin perang dengan Aceh selanjutnya bisa dengan mudah mencapai kesuksesan,
sebab banyak orang Aceh yang tidak ikut melakukan jihad karena takut kehilangan nyawa mereka.

Ketakutan orang Aceh tersebut dimanfaatkan Jendral Joannes Benedictus van Heutsz dan akhirnya
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak. Hingga akhirnya Belanda berhasil
mendapatkan informasi bahwa Teuku Umar berencana untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899 di mana akhirnya Teuku Umar gugur karena tertembak peluru.

Meski begitu Cut Nyak Dien tetap memimpin perlawanan terhadap Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh dengan pasukan kecilnya. Pasukan Cut Nyak Dien terus bertempur hingga kalah pada tahun
1901, karena tentara Belanda sudah sangat terbiasa untuk berperang di daerah Aceh.

Di sisi lain, Cut Nyak Dien sudah semakin tua dan matanya mulai rabun. Dirinya juga sudah menderita
encok dan jumlah pasukannya terus berkurang. Bahkan beliau dan pasukannya kesulitan untuk
memperoleh makanan.

Seorang pengawal Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien
kepada Belanda. Hal tersebut membuat Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le
Sageu. Pasukan Cut Nyak Dien terkejut dan bertempur mati-matian, hingga akhirnya Cut Nyak Dien
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.

Sehabis tertangkap oleh Belanda, Cut Nyak Dien dibawa dan dirawat di Banda Aceh. Penyakit rabun
dan encoknya berangsur sembuh. Tapi sayangnya Cut Nyak Dien pada akhirnya dibuang ke
Sumedang, Jawa Barat.

Cut Nyak Dien dibawa ke Sumedang bersama tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian salah
satu orang yaitu bupati Suriaatmaja. Tahanan laki-laki lainnya juga turut menyatakan perhatian mereka
kepada Cut Nyak Dien, namun tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.

Cut Nyak Dien ditahan bersama ulama bernama Ilyas dan ulama tersebut segera menyadari bahwa Cut
Nyak Dien adalah ahli dalam agama Islam. Hal tersebut membuat Cut Nyak Dien dijuluki “Ibu Perbu”.

Tepat pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena faktor usia yang sudah tua.
Makam Cut Nyak Dien sendiri baru ditemukan pada tahun 1959, itupun karena permintaan Gubernur
Aceh kala itu, Ali Hasan. Cut Nyak Dien sendiri baru diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
KI HAJAR DEWANTARA

Ki Hajar Dewantara merupakan bapak pelopor pendidikan di Indonesia. Banyak yang mengenali
beliau dari semboyan khas, “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”. Agar bisa lebih mengenalinya, simak biografi Ki Hajar Dewantara singkat ini.

Biografi Ki Hajar Dewantara singkat ini menjelaskan perjalanan hidupnya sejak lahir hingga wafatnya.
Pendidikan yang ia tempuh di sekolah Belanda hingga terpaksa dikeluarkan dari sekolah kedokteran
karena kondisi kesehatannya.

Tak hanya soal pendidikan karena sebelum benar-benar berkiprah di dunia pendidikan, Ki Hajar
Dewantara memulainya dari dunia jurnalistik. Melakukan protes kepada Belanda melalui tulisan
kritisnya. Hingga biografi Ki Hajar Dewantara singkat ini menunjukkan pengasingan karena
kekritisannya.

Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir dengan nama Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat. Beliau lahir pada
Kamis Legi, 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara berasal dari keluarga bangsawan Puro
Pakualaman Yogyakarta.

Ayahnya adalah Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan Ibunya bernama Raden Ayu (R.A.)
Sandiah. K.P.A. Suryaningrat sendiri merupakan anak dari Paku Alam III. Julukan Ki Hajar Dewantara
saat masih kecil adalah Denmas Jemblung (buncit) karena saat bayi perutnya buncit.

Menjadi keluarga bangsawan, membuatnya mendapat pendidikan yang berkecukupan. Ki Hajar


Dewantara bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar milik Belanda di kampung
Bintaran Yogyakarta. Lulus dari ELS Suwardi Suryaningrat masuk ke Kweekschool, sebuah sekolah
guru di Yogyakarta.

Ki Hajar Dewantara pun mendapat tawaran beasiswa sekolah kedokteran. Tepatnya di sekolah dokter
Jawa di Jakarta bernama STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen). Sayangnya 4 bulan
kemudian beasiswanya dicabut karena kesehatan Ki Hajar kurang baik.

Beberapa hari sebelum pencabutan, dampratan dari Direktur STOVIA juga ia dapatkan. Hal ini
disebabkan karena Ki Hajar Dewantara dianggap membangkitkan radikalisme terhadap Pemerintahan
Hindia Belanda. Radikalisme ini konon disebarkan melalui sajak yang ia bawakan di sebuah
pertemuan.

Lepas dari STOVIA Ki Hajar Dewantara mendapat Surat Keterangan Istimewa atas kemahirannya
berbahasa Belanda. Ki Hajar juga menjadi jurnalis di Surat Kabar Bahasa Jawa “Sedyotomo”,
kemudian Surat Kabar Bahasa Belanda “Midden Java di Yogyakarta, dan “De Express” di Bandung.

Berkat tulisan-tulisannya yang bagus, pada 1912 ia diminta mengasuh Harian “De Express” Bandung
oleh Dr. E.F.E. Douwes Dekker. Tulisan pertamanya berjudul “Kemerdekaan Indonesia”. Bahkan ia
pun menjadi Anggota Redaksi Harian “Kaoem Muda” Bandung, “Oetoesan Hindia” Surabaya,
“Tjahaja Timoer” Malang. Begitu juga pada tahun 1912, Ki Hajar Dewantara menerima tawaran dari
HOS.

Puncak karir Suwardi Suryaningrat dalam jurnalistik adalah saat menulis Als ik eens Nederlander was
pada Buletin Bumi. Buletin ini dicetak 5.000 eksemplar dan menjadi terkenal di kalangan masyarakat.
Hal ini disebabkan karena tulis-tulisan yang berupa kritikan tersebut dinilai sangat pedas. Hingga
akhirnya Ki Hajar Dewantara, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ditangkap
lalu dipenjara.

Dunia jurnalistik yang ditekuni Suwardi Suryaningrat membuat pergaulannya lebih luas pandangan
politiknya juga lebih berkembang. Ia dapat mengutarakan pemikiran dan persoalan bangsanya melalui
ulisan-tulisan di berbagai surat kabar, majalah, dan brosur dan memberi penerangan pada bangsanya
yang sedang dirundung kegelapan.

Di dalam masa pengasingannya, Ki Hadjar Dewantara aktif bersosialisai di dalam organisasi pelajar
asal Indonesia, yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Ki Hajar Dewantara banyak mendapat pengetahuan dan pemahaman sejarah sosial pendidikan yang
yang mencerahkan saat ia menjalani masa pengasingan di Belanda. Di sanalah beliau banyak
mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran dari Montessori,  Dalton, Frobel, pesantren, dan
asrama.

Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau, atau kantor berita
Indonesia. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya untuk memajukan pendidikan masyarakat
Indonesia.

Ia pun berhasil mendapatkan sebuah ijazah pendidikan bergengsi di Belanda, yang dikenal dengan
nama Europeesche Akta. Ijazah itulah yang kemudian dapat membantunya mendirikan berbagai
lembaga pendidikan di Indonesia.

Saat ia berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara tak lagi Suwardi
Suryaningrat. Begitu juga tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ditujukan agar ia dapat secara bebas dekat dengan rakyatnya.

Anda mungkin juga menyukai