dan Perjuangan
I Gusti Ketut Jelantik
Anggota :
01 Evi
02 Srifah Indah
Bagi patih kerajaan Buleleng, Ketut Jelantik, tuntutan tersebut sangat meremehkan, akhirnya ia
menanggapinya dengan sikap meradang. Ia bahkan bersumpah selama hidupnya tidak akan pernah tunduk
pada kekuasaan Belanda demi apapun alasannya. Suami dari I Gusti Ayu Made Geria ini lebih memilih
untuk berperang dibandingkan mengakui kedaulatan dan kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam menghadapi pemerintah Belanda, Ketut Jelantik mengambil tindakan berani yakni dengan jalan memilih
jarang peperangan. Pada tahun 1943, ketika pemerintah Belanda berhasil meminta persetujuan beberapa raja dari kerajaan-
kerajaan Bali untuk menghapuskan hak hukum Tawan dan mengakui kekuasaan Belanda, kerajaan Buleleng tetap pada
pendiriannya. Mereka menolak untuk menghapuskan perjanjian yang bagi Ketut Jelantik akan merugikan warganya.
Karena penolakan itulah akhirnya pecah perang yang terjadi antara Buleleng dan Belanda pada tahun 1846 yang
menghasilkan kekalahan dari pihak Buleleng. Istana Buleleng berhasil dikuasai Belanda yang membuat raja Buleleng dan
patihnya melarikan diri ke daerah Jagaraga.
Pihak Belanda merasa kurang puas hanya merebut istana Buleleng, mereka berlanjut dengan mengejar Ketut
Jelantik dan raja ke daerah Jagaraga. Di sana, ayah dari tiga anak ini bersembunyi di benteng-benteng pertahanan yang
dibuatnya bersama dengan para prajurit. Siasat perang yang menyatakan bahwa daerah benteng mempunyai bentuk
bangunan yang sulit dijangkau oleh meriam, Ketut Jelantik memilih untuk bertahan dan menyusun strategi perang. Benar
saja, keteguhan sikap yang menolak adanya penghapusan hak hukum Tawan nyatanya mengantarkan Buleleng pada
peperangan yang cukup sengit.
Peperangan yang meletus pada bulan Juni 1848 ini tak hanya melibatkan tentara Belanda, tapi juga kerajaan-
kerajaan yang berhasil diberdaya Belanda untuk tunduk kepada Belanda. Berhasil memukul mundur tentara Belanda pada
perang Jagaraga I, pada tahun 1849 Belanda kembali menyerang wilayah Jagaraga. Dengan pengalaman strategi yang
pernah dipelajari, maka pada 16 April 1849, akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Kalah dalam berperang, Ketut
Jelantik melarikan diri ke pegunungan Batur Kintamani. Di sana, ia bertahan di perbukitan Bale Pundak sampai akhirnya
gugur dalam perjuangan ketika Belanda mengetahui gerak geriknya dan berhasil mengepungnya.
I Gusti Ketut Jelantik meninggal tahun 1849, berkat usahanya yang tetap teguh membela tanah kelahiran atas
kekuasaan Belanda kala itu, I Gusti Ketut Jelantik mendapatkan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional menurut
SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993.
“Sekiandan
Terimakasih.”