Anda di halaman 1dari 4

BIOGRAFI GUSTI KETUT JELANTIK

Kapan I Gusti Ketut Jelantik lahir tidak diketahui dengan pasti. Yang jelas, pada tahun 1828 ia
diangkat sebagai Patih Agung Kerajaan Buleleng, Bali. Ia merupakan keturunan darah Dinasti
Perang Puputan Jagaraga. Sebagai Patih Agung, ia membina kerjasama dengan kerajaan-kerajaan
lain di Bali. Berkaitan dengan itu, ia juga dipaksa berhadapan dengan pihak Belanda yang ingin
menguasai Bali umumnya dan Buleleng khususnya.

Dalam suatu perundingan, pihak Belanda menuntut agar Raja Buleleng mengganti kerugian atas
kapal-kapal Belanda yang dirampasnya. Sebagai dalih, Belanda menuntut agar raja-raja Bali
menghapus hukum "Tawan Karang". Karena menurut hukum Tawan Karang, kapal yang
terdampar di pantai disita oleh penduduk pantai tempat kapal itu terdampar dan menjadi milik
raja Bali.

Belanda merasa dirugikan sebab beberapa kapal dagang mereka sudah dikenakan Tawan Karang.
Kapal yang dimaksud adalah kapal dagang Belanda yang terdampar di daerah Prancak (wilayah
Jebarana) pada tahun 1844 yang merupakan wilayah hukum (juridiksi) Kerajaan Buleleng. Selain
itu, Belanda juga menuntut agar Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda di Hindia Belanda.

Mendengar tuntutan itu, Patih I Gusti Ketut Jelantik menjadi sangat marah. Ia tidak mau tunduk
terhadap tekanan Belanda itu. Dengan menepukkan tinju ke dadanya ia pun berkata: "Apapun
tidak akan bisa terjadi. Selama aku hidup, tidak akan mengakui kekuasaan Nederland di kerajaan
ini. Bila aku mati, raja boleh berbuat apa saja yang dikehendaki. Tetapi dengan cara begini orang
tidak bisa dibentuk oleh sehelai kertas saja hendak menguasai negara lain. Keris ini harus
sepadan berbicara dulu". Kata-kata patih itu ditulis oleh Mard Johansen Lane, seorang Lihat
Daftar Tokoh Pengusaha
pengusaha dan diplomat berkebangsaan Denmark yang menjadi penengah antara raja-raja Bali
dan Belanda.

Pada tahun 1843 Belanda berhasil memaksa beberapa raja, antara lain raja Buleleng
menandatangani perjanjian penghapusan Tawan Karang. Namun, Raja Buleleng tidak mau
menaati perjanjian itu sepenuh hati.

Pada tahun 1845 sebuah kapal Belanda terdampar di pantai Sangsit yang merupakan wilayah
Kerajaan Buleleng. Belanda menuntut agar kapal itu dibebaskan. Ketut Jelantik menolak.
Bahkan ia menghina utusan Belanda dan menantangnya untuk berperang. Akibatnya, pada bulan
Juni 1846 pasukan Belanda menyerang Buleleng. Pertempuran sengit pun terjadi. Pertempuran
tersebut tidak berjalan seimbang karena tentara Belanda berjumlah 1.700 orang dengan
persenjataan yang lebih lengkap dan modern. Istana Buleleng pun mereka duduki. Buleleng
akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 29 Juni 1846. Buleleng terpaksa mengakui kedaulatan
Belanda, begitu pula Karangasem. Akan tetapi, Buleleng tetap saja memperlihatkan sikap
bermusuhan.

Raja Bali dan Ketut Jelantik menyingkir ke Jagaraga dan membangun benteng-benteng
pertahanan di tempat itu. Patih Jelantik menyadari bahwa kekuatan serdadu Belanda terutama
terletak dalam kelengkapan persenjataan, seperti senapan dan perlengkapan yang memadai.
Untuk menghadapi kelebihan pihak lawan itu, Patih Jelantik memilih sistem pertahanan "Supit
Udang" (makara wyuda). Patih itu menyadari bahwa daerah pantai sulit dipertahankan karena
dengan mudah dapat dijangkau oleh peluru meriam Belanda. Oleh karena itu, Benteng Jagaraga
dipandang sebagai pertahanan yang baik karena wilayah itu tidak dapat dicapai oleh peluru
meriam dan mortir dari pantai.

Untuk menghindari gempuran yang lebih hebat lagi, Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made
Karangasem bersiaga penuh menghadapi serangan Belanda. Buleleng tetap menolak
mengadakan perjanjian dengan Belanda. Isi perjanjian itu antara lain: 1). Daerah Buleleng
merupakan bagian dari Hindia Belanda; 2). Raja Buleleng tidak akan mengadakan hubungan
dengan orang Eropa lainnya; 3). Hak Tawan Karang dihapuskan; 4). Buleleng harus mengganti
kerugian perang.

Pembangunan benteng di Jagaraga itu wujud nyata penolakan perjanjian itu. Di samping itu,
kapal Belanda yang terdampar di Pantai Kusumba dan Badung juga diperlakukan sebagaimana
mestinya sesuai hak Tawan Karang. Untuk mengantisipasi penyerbuan Belanda di Jagaraga,
pasukan disiagakan. Pembangunan benteng itu menyebabkan Gubernur Jenderal Belanda
mengerahkan kekuatan besar-besaran di bawah pimpinan Jenderal van der Wijk sekaligus
menuntut agar Patih Jelantik menyerahkan diri.

Buleleng mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Dewa Agung Putra sebagai
Susuhunan raja-raja Bali memberi bantuan laskar sebanyak 1.650 orang yang terdiri dari prajurit
gabungan Klungkung-Gianyar lengkap dengan persenjataannya di bawah pimpinan I Dewa Ketut
Agung. Laskar Kerajaan Mengwi berjumlah 600 orang, Kerajaan Karangasem mengirim 1.200
orang di bawah pimpinan I Made Jungutan dan Gde Padang. Menjelang akhir tahun 1846 di Ibu
Kota Jagaraga telah berkumpul laskar 7.000-8.000 orang lengkap dengan persenjataannya.
Laskar-laskar itu digabung dengan laskar Buleleng yang dipimpin oleh Ida Bagus Tamu dan I
Nengah Raos sehingga merupakan laskar dalam jumlah besar.

Pada bulan Juni 1848 Belanda kembali mengirim pasukannya ke Bali. Raja Buleleng
diultimatum agar menyerahkan Ketut Jelantik dan membongkar benteng-benteng di Jagaraga.
Ultimatum itu tidak diindahkan oleh Ketut Jelantik. Pasukan Belanda langsung menyerang
Jagaraga. Kekuatan pertahanan dan kegigihan para prajurit Buleleng membuat Belanda tidak
mampu merebut Benteng Jagaraga. Serangan itu pun gagal. Bahkan, pihak Belanda kehilangan
14 perwira dan 242 prajuritnya. Pertempuran sengit itu dikenal sebagai Perang Jagaraga I. Raja
Buleleng I Gusti Ngurah Karangasem dan patihnya I Gusti Ketut Jelantik yang mundur ke desa
Jagaraga dan menyusun pasukan baru ternyata berhasil menahan serbuan Belanda.

Masih pada tahun 1848, pertempuran kedua dengan Belanda kembali meletus. Untuk kedua
kalinya, tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal van der Wijk juga tak mampu menahan
gempuran dahsyat pasukan Buleleng yang dipimpin oleh Patih Ketut Jelantik. Tentara Belanda
pun mundur ke arah pantai.

Kemenangan Buleleng itu disusul dengan peperangan ketiga pada tanggal 31 Maret 1849.
Tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Michels melancarkan tembakan meriam di atas
kapal. Pertempuran sengit berkobar di Jagaraga selama dua hari. Prajurit Bali mempertahankan
Jagaraga sekuat tenaga. Karena Belanda sudah mengetahui kekuatan Benteng Jagaraga maka
pada 16 April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. I Gusti Ketut Jelantik pun harus
mundur ke Pegunungan Batur Kintamani.

Selanjutnya, Ketut Jelantik pergi ke Karangasem mencari bantuan. Ternyata istana Karangasem
juga sudah diduduki Belanda. Ketut Jelantik akhirnya bertahan di perbukitan Bale Pundak,
sementara Belanda terus memburunya. Ia akhirnya gugur dalam pertempuran di tempat itu pada
akhir April 1849.
TUGAS IPS

Nama : Dewa Gede Satya Ardiana


No : 07
Kelas : IXF

Anda mungkin juga menyukai