Perjuangan melawan penetrasi kekuasaan pemerintah kolonial yang dilakukan di Bali
merupakan aspek penting Selama abad ke~l9 sampai dekade pertama abad ke-20. Hadirnya kekuasaan pemerintahan kolonial memunculkan reabi, perlawanan di mana-mana, sehingga sejarah Bali tidak dapat dijelaskan tanpa pengetahuan tentang periawanan di berbagai kerajaan di Bali Reaksi yang dilancarkan oleh raja dan rakyat Bali berciri kekerasan perang dan moderat diplomasi. Keduanya baik yang menganut garis keras maupun penganut garis moderat temyata dapat mempertahankan diri, melangsungkan hidupnya selama masa penjajahan. Kelangsungan kebudayaan dan masyarakat Bali adalah bukti nyata dari kemampuan bertahan meskipun ada paksaan atau tekanan untuk menyesuaikan diri dan menerima sistem seperti yang dikehendaki penguasa kolonial. Reaksi dari garis keras berperang dilancarkan oleh kerajaankerajaan: Buleleng dan Jembrana, Badung dan Tabanan, akhimya Klungkung. Sebaliknya, raja~raja penganut garis moderat melalui diplomasi damai ialah Karangasem, Gianyar dan Bangli. Episode‘ episode perjuangan yang dijelaskan di sini historama yang kaya raya akan kepahlawanan serta titik puncak sejarah Bali ketika semangat pengorbanan putera-putera Bali berkobar-kobar. Meskipun penuangannya senantiasa menemui kegagalan namun semanga! patriotisme kedaulatannya dapat diwarisi dan bahkan memben irispirasi kecerdasan memilih taktik strategi untuk melanjutkan eksistensi kebudayaan etnik Bali dalam bingkai bangsa Indonesw hingga sekarang dan akan datang. 11 Perang Buleleng .11 Sebab-sebab Perang Pada tahun 1841 dan 1843 ditandatangani pedanjian-peryanian oleh Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Huskus Koopman denga“ Raja-raja di Bali. (1841 dan 1843), kemudian disetuiui dan disahkan oleh Gubemur Ienderal Pieter Markus (1840 1844) pada akhir tahun 1843. Ketegangan terasa setelah kedua peiabat tinggi pemerintah Hindia Belanda tersebut wafat (perfengahan tahun 1344), lalu diterimanya laporan di Batavia mengenai perampasan 5ebuah perahu Makasar yang berlayar dengan bendera Belanda di sangsit (dekat Buleleng) dan dibunuhnya juragan perahu iru oleh penduduk. Selain itu, di desa Perancak Jembrana yang tennasuk daerah kekuasaan Kerajaan Buleleng, sebuah perahu mayang dari Banyuwangi yang juga berlayar dengan bendera Belanda dirampas oleh penduduk disana, sesuai dengan peraturan adat Tawan Karang. Gubenur Jenderal ].C. Reijnst (1844 1845) yang mengganti Pieter Merkus, menganggap peristiwa-peristiwa tersebut sebagai suatu pelanggaran terhadap kontrak yang ditandamngani oleh Raja Buleleng pada tanggal 8 Mei 1843. Oleh karena dalam kontrak 1843 in: sudah disetujui penghapusan hukum adat tawan karang. Oleh karena temyata bahwa kontrak-kontrak dengan para raja di Bali belum diratifikasi oleh raja-raja tersebut maka Gubemur lenderal Reijnst berpendapat harus segera diratifikasi. Sekaligus dilakukan pertukaran kontrak-kontrak yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dengan demikian persoalannya menjadi jelas. Gubenur Jenderal Reijnst memerintahkan Asisten Residen Banyuwangi J. Ravia de Ligny pergi ke Buleleng dengan membawa Surat untuk menyelesaikan pengesahan kontrak yang telah ditandatangani. Setelah itu mencari keterangan dan akhimya menyelesaikan masalah perampasan perahu Makasar dan perahu Mayang oleh penduduk sekitar Sangsit dan Perancak. Untuk maksud itu, Ravia de Ligny berangkat ke Buleleng menumpang k pal perang Belanda ”Jaung” pada awal bulan Oktober 1844 untuk Ihengadakan perundingan dengan Raja Buleleng, l Gusti Ngurah Made Karangasem. Misi asisten Residen Ravia de Ligny gagal bertemu dengan Raja. Maka diulangi lagi dengan memerintahkan Residen Basuki J.F.T. Mayor berangakat ke Buleleng untuk menemui Raja Buleleng menyelesaikan perselisihan antara pemerintahan Hindia Belanda dengan kerajaan tersebut. Pada tanggal 5 Mei 1845 berlabuhlah kapal perang belanda “Bromo” berbobot besar yang membawa Residen/Komisaris pemerintah J.F.T Mayor dan rombongan di Pabean Buleleng. Sesuai dengan ketentuan kontrak yang telah ditanda tangani pada tanggal 6 November 1841, maka di daratan dikibarkan bendera Belanda dan kemudian Syahbandar dating ke pelabuhan Buleleng menuju geladak Kapal “Bromo”. Kepada syahbandar diberitahukan oleh komisaris pemerintah Mayor bahwa dia adalah utusan resmi Gurbenur Jendral Hindia Belanda dan mendapat tugas menemui Raja Buleleng. Syahbandar diberi perintah untuk menyampaikan kepada Raja dan minta keputusan Raja kapan Komisaris dan rombongan dapat diterima. Pada tanggal 7 mei 1845 syahbandar kembali ke kapal dan di permaklumkan kepada Komisaris Pemerintah bahwa Raja Gusti Ngurah Made Karangasem bersedia menerima Komisaris pemerintah pada tanggal 8 Mei 1843. Menurut laporan pandangan mata dari seorang anggota mmbongan seperti dikuh'p, dinyatakan bahwa rombongan ditenma oleh rakyat dengan sikap acuh tak acuh dan setibanya di muka istana tidak ada suatu tanda penghormatan seperti misalnya gamelan atau para pembesar kerajaan yang menerimanya. Penerimaan Raja terhadap Komisaris Pemerintah dan rombongan memperlakukannya agak dingin dan tidak ramah. Perundingan tidak segera dimulai karena harus menunggu kedatangan Adipati Agung (Rijksbestuurender) Gusti Ketut Jelantik. Kemudian tiba Gusti Ketut Jelantik disertai oleh 300 orang pengiring yang ikut mendengarkan pembicaraan antara Komisaris Pemerintah dan Raja Buleleng dan gusti Ketut Jelantik. Beberapa pokok yang di bicarakan tidak banyak menemui kesulitan. Mengenai perampasan perahu Mayang dan oleh penduduk di Perancak dan Raja bcrsedia akan mcmbayar kerugian sebesar 600 ngai 800 ringgit dan kesedlaan Raia untuk mengadakan undakar‘ terhadap tiap bentuk pembajakan laut serta penghapusan hukum Adat "Tawan karang". Akan tetapi ketika pemblcaraan menyinggung masalah pengakuan kedaulatan dan kekuasaan tertinggi Pemerintah Belanda sebagaimana tersurat dalam kontrak yang telah dnandatangani. bahwa raja menyatakan Kerajaan Buleleng adalah mnlnk Pemerintah Hmdia Belanda, saat itu pula, dengan tegas Gusti Ketut Jelantik menyatakan bahwa hal yang demlkian belum pemah miadi dan wilayah Kerajaan Buleleng adalah mlhk Raja. Sambil bicara dengan wajah murka dan sambil memukul dadanya dengan kepalan tangannya, Gusti Ketut Jelantik mengatakan dengan tegas bahwa hal yang demikian tidak akan pemah heriadi selama dla masih hidup. Apabila dia telah meninggal dunia, raja dapat berbuat sebagaimana hendaknya. Orang tidak dapat menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, dan hal yang demikian hanya dapat dllaksanakan apabila telah dipuruskan oleh ujung keris. Kata-kata yang diucapkan oleh Gusti Ketut jelantik dengan lantang dan keras didengar oleh semua yang hadir dan menimbulkan kegaduhan. Setelah kegaduhan mulai reda, Komisaris Pemerintah Mayor menyampaikan himbauan kepada Raja dan Gusti Ketut lehntik untuk mengulangi pembicaraan setelah semua pihak sabar kembali dan tenang. Himbauan tidak mendapat tanggapan dari Raja dan Gusti Ketut Jelantik. Keduanya diam saja. Oleh kawna itu Komisaris Pemerintah memberi perintah kepada jumbahasa untuk menyampaikan kepada Raja bahwa dia akan mengundurkan diri. Dari ucapan Adipati Agung (Patih) Gusti Ketut Jelantik yang menyanggah dengan tegas penandatanganan kontrak perjanjian mhun1841 dan tahun 1843 terbukti bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar mengenai mfsiran kalimat "Raja Buleleng mengakui kerajaannya adalah milik Pemerintah Hindia Belanda”. Demikian pula Raja-raja Bali Iainnya yang ikut menandatangani perjanjian yang hampir sama bunyinya dengan Komisaris Pemerimah HJ. Huskus Koopman memang tidak memberi tafsiran yang lain kepada kalimat tersebut melaikan sebagai suatu susunan kata yang hanya menggambarkan suatu hubungan persahabatan. Mungkin Huskus Koopman dalam lubuk hatinya demikian pula alasannya Gubenur, Jenderal P. Merkus sudah yakin sejak semula bahwa kalimat m, memang berarti politis. Namun oleh Raja- raja di Bali menafsirkamn hanya suatu ekspresi kehonnatan belaka antara dua kerajaan y bersahabat tanpa ada konsekuensi politiknya. Perutusan Residen/Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor gay] btal untuk mendapatkan ratifikasi atas kontrak-kontrak yang telah ditandatangani dengan Raja Buleleng Gusti Ngurah Mad. Karangasem. Oleh karena itu tidak dapat dicegah bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan memaksakan kemauannya dengan suam tindakan militer terhadap Keraiaan Buleleng. Hal yang demikim diinsafi benar-benar oleh Gusti Ketut Jelantik. Sesudah Komisam Pemerintah berangkat, maka kerajaan dan rakyat Buleleng disiapkan untuk menghadapi kemungkinan serangan militer pihak Belanda. Komisaris Pemerintah ].F.T. Mayor juga sadar bahwa satu- satunya tindakan yang dapat diambil oleh Gubemur Jenderal atas kegagalan memperoleh ratifikasi kontrak-kontrak tersebut adalah tindakan militer lerhadap Kerajaan Buleleng. Oleh karena itu Mayor memerintahkan kepada Letnan Von Stampa dan perwira angkatan laut kapal perang ”Bromo" untuk menyelesaikan mgasnya secara teliti membuat peta pantai Buleleng dan pelabuhan serta daerah sekitamya yang mungkin sangat berguna untuk mendaratkan pasukan jika diambil tindakan mxliter. Pada tanggal 10 Mei 1845 kapal perang "Bromo" meninggalkan pelabuhan Buleleng untuk bertolak ke Banyuwangi. Kegagalan perutusan Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor itu membuka babak baru dalam hubungan Pemerintah Hindia Belanda dengan Rainraja d1 Bali. Terjadi konstelasi polilik baru pula di Bali. Gubenur Jenderal 1.].C. Reijnst karena masa jabatannyi selesai, digantikan oleh Gubenur Jenderal 1.]. Rochussen (1845 1851), yang selanjumya mempersiapkan segala upaya penyelesaian konflik dengan Raja Buleleng (Vlekke, 196]). Sebaliknya, diplha" Keralaan Buleleng. Patth Gusti Ketut ldantik telah merancang siasat KURANG HAL 375 Perjanjian yang telah ditandatangani oleh Raja Buleleng. Oleh karena masalah ini tidak dapat diselesaikan maka Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengangkat senjata terhadap Kerajaan Buleleng. Dengan Kerajaan Klungkung tidak terjadi masalah maka tidak perlu mengirim utusan ke Klungkung (Ide A.A Gde Agung, 1989: 229 – 230). Ternyata dengan tekanan politik Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil merubah sikap keras Raja Buleleng dan Patihnya Gusti Ketut Jelantik untuk tunduk kepada tuntutan Belanda. Maka Menteri Negara Jajahan memutuskan serangan militer terhadap Kerajaan Buleleng dan Karangasem berdasarkan surat keputusan tanggal 6 Pebruari 1846. Dalam pertimbangan diterbitkannya surat keputusan ini dapat diketahui konstelasi politik yang terjadi di Bali sebelum aksi militer dilancarkan. Selain masalah “tawan karang” dan ketidak sanggupan Dewa Agung di Klungkung mendamaikan persengketaan, maka dilengkapi pula laporan Residen Besuki dan laporan Mads J. Lange, seorang pedagang asing yang mendukung pemerintah Belanda. Dilaporkan bahwa Kerajaan Buleleng telah menyerang daerah payangan di Gianyar dan menaklukkannya kemudian akan melanjutkan menyerang Kerajaan Bangli. Mads Lange juga melaporkan bahwa dikandung maksud oleh Kerajaan Buleleng dan Karangasem untuk kemudian bersama-sama mengadakan serangan terhadap semua kerajaan di Bali di bawah kekuasaan Buleleng dan Karangasem dan semua pengaruh bangsa Eropa akan terhapus di Bali. Berdasarkan keadaan di atas, maka Gubernur Jenderal J.J. Rochussen berdasarkan keputusannya menyampaikan surat kepada Dewa Agung di Klungkung, Raja Badung, Tabanan dan Raja Selaparang di Mataram-Lombok untuk memberitahukan keputusan pemerintahnya melancarkan aksi militer terhadap Kerajaan Buleleng dan Karangasem (Ide A.A. Gde Agung, 1989: 233-234). Sebelum dipergunakan senjata untuk mencapai tujuannya maka Gubernur Jenderal member kesempatan terakhir kepada Raja Karangasem untuk menghindarkan malapetaka yang akan menimpa dirinya, keluarganya, rakyatnya dan warga asing yang bermukim di dalam kerajaannya. Diharapkan untuk mempertimbangkan menerima tanpa syarat kondisi sebagai berikut: 1. Bahwa dalam waktu 3 kali duapuluh empat jam perjanjian baru yang dilampirkan pada maklumat ini harus ditandatangani dengan syarat Raja harus mengakui kekuasaan tertinggi Pemerintah Hindia Belanda, menghapus hukum “tawan karang”, berjanji untuk mencegah pembajakan laut, menghapus perbudakan dan melindungi perdagangan. 2. Bahwa raja berjanji akan membayar ekspedisi militer, dapat dilakukan tiap-tiap tahun dalam mata uang atau dengan hasil bumi Bali yang kemudian akan dimufakati. 3. Bahwa di wilayah kerajaannya akan ditempatkan tentara pendudukan Belanda sementara belum dapat diselesaikan pembayaran hutang perang sebagaimana dalam ayat 2, dan pembiayaan tentara pendudukan akan menjadi tanggungjawabnya. Pada tanggal 17 Pebruari1846 Gubernur Jenderal mengeluarkan keputusan tentang petunjuk terakhir pelaksanaan aksi militer terhadap Buleleng dan Karangasem. Diputuskan agar Angkatan Perang Belanda yang ditugaskan untuk melaksanakan ekspedisi militer itu, selambat- lambatnya pada pertengahan bulan April sudah siap bertolak dari Batavia dan sebelum menuju pulau Bali berkumpul di pelabuhan Surabaya (Ide A.A Gde Agung, 1989: 239-240). SK Gubernur Jenderal J.J. Rochussen tanggal 23 Pebruari 1846 menunjuk pula H.H.F. Friederich, seorang ilmuwan bidang agama dan kebuadayaan timur (orientalist) untuk ikut serta dalam ekspedisi militer itu. Diberi tugas mengumpulkan barang-barang rampasan yang dapat diketemukan di keraton Buleleng atau Karangasem untuk kemudian diangkut ke Jawa. Bagaimana reaksi raja-raja di Bali terhadap aksi militer yang akan dilaksanakan? Menurut laporan Wakil Pemerintah Hindia Belanda untuk Bali, Mads Lange tanggal 15 April 1846 menerangkan bahwa Dewa Agung di Klunglung menyampaikan surat kepada semua raja di Bali untuk mengadakan perlawanan terhadap serangan militer Belanda terhadapBuleleng dan Karangasem. Mads Lange juga melaporkan bahwa dia hadir dalam musyawarah antara Raja- raja Badung yaitu:I Gusti Ngurah Kesiman, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan dan Gusti Gde Ngurah Denpasar pada tanggal 13 April 1846. Raja Kesiman menghendaki agar Dewa Agung mau berdamai. Oleh karena itu, ketika raja di Badung akan mengambil sikap tidak memihak. Raja Tabanan juga bersikap sama dengan Raja Badung. Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban tetap setia bersahabat dengan Pemerintah Belanda. Raja Mengwi Gusti Agung Ketut Agung tidak dapat menuruti dorongan Dewa Agung di Klungkung karena ketegangan hubungan antara kerajaan Mengwi dan Tabanan. Raja Gianyar, Dewa Manggis mendukung ajakan Dewa Agung di Klungkung dan membangun banteng pertahanan membantu Buleleng. Dapat dikatakan bahwa sikap Raja-raja di Bali pada waktu itu sangat terpecah belah sikapnya menghadapi Belanda (Ide A.A Gde Agung, 1989: 244-246). Dalam masyarakat feudal tradisional di Bali pada abad ke-19, rakyat tidak mempunyai hak bersuara dan tidak punya pengaruh politik atas jalannya pemerintahan. Yang berkuasa adalah raja bersama para pembesar kerajaan. Mereka merupakan elit bangsawan yang menentukan nasib rakyat. Rakyat harus patuh terhadap segala perintah dari para elit yang berkuasa. Peperangan ke peperangan antar kerajaan di Bali ikut memperparah penderitaan rakyat karena rakyatlah yang dimobilisasi menjadi lascar kerajaan untuk berperang. Akibatnya sawah ladang mereka tidak dapat dikerjakan dan sering terjadi kelaparan. Perang antara Buleleng dengan Payangan, Gianyar dengan Bangli, Tabanan dengan Mengwi, Badung dengan Mengwi adalah contoh-contoh realitas yang terjadi abad ke-19. Peperangan yang terus menerus antara kerajaan-kerajaan di Bali sangat memperlemah kedudukan pihak kerajaan menghadapi kekuasaan kolonialisme Belanda (Utrecht, 1962: 100 – 101). Dalam kondisi terpecah belah itulah Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militernya yang pertama untuk menghancurkan Kerajaan Buleleng dan Karangasem. Jumlah pasukan Belanda yang dikerahkan kurang lebih 3500 personal pasukan dari berbagai jenis angkatan dengan persenjataan yang modern dan dalam jumlah besar. Inti pasukan terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut sebagai unit-unit yang terlatih baik. Selain itu tersedia juga kapal-kapal perang dalam jumlah besar dilengkapi meriam dari laut dapat menggempur obyek-obyek pertahanan di pantai atau posisi lascar buleleng. Raja Selaparang Lombok, Gusti Ngurah Ketut Karangasem mengirim bantuan kepada Pemerintah Hindia Belanda (Nijpels, 1897;Gde Agung, 1989:249-250). Sebaliknya, di pantai Buleleng oleh Gusti Ketut Jelantik telah diperintahkan untuk membangun kubu-kubu pertahanan berupa tembok yang dibangun dari batu karang dan batu berlubang-lubang dan dari lubang itu senapan dapat ditembakkan. Sementara itu, laskar Kerajaan Karangasem dalam jumlah besar sudah berhasil dipindahkan ke Bulelemg dan kepada rakyat Buleleng sudah diperintahkan untuk bersiap menghadapi musuh. Persenjataan laskar Buleleng dan Karangasem terdiri dari beberapa senjata api dan juga meriam dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh pihak Belanda. Persenjataan laskar rakyat ini pada umumnya berupa tombak dan keris. Sebagai seorang patih Gusti Ketut Jelantik mempunyai jiwa berani, pemersatu, Gusti Jelantik melakukan penaklukan desa-desa di pegunungan Bangli terutama desa Payangan. Untuk mempersatukan Kerajaan Buleleng dia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas terhadap rakyatnya sendiri maupun terhadap orang-orang asing. Dia mempersatukan dan memimpin rakyat Buleleng untuk melawan Belanda. Rakyat Buleleng bersatu bersama-sama mengikuti jejak patihnya melawan dan mengusir penjajah Belanda. Buleleng, Singaraja dan Jagaraga menjadi gelanggang perang. 3.1.2 Perang Buleleng Dimulai Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem (1843-1846) dan patihnya Gusti Ketut Jelantik tahu bahwa Belanda akan menyerang. Segala keperluan perang sudah disiapkan. Tanah- tanah datar hanya terdapat di sepanjang pantai, sedang makin ke selatan terbentang dataran luas dan bukit-bukit. Lubang-lubang perlindungan dibuat, banteng-benteng diperkuat di pusat pertahanan di Buleleng dan Singaraja. Untuk menghambat pendaratan pasukan Belanda di sepanjang pantai Buleleng digali parit-parit dan di belakangnya ditanam pagar-pagar bamboo berduri. Selain itu masih diperkuat dengan dinding tanah liat setinggi 2 meter dan setebal 3 meter. Sepanjang dinding itu dibuat lubang-lubang penembak. Dinding yang tebal dan tinggi ini sanggup menahan tembakan peluru dari jarak 20 meter. Jumlah penduduk Buleleng 4000 orang, terdiri dari orang-orang: Bali, Bugis, Melayu dan Cina, dikerahkan untuk membuat pertahanan, Raja Klungkung dan Karangasem turut membantu dan memperkuat pertahanan (Sartono Kartodidjo, ed., 1973:214). Pada pertengahan bulan Juni 1846 armada Belanda yang mengangkut pasukan ekspedisi sudah siap berkumpul di Besuki. Pada tanggal 20-21 Juni 1846 armada tersebut dengan semu pasukan berlayar menuju pantai Buleleng dan sampai pada tanggal 26 Juni 1846. Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor disertai oleh Panglima Pasukan ekspedisi Letnan Kolonel G. Bakher membawa ultimatum Gubernur Jenderal J.J Rochussen kepada syahbanda Buleleng pada tanggal 24 Juni 1846 untuk diserahkan kepada Raja Buleleng sebelum armada invasi tiba. Selanjutnya Raja Bueleng mengajukan saran bahwa dia bermaksud mengirim utusan ke Batavia untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Gubernur Jenderal J.J Rochussen. Saran tersebut ditolak juga oleh Komisaris Pemerintah Mayor dengan penegasan bahwa batas waktu untuk memberi jawaban sesuai ultimatum berakhir pada tanggal 27 juni 1846. demikian, upaya menghindarkan perang, menemui jalan buntu. Pada tanggal 28 Juni 1846 dini hari pasukan Belanda didaratkan di sebelah timur, di sebuah sawah desa Buleleng, Meriam-meriam kapal perang memuntahkan peluru dari pantai untuk menghancurkan pertahanan dan konsentrasi laskar Bali. Serangan pasukan pendaratan itu mendapat perlawanan hebat dari laskar Bali. Siasat panglima tentara Belanda menyerang desa Buleleng dari belakang melalui Kampung Jawa ternyata mendapal perlawanan hebat sehingga jatuh korban. Diakui pihak Belanda bahwa perlawanan laskar Bali sangat mengesankan dan hebat sehingga babak pertama pertempuran untuk menguasai Buleleng sama sekali tidak menguntungkan angkatan perang Belanda. Diperintahkan untuk mundur agar dapat diadakan pemusatan pasukan lagi untuk mengadakan serangan baru. Pangima tentara Belanda mememerintahkan untuk membakar sebagian dari desa Buleleng agar laskar bali yang bersembunyi disana keluar. Ketika hal ini terjadi dan lascar bali keluar desa maka meriam-meriam kapal yang ditempatkan di pantai memuntahkan peluru pada laskar yang berhamburan itu. Dari kalangan laskar bali jatuh korban lebih dari 100 orang, sedangkan dari pihak belandajatuh korban seorang perwira, 9 orang bintara dan prajurit, luka-luka dua perwira dan 49 bintara dan prajurit. Setelah pasukan pasukan pendaratan di diberi istirahat pada tanggal 28 juni 1846 maka ditentukan oleh panglima bahwa esok harinya pasukan pendaratan akan bergerak ke Singaraja dan menguasai kota itu. Atas penguasaan Puri dan kota Singaraja, Raja Buleleng beserta keluarganya mengungsi ke desa Jagaraga bersama-sama Raja Karangasem. Desa Jagaraga terletak sekitar Sembilan kilometer di sebelah timur Singaraja. sementara itu gusti jelantik masih memimpin pertempuran bersama seorang brahmana Ida Bagus Tamu. Oleh karena kepungan Belanda akhirnya Gusti Jelantik juga mundur sampai desa Jagaraga. Di tempat inilah dibangun tempat tempat pertahanan bersama penduduk desa untuk menyusun kekuatan kembali. Laskar Bali mengakui keunggulan Serdadu-serdadu Belanda. Untuk mengatasi keadaan sulit itu , Komisaris Pemerintah Mayor meminta pula bantuan G.P. King yang turut serta dalam ekspedisi militer itu untuk pergi ke Jagaraga menemui kedua Raja dan mengundang mereka untuk bertolak ke Singaraja guna mengadakan perundingan. King bersedia membantu dan berhasil karena pada tanggal 5 juli 1846 Raja Karangasem tiba di Sigaraja. Kemudian juga Raja Buleleng tiba pada tanggal 9 juli 1846. Keduanya bersedia mengadakan perundingan dengan Komisaris Pemerintah Mayor untuk menyelesaikan masalah politik dan perang. Akan tetapi patih patih Gusti Jelantik tidak menyertai kedua raja untuk berunding. Meski perang Buleleng berhasil mengusir raja dari istana, namun perlawanan belum terhenti. Raja Buleleng dan patih Jelantik mengamambil langkah mundur dan bertahan di desa Jagaraga. pad tanggal 9 Agugtus I846. ditentukan bahwa rampasan perang Vina harus dibagi oleh Raja Buleleng den Karangasem beejumlah f 300.000 dengan rincian f 225.000 menjadi tanggungjawab Raja Buleleng dan sisanya f 75.000 harus dibagi oleh Raja Karangasem. Rampasan perang tensebut harus sudah luns dibayar dalam tempo sepuluh tahun. Tuntutan itu tampak membuat Patih Jelanuk merasa lebih terhina, dan mendorongnya untuk terus melakukan perlawanan.
3.2. Perang Jagaraga (1848-1849)
3.2.Perang Jagaraga 1 (1848) Setelah temyata sebagai akibat tekanan militer pihak Belanda dengan persenjataannya yang kuat dan modern, Buleleng tidak dapal dipertahankan maka Gusti Jelantik memerintahkan agar laskar Bali mengundurkan diri sampai di Jagaraga. Desa ini terletak di pegunungan dan mudah dipertahankan. Letaknya agak jauh dan pantai sehingga dapat terhindar dari tembakan meriam-meriam dari kapal perang Belanda. Di sana Gusti Jelantik membangun pertahanan kembali. Bersama laskar Karangasem dapat dlkumpulkan kurang lebih 10.000 personal untuk perang melawan pasukan Belanda,Di sana Gusti Jelantik menyusun siasat militemya secara rapi dan menyusun pertahanan yang kuat di Jagaraga. Selain menyusun pertahanan militer di Jagaraga, Gusti Jelanhk berusaha mengadakan tekanan politik terhadap pihak Belanda. Kepada Dewa Agung di Klungkung dikirim utusan rahasia untuk mendorong Dewa Agung menentang kontrak yang disodorkan kepada Raja Buleleng dan Karangasem. Akibatnya Dewa Agung menyampaikan surat kepada Residen Besuki tanggal 30 juni 1847. Isinya ialah peringatan terhadap Pemerintah Hindia Belanda mengenai penguasaan wilayah Kerajaan Buleleng dan rampasan perang terhadap Raja Buleleng dan Karangasem. Baik Raja Buleleng maupun Raja Karangasem tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam perjanjian mengenai pampasan perang. Laporan W.R. van Hoevell menyalakan bahwa sikap Raja-raja di Bali tidak ramah terhadap Pemerintah Hindia Belanda kecuali Raja Tabanan, Badung dan Bangli. Ketegangan kembali timbul. Usaha Belanda mendekati Dewa Agung di Klungkung agar mau menjadi mediator untuk menempatkan Raja-raja di Bali dalam orbit Pemerinlah Hindia Belanda gagal total. Tindakan-tindakan untuk menekan Raja Buleleng agar Gusti Ketut Jelantik diberhentikan dari jabatannya juga tidak berhasil. Bahkan yang terjadi sebaliknya, Gusti Ketut Jelanhk semakin memperkuat pertahanan benteng Jagaraga dan lebih banyak laskar Bali dimobilisasi untuk bersiap-siap setiap waktu menghadapi serangan Belanda. Gusti Ketut Jelantik yakin bahwa pada suatu saat Belanda akan menyerang Buleleng lagi. Dia menganggap bahwa penandatanganan perjanjian dengan pihak Belanda hanya suatu tipu muslihat belaka untuk memberi kesempatan bija kepadanya menyusun kembali kekuatan militemya. Pada akhir tahun 1847 perkembangan polink di Bali semakin tegang. Hubungan semakin runcing karena diterima laporan di Batavia bahwa sebuah kapal milik seorang warga Hindia Belanda asal Pamekasan yang mengalami musibah karam di pantai Lurang wilayah Kerajaan Buleleng dirampas oleh penduduk sekitarnya. Hal yang sama terjadi pula di pantai Kusamba wilayah Kerajaan Hungkung. Sebuah kapal dagang yang berlayar di bawah kibaran bendera Belanda dan sebuah kapal dagang Iainnya di bawah kibaran bendera Inggris milik seorang warga Inggris yang bemukim di Singapura, yang mengalami musibah, karam, juga dirampas. Pemerintah Hindia Belanda mengajukan protes, dan Gubemur Jenderal juga mengajukan tuntutan kepada Raja Buleleng unkuk membayar ganti rugi. Akan tetapi Dewa Agung di Klungkung dan Raja Buleleng tidak menghiraukan tuntutan den proles itu. Akibatnya, Gubemur Jenderal J.J. Rochussen menyampaikan ultimatum kepada Raja Buleleng, Karangasem dan Dewa Agung di Klungkung pada tanggal 7 Mare: 1848. lsinya antara lain: (1) Raja Buleleng dan Patih Gusti Jelantik harus diserahkan kepada Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belada, karma dianggap biang keladi segala permusuhan dan harus diasingkan. (2) Kepada Raja Karangasem, diminta agar dalam tempo 14 hari harus menyerahkan kepada Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda, uang sebesar f 125.000. jika tidak dilaksanakan maka kedaulatan dan hak pemilikan daerah Padang Cove (sekarang Padangbai) beserta daerah-daerah sekitarnya termasuk Labuhan Amuk termasuk daerah Manggis harus diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. (3) Kepada Dewa Agung di Klungkung yang menyebutkan duinya Susuhunan di Bali dan Lombok, membayar ganti rugi atas barang-barang muatan dan kapal yang dirampas oleh penduduk di Kusamba. Dalam hubungan seperti itu, ketiga raja Bali tersebut memberikan jawaban yang samar- samar, dan berusaha mengelak. Raja Buleleng sama sekali tidak menjawab ultimatum tersebut. Penolakan ketiga Raja Bali ini digunakan alasan oleh Gubernur Jenderal J.J. Rochussen untuk melaksanakan ekspedisi militer untuk kedua kalinya ke Bali (Nijpels, 1897). Gubemur Jenderal J.J. Rochussen mengeluarkan pengumuman perang terhadap Dewa Agung di Klungkung, Raja Buleleng dan Karangasem. Ekspedisi gabungan angkatan darat dan laut Belanda yang diberi tugas menyerang Bali, didukung oleh armada besar dan modern. Sebelum memberangkakkan ekspedisi militer, terlebih dahulu dikumpulkan informasi politik dan kekuatan musuhnya di Bali. Keterangan yang diperoleh berasal dari sumber-sumber yang dipercaya dari Walkil Pemerintah di Bali, Mads J. Lange. Juga informasi didapat dari pedagang Inggris yang bemukim di Mataram, G.P.King. Ditetapkan bahwa pada tanggal 1 juni 1848 armada yang mengangkut ekspedisi militer kedua beserta kapal-kapal perang pelindung berangkat menuju Bali. Panglima Tertinggi Angkatan Darat Hindia Belanda, Mayor Jenderal Jhr. C. van der Weck ditunjuk sebagai panglima ekspedisi militer kedua sekaligusdiberi kedudukan sebagai Komisaris Pemerintah. Sebagai wakil ditunjukan Letnan Kolonel. Baron A.H. van der Kock. Residen Besuki. penggati J.F.T. Mayor yang telah wafat. Sebagai kepala staf pasukan pendaratan adalah Letnan Kolonel J. van Swieten dan sebagai wakilnya dltunjuk Kapten Kavaleri S. van Stampa yang dianggap mengenal keadaan lapangan di Bali. Pasukan pendaratan dilengkapi dengan pasukan artireli, ,zeni, kavaleri, lengkap dengan bagian kesehatannya. Tergabung dalam ekspedisi militer Belanda itu, pasukan dengan kekuatan 2.265 orang perwira, bintara, dan praiurit. dilengkapn pula dengan 156 ekor kuda, dan 500 orang tenaga bantuan dari Kesultanan Madura. Armada tersebut dipimpin oleh Lenan Kolonel Angkatan Lam K.W. stark. Pasukan ekspedisi sudah berkumpul di pantaji Sangsit Timur pada tanggal 7 Juni 1848, dan mulai didaratkan tanggal 8 Juni 1848. Pada tanggal 9 juni 1848 bergeraklah kolone-kolone pasukan Belanda menuju Jagaraga. Gerakan dimulai oleh Kolone III yang telah berkumpul di dekat pura. Kolone ini diperkuat oleh pasukan artileri. Perjalanan mereka tidalk mengalami kesulitan tetapi kadangkadang jalan-jalan becek. Tanah berpasir, bukit-bukit gundul dan gersang mengganggu kelancaran kolone-kolone Belanda menulu Jagaraga. Mereka membawa rangsum untuk 2 hari dan tenaga-tenaga pengangkut banyak digunakan. Sebagian personal kolone pimpinan Sutherland menjadi pelopor. Mereka melintasi bukit-bukit dan dengan susah payah sampai di dekat Jagaraga. Pasukan pelopor berjalan 1% km lebih dahulu daripada pasuka-pasukan lainnya. Di dekat jagaraga mereka menjumpai dataran-dataran gersang. dataran berbukit dan disekitarnya terbentang sawah yang luas. Makin dekat dengan buleleng Jagaraga jalan-jalannya makin naik dan terjal. Pada jarak 600 meter kelihatan dua buah benteng laskar Bali (benteng II dan IV). Benteng-benteng ini adalah benteng tertutup. jarak antara kedua benteng ini kirakira 300 meter. Di sekelilingnya berbentang sawah yang luas dan ladang-ladang jagung. Benteng IV ada disebelah barat dekat jurang dari Sangsit dan dilengkapi dengan meriam. Benteng II Jagaraga berbentuk persegi. Dan benteng ini terletak dipuncak bukit. Tiap-tiap benteng itu berpagar