Anda di halaman 1dari 12

MUNCULNYA SOSOK SEORANG PAHLAWAN.

Dalam situasi Buleleng yang mulai menghadapi berbagai masalah dan tantangan baru
kemudian muncul seorang yang berwatak keras dan  penuh ambisi bernama I Gusti
Ketut Djlantik. Beliau memberanikan diri langsung ke puri Karangasem meminta
dengan sangat agar I Gusti Made Karangasem mau menjadi raja untuk Buleleng. 
Perlu disinggung, bahwa sejak Buleleng dikuasai Karangasem telah terjadi suksesi
berbentuk pasangan Raja dan Patih di Buleleng. Raja berasal dari bangsawan
Karangasem sedangkan Patih berasal dari keturunan raja Buleleng. Kondisi demikian
waktu itu masih melekat. Kepribadian I Gusti Ketut Djlantik menunjukkan sebagai
seseorang yang mewarisi kewajiban untuk membela Buleleng.

Pasangan raja dan patih rupanya mendapat sambutan dari masyarakat Buleleng.
Perangai Raja yang lembut dan sangat kompromis ini ditopang oleh watak Patihnya
yang keras dan tegas. Pemerintahan berjalan mantap. Pemimpin beserta rakyat sudah
tidak ingin diadu domba lagi antara mereka sendiri. Rakyat sudah menyadari musuh
tidak berada di dalam tetapi berada di luar yaitu orang asing yang mengancam akan
menguasai Bali dengan menaklukkan Buleleng lebih dahulu. Rakyat menunggu
perintah raja dengan penuh semangat untuk mempertahankan diri dari ancaman luar.  
Sebenarnya yang berkiprah dalam urusan pemerintahan adalah I Gusti Ketut Djlantik.
Raja I Gusti Made Karangasem lebih sering berada di Karangasem. 
 
Pembangunan di wilayah Buleleng yang pernah surut kembali bangkit dengan
menegaskan kembali peraturan hak tawan karang yang dulu pernah dibuat. Bukan saja
bangunan istana Puri Gde yang dulu dibangun oleh I Gusti Karang Paang mendapat
penataan dan perbaikan, juga Pura Desa Baleagung dibangun kembali. Demikian pula
Pura Dalem Buleleng dan Pura Segara di pantai Buleleng. Selain itu  dibangun pula
pasar dan perbaikan pelabuhan. Ikut dalam pemerintahan ada disebut seperti Sedahan
Agung I Gusti Putu Batan putra dari I Gusti Made Batan dari Tukadmungga yang
aktif dalam pembangunan pura. 
 
Semua pembangunan di Buleleng dilaksanakan oleh I Gusti Ketut Djlantik beserta
Sedahan Agung dan para punggawa. Raja sebagai simbol untuk meresmikan.
 
Setelah Puri Gde sebagai istana raja, membuat I Gusti Ketut Jlantik, sebagai patih
Buleleng tidak tinggal diam. Beliaupun  memugar dan membangun kembali Puri di
sebelah Timur Pasar Buleleng yaitu di Banjar Dangin Peken yang sekarang dikenal
dengan nama Puri Kanginan. Ini dimungkinkan karena situasi kehidupan rakyat cukup
tenteram dan keadaan ekonomi Buleleng yang makin maju. Pemerintahan kali ini
rupanya tidak banyak rnenimbulkan permasalahan, bahkan mendapat dukungan dari
keluarga puri di Buleleng. Rupanya pasangan Raja serta Patih mendapat ilham dari
kejayaan I Dewa Agung Jambe pada waktu membangun Puri Smarapura dan
membangun kota Kelungkung setelah dapat mengusir Kryan Maruti. Puri Kepatihan
dibangun tidak jauh dari Puri Raja Semarapura.
 
PERANG MELAWAN BELANDA.
Dalam pada itu, pemerintah Belanda melalui Menteri Pemerintah Kolonial Belanda
yang bernama J.C. Baud, melakukan tekanan kepada pemerintah Buleleng untuk
menandatangani perjanjian kerjasama untuk mengakui kedaulatan pemeritah Hindia
Belanda. Atas rayuan Belanda Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem sudah pernah
menandatangani surat perjanjian kerja sama dengan pihak Belanda. Lagi pula raja
Karangasem sendiri, sudah lebih dahulu bekerjasama dengan pihak Belanda. Bahkan
Dewa Agung Klungkung juga sudah melakukan hal yang sama dengan Belanda. Kali
ini kembali pihak Belanda menyodorkan perjanjian baru yang isinya menghapus hak
Tawankarang. Disinilah Patih I Gusti Ketut Jlantik berbalik pikiran dengan tidak bisa
menerima dan secara tegas menolak perjanjian, bahkan seluruh perjanjian yang
terdahulu. Malahan I Gusti Ketut Jlantik menantang Belanda untuk berperang.
Untuk persiapan menghadapi serangan Belanda kemudian I Gusti Ketut Jlantik
bersama laskarnya membuat benteng dari pelabuhan Buleleng sampai di Penataran
sebelah utara Puri.
Pada hari Minggu Paing Dungulan, tanggal 25 Mei 1846 Buleleng di serang oleh
tentara Belanda. Puri Gde dihujani peluru kemudian diserbu dan di bakar. Pihak
tentara Buleleng tidak mampu bertahan dan lari cerai berai. Karena merasa sudah
tidak bisa melawan Belanda, Raja I Gusti Made Karangasem beserta Patih I Gusti
Ketut Djlantik dan laskar pengiringnya langsung mengungsi dari benteng Penataran
ke arah selatan tanpa singgah di istananya dan terus langsung belok arah timur.
Sampai di desa Jagaraga beliau beristirahat dan bertemu dengan seorang Pedanda. Di
desa Jagaraga inilah diadakan pertemuan pihak-pihak yang anti pemerintah kolonial
Balanda. Setelah mendapat dukungan dari pelbagai pihak dibuat benteng yang kokoh.
Bantuan pasukan laskar dari kerajaan lainnya di Bali berdatangan. Dari wiayah
kerajaan Kelungkung, kerajaan Mengwi, dari Karangasem, semua berjumlah 7700
orang tidak terhitung laskar Buleleng di bawah pimpinan langsung Patih I Gusti
Ketut Jlantik.
 
PERANG JAGARAGA.
Belanda melakukan serangan Maret 1848 dibawah pimpinan Jendral Van der Wijk
ke Benteng Jagaraga. Pasukan Buleleng dipimpin langsung oleh Patih Agung 1
Gusti Ketut Jlantik. Pasukan Buleleng memang dikenal gagah berani. Pasukan
Belanda dapat dipatahkan dan pasukannya banyak terbunuh. Kemudian pada
tanggal 14 April 1849 Belanda kembali melancarkan serangannya yang ketiga
dibawah pimpinan Mayor Jendral Michiels. Pasukan Buleleng akhirnya tidak
mampu bertahan melawan senjata pasukan Belanda yang lebih modern dengan
howitzer otomatis.
I Gusti Ketut Djlantik Patih Buleleng beserta rajanya I Gusti Made Karangasem
mundur dan akhirnya gugur di Karangasem diserang oleh pasukan Karangasem
yang sudah lebih dahulu ditaklukkan Belanda.
 
BENDERA BELANDA BERKIBAR.
Dengan kemenangan di pihak Belanda itu berarti akan dibangun pemerintahan
baru yaitu pemerintahan di bawah kekuasaan Belanda. Mulai saat itu peta politik
berputar kearah yang lain dan ini membuka iklim yang baru bagi masyarakat yang
terlibat dalam proses pemerintahan dibawah pemerintah Belanda.

Setelah I Gusti Ketut Jelantik diasingkan ke Padang - Bengkulu pada tahun 1872,

I Gusti Ketut Jlantik adik I Gusti Nyoman Raka (Dewata Geseng), diangkat sebagai
Punggawa Buleleng. Pada waktu itu pemerintah kolonial Belanda dalam menjalankan politik
pemerintahannya di Hindia Belanda makin lunak dan pembangunan sarana umum di Buleleng
meningkat.
 
I Gusti Ketut Jlantik
I Gusti Ketut Jiantik yang waktu itu kebetulan sebagai punggawa Buleleng
memanfaatkan situasi yang lebih kondusif iyu untuk membangun kota Singaraja. Beliau
mulai 1900 membuat jalan baru dari Banyumala terus sampai di Kalibukbuk dengan
melibatkan seluruh perbekel serta masyarakat. Jalan itu panjangnya sekitar 10 kilometer
dari kota Singaraja ke arah Barat. Jalan itu disebut Margi Anyar atau Rurung Anyar.
Nama ini diberikan untuk membedakan dengan jalan yang sudah lebih dulu ada yaitu
jalan desa dari desa Bangkang, Pemaron, Tukadmungga, Anturan dan Kalibukbuk yang
dinamai Marga Purwa atau Rurung Buwuk. (Lebih jauh riwayat I Gusti Ketut Jlantik -
klik di sini.).
Hasil karya beliau baik yang di kota sampai ke desa-desa  cukup banyak yang sekarang
masih kita bisa lihat. 
I Gusti Ketut Jlantik menjabat punggawa Buleleng cukup lama, sejak 1898 - 1915
sehingga diberikan julukan Ratu Punggawa Lingsir. Beliau wafat karena sakit pada
tanggal 14 Mei 1916 dalam umur 62 tahun.
Yang cukup mengherankan, sehari kemudian, pada tanggal 15 Mei 1916, I Gusti Putu
Geria, saudara tua beliau wafat. Kedua kakak beradik seperti telah berjanji agar jenazah
bersama-sama bertemu dalam satu Acara Pelebon.
 

Acara Pelebon (Pengabenan)


di Puri Kanginan - Singaraja
 
Upacara Pelebon diselenggarakan 24 Agustus 1917 berpusat di Puri Kanginan. Dua
Wadah yang besar berjumlah dua buah, diletakkan di alun-alun, di areal Gedung
Sasana Budaya - Gedong Kertya sekarang.

Puputan adalah tradisi masyarakat di Bali, Indonesia yang berupa tindakan


perlawanan bersenjata habis-habisan sampai mati demi kehormatan tanah air. Istilah
ini berasal dari kata "puput" yang artinya "tanggal" / "putus" / "habis / "mati".
Puputan berarti perang sampai mati, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang ada
dari semua kasta sebagai bentuk perlawanan, termasuk mengorbankan jiwa dan raga
sampai titik darah penghabisan.

Puputan yang terkenal di Bali adalah Puputan Jagaraga, dilakukan oleh Kerajaan
Buleleng melawan pasukan kolonial Belanda setelah Raja Buleleng memberlakukan
sistem tawan karang (menahan seluruh kapal asing yang berlabuh di dermaga
Buleleng) terhadap kapal-kapal dagang Belanda, dan Puputan Margarana yang
dipimpin oleh seorang serdadu Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil
(DPRI SK) kelahiran Bali bernama I Gusti Ngurah Rai untuk melawan aksi militer
kolonial Belanda.

*Perlawanan Bali

* Di Bali ada kerajaan Klungking, Karangasem, Buleleng, Badung.


* Buleleng-->adat tawan karang:
semua kapal yang terdampar di perairan
Buleleng menjadi milik
Buleleng.
* Belanda mengancam, lalu menyusun kekuatan militer di Karangasem
* Terjadi perang, Belanda menang
* Raja Buleleng dipaksa menandatangani perjanjian:
a. Benteng Buleleng dibongkar

b. Belanda ditempatkan di Buleleng

c. Biaya perang ditanggung raja


* Setelah pasukan induk Belanda dipulangkan ke Jawa, kerajaan
Karangasem, Buleleng,
Klungkung, Badung, Menguni menyerbu pos-pos Belanda dan merebut
senjata api.
* Belanda menuntut agar I Gusti ktut Jelantik diserahkan ke Belanda.
* Mayor Jendral AV. Michiels, memimpin pasukan ke pantai Bali dan
menyerang langsung Jagaraga
* Bali mengadakan perang puputan tapi kalah.

MASA BALI BARU : PERANG JAGARAGA


Posted by Ketut Adi on 2003-03-07 [ print artikel ini | beritahu teman | dilihat 2939
kali ]

Perang Jagaraga

Jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 28 Juni 1846,
belumlah berarti semangat dan jiwa kepahlawanan raja dan rakyat Buleleng telah
memudar. Bersamaan dengan jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda,
hal ini telah menyebabkan laskar Buleleng terdesak, dan atas desakan Patih Jelantik
raja Buleleng telah mengambil keputusan untuk mengundurkan pasukannya ke
Buleleng Timur memasuki desa Jagaraga serta menetapkan untuk menggunakan
Jagaraga sebagai benteng konsolidasi kekuatan dan sebagai ibukota kerajaan yang
baru.

Ada beberapa alternatif yang telah mendesak Patih Jelantik untuk mengambil
keputusan. Alternatif itu antara lain : Jelantik menyadari bahwa, konsolidasi
persenjataan pasukannya tidak seimbang dengan kekuatan persenjataan Belanda,
sehingga akan sia-sia melanjutkan pertempurannya. Untuk menghindari hal inilah
akhirnya Patih Jelantik memerintahkan kepada sisa-sisa laskar dan rakyat yang masih
setia terhadapnya untuk mengundurkan diri ke desa Jagaraga.

Sebab pokok yang menjadi dasar persengketaan Buleleng dengan Belanda adalah :
karena raja Buleleng tidak pernah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan
dalam perjanjian. Rakyat Buleleng dengan terang-terangan telah menggagalkan
pembangunan benteng di Pabean.

Jalannya Perlawanan
Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda mulai mengadakan serangan terhadap daerah
Jagaraga dengan menghujankan tembakan-tembakan meriam dari pantai Sangsit.
Bagi Belanda pantai Sangsit harus dikuasai dan dipertahankan sebab Sangsit
merupakan salah satu pantai yang masih bisa digunakan sebagai penghubung antara
Bali dengan Batavia. Disamping itu penduduk Sangsit dengan mudah dapat dibina
agar membantu pemerintah Belanda. Dalam ekspedisi Belanda yang kedua ini,
Belanda telah mempersiapkan pasukannya secara matang. Dalam ekspedisi ini,
pasukan militer Belanda diangkut oleh kapal-kapal perang sebanyak 22 buah seperti :
kapal perang Merapi, Agro, Etna, Hekla, Anna, A.R. Falck, Ambonia dan Galen dan
sebagainya. Masing-masing kapal perang itu dilengkapi dengan persenjataan yang
berupa meriam dan persenjataan lainnya.

Kekalahan Belanda dalam ekspedisinya yang pertama ke Bali benar-benar di luar


dugaan, Belanda menjadi marah dengan diundurkannya serangan balasan pada tahun
1848. Seorang perwira Belanda bernama Rochussen menulis kepada Jenderal Van
der Wijck, bahwa jika ia diharuskan menjabat terus pangkatnya yang sekarang, ia
tidak mau beristirahat sebelum dapat memusnahkan Jagaraga.

Dengan gugurnya Patih Jelantik maka berhenti pulalah perlawanan Jagaraga terhadap
pasukan Belanda. Dalam serangan ini, dengan mengadakan pertempuran selama
sehari, Belanda telah berhasil memukul hancur pusat pertahanan dari laskar Jagaraga,
sehingga secara politis benteng Jagaraga secara keseluruhan telah jatuh ke tangan
pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 19 April 1849, dengan jumlah korban di
pihak Jagaraga kurang lebih sekitar 2200 orang, termasuk 38 orang pedanda dan
pemangku, lebih 80 orang Gusti, serta 83 pemekel, sedang di pihak Belanda
menderita korban sebanyak kurang lebih 264 orang serdadu bawahan maupun tingkat
yang lebih tinggi.
PERISTIWA SEMETON KALIH 
 
Peristiwa yang tidak diinginkan atau yang lebih tepat disebut tragedi sejarah yang
menggurat kerajaan Den Bukit adalah sengketa antara dua pihak yang masih keluarga
terdekat. Yaitu perselisihan antara dua orang yang diketahui masih dalam hubungan
bersaudara, dan mereka merupakan keturunan ke 4 pendiri kerajaan Buleleng I Gusti
Ngurah Panji Sakti. Yang lebih tua bernama I Gusti Ngurah Panji yang beristana di
puri Sukasada di desa Sangket dan yang muda bernama 1 Gusti Ngurah Jlantik yang
bersemayam di puri Buleleng. Perselisihan yang dipicu perebutan kekuasaan dan
langsung dicampuri pihak ketiga, yaitu pihak kerajaan Karangasem yang akhirnya
memuncak menjadi perang terbuka antara dua raja bersaudara ini sampai berakibat
gugurnya seorang diantaranya. Sungguh suatu kejadian yang sangat disesalkan oleh
siapa saja, terutama oleh sanak keluarga mereka sendiri, bahkan sampai ke anak
buyut. Perjuangan leluhur mereka I Gusti Ngurah Panji Sakti yang pernah
menyatukan seluruh wilayah Den Bukit melalui segala bentuk pengorbanan bersama
pemuka wilayah dengan dukungan seluruh rakyat sehingga menjadi satu kesatuan
sampai terbentuk apa yang dikenal dengan kerajaan Buleleng, sekarang menjadi porak
poranda. Sudah tentu selanjutnya akan berakibat juga pada tatanan keluarga kerajaan
Buleleng yang terpecah belah yang sampai saat ini masih berdampak nyata. Bukan
saja berakibat kurang harmonisnya hubungan persaudaraan diantara mereka tetapi
juga sampai pada masalah sosial religius seperti sidikara, sampai pada pelaksanaan
upacara di pamerajan kawitan di desa Panji. Sadar akan dampak yang berkepanjangan
dari kejadian tersebut keturunan berikutnya telah melakukan berbagai cara
pendekatan antara dua kelompok tersebut secara terus menerus seperti di uraikan
dalam bab berikutnya. Usaha pendekatan sudah membuahkan beberapa hasil, namun
rupanya permasalahan yang dianggap prinsip masih ada yang membekas, sekalipun
telah melewati kurun waktu hampir duaratus lima puluh tahun.
Namun bagaimanapun juga, sudah sepatutnya, bagi mereka prati sentana I Gusti
Ngurah Panji Sakti, perlu kiranya direnungi dan dicoba untuk meniti kembali asal
muasal yang mendasari kejadian tersebut diatas. Belum tuntas rasanya dengan apa
yang diuraikan oleh babad mengenai dasar perselisihan kedua raja bersaudara
tersebut. Karena dasar pengertian kita sekarang adalah, bahwa dasar pertikaian
mereka berdua adalah memperebutkan wilayah kerajaan. Masing-masing mau
menang sendiri secara mutlak. Akan tetapi bila diungkap lebih dalam lagi rupanya ada
bobot nilai tradisi (traditional value) yang menjadi dasar perseteruan, yaitu perbedaan
status yang pada jaman itu yang aturannya masih berlaku dan dijalankan secara
teguh. 
 
RAJA KARANGASEM YANG CERDIK
Rupanya klan pihak keluarga raja Karangasem sangat jeli melihat kondisi ini yang
merupakan satu celah yang memberi peluang yang sangat baik untuk bisa masuk ke
tengah medan perseteruan keluarga dua raja ini, untuk memecah kerajaan Buleleng.
Apalagi generasi ke-empat dari keturunan I Gusti Anglurah Panji Sakti sudah menerima
proses siklus pasca kejayaan. Kondisi ini dilihat jelas oleh pihak kerajaan Karangasem.
Sangat berbeda dengan kondisi kerajaan Karangasem waktu itu yang memang sudah
menuai suksesnya memperluas kekuasaanya sampai ke Lombok. Dengan memiliki
potensi untuk bisa melebarkan kekuasaannya ke wilayah lain seperti Buleleng ini
apalagi didukung oleh para  punggawa dan laskar kerajaan Karangasem yang sedang
memiliki puncak loyalitas dan mobilitas tinggi.
Dalam suatu upacara di hari purnama di Pura Besakih, hadir Raja Karangasem I Gusti
Ngurah Gde Karang beserta para punggawa lengkap dari kerajaan Karangasem. Dalam
kesempatan itu diadakan acara pertemuan untuk berbincang-bincang. Setelah banyak
hal yang penting dibicarakan, pada waktu mengakhiri pertemuan, Raja membagikan
buah mangga kepada masing-masing punggawa. Berselang berapa waktu kemudian
dalam acara persidangan berikutnya Raja sempat menanyakan kepada para punggawa
bagaimana rasanya buah mangga yang beliau berikan beberapa waktu yang lalu. Semua
memuji dengan mengatakan manis, enak, gurih dan sebagainya. Hanya seorang yang
berkomentar lain, yaitu Punggawa I Gusti Ngurah Sibetan. Punggawa yang satu ini
mengatakan bahwa mangga tersebut cukup ranum dan tidak dimakan melainkan dipakai
bibit untuk ditanam, supaya ada kenang-kenangan dari baginda Raja kelak di kemudian
hari. Raja sangat kagum kepada punggawanya ini. Maka diberikan nama julukan
Wiweka. I Gusti Ngurah Sibetan "Wiweka" ini kemudian dipercaya untuk mengadakan
pendekatan kepada kedua raja bersaudara kerajaan Buleleng yang sedang dilanda
sengketa. Ditunjuklah I Gusti Lanang Dauh untuk mengadakan pendekatan kepada ke
dua orang raja Buleleng yang sedang bersitegang. Dengan menunjukkan latar belakang
historis dan jalinan garis kekerabatan yang masih dekat antara keluarga kerajaan
Buleleng dan keluarga kerajaan Karangasem, pihak Karangasem berusaha menanamkan
kaidah-kaidah dresta yang mengatur suksesi dalam kerajaan. Namun petuah itu pada
saat seperti ini bukan untuk mendekatkan dan memperbaiki situasi hubungan antara I
Gusti Ngurah Panji dan I Gusti Ngurah Jlantik, malahan membuat kemelut. Bahkan
berakibat memecah persaudaraan kedua raja Buleleng tersebut. Ditambah lagi dengan
cara menampilkan sosok wanita cantik untuk menambah manis tutur kata I Gusti
Lanang Dauh.
Dengan cara meyakinkan akhirnya I Gusti Nguralt Jlantik tergiring dan mengikuti
skenario yang dibuat pihak Karangasem. Entah versi bagaimana lagi yang
dihembuskannya kepada pihak I Gusti Ngurah Panji di puri Sukasada sehingga
membuat perseteruan dua raja bersaudara itu memanas yang akhirnya tersulut menjadi
perang yang tidak terelakkan. 
 
MENANG ARANG, KALAH ABU.
Perang yang disebut "Peristiwa Semeton Kalih" berakhir di tahun 1765 dengan
gugurnya I Gusti Ngurah Panji raja yang di puri Sukasada. Dengan demikian
kemenangan ada di pihak I Gusti Ngurah Jlantik yang beristana di puri Buleleng.
Keberhasilan dicapai dengan bantuan penuh dari kerajaan Karangasem dengan
pasukan laskarnya yang telah terlatih. Di kedua belah pihak banyak korban yang gugur dan
luka luka di medan perang yang sengit.
Sebagaimana tercantum dalam kesepakatan antara pihak raja Buleleng dengan pihak
Karangasem yang menyebutkan bahwa, bilamana pihak I Gusti Ngurah Jlantik
dengan bantuan pihak Karangasem berhasil menang, maka pihak Karangasem berhak
mendapat wilayah di Buleleng dan ikut dalam sistem pemerintahan di Buleleng.
Selain itu pihak Karangasem juga harus mendapat sarin tahun atau bagian dari hasil
pajak.
Maka untuk selanjutnya, wilayah kerajaan Buleleng tidak tagi dikuasai sepenuhnya
oleh para sentana I Gusti Ngurah Panji Sakti. Wilayah Karangasem kemudian
diperluas dengan menggeser perbatasan wilayah Karangasem ke arah Barat sampai di
Kubutambahan. Kubutambahan sendiri masuk wilayah kerajaan Buleleng. Kerjasama
di bidang pemerintahan dijalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. I
Gusti Ngurah Jlantik duduk sebagai raja Buleleng sedangkan dari pihak Karangasem,
I Gusti Ketut Karangasem sebagai patih. Disamping itu banyak pejabat lain dibawa
dari Karangasem ikut di Buleleng. 
 
Raja I Gusti Ngurah Jlantik banyak mempunyai putra dan putri yang masih muda usia. Yang
pertama sebagai putra mahkota adalah I Gusti Bagus Jlantik Banjar yang menurut garis
keturunan mempunyai hak dan kewajiban kelak kemudian menggantikan kedudukan
ayahandanya sebagai raja. Putra yang ke dua adalah 1 Gusti Ngurah Jlantik Muna, yang
ketiga I Gusti Ketut Jlantik, kemudian ada lagi I Gusti Made Jlantik, I Gusti Ketut Panji. Dua
orang putri yaitu 1 Gusti Ayu Muter dan l Gusti Ayu Jlantik. Waktu itu raja I Gusti Ngurah
Jlantik bersemayam di Puri Buleleng yaitu Puri yang aslinya dibangun oleh I Gusti Anglurah
Panji Sakti yang terletak di tegalan buleleng.
 
Dari waktu ke waktu tekanan pihak Karangasem makin berat terhadap raja I Gusti Ngurah
Jlantik. Kendati dalam kondisi seperti itu mereka tetap berusaha menjaga eratnya tali
persaudaraan diantara mereka karena menyadari bahwa telah terjadi suatu kekeliruan yang
sangat besar yang menimpa nasib mereka. Apa boleh dikata, semua sudah terlanjur. Masih ada
yang bisa disyukuri, rakyat Buleleng pada umunya masih tetap setia dan bersama-sama
berusaha agar keadaan tidak menjadi lebih parah lagi.
 
RAJA BULELENG I GUSTI NGURAH DJLANTIK WAFAT.
Sang waktu terus berjalan tanpa mengenal henti. Raja Den Bukit I Gusti Ngurah Jlantik tiba-
tiba saja jatuh sakit tanpa ada yang mengetahui sebab musababnya dan akhirnya meninggal
dunia pada tahun 1780. Pihak keluarga yang ditinggalkan sangat terkejut demikian juga rakyat
Buleleng. Berhubung dengan msibah mendadak itu, kecurigaan masyarakat timbul, mungkin
beliau mendapat tekanan oleh I Gusti Ketut Karang sehingga beliau menderita bathin hingga
jatuh sakit yang akhirnya wafat. Kemungkinan juga beliau sengaja diracun atau diperdaya.
Tetapi yang jelas setelah meninggalnya raja, tekanan terus dilakukan kepada keluarga dan
kepada seluruh keturunan I Gusti Anglurah Panji Sakti.  
 
Dengan telah wafatnya raja Buleleng I Gusti Ngurah Jlantik,  salah seorang putranya bernama I
Gusti Made Jlantik yang juga berhak atas kerajaan Buleleng mulai melakukan pengambil alihan
kekuasaan sebagai putra mahkota kerajaan Buleleng. Namun di dalam keluarga di Sukasada
sendiri juga muncul I Gusti Nyoman Penarungan yang lebih ambisius dan menuntut hak juga
atas takhta kerajaan di Den Bukit. Dengan muncul persaingan di dalam keluarga Sukasada
maka pihak penguasa Karangasem sekali lagi mendapat peluang untuk lebih mencengkeram
kukunya di Den Bukit. Karena tidak terlalu sulit untuk memukul yang satu terlebih dahulu
kemudian yang lain. Kekuasaan I Gusti Made Jlantik dan I Gusti Nyoman Penarungan dapat
dipatahkan. I Gusti Made Jlantik akhirnya melarikan diri dan mengungsi ke Marga dan wafat
setelah pindah ke Perean. I Gusti Nyoman Penarungan mengungsi ke Lombok dan menetap di
sana.   
 
I GUSUR KE DESA BANGKANG.
I Gusti Ketut Karang sebagai Patih kerajaan Buleleng meneruskan tugas-tugasnya sebagai
penguasa tunggal. Sedangkan putra dan putri almarhum raja Buleleng I Gusti Ngurah Jlantik,
yang kesemuanya masih muda usia itu disingkirkan keluar dari Puri Buleleng. Mereka
dibuatkan bangunan puri di tepi sebelah Barat Yeh Mala (sekarang sungai Banyumala) yang
sekarang dikenal dengan desa Bangkang. Para pengawal dan pengikut yang setia tidak begitu
saja melepaskan keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti, namun senantiasa berdekatan bersama-
sama tinggal di sekitar puri Bangkang. Tetapi pihak Karangasem juga menempatkan orang-
orangnya di sekitar desa Bangkang.
 
SELESAI TANAH DIBAJAK BIBIT DITANAM.
Tahun 1793 wilayah Buleleng sepenuhnya dikuasai Karangasem dan nama kerajaan
lebih di kenal dengan nama kerajaan Buleleng. Karena sudah selesai masa tugasnya
sesuai dengan yang telah digariskan oleh raja di Karangasem, I Gusti Ketut
Karangasem yang sudah bertugas selama lebih kurang 20 tahun sudah waktunya
untuk diganti. Sebagai pengganti adalah oleh I Gusti Nyoman Karang (Pasedahan)
yang kemudian ternyata dalam menjalankan politiknya pemerintahannya lebih halus
dengan cara pendekatan kekeluargaan. I Gusti Nyoman Karang dinobatkan sebagai
Raja Buleleng I dalam rezim Karangasem. Keadaan wilayah kerajaan Buleleng pada
waktu itu dalam keadaan cukup aman dan sentosa.
Usia putra putri raja yang dulu diasingkan oleh I Gusti Ketut Karangasem di sebelah
Barat Yeh Mala, sudah beranjak dewasa. Memang pihak Karangasem mempunyai
pemikiran yang brilian untuk bisa menguasai Buleleng. Untuk lebih menguatkan
kedudukan raja asal Karangasem tersebut dan untuk mengambil simpati yang lebih
dalam, raja Buleleng yang baru ini memperisteri I Gusti Ayu Muter. Sedangkan
adiknya yaitu I Gusti Ayu Jlantik dibawa ke Karangasem dan menjadi permaisuri
seorang bangsawan dari keluarga raja Karangasem.
Kemudian 1 Gusti Bagus Jlantik Banjar diangkat sebagai Patih kerajaan dan I Gusti
Made Panji Muna sebagai Wakil Patih / Sedahan Agung kerajaan Buleleng.
Sedangkan yang nomor tiga yaitu I Gusti Ketut Jlantik dijadikan punggawa di
Kubutambahan. Desa Kubutambahan yang berada di sebelah Timur dekat dengan
perbatasan Karangasem sengaja dibentuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan
Buleleng dari pihak keturunan Panji Sakti.
Dipihak lain, para sentana I Gusti Ngurah Panji Sakti menyadari situasi pada waktu itu
dan berusaha mencoba menata kembali pembagian tugas pemerintahan dengan cara
sebaik-baiknya sebagaimana telah digariskan oleh aturan yang telah mereka miliki yang
ada di lingkungan keluarga kerajaan Buleleng sendiri. Tentu saja tidak bisa lepas dari
pengawasan dan koordinasi dari pihak raja I Gusti Nyoman Karang.
 
I GUSTI GDE KARANG RAJA BULELENG II.
I Gusti Nyoman Karang meninggal dunia pada tahun 1808, dan beliau digantikan oleh
kakaknya yang bernama 1 Gusti Gde Karang, sebagai Raja Buleleng II dari dinasti
Karangasem. Raja ini dikenal keras dan tegas. Berwawasan luas dan berambisi kuat untuk
mengadakan ekspansi dan memajukan ekonomi. Diceritakan juga konon beliau tidak segan-
segan mengorbankan jiwa manusia dan anak-anak sebagai caru dalam upacara buta yadnya. 
Karena merasa sudah memiliki kekuatan sendiri, I Gusti Gde Karang melepaskan diri dari
kerajaan Karangasem. Malahan wilayah kerajaan Karangasem sempat berada di bawah
kekuasaan raja I Gusti Gde Karang. Adiknya yang bernama I Gusti Ngurah Lanang sebagai raja
Karangasem.
 
KONTAK DENGAN ORANG ASING.
Pada jaman pemerintahan I Gusti Gde Karang ini perdagangan di Buleleng mengalami
kemajuan dengan mulainya pelayaran kapal-kapal asing yang singgah di pantai Buleleng.
Beliau pada mulanya berpuri di daerah Pabean dekat pelabuhan.
Wilayah Jembrana pernah dikuasai dengan menyerang kerajaan tersebut, rajanya
dibunuh dan purinya dihancurkan. Kemudian mengusir orang-orang Bugis di Loloan
dan sekitamya. Kebetulan kerajaan Inggris di negeri Malaka waktu itu sedang
mengembangkan kekuasaannya yang dikendalikan oleh Sir John Stamford Raffles
sewaktu menjabat sebagai letnan gubernur di Jawa sangat tertarik kepada budaya
Jawa. Setelah tahun 1811 sempat melihat Bali yang akhirnya jatuh cinta pada Bali.
Bahkan terdengar bahwa pihak Inggris ingin menguasai pulau Bali dan merencanakan
akan membangun kota pelabuhan dengan nama Singapura di Buleleng ini. (Catatan)
Pihak raja I Gusti Gde Karang tertarik dan mulai dengan pembangunan sarana
pelabuhan. Disamping itu beliau mulai membuka areal puri baru yang lebih besar,
namun tidak sampai selesai, karena timbul beberapa masalah di walayah kerajaan
Buleleng.
Pihak Raffles minta agar penjualan budak dihentikan sama sekali. I Gusti Gde Karang
menolaknya dengan tegas. Untuk menekan raja, tahun 1814 Raffles memerintahkan
angkatan laut Inggris dibawah pimpinan Jendral Nightangale datang ke Buleleng
dengan beberapa kapal perang, namun tidak terjadi pertempuran. Pihak Belanda sudah
lebih dahulu melakukan ekspansinya di Indonesia dan pihak Inggris tidak ingin
mendapat masalah dengan Belanda. Ikut campurnya pihak asing menjadikan
penghasilan Raja Buleleng I Gusti Gde Karang turun drastis.
 
MUSIBAH BANJIR.
Rupanya nasib baik belum berpihak kepada raja I Gusti Gde Karang. Akibat letusan gunung
Tambora di Sumbawa pada hari Rebo tanggal 22 April 1815, mengakibatkan di tahun itu
wilayah Buleleng tertutup abu, sawah ladang sampai kehalaman rumah penduduk. Kemudian,
hujan turun beberapa hari tiada henti menyebabkan air danau meluap mengakibatkan banjir
besar pada malam gelap 1816. Dinding di sebelah Utara danau Buyan pecah dan air bah
melanda segala bentuk apapun yang menghalangi dibawahnya. Sejumlah desa dihanyutkan
banjir lumpur dan lenyap dari atas bumi. Ribuan nyawa melayang. Jenazah hanyut dan
tertimbun lumpur. Puri Sukasada hancur dilanda banjir lumpur. Keluarga keturunan Ki Gusti
Anglurah Panji Sakti yang tinggal di Puri Sukasada banyak yang jadi korban bencana tersebut.
Demikian juga mereka yang tinggal di pinggir Sungai Banyumala (dulu Yeh Mala) yaitu yang
ada di puri Bangkang seperti I Gusti Bagus Jlantik Banjar beserta keluarga dan I Gusti Made
Panji Muna beserta keluarga semuanya wafat tertimbun lumpur. Keluarga lainnya yaitu I Gusti
Ketut Jlantik yang jadi punggawa di Kubutambahan tidak terkena musibah karena lokasinya
jauh di sebelah Timur. Banyak  desa yang yang mulanya subur tersapu tanpa sisa atau tertimbun
lumpur setebal 1 sampai 3 meter, antara lain desa Kedu, Mendala, Gendis, Tepok Basa,
Sambangan, Bangkang, Galiran, Panji, Pebantenan, Bratan, Banjar Banua, Banjar Tengah,
Banjar Badung, Banjar Bungkulan, Sukasadi, Buleleng, dan lainnya. Korban meninggal tercatat
12.000 orang.
Akibtanya Buleleng mulai terkena paceklik. Sawah dan ladang hancur, rakyat kehilangan
rumah serta isinya. Tahun 1816 adalah tahun malapetaka bagi pertanian. Kelaparan dan
penyakit mewabah.
Catatan: Letusan gunung Tambora adalah terdahsyat di dunia, selama jaman peradaban
manusia. Sebanyak 92.000 manusia menjadi korban meninggal. Mengeluarkan
150,000,000,000 kubik meter abu ke seluruh dunia. Kira-kira 150 kali dibandingkan letusan
Saint Helena 1980. Iklim di Eropa menjadi sangat dingin sepanjang tahun yang disebut “Year
Without a Summer”
 
Dengan banyaknya keluarga puri Bangkang yang menjadi korban musibah banjir, maka  jabatan
patih beralih kepada I Gusti Ketut Jlantik yang berpuri di Kubutambahan. Menyusun tatacara
pemerintahan, peraturan adat. Jabatan diteruskan kepada generasi berikutnya.  
Dalam suatu ketika di tahun 1818, I Gusti Gde Karang pergi Jembrana. Pasukan kerajaan
Jembrana dibawah pimpinan I Gusti Ngurah Putu Jembrana, putra raja yang dibunuh dulu,
secara diam-diam sudah menunggu lengkap dengan senjata. Sesampai di desa Pengambengan I
Gusti Gde Karang dikeroyok secara tiba-tiba sehingga wafat di Pengambengan (Dewata di
Pengambengan)

RAJA ANGKARA MURKA

Dengan wafatnya I Gusti Gde Karang, Raja Buleleng II pada tahun 1818, langsung tahun  itu
juga diganti oleh putra kandungnya yang bernama I Gusti Karang Paang Canang. Tidak
disebutkan apakah berliau disebut sebagai Raja Buleleng III.
Selanjutnya diceritakan, bahwa baru dinobatkan I Gusti Karang Paang  sudah menerima
kejayaan dari ayahandanya, I Gusti Gde Karang almarhum. Maka beliau melanjutkan
membangun puri baru di sebelah barat jalan (…ri kulwaningnu ). Perihal Puri Gde ini bisa
dibaca dihalaman tersendiri (klik: Puri Gde Singaraja). Puri yang dibangun oleh I Gusti
Karang Paang ini  dikenal dengan nama Puri Gde. Puri ini sebenarnya, seperti telah
diceritakan terdahulu dirancang oleh ayahandanya I Gusti Gde Karang almarhum. Ternyata
raja I Gusti Paang Canang mempunyai perilaku kurang wajar, yaitu jatuh cinta pada saudara
perempuannya bernama I Gusti Ayu Kamarukan (Gabrug) dan dijadikan isteri. Ini yang
disebut gamia-gamana, musuh peradaban manusia.
 
KEKEJAMAN RAJA I GUSTI PAANG CANANG.
Seorang keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti bernama I Gusti Bagus Ksatra secara
baik-baik menghaturkan ikan udang. Dasar I Gusti Karang Paang yang kurang waras,
lkata udang diartikan "nyuudang" atau memberhentikan sebagai raja. I Gusti Bagus
Ksatra yang bermaksud baik itu langsung dibunuh. Rakyatpun mulai memberontak.
Pada suatu malarn ada tontonan wayang kulit di halarnan puri, dalangnya I Guliang
dari desa Banjar. Kesempatan ini dipakai rakyat untuk memberontak dan membunuh
raja. Pasukan bersenjatapun sudah siap. Tetapi raja sampai jauh rnalarn tidak keluar
nonton wayang. Orang banyak rnulai ribut. Tiba-tiba kain kelir wayang ditusuk
sampai berlobang. Jero Dalang Guliang dari Banjar itu terkejut luar biasa. Jero Dalang
yang tangannya masih memegang wayang Bhimasena dan Tualen lari dengan kaki
pincang karena di jari kakinya masih terselip "ketokan". Banyak orang yang terluka
pada malam naas itu.
Keluarga dari Sangket dan Buleleng bergabung lalu menyerbu bersamaan ke dalam
puri, tetapi puri sedang kosong dan gelap gulita. Hanya ada seorang parekan bernarna
I Ketut Karang dari Penataran yang mernberitahukan, bahwa raja tidak ada di puri entah
kemana. Akhirnya orang banyak itu pun pulang kerumah rnasing-masing.
Besok paginya I Gusti Karang Paang sudah duduk di balairung mengadakan
pertemuan dengan para punggawa. Perintah raja adalah agar keturunan Panji Sakti,
semuanya tanpa kecuali, tua muda, besar kecil supaya semuanya dibunuh. Maka
kalang kabutlah para sentana I Gusti Anglurah Panji Sakti. Mereka yang di Sangket
lari ke desa Kapal Mengwi, yang di Bangkang lari menyelamatkan diri ke desa Soka
Tabanan. Mereka yang di Kubutambahan mengungsi ke desa Pakisan. Ada juga yang
lari ke Lombok. Ada juga yang menyelamatkan diri di keluarga muslim yang
kemudian beralih kepercayaan dengan memeluk agama Islam.
Keadaan wilayah Buleleng makin tak menentu. Musim tidak cocok lagi. Hasil
pertanian seperti hasil sawah rusak dan tanaman di tegal tidak berhasil. Penyakit
wabah merajalela banyak khewan piaraan yang mati. Ini karena ulah "gamya-gamana"
sang raja I Gusti Karang Paang.
 
BERAKHIRNYA SI  RAJA LALIM.
Rakyat sekali lagi berontak dengati kekuatan dan tekad yang lebih besar. Mereka menyerbu
puri Gde. Namun Raja sudah lebih dulu waspada. Beliau sudah dalam perjalanan kembali ke
Karangasem. Di dalam perjalanan mereka sempat berhenti di Kubutambahan selama beberapa
hari. Beliau disembunyikan dan dilindungi oleh pejabat kerajaan di Kubutambahan dari
kejaran rakyat. Konon seorang selir raja yang hamil tua yang ikut dalam perjalanan
melahirkan seorang anak laki-laki di Kubutambahan. 

I GUSTI KARANG PAANG DIBUNUH.


Sesampai I Gusti Karang Paang di Puri Karangasem langsung beliau menuju Balai Rum di
Puri Ageng. Orang-orang di Karangasem sudah mengetahui kelakuan raja yang cacat moral
itu. Raja Karangasem menjatuhkan hukuman mati kepada I Gusti Karang Paang dan hal ini
sudah mendapat persetujuan dari Sesuhunan Bali di Kelungkung. Raja Karangasem I Gusti
Ngurah Lanang tidak lain adalah pamannya dan sekaligus musuhnya melakukan sendiri
eksekusi terhadap I Gusti Karang Paang. Tetapi tidak mudah karena I Gusti Karang Pahang
ilmunya tinggi dan kebal senjata. Rupanya ilmunya ada di ikat pinggangnya. Maka sewaktu
beliau sedang bersantap dan ikat pinggangnya dilepas, dikala itu beliau kepalanya dipenggal
dan ditombak beberapa kali dari muka dan belakang sehingga darahnya muncrat mengenai
dinding, pintu dan langit-langit Balai Rum itu. Itu terjadi pada tahun 1823. Konon darah itu
membekas sampai sekarang. Seorang Belanda Dr. Medhurst menceritakan kekejaman
eksekusi itu secara mendetil ditulis di harian Singapore Chronical June 1830.
 
Sementara itu keluarga besar prati sentana 1 Gusti Ngurah Panji Sakti sempat
menyelenggarakan upacara pelebon secara sederhana untuk mereka yang menjadi korban
kejaliman raja I Gusti Karang Paang. Antara lain I Gusti Bagus Ksatra, I Gusti Bagus Jlantik
Kalianget dan semua jenazah Jenazah seluruhnya dipelebon di Tukadmungga pada tahun
1823.
Semenjak itulah, keturunan I Gusti Ngurah Panji Sakti yang dulu cerai berai berada di desa
Soka Tabanan, di Pakisan dan desa lainnya, kembali ketempat asalnya masing-masing beserta
rakyat pengiringnya. Mereka yang dulu mengungsi ke desa Soka Tabanan kembali ke desa
Bangkang seperti I Gusti Nyoman Pandji, I Gusti Ketut Djlantik Prasi. Sedangkan I Gusti
Bagus Djlantik Batupulu beserta adiknya I Gusti Made Batan tidak kembali ke Bangkang,
melainkan membangun puri di desa Tukadmungga meneruskan rencana ayahnya I Gusti
Bagus Jlantik Kalianget dan tinggal menetap disana, kemudian membangun merajan sendiri.
 
Mereka yang mengungsi ke desa Kapal Mengwi di antaranya ada yang terus ke Lombok dan
menetap disana. Dan I Gusti Putu Kari (Kebon) berserta keluarga lainnya  yang dahulu
mengungsi ke desa Pakisan kembali ke Kubutambahan.Keluarga yang sudah mengalih ke
agama Islam tinggal di Kampung Kajanan Singaraja.
 
Dalam kurun waktu beberapa tahun setelah itu singgasana di istana kerajaan Buleleng sempat
lengang. Sepupu almarhum I Gusti Karang Paang yang bernama I Gusti Made Oka Suri
pernah duduk sebagai raja Buleleng, tetapi tidak bertahan lama karena suasana sudah mulai
terasa hangat di Buleleng yang makin kurang suka pada keluarga raja asal Karangasem.
Tambahan lagi situasi di Bali mulai digoyang oleh masuknya kekuatan dari luar seperti
bangsa Inggris dan juga bangsa Belanda sudah mulai berusaha mengadakan hubungan dengan
kerajaan-kerajaan di Bali, demikian juga dengan Buleleng. Bahkan kerajaan lain di Bali
seperti Badung dan lainnya sudah menanda-tangani perjanjian dengan Belanda. Bahkan Raja
Bali I Dewa Agung Kelungkung juga sudah dipengaruhi Belanda. Menghadapi keadaan
seperti ini Buleleng sangat memerlukan sosok pemimpin atau raja untuk mengisi kekosongan
pimpinan di Buleleng waktu itu.

Anda mungkin juga menyukai