Anda di halaman 1dari 12

PENYERANGAN DI BALI

Di Susun Oleh

- Aryandi
- Imam Mahdy
- Johanes s.s
- Putra Ramadani
Perang Bali III merupakan perang yang terjadi antara Koninklijk Nederlandsch-Indisch
Leger dengan Kerajaan Bali pada tahun 1849.
Daftar isi
1Latar belakang
2Kegagalan dua ekspedisi terdahulu
3Ekspedisi ketiga
4Pasca perang
5Rujukan

Latar belakang
Sudah sejak lama Kerajaan Bali menjalankan Tawan Karang, yakni hak untuk merampas
kapal-kapal yang terdampar di perairan Bali dan seisinya termasuk anak buah kapal sebagai
aset mereka. Pada tahun 1841, hak ini diberlakukan atas kapal Belanda; yang kemudian
menimbulkan protes, di mana Kerajaan Buleleng, Karangasem dan Klungkung beserta
penerusnya bersungguh-sungguh menerapkan hak itu dan
menawarkan perompak dan pedagang budak untuk melawan; hingga tahun 1844perjanjian
tersebut dijalankan. Pada tahun itu juga, ketika sebuah kapal milik Belanda terdampar di
Bali, kapal itu dirompak dan protes atas perlakuan itu diabaikan, yang berarti penguasa Bali
melanggar kesepakatan, sehingga pemerintah kolonial di Jawa tak bisa lagi mentoleransi
dan melancarkan ekspedisi.
Kegagalan dua ekspedisi terdahulu[sunting | sunting sumber]
Pada bulan Juni 1846, pasukan dan kapal dikerahkan bersama dan dipimpin oleh schout-
bij-nacht Engelbertus Batavus van den Bosch; pasukan itu terdiri atas 1.700 prajurit, dan
hanya 400 orang saja yang berasal dari Eropa. Pasukan itu dipimpin oleh Letkol. Bakker.
Setelah 24 jam, setelah memberikan ultimatum, pada tanggal 28 Juni Buleleng
jatuh, orang Bali menarik diri dan berlindung di Singaraja. Hampir tidak mungkin bagi
pasukan Hindia Belanda kembali ke Batavia atau hak Tawan Karang itu diperbaharui
terhadap kapal-kapal Inggris dan Belanda .
Ekspedisi kedua dipimpin oleh Jend. Carel van der Wijck; pada tanggal 7 Juni pasukan
tersebut mendarat di pantai utara Buleleng. Desa Bungkulan adalah yang pertama kali
takluk setelah perlawanan gencar dan Jagaraga, pusat kekuatannya, jatuh; setelah
perlawanan berkepanjangan pasukan Hindia Belanda harus kembali ke Jawa;
sepersepuluh bagian dari ABK-nya yang tak ikut bertempur diculik, banyak perwira yang
dibunuh. Sekarang panglima tertingginya memutuskan kembali ke Jawa dan ekspedisi
ketiga harus diluncurkan untuk membalas kekalahan itu.
Ekspedisi
Sebuah armada dipersiapkan, terdiri atas 23 kapal perang dan 17 kapal lainnya;
angkatan itu terdiri atas 1.280 serdadu dan dipersenjatai dengan 115 moncong
senapan; pada tanggal 20 Juni 1846 pasukan diberangkatkan di bawah
pimpinan LaksDa Engelbertus Batavus van den Bosch ke Besuki dan
seminggu kemudian ke Buleleng. Pasukan ekspedisi dibawa ke kapal dengan kekuatan
1700 prajurit, di antaranya terdapat 400 serdadu Eropa dipimpin
oleh LetKol. Gerhardus Bakker. Raja diberi ultimatum 3 kali dalam 24 jam, pada
tanggal 17 Juni, hari ketika ekspedisi ke Buleleng terjadi, berlalu begitu saja. Di hari
berikutnya, pasukan itu tiba di bawah pimpinan perwira Abraham Johannes de Smit van
den Broecke di bawah perlindungan senapan laut. Lebih dari 10.000 prajurit Bali
mencegah pendaratan tersebut namun gagal dan pasukan penyerang maju ke daerah
persawahan yang telah dikelilingi oleh pasukan Buleleng. Angkatan yang tersedia
dibagi 3 di bawah pimpinan May. Cornelis Albert de Brauw, May. Boers dan Kapt. J.F.
Lomon. Semua kerja perlawanan dilakukan dan di hari berikutnya serdadu Belanda
maju ke ibukota Singaraja dan menaklukkan kota itu.
Pasca perang
Kerajaan Karangasem dan Buleleng menawarkan penyerahan diri
dan para penduduk kembali ke tempat tinggalnya masing-masing;
ketika datang ke Bali, GubJend. Jan Jacob Rochussen ia
menemukan daerah setempat menyerah. Dengan Kerajaan
Karangasem dan Buleleng disepakatilah perjanjian baru, yang
kewajiban terhadap pemerintah Hindia Belanda diselesaikan dengan
cepat; namun keadaan damai yang dicapai pada tanggal 12 Juli itu
pecah kembali. Pemerintahan membangun benteng di Buleleng yang
dihuni oleh 200 orang yang dikendalikan penduduk dan menjamin
pengawasan kontrak yang dibuat namun kemudian tak dapat
disangka bahwa perang segera meletus dan serangan menjadi
kenyataan.
Sejarah Perang Bali 1846-1849

Diposting oleh Mesriah Ria di 07.05

Sejarah Perang Bali 1846-1849 - Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica
(perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas
Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan
Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di
Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.
Di Bali terdapat hukum tawan karang yaitu hukum yang memberikan hak kepada kerajaan di Bali untuk merampas
kapal-kapal yang terdampar di perairan Bali dan seluruh isinya termasuk anak buah kapal sebagai asset mereka.
Hukum Tawan Karang tetap saja dilakukan oleh rakyat Buleleng sepanjang pesisir. Bahkan sering mengganggu
pelayaran Belanda.

Pada tahun 1841, Belanda mengadakan suatu perjanjian dengan raja Buleleng dimana hukum Tawan Karang
tersebut tidak berlaku kepada kapal-kapal Belanda. Pada tahun 1844 perjanjian tersebut dijalankan. Pada tahun
itu juga, ketika sebuah kapal milik Belanda terdampar di Bali, kapal itu dirompak dan protes atas perlakuan itu
diabaikan, yang berarti penguasa Bali melanggar kesepakatan, sehingga pemerintah kolonial Belanda di Jawa tak
bisa lagi mentoleransi dan melancarkan ekspedisi.

Latar belakang dari kerajaan Buleleng adalah Patih Jelantik tetap pada pendiriannya semula yaitu bertekad
mengusir Belanda dari wilayah kerajaan Buleleng. Untuk mewujudkan keinginan ini, Patih Jelantik
mempersiapkan Desa Jagaraga sebagai pusat kegiatan untuk mencapai maksudnya. Namun tindakan-tindakan
serdadu Belanda merampas ibukotanya merampok rumah-rumah rakyat menimbulkan dendam pada rakyat
Buleleng. Maka Patih Jelantik secara rahasia telah mengirimkan mata-mata untuk mengetahui kegiatan serdadu
Belanda di Pabean dan kemudian mengambil kesimpulan bahwa Belanda telah mempersiapkan suatu
penyerangan besar-besaran terhadap Jagaraga. Karena itu Patih Jelantik memutuskan memperkuat Jagaraga
dalam system perbentengan, kekuatan lascar, dan persenjataan.
Sejarah Proses Terjadinya Perang Bali
Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda),
Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya
Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan
Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaan kerajaan di Bali berada di bawah
pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.
Faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849 dengan masalah utamanya adalah
adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan
perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan
Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian
pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng
namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit
(Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai
perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang
Buleleng.
Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu persatu daerah diduduki
dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh
Patih I Gusti Ketut Jelantik. Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya
adalah benteng di desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan. Karena perang dijiwai oleh semangat
puputan yaitu perang habis-habisan.
Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
· Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
· Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah
kepada musuh.
Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.
Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan
ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam,
Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya
mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero
Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan
bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.

Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan
2265 serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Van der
Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat
digagalkan. Setelah gagal, pada tahun 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih
banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni
dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani
meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka
semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero
Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara.
Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung,
Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan
Belanda.
Biografi I Gusti Ketut Jelantik
Gusti Ketut Jelantik, terlahir di desa Pidie, pada tahun 1836. Beliau adalah generasi ke IX dalam
silsilah keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Pada usia 25 tahun, I Gusti Ketut Jelantik
ditinggal wafat oleh ayahandanya, I Gusti Ketut Banjar, yang pernah menjabat Sedahan Agung
semasih Bali di bawah raja I Gusti Made Karang. Ibunya, Gusti Biang Kompyang Keramas
berasal dari Banjar Penataran desa Buleleng, setelah menjanda diambil sebagai isteri oleh I
Gusti Bagus Jelantik, yang tidak lain adalah kakak kandung I Gusti Ketut Banjar almarhum. I
Gusti Bagus Jelantik waktu itu sebagai Punggawa Penarukan (1860-1880) yang kemudian
merangkap jabatan sebagai Patih KerajaanBuleleng (1872-1887). Mereka tinggal di Puri
Kanginan beserta seluruh sanak keluarga
I Gusti Ketut Jelantik dinobatkan sebagai salah satu pahlawan nasional karena keberaniannya
dalam melawan penjajah Belanda pada saat itu. Sikap dan tindakanya dinilai berani karena
menolak tuntutan Belanda dalam sebuah perundingan yang menuntut agar kerajaan buleleng
mengganti kerugian kapal yang dirusak dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat perundingan iitu pihak belanda diwakili oleh JPT Mayor Komisaris Hindia Belanda,
sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh raja Buleleng I Gusti Ngurah Mada Karangasem dan
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.
"Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja tapi harus
diselesaikan diatas ujung keris. Selama saya hidup kerajaan ini tidak akan pernah mengakui
kedaulatan Belanda". Seperti itulah kutipan perkataan I Gusti Ketut Jelantik yang marah besar
dengan tuntutan pihak Belanda.
Tak habis akal, pihak Belanda terus mencoba mencari cela untuk melawan I Gusti Ketut
Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam pertemuan yang
berlangsung pada tanggal 12 Mei 1845 ini Belanda menuntut agar Buleleng mengganti rugi
kapal dan menghapuskan hak "tawan karang" yakni merampas perahu yang terdampar di
kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik pun naik pitam, bahkan beliau menghunuskan sebilah
keris pada kertas perjanjian. Beliau menantang Belanda untuk menyerang den Bukit atau Bali
Utara.
Pada tanggal 27 Juni 1846 Belanda benar-benar melakukan serangan ke kerajaan Buleleng.
Namun akhirnya kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 29 Juni 1846.
Kemudian raja buleleng dan patih I Gusti Ketut Jelantik mundur ke desa Jagaraga untuk
menyusun kekuatan.
Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi perang dan menjadi sosok yang
disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang teguh pendirian. Hal ini ditunjukkan ketika
mempertahankan desa Jagaraga patih I Gusti Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya dan
mendapat bantuan dari kerajaan lain seeperti klungkung, Karang Asem, Badung dan Mengwi.
Pada tanggal 6 sampai 8 Juni 1848 pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan
mendaratkan pasukanya di sangsit. Pihak Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dengan
mengerahkan pasukan benteng Jagaraga yang merupakan benteng terkuat dibandingkan
dengan 4 benteng lainnya. Sedangkan pihak belanda dipimpin oleh Jendral Van Der Wijck.
Tetapi pihak Belanda gagal menembus benteng yang dipimpin oleh I gusti Ketut Jelantik dan
hanya mampu merebut satu benteng saja yakni benteng sebelah timur sansit yang berada dekat
Bungkulan.
Dengan adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya untuk semakin
mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Namun pasukan patih jelantik ini
menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan besar-besaran yang
dipimpin oleh Jendral Michiels pada tanggal 31 Maret 1849. Belanda menyerang Bali dengan
menembakan meriam-meriamnya. Pada tanggal 7 April 1849 raja buleleng dan patih jelantik
bersama 12 ribu prajurit berhadapan dengan jendral michiels. Namun karena kalah persenjataan
bali terdesak dan mundur sampai pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga pun jatuh ke tangan
Belanda pada 16 April 1849. Akhirnya patih jelantik gugur pada serangan karangasem oleh
Belanda yang didatangkan dari Lommbok dan menyerang hingga kepegunungan Bale Punduk.
Atas keberanian sikap dan mental perjuangan yang ditunjukkan oleh I gusti Ketut
Jelantik tentu tidak ada kata ragu untuk kita memberikan gelar Pahlawan
Nasional. Pada tanggal 19 Agustus 1993 Pemerintah RI memberikan Gelar
Pahlawan nasional pada Patih Jelantik berdasarkan SK Presiden RI No.
077/TK/Tahun 1993. Wafat di benteng, Aneuk Galong bulan Januari 1891.

Demikianlah materi tentang Sejarah Perang Bali 1846-1849 yang sempat kami
berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Sejarah Perang
Puputan Bayu Di Blambangan Pada 1771 yang telah kami posting sebelumnya.
semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda
semikian dan terimah kasih.

Anda mungkin juga menyukai