Anda di halaman 1dari 9

PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAHAN BELANDA

(Perlawanan Bali, Perang Banjar, Perang Aceh, dan Perang Batak)

MARTHA SULISTYA WENING

A. Perlawanan Bali
Latar Belakang
Terjadi beberapa kali peperangan di Bali yaitu pada tahun
1846, 1848, dan 1849. Peperangan tersubut terjadi karena para raja
Bali ingin mempertahankan Hak Tawan Karang. Hak Tawan Karang
merupakan hak yang dimiliki raja-raja Bali untuk merampas seluruh
muatan beserta penumpang kapal-kapal asing yang karam di
perairan Bali. Pada saat itu, kapal-kapal Belanda banyak yang
terdampar di perairan Bali sehingga adanya hak tersebut merugikan
pihak Belanda. Pada tahun 1839, Belanda meminta para raja Bali
untuk menghapuskan hak tawan karang tersebut dan sebagai
gantinya pihak Belanda akan membayar sejumlah uang untuk setiap
kapal yang terdampar di perairan Bali. Namun dalam
pelaksanaannya, Belanda tidak menepati perjanjian tersebut
sehingga memicu konflik yang kemudian berlanjut pada peperangan.

Proses Perlawanan
Sikap Belanda yang tidak menepati perjanjian memunculkan
pergerakan dari rakyat Bali.

Tahun 1844  Raja Buleleng merampas kapal Belanda yang


terdampar di Pantai Buleleng. Belanda kemudian
mengeluarkan ultimatum untuk mengembalikan
rampasan tersebut. Namun, ultimatum tersebut tidak
dihiraukan oleh raja Bulelelng dan patihnya Gusti
Ketut Jelantik.

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020


Belanda menyerang Bali. Pasukan Kerajaan Buleleng
Tahun 1846 
yang dipimpin Gusti Ketut Jelantik tidak dapat
menahan serangan Belanda. Akhirnya mereka
mundur ke Jagaraga.
Begitu pasukan Buleleng mundur, pasukan Belanda
ditarik kembali ke Jawa. Hal tersebut menjadi
kesempatan untuk G.K. Jelantik untuk
mengumpulkan pasukan-pasukan dari kerajaan lain.
Dari Jagaraga, G.K. dan pasukan gabungan kerajan-
kerajaan Bali menyerang pos-pos Belanda di daerah
kerajaan tersebut sekaligus menawan para
serdadunya.

Tahun 1848  Belanda mengirimkan lagi pasukannya, meminta


serdadunya dibebaskan dan memerintah agar
benteng-benteng pertahanan rakyat Bali dibongkar.
Belanda juga berusahan untuk merebut pos-pos
pertahanannya yang hancur. Namun, segala perintah
dan upaya Belanda tidak dihiraukan dan mendapat
perlawanan yang kuat dari pasukan Bali. Belanda
akhirnya dapat dipukul mundur.

Tahun 1849 
Belanda kembali mengirimkan pasukan yang lebih
besar. Kota Singaraja dapat dikuasai oleh Belanda.
Kemudian Jagaraga pun diserang oleh Belanda. Pada
saat itulah, rakyat Bali bersumpah memerangi
Belanda sampai titik darah penghabisan. Perang
tersebut kemudian dikenal dengan nama Perang
Puputan (perang sampai mati).

Akhir Perlawanan

Pasukan rakyat Bali pada akhirnya gugur dalam peperangan


melawan Belanda karena berbagai faktor yang salah satunya adalah

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020


kalah dalam persenjataan. Jagaraga berhasil dikuasai oleh Belanda.
Pada saat yang hampir bersamaan, pasukan Belanda mendarat di
Padang Cove yang terletak di timur pulau Bali. Kemudian, dari sana
mereka menyerang Kusamba, dan berturut-turut menaklukan
Jembrana, Badung, Klungkung, Karangasem, dan Bangli.

B. Perang Banjar
Latar Belakang
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perang Banjar, di antaranya:
 Belanda melakukan monopoli perdagangan yang merugikan
rakyat daerah tersebut sejak abad ke-17
 Beban pajak serta kewajiban kerja rodi yang membuat rakyat
menderita
 Belanda ingin menguasai daerah Kalimantan bagian Selatan
 Belanda memperluas wilayahnya di Kalimantan bagian
selatan untuk perkebunan dan pertambangan
 Belanda terlalu mengintervensi urusan internal kerajaan.
Intervensi yang sangat ditentang rakyat Banajar saat itu
adalah diangkatnya Tamjidillah sebagai sultan oleh Belanda.
Rakyat Banjar dan para kalangan istana lebih menginginkan
Pangeran Hidayatullah lah yang menduduki takhta. Rakyat
tidak setuju dengan pengangkatan Tamjidillah karena ibunya
bukan dari kalangan bangsawan Banjar. Selain itu,
Tamjidillah juga dituduh senang minum minuman keras.
 Di tengah-tengah kondisi kerajaan yang tidak kondusif,
muncul gerakan dari pedalaman yang dipelopori oleh Aling.
Aling mendapat ilham bahwa keselamatan Kasultanan Banjar
tergantung pada peran Pangeran Antasari, sepupu Pangeran
Hidayatullah.

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020


Proses Perlawanan

Pada tahun 1859, terjadilah Perang Banjar (1859-1905) di


mana Kesultanan Banjar melawan kolonial Belanda. Pemberontakan
besar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, seorang pangeran dari
suatu cabang keluarga kerajaan yang haknya telah dicabut pada
abad ke-18 dan dua orang pemimpin kaum tani akhirnya pecah pada
bulan April 1859. Pangeran Antasari dan rakyat Banjar berhasil
menyerang perusahaan tambang batu bara Belanda di Pengaron,
pos-pos misionaris, dan membunuh orang-orang Eopa di sana pada
tanggal 25 April 1859. Penyerangan dilanjutkan ke pos-pos Belanda
di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong,
Sepanjang Sungai Barito sampai Puruk Cahu. Belanda mengalami
kerugian besar karena menelan banyak korban dan biaya.

Belanda meredakan militansi rakyat Banjar dengan cara


memaksa Tamjidillah tutun takhta dan mengasingkannya ke Bogor
pada tahun 1859. Pada tahun 1860, Belanda menghapuskan
Kesultanan Banjar. Belanda juga mengeluarkan ultimatum agar
Pangeran Hidayatullah menyerah. Walaupun ultimatum tersebut
ditolak, Pangeran Hidayatullah tetap bisa ditangkap denga tipu daya.
Pangeran Hidayatullah kemudian diasingkan ke Cianjur. Perjuangan
tetap dilanjutkan oleh Pangeran Antasari hingga akhirnya ia
meninggal karena cacar pada tahun 1862. Perlawanan-perlawanan
masih tetap berlangsung hingga tahun 1863.

Akhir Perlawanan

Perlawanan rakyat Banjar berakhir setelah wafatnya Sultan


Muhammad Seman pada tahun 1905. Meninggalnya Sultan
Muhammad Seman ini mengakhiri garis kepemimpinan raja.

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020


C. Perang Aceh
Latar Belakang
 Belanda ingin menguasai Aceh karena ingin mewuudkan Pax
Netherlandica
 Orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan
kedaulatannya, sesuai dengan Traktat London tanggal 17
Maret 1824. Traktat London itu adalah hasil kesepakatan
antara Inggris dan Belanda yang isinya antara lain bahwa
Belanda setelah mendapatkan kembali tanah jajahannya di
Kepulauan Nusantara tidak dibenarkan mengganggu
kedaulatan Aceh.
 Pada tahun 1825 Inggris sudah menyerahkan Sibolga dan
Natal kepada Belanda
 Pada tanggal 1 Februari 1858, Belanda menyodorkan
perjanjian dengan Sultan Siak, Sultan Ismail. Perjanjian inilah
yang dikenal dengan Traktat Siak. Isinya antara lain Siak
mengakui kedaulatan Hindia Belanda di Sumatra Timur.
 Pada tanggal 2 November 1871 ditandatangani Traktat
Sumatera. Isi Traktat Sumatera itu antara lain Inggris memberi
kebebasan kepada Belanda untuk memperluas daerah
kekuasaannya di seluruh Sumatera.
 Pada tahun 1873 Aceh mengirim utusan yakni Habib
Abdurrahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata.
 Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda melalui Komisaris
Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh.
Pecahlah pertempuran antara Aceh melawan Belanda. Para
pejuang Aceh di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah
II mengobarkan semangat jihad angkat senjata untuk
melawan kezaliman Belanda.

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020


Proses Perlawanan

Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873.


Tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal Mayor J.H.R. Kohler
terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh. pada tanggal 14
April 1873 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh di bawah
pimpinan Teuku Imeum Lueng Bata melawan tentara Belanda di
bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan Masjid Raya
Baiturrahman. Kohler dterbenuh pada peperangan tersebut dan
pasukan Belanda ditarik mundur. Pasukan Aceh sangat kuat karena
adanya doktrik “Menang atau Syahid” sehingga membakar
semangat rakyat.

Kegagalan Belanda pada peperangan pertama memicu


serangan kedua pada akhir tahun 1873 di bawah pimpinan Mayjen
Jan van Swieten. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat
menduduki istana setelah istana dikosongkan, karena Sultan
Mahmud Syah II bersama para pejuang yang lain meninggalkan
istana menuju ke Leueung Bata dan diteruskan ke Pagar Aye (sekitar
7 km dari pusat kota Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28 Januari
1874 sultan meninggal karena wabah kolera. Para pejuang Aceh
tidak mengendorkan semangatnya. Di bawah pimpinan ulebalang,
ulama, dan ketua adat, rakyat Aceh terus mengobarkan perang
melawan Belanda. Semangat juang semakin meningkat seiring
pulangnya Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877.

Perang Sabil
Pada tahun 1884, para pemimpin Perang Aceh seperti Tuanku
Hasyim, Panglima Polim, Tengku Cik Di Tiro memproklamirkan
“Ikrar Prang Sabi” (Perang Sabil). Perang Sabil merupakan perang
melawan kaphee Beulanda (kafir Belanda), perang suci untuk
membela agama, perang untuk mempertahankan tanah air, perang
jihad untuk melawan kezaliman di muka bumi. Dengan
digelorakannyaPerang Sabil ini perlawanan Aceh semakin meluas.

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020


Pada tahun 1884-1885, markas besar Belanda di Batavia
memerintahkan agar peperangan dihentikan. Hal tersebut menjadi
kesempatan rakyat Aceh untuk berkonsolidasi dan akhirnya banyak
wilayah pedalaman yang kembali ke tangan mereka. Pada tahun
1993, Teuku Umar dan pasukannya menyerah ke Belanda. Belanda
memberikan respon baik bahkan menjadikan Teuku Umar panglima
perang dan memberikan senjata untuk pasukannya. Namun tiga
tahun setelah itu yaitu tahun 1896, Teuku Umar kembali ke pihak
rakyat Aceh dan melakukan gerilya melawan Belanda.

Penasihat pemerintah klonial, C. Snouck Hurgronje


menyarankan bahwa satu-satunya cara menguasai Aceh adalah
meredakan perlawanan fanatic dari kaum ulama. Sementara itu,
untuk menjaga kestabilan, pemerintah Belanda harus menjalin kerja
sama dengan para uleebalang, yaitu pemimpin adat atau golongan
sekuler. Pada perang yang dipimpin oleh J.B. Van Heutsz, langkah
pertama yang dilakukan oleh Hurgronje adalah bekerja sama dengan
uleebalang. Pada tahun 1898, Hurgronje mengajukan kesepakatan
politik baru yang disebut dengan Pernyataan Singkat yang mana hal
tersebut menjadi perjanjian standar yang berlaku untuk seluruh raja-
raja di Nusantara. Kemudian, raja-raja di Aceh diangkat menjadi
bupati seperti di Jawa.

Belanda membentuk pasukan marsose yang merupakan


pasukan gerak cepat untuk menghancurkan pertahanan rakyat
Aceh. Pasukan tersebut berhasil membunuh Teuku Umar pada
tahun 1899 dalam serangan Belanda ke Meulaboh. Persekutuaan
Belanda dan uleebalang semakin stabil pada tahun 1903. Pada
tahun itu juga, Sultan Ibrahim Mansur Syah menyerah. Kemudian,
Cut Nyak Dhien yang melanjutkan perlawanan rakyat Aceh. Namun,
perjuangannya berakhir setelah ia ditangkap pada tahun 1905, lalu
diasingkan ke Sumedang sampai wafatnya tahun 1908. Perlawanan
rakyat dengan skala kecil masih terus terjadi setelah itu.

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020


Akhir Perlawanan

Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru


berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada gerakan-
gerakan perlawanan local yang berskala kecil yang sering terjadi.
Bahkan, dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung sampai
tahun 1942.

D. Perang Batak
Latar Belakang
Setelah Perang Padri, Belanda terus melanjutkan ekspansi
wilayahnya. Belanda mulai memasuki tanah Batak, yang termasuk
di dalamnya adalah Tapanuli. Raja Batak, Sisingamangaraja XII
merasa terancam dengan kedatangan Belanda tersebut. Hal
diperparah lagi karena kedatangan Belanda ini disertai dengan
penyebaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristen ini
dikhawatirkan akan menghilangkan tatanan tradisional dan bentuk
kesatuan negeri yang telah ada secara turun temurun. Untuk
menghalangi proses Kristenisasi ini, pada tahun 1877 Raja
Sisingamangaraja XII berkampanye keliling ke daerahdaerah untuk
menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang
memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Akibatnya, terjadi
pengusiran zending bahkan pembakaran pos-pos zending di
Silindung. Melihat hal itu, pada tanggal 8 Januari 1878 Belanda
mengirim pasukan untuk menduduki Silindung dan pecahlah Perang
Batak.

Proses Perlawanan
Pada Februari 1878, Sisingamangaraja XII menyerang pos
pasukan Belanda di Bahal Batu. Perang meluas ke daerah-daerah
lain seperti Buntur, balige, Si Borang-Borang, dan Lumban Julu.
Tujuh tahun lamanya perang tersebut berlangsung. Belanda
kemudian meluncurkan serangan untuk menguasai Bakkara pada
tahun 1894. Bakkara merupakan pusat kedudukan dan
©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020
pemerintahan Kerajaan Batak. Hal tersebut membuat
Sisingamangaraja XII harus menyingkir ke Dairi Pakpak. Pasukan
Belanda yang dipimpin oleh G.C. Ernst van Daalen dikirim ke
Tapanuli pada tahun 1904. Pasukan Sisingamangaraja XII dapat
dipukul mundur oleh pasukan Belanda tersebut.
Pasukan marsose, di bawah pimpinan Kapten Hans
Christoffel berhasil menangkap istri dan dua orang anak
Sisingamangaraja XII pada tahun 1907. Sisingamangaraja XII dan
pasukannya dapat melarikan diri ke hutan Simsim. Ia tidak ingin
menyerah kepada Belanda.

Akhir Perang
Sisingamangaraja XII akhirnya gugur dalam pertempuran
tanggal 17 Juni 1907 bersama putrid an dua orang putranya.
Wafatnya Sisingamangaraja XII ini juga menandai berakhirnya
Perang Batak.

©PRAKTIK KEPENDIDIKAN UNY 2020

Anda mungkin juga menyukai