Anda di halaman 1dari 3

I GUSTI KETUT JELANTIK

LAHIR : 1800 TUKADMUNGGA, BULELENG


MENINGGAL : 1849 JAGARAGA, BULELENG
PENGABDIAN : BULELENG
DINAS/CABANG : PATIH

PERANG/ PERTEMPURAN : PERTEMPURAN JAGARAGA

Profesi : Pahlawan Nasional


Agama : Hindu
URAIAN
I Gusti Ketut Jelantik adalah pahlawan nasional Indonesia. Dia mendapatkan penghargaan berupa
gelar Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993 oleh presiden Suharto,
karena memang layak disematkan pada  berkat usahanya yang tetap teguh membela tanah kelahiran
atas kekuasaan Belanda kala itu.

Berawal dari hak hukum Tawan yang menyatakan bahwa kapal dari pemerintah manapun apabila
bersandar maupun terdampar di wilayah perairan Bali maka menjadi milik kerajaan Bali. Saat itu,
pemerintah Belanda menolak dengan adanya hak Tawan yang sudah barang tentu merugikan
pihaknya.
Kapal dagang Belanda terdampar di daerah Prancak, Jebrana yang merupakan wilayah dari kerajaan
Buleleng disita oleh kerajaan Buleleng yang membuat pemerintah Belanda meradang. Tak setuju
dengan adanya peraturan hak Tawan yang mengakibatkan kapalnya terkena Tawan Karang,
pemerintah Belanda menuntut untuk penghapusan hukum tersebut dan menyarankan agar pihak
kerajaan Buleleng mengakui kekuasaan Belanda di Hindia Belanda.

Tuntutan yang bagi patih kerajaan Buleleng, Ketut Jelantik, sangat meremehkan tersebut akhirnya
ditanggapi dengan sikap meradang. Ia bahkan bersumpah selama hidupnya tidak akan pernah
tunduk pada kekuasaan Belanda demi apapun alasannya. Suami dari I Gusti Ayu Made Geria ini lebih
memilih untuk berperang dibandingkan mengakui kedaulatan dan kekuasaan pemerintah Belanda.

Memilih jarang peperangan. Begitulah tindakan berani Ketut Jelantik dalam menghadapi pemerintah
Belanda. Pada tahun 1943, ketika pemerintah Belanda berhasil meminta persetujuan beberapa raja
dari kerajaan-kerajaan Bali untuk menghapuskan hak hukum Tawan dan mengakui kekuasaan
Belanda, kerajaan Buleleng tetap pada pendiriannya.
Mereka menolak untuk menghapuskan perjanjian yang bagi Ketut Jelantik akan merugikan
warganya. Karena penolakan itulah akhirnya pecah perang yang terjadi antara Buleleng dan Belanda
pada tahun 1846 yang menghasilkan kekalahan dari pihak Buleleng. Istana Buleleng berhasil dikuasai
Belanda yang membuat raja Buleleng dan patihnya melarikan diri ke daerah Jagaraga.

Kurang puas hanya merebut istana Buleleng, Belanda mengejar Ketut Jelantik dan raja ke daerah
Jagaraga. Di sana, ayah dari tiga anak ini bersembunyi di benteng-benteng pertahanan yang
dibuatnya bersama dengan para prajurit. Siasat perang yang menyatakan bahwa daerah benteng
mempunyai bentuk bangunan yang sulit dijangkau oleh meriam, Ketut Jelantik memilih untuk
bertahan dan menyusun strategi perang. Benar saja, keteguhan sikap yang menolak adanya
penghapusan hak hukum Tawan nyatanya mengantarkan Buleleng pada peperangan yang cukup
sengit.
Peperangan yang meletus pada bulan Juni 1848 ini tak hanya melibatkan tentara Belanda, tapi juga
kerajaan-kerajaan yang berhasil diberdaya Belanda untuk tunduk kepada Belanda. Berhasil memukul
mundur tentara Belanda pada perang Jagaraga I, pasa tahun 1849 Belanda kembali menyerang
wilayah Jagaraga. Dengan pengalaman strategi yang pernah dipelajari, maka pada 16 April 1849,
akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda.

Kalah dalam berperang, Ketut Jelantik melarikan diri ke pegunungan Batur Kintamani. Di sana, ia
bertahan di perbukitan Bale Pundak sampai akhirnya gugur dalam perjuangan ketika Belanda
mengetahui gerak geriknya dan berhasil mengepungnya. Berkat usahanya yang gigih dalam
mempertahankan tanah kelahiran, Ketut Jelantik berhak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional
menurut SK tahun 1993. Penghargaan tersebut sepadan dengan pengorbanannya.

Anda mungkin juga menyukai