0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
33 tayangan2 halaman
Dokumen ini membahas perlawanan rakyat dan kerajaan-kerajaan di Bali melawan penaklukan Belanda pada abad ke-19. Perlawanan dimulai setelah kerajaan Buleleng menolak memenuhi perjanjian tahun 1843 dengan Belanda untuk membantu kapal-kapal yang terdampar. Ini memicu serangan Belanda ke Buleleng pada 1846. Meski mendapat dukungan dari Karangasem dan Klungkung, Buleleng akhirnya jat
Dokumen ini membahas perlawanan rakyat dan kerajaan-kerajaan di Bali melawan penaklukan Belanda pada abad ke-19. Perlawanan dimulai setelah kerajaan Buleleng menolak memenuhi perjanjian tahun 1843 dengan Belanda untuk membantu kapal-kapal yang terdampar. Ini memicu serangan Belanda ke Buleleng pada 1846. Meski mendapat dukungan dari Karangasem dan Klungkung, Buleleng akhirnya jat
Dokumen ini membahas perlawanan rakyat dan kerajaan-kerajaan di Bali melawan penaklukan Belanda pada abad ke-19. Perlawanan dimulai setelah kerajaan Buleleng menolak memenuhi perjanjian tahun 1843 dengan Belanda untuk membantu kapal-kapal yang terdampar. Ini memicu serangan Belanda ke Buleleng pada 1846. Meski mendapat dukungan dari Karangasem dan Klungkung, Buleleng akhirnya jat
Pada abad 19 berkembangnya kerajaan-kerajaan yang berdaulat seperti
Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung dll. Pada masa pemerintahan Dandels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan itu mengenai urusan dagang dan sewa menyewa SDM untuk dijadikan tentara pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi mereka ingin menguasai Bali, hingga mereka mengirimkan orang untuk membujuk para raja-raja Bali untuk mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Dalam perjanjian itu mereka bersetuju akan penghapusan Hukum Tawan karang, yang berisi mengenai hak raja-raja di Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapan-kapal yang terdampar di wilayah mereka dengan isi-isinya. Namun ada masalah, Raja I Gusti Ngurah Made dari Karangasem dan Patih I Gusti Ketut Jelantik dari kerajaan Buleleng telah menyetujui perjanjian pada tahun 1843 yang berisi pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng, tetapi mereka masih tidak memenuhi janji itu dengan semestinya. Di tahun 1844, penduduk melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit dan Jembrana. Saat Belanda mendengar hal ini, mereka menuntut agar kerajaan Buleleng melaksanakan isi perjanjian yang sudah disepakati dan untuk mengganti rugi atas kapal yang sudah dirampas. Tetapi pihak kerajaan menolak tuntutan Belanda, maka Belanda menggunakan kejadian ini sebagai alasan untuk menyerang Buleleng. Perang pun tidak dapat terhindarkan. Dalam pertarungan ini, Raja Buleleng mendapat dukungan dari kerajaan Karangasem dan Klungkung. Pada tanggal 27 Juni 1846, pasukan Belanda sejumlah 1.700 orang pasukan darat menyerbu pedesaan di tepi pantai. Lalu kedatangan pasukan laut lewat kapal-kapal sewaan. Belanda memiliki kelebihan dalam kemajuan teknologi, sehingga para prajurit dan rakyat Buleleng pun terdesak. Setelah 2 hari, benteng pertahanan Buleleng pun jatuh, sehingga ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja Buleleng terdesak karena para prajurit yang terus mendorong dan menuntut Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian yang berisi mengenai penghancuran benteng Buleleng dan tidak dibangun kembali; Raja Buleleng menyerahkan kerajaannya kepada Belanda dan membayar ganti rugi dari biaya perang; Belanda diizinkan untuk menempatkan pasukannya di Buleleng . Tekanan dan paksaan Belanda itu mencoba ditandingi dengan tipu daya. Sudah tentu hal ini menimbulkan amarah dari Belanda, yang dimana pada tahun 1847 terdapat kapal-kapal asing yang terdampar di Pantai Kusumba Klungkung tetap dirampas oleh kerajaan. Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani. Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Menghadapi hal tersebut Belanda terus meningkatkan kekuatannya. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dimulai. Tetapi, Belanda mengalami kekalahan yang cukup menyakitkan perasaan pemimpin Belanda yang berada di Batavia, sehingga pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Awal April 1849, Belanda mendatangkan bantuan dalam jumlah besar menuju Jagaraga. Dalam tempo dua hari (16 April), Jagaraga berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Hal ini menjadi pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng di Jagaraga. Dalam upaya mempertahankan diri, Raja Buleleng serta I Gusti Ktut Jelantik dan Jero Jempiring tertangkap dan terbunuh. Dengan terbunuhnya Raja Buleleng serta Patih Ketut Jelantik ini, kerajaan Buleleng mengalami masa keruntuhan dan pada akhirnya jatuh ke tangan Belanda dan kemudian Karangasem dan Klungkung. Tetapi, usaha Belanda dalam kuasai Bali juga ada yang disebut Perang Puputan di Klungkung yang dimana Perang Puputan ini berarti perang hingga titik darah penghabisan atau hingga mati.