Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH PERANG BALI 1846-1849

Sejarah Perang Bali 1846-1849 - Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax
Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha
membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan
antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng.
Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di
bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk
menguasai Bali. Di Bali terdapat hukum tawan karang yaitu hukum yang memberikan hak
kepada kerajaan di Bali untuk merampas kapal-kapal yang terdampar di perairan Bali dan
seluruh isinya termasuk anak buah kapal sebagai asset mereka. Hukum Tawan Karang tetap
saja dilakukan oleh rakyat Buleleng sepanjang pesisir. Bahkan sering mengganggu pelayaran
Belanda.

Pada tahun 1841, Belanda mengadakan suatu perjanjian dengan raja Buleleng dimana hukum
Tawan Karang tersebut tidak berlaku kepada kapal-kapal Belanda. Pada tahun 1844
perjanjian tersebut dijalankan. Pada tahun itu juga, ketika sebuah kapal milik Belanda
terdampar di Bali, kapal itu dirompak dan protes atas perlakuan itu diabaikan, yang berarti
penguasa Bali melanggar kesepakatan, sehingga pemerintah kolonial Belanda di Jawa tak
bisa lagi mentoleransi dan melancarkan ekspedisi.

Latar belakang dari kerajaan Buleleng adalah Patih Jelantik tetap pada pendiriannya semula
yaitu bertekad mengusir Belanda dari wilayah kerajaan Buleleng. Untuk mewujudkan
keinginan ini, Patih Jelantik mempersiapkan Desa Jagaraga sebagai pusat kegiatan untuk
mencapai maksudnya. Namun tindakan-tindakan serdadu Belanda merampas ibukotanya
merampok rumah-rumah rakyat menimbulkan dendam pada rakyat Buleleng. Maka Patih
Jelantik secara rahasia telah mengirimkan mata-mata untuk mengetahui kegiatan serdadu
Belanda di Pabean dan kemudian mengambil kesimpulan bahwa Belanda telah
mempersiapkan suatu penyerangan besar-besaran terhadap Jagaraga. Karena itu Patih Jelantik
memutuskan memperkuat Jagaraga dalam system perbentengan, kekuatan lascar, dan
persenjataan.
Sejarah Perang Bali 1846-1849

Sejarah Proses Terjadinya Perang Bali


Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di
bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas
Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun
1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja
Bali mengakui bahwa kerajaan kerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda.
Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.

Faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849 dengan masalah
utamanya adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan
kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah
kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah
Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843
isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng
namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.

Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali
Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng
melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian
tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.

Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu persatu
daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah
kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik. Perang Buleleng disebut
juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di desa Jagaraga.
Perang ini disebut pula Perang Puputan. Karena perang dijiwai oleh semangat puputan yaitu
perang habis-habisan.
Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
· Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan
kehormatan.
· Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal
istilah menyerah kepada musuh.
· Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.

Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan
ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam,
Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya
mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero
Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan
bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.

Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265
serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Van der Wijck
menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.
Setelah gagal, pada tahun 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah
15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni dipimpin oleh
Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan
gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur pada
tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan
jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara. Selain puputan
Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan
daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.

Biografi I Gusti Ketut Jelantik


Gusti Ketut Jelantik, terlahir di desa Pidie, pada tahun 1836. Beliau adalah generasi ke IX
dalam silsilah keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Pada usia 25 tahun, I Gusti Ketut
Jelantik ditinggal wafat oleh ayahandanya, I Gusti Ketut Banjar, yang pernah menjabat
Sedahan Agung semasih Bali di bawah raja I Gusti Made Karang. Ibunya, Gusti Biang
Kompyang Keramas berasal dari Banjar Penataran desa Buleleng, setelah menjanda diambil
sebagai isteri oleh I Gusti Bagus Jelantik, yang tidak lain adalah kakak kandung I Gusti Ketut
Banjar almarhum. I Gusti Bagus Jelantik waktu itu sebagai Punggawa Penarukan (1860-
1880) yang kemudian merangkap jabatan sebagai Patih KerajaanBuleleng (1872-1887).
Mereka tinggal di Puri Kanginan beserta seluruh sanak keluarga

I Gusti Ketut Jelantik dinobatkan sebagai salah satu pahlawan nasional karena keberaniannya
dalam melawan penjajah Belanda pada saat itu. Sikap dan tindakanya dinilai berani karena
menolak tuntutan Belanda dalam sebuah perundingan yang menuntut agar kerajaan buleleng
mengganti kerugian kapal yang dirusak dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia
Belanda. Pada saat perundingan iitu pihak belanda diwakili oleh JPT Mayor Komisaris
Hindia Belanda, sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh raja Buleleng I Gusti Ngurah
Mada Karangasem dan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.

"Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja tapi harus
diselesaikan diatas ujung keris. Selama saya hidup kerajaan ini tidak akan pernah mengakui
kedaulatan Belanda". Seperti itulah kutipan perkataan I Gusti Ketut Jelantik yang marah
besar dengan tuntutan pihak Belanda.

Tak habis akal, pihak Belanda terus mencoba mencari cela untuk melawan I Gusti Ketut
Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam pertemuan yang
berlangsung pada tanggal 12 Mei 1845 ini Belanda menuntut agar Buleleng mengganti rugi
kapal dan menghapuskan hak "tawan karang" yakni merampas perahu yang terdampar di
kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik pun naik pitam, bahkan beliau menghunuskan
sebilah keris pada kertas perjanjian. Beliau menantang Belanda untuk menyerang den Bukit
atau Bali Utara.
Pada tanggal 27 Juni 1846 Belanda benar-benar melakukan serangan ke kerajaan Buleleng.
Namun akhirnya kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 29 Juni 1846.
Kemudian raja buleleng dan patih I Gusti Ketut Jelantik mundur ke desa Jagaraga untuk
menyusun kekuatan.

Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi perang dan menjadi sosok
yang disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang teguh pendirian. Hal ini ditunjukkan
ketika mempertahankan desa Jagaraga patih I Gusti Ketut Jelantik terus memperkuat
pasukannya dan mendapat bantuan dari kerajaan lain seeperti klungkung, Karang Asem,
Badung dan Mengwi.

Pada tanggal 6 sampai 8 Juni 1848 pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan
mendaratkan pasukanya di sangsit. Pihak Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dengan
mengerahkan pasukan benteng Jagaraga yang merupakan benteng terkuat dibandingkan
dengan 4 benteng lainnya. Sedangkan pihak belanda dipimpin oleh Jendral Van Der Wijck.
Tetapi pihak Belanda gagal menembus benteng yang dipimpin oleh I gusti Ketut Jelantik dan
hanya mampu merebut satu benteng saja yakni benteng sebelah timur sansit yang berada
dekat Bungkulan.

Dengan adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya untuk semakin
mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Namun pasukan patih jelantik ini
menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan besar-besaran yang
dipimpin oleh Jendral Michiels pada tanggal 31 Maret 1849. Belanda menyerang Bali dengan
menembakan meriam-meriamnya. Pada tanggal 7 April 1849 raja buleleng dan patih jelantik
bersama 12 ribu prajurit berhadapan dengan jendral michiels. Namun karena kalah
persenjataan bali terdesak dan mundur sampai pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga pun
jatuh ke tangan Belanda pada 16 April 1849. Akhirnya patih jelantik gugur pada serangan
karangasem oleh Belanda yang didatangkan dari Lommbok dan menyerang hingga
kepegunungan Bale Punduk.

Atas keberanian sikap dan mental perjuangan yang ditunjukkan oleh I gusti Ketut Jelantik
tentu tidak ada kata ragu untuk kita memberikan gelar Pahlawan Nasional. Pada tanggal 19
Agustus 1993 Pemerintah RI memberikan Gelar Pahlawan nasional pada Patih Jelantik
berdasarkan SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993. Wafat di benteng, Aneuk Galong bulan
Januari 1891.

Demikianlah materi tentang Sejarah Perang Bali 1846-1849 yang sempat kami berikan dan
jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Sejarah Perang Puputan Bayu Di
Blambangan Pada 1771 yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami
berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih

Anda mungkin juga menyukai