Anda di halaman 1dari 8

BAB I

Pendahuluan

1. Latar Belakang
Tanpa kita sadari, masyarakat di Indonesia kurang memahami pentingnya
menjaga kebudayaan. Terutama hal kecil yang terdapat di selembar kertas mata
uang. Mereka sering menggunakannya, tetapi mereka tidak mengetahui sejarahnya.
Mereka tidak mengetahui sepenuhnya tentang gambar pahlawan yang ada
didalamnya. Mereka juga tidak mengetahui asal usul tokoh pahlawan tersebut.
Oleh karena itu, kami tertarik untuk melakukan penelitian. Dan, yang lebih
menarik adalah ketika kita mengamati sejarah panjang tentang perlawanan
masyarakat Indonesia ketika melawan Belanda. Apalagi terhadap mata uang 50.000
yang bergambar pahlawan I Ketut Jelantik. Karena, beliau memimpin jalannya
perang di Bali. Perang yang di pimpin adalah perang Jagaraga.

2. Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang terjadinya perang Jagaraga?
2. Bagaimana proses terjadinya perang Jagaraga?
3. Siapa tokoh utama dalam perang Jagaraga?

3. Tujuan penelitian
1. Untuk menngetahui latar belakang terjadinya perang Jagaraga
2. Untuk mengetahui proses terjadinya perang Jagaraga
3. Untuk mengetahui siapa tokoh utama dalam perang Jagaraga

1
BAB II

A. Latar belakang

Di Bali terdapat hukum tawan karang. Yaitu hukum yang memberikan hak kepada
kerajaan di Bali untuk merampas kapal-kapal yang terdampar di perairan Bali dan
seluruh isinya termasuk anak buah kapal sebagai asset mereka. Hukum Tawan Karang
tetap saja dilakukan oleh rakyat Buleleng sepanjang pesisir. Bahkan sering
mengganggu pelayaran Belanda.

Pada tahun 1841, Belanda mengadakan suatu perjanjian dengan raja Buleleng dimana
hukum Tawan Karang tersebut tidak berlaku kepada kapal-kapal Belanda. Pada tahun
1844 perjanjian tersebut dijalankan. Pada tahun itu juga, ketika sebuah kapal milik
Belanda terdampar di Bali, kapal itu dirompak dan protes atas perlakuan itu diabaikan,
yang berarti penguasa Bali melanggar kesepakatan, sehingga pemerintah kolonial
Belanda di Jawa tak bisa lagi mentoleransi dan melancarkan ekspedisi.

Latar belakang dari kerajaan Buleleng adalah Patih Jelantik tetap pada pendiriannya
semula yaitu bertekad mengusir Belanda dari wilayah kerajaan Buleleng. Untuk
mewujudkan keinginan ini, Patih Jelantik mempersiapkan Desa Jagaraga sebagai pusat
kegiatan untuk mencapai maksudnya. Namun tindakan-tindakan serdadu Belanda
merampas ibukotanya merampok rumah-rumah rakyat menimbulkan dendam pada
rakyat Buleleng. Maka Patih Jelantik secara rahasia telah mengirimkan mata-mata
untuk mengetahui kegiatan serdadu Belanda di Pabean dan kemudian mengambil
kesimpulan bahwa Belanda telah mempersiapkan suatu penyerangan besar-besaran
terhadap Jagaraga. Karena itu Patih Jelantik memutuskan memperkuat Jagaraga dalam
system perbentengan, kekuatan lascar, dan persenjataan.

2
B. Proses terjadinya perang

Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian


di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh
jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain
melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng.
Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaan kerajaan di Bali
berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda
untuk menguasai Bali.

Faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849 dengan
masalah utamanya adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak
ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar
di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng
yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah
ada perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika
kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan
dengan semestinya.

Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah
(Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan
Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun
ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.

Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu
persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura
menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik.

Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah
benteng di desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan. Karena perang
dijiwai oleh semangat puputan yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali,
puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:

3
 Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran
merupakan kehormatan.
 Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak
dikenal istilah menyerah kepada musuh.
 Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk
surga.

Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi
dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka
raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan
sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang
oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum
wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.

Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia
dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor
Jendral Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan
Belanda dapat digagalkan.

Setelah gagal, pada tahun 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak
berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni
dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga
dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur,
mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang
bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat
menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi
melalui puputan Badung, Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun
1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.

4
C. Biografi I Gusti Ketut Jelantik

Gusti Ketut Jelantik, terlahir di desa Pidie, pada tahun 1836. Beliau adalah
generasi ke IX dalam silsilah keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Pada usia 25
tahun, I Gusti Ketut Jelantik ditinggal wafat oleh ayahandanya, I Gusti Ketut Banjar,
yang pernah menjabat Sedahan Agung semasih Bali di bawah raja I Gusti Made
Karang. Ibunya, Gusti Biang Kompyang Keramas berasal dari Banjar Penataran desa
Buleleng, setelah menjanda diambil sebagai isteri oleh I Gusti Bagus Jelantik, yang
tidak lain adalah kakak kandung I Gusti Ketut Banjar almarhum. I Gusti Bagus Jelantik
waktu itu sebagai Punggawa Penarukan (1860-1880) yang kemudian merangkap
jabatan sebagai Patih KerajaanBuleleng (1872-1887). Mereka tinggal di Puri Kanginan
beserta seluruh sanak keluarga I Gusti Ketut Jelantik dinobatkan sebagai salah satu
pahlawan nasional karena keberaniannya dalam melawan penjajah Belanda pada saat
itu. Sikap dan tindakanya dinilai berani karena menolak tuntutan Belanda dalam sebuah
perundingan yang menuntut agar kerajaan buleleng mengganti kerugian kapal yang
dirusak dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda. Pada saat perundingan
iitu pihak belanda diwakili oleh JPT Mayor Komisaris Hindia Belanda, sedangkan
Kerajaan Buleleng diwakili oleh raja Buleleng I Gusti Ngurah Mada Karangasem dan
Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.

"Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja tapi
harus diselesaikan diatas ujung keris. Selama saya hidup kerajaan ini tidak akan pernah
mengakui kedaulatan Belanda". Seperti itulah kutipan perkataan I Gusti Ketut Jelantik
yang marah besar dengan tuntutan pihak Belanda.

Tak habis akal, pihak Belanda terus mencoba mencari cela untuk melawan I
Gusti Ketut Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam
pertemuan yang berlangsung pada tanggal 12 Mei 1845 ini Belanda menuntut agar
Buleleng mengganti rugi kapal dan menghapuskan hak "tawan karang" yakni
merampas perahu yang terdampar di kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik pun naik
pitam, bahkan beliau menghunuskan sebilah keris pada kertas perjanjian. Beliau
menantang Belanda untuk menyerang den Bukit atau Bali Utara.
Pada tanggal 27 Juni 1846 Belanda benar-benar melakukan serangan ke
kerajaan Buleleng. Namun akhirnya kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada

5
tanggal 29 Juni 1846. Kemudian raja buleleng dan patih I Gusti Ketut Jelantik mundur
ke desa Jagaraga untuk menyusun kekuatan.

Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi perang dan
menjadi sosok yang disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang teguh pendirian.
Hal ini ditunjukkan ketika mempertahankan desa Jagaraga patih I Gusti Ketut Jelantik
terus memperkuat pasukannya dan mendapat bantuan dari kerajaan lain seeperti
klungkung, Karang Asem, Badung dan Mengwi.

Pada tanggal 6 sampai 8 Juni 1848 pihak Belanda melakukan serangan kedua
dengan mendaratkan pasukanya di sangsit. Pihak Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut
Jelantik dengan mengerahkan pasukan benteng Jagaraga yang merupakan benteng
terkuat dibandingkan dengan 4 benteng lainnya. Sedangkan pihak belanda dipimpin
oleh Jendral Van Der Wijck. Tetapi pihak Belanda gagal menembus benteng yang
dipimpin oleh I gusti Ketut Jelantik dan hanya mampu merebut satu benteng saja yakni
benteng sebelah timur sansit yang berada dekat Bungkulan.

Dengan adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya


untuk semakin mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Namun pasukan patih
jelantik ini menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan
besar-besaran yang dipimpin oleh Jendral Michiels pada tanggal 31 Maret 1849.
Belanda menyerang Bali dengan menembakan meriam-meriamnya. Pada tanggal 7
April 1849 raja buleleng dan patih jelantik bersama 12 ribu prajurit berhadapan dengan
jendral michiels. Namun karena kalah persenjataan bali terdesak dan mundur sampai
pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga pun jatuh ke tangan Belanda pada 16 April
1849. Akhirnya patih jelantik gugur pada serangan karangasem oleh Belanda yang
didatangkan dari Lommbok dan menyerang hingga kepegunungan Bale Punduk.

Atas keberanian sikap dan mental perjuangan yang ditunjukkan oleh I gusti
Ketut Jelantik tentu tidak ada kata ragu untuk kita memberikan gelar Pahlawan
Nasional. Pada tanggal 19 Agustus 1993 Pemerintah RI memberikan Gelar Pahlawan
nasional pada Patih Jelantik berdasarkan SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993.
Wafat di benteng, Aneuk Galong bulan Januari 1891.

6
BAB III
A. Kesimpulan
Perang buleleng di Bali terjadi karena perjanjian yang telah diadakan oleh Belanda dan
raja Klungkung, Badung dan Buleleng. Mereka mengakui bahwa mereka berada
dibawahb pimpinan Belanda. Oleh sebab itu, apabila Belanda melakuka kesalahan
mereka tidak akan dihukum. Akan tetapi itu tidak berlaku dikerajaan Buleleng. Dan
akhirnya mereka merencanakan perang. Perang ini di pimpim oleh I Gusti Ketut
Jelantik. Perang Buleleng merupakan perang yang didasarkan oleh sikap pantang
menyerah kepada musuh dan percaya pada ajaran agama hindu. Maka dari itu, perang
ini disebut juga sebagai perang Puputan, yang artinya “perang habis habisan” perang
Buleleng juga disebut pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah
benteng yang terletak didaerah Jagaraga.

7
Daftar Pustaka
http://hedisasrawan.blogspot.co.id/2012/12/makalah-sejarah-perang-jagaraga.html
http://sejarah-suwandy.blogspot.co.id/2010/02/perang-bali-tahun-1846-1849.html
http://www.sejarawan.com/209-biografi-gusti-ketut-jelantik.html
http://wartasejarah.blogspot.co.id/2014/10/i-gusti-ketut-jelantik.html

Anda mungkin juga menyukai