Perlawanan di Bali
Pada abad ke-20 pada saat Indonesia sudah merdeka ternyata masyarakat dunia
lebih mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali adalah sebuah pulau
kecil yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan
menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia. Tetapi kalau kita lihat dalam
perjalanan sejarah nasional Indonesia sampai abad ke-19 Bali belum banyak
menarik perhatian orang-orang Barat untuk menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal
orang-orang Barat mungkin hanya singgah dan sekedar berdagang. Baru pada
sekitar tahun 1830- an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan
pengaruhnya di Bali. Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian
menyulut api perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan
sebutan “Perang Puputan”
Patih Ktut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-
pos pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng juga mendapat dukungan
dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846
telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang
langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada
pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi
antara para pejuang dari Buleleng, dibantu oleh para pejuang Karangasem, dan
Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat
Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap
dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan
Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ktut
Jelantik beserta pasukannya, terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar
7 km sebelah timur Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang dan
memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian
ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: (1) Dalam
waktu tiga bulan, Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng
yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru, (2) Raja
Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan
Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ktut
Jelantik kepada pemerintah Belanda, (3) Belanda diizinkan menempatkan
pasukannya di Buleleng.
Tekanan dan paksaan Belanda itu mencoba ditandingi dengan tipu daya. Raja dan
para pejuang pura-pura menerima isi perjanjian itu. Tetapi di balik itu Raja
dan Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng
pertahanan yang kuat bagaikan gelar-supit urang. Rakyat juga sengaja tetap
mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 saat ada kapal-kapal asing
terdampar di Pantai Kusumba Klungkung, tetap dirampas oleh kerajaan. Sudah
tentu hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan
ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan
melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka jatuhlah
Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849
Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke
tangan Belanda. Tetapi nampaknya tidak mudah Belanda untuk menguasai Pulau
Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi
Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.
6. Perang Banjar
Setelah melalui bujuk rayu disertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817
terjadi perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah
Hindia Belanda. Dalam perjanjian ini Sultan Sulaiman harus menyerahkan
sebagian wilayah Banjar kepada Belanda, seperti daerah Dayak, Sintang,
Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, Pasir
Kutai, dan Beran. Dengan demikian wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin
semakin sempit, sementara daerah kekuasaan Belanda semakin bertambah. Bahkan
menurut perjanjian yang diadakan tanggal 4 Mei 1826 antara Sultan Adam
Alwasikh dengan Belanda, menetapkan bahwa daerah Kesultanan Banjar tinggal
daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.
Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan sosial
ekonomi. Penghasilan para penguasa kerajaan menjadi semakin kecil. Sementara
dengan masuknya pola hidup Barat, kebutuhan hidup para penguasa meningkat.
Dengan demikian beban hidup mereka semakin sulit. Untuk mengatasi kesulitan
ini maka mereka menaikkan pajak. Dengan demikian rakyat menjadi sasaran
eksploitasi baik dari pemerintah kolonial maupun para pejabat kerajaan. Rakyat
juga diperintahkan untuk melakukan kerja wajib.
Tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf von Bentheim
Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan dan Pangeran
Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Pada hal menurut wasiat yang sah
yang diangkat menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah. Oleh karena itu,
wajar kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai Sultan Banjarmasin menimbulkan
protes dan rasa kecewa dari berbagai pihak. Tamjidillah memiliki perangai yang
kurang baik, senang minum-minuman keras seperti orang Belanda. Tamjidillah
juga menghapus hak-hak istimewa pada saudara-saudaranya termasuk menganggap
tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam kepada Pangeran Hidayatullah.
Kemudian, setelah hak-haknya dirampas, Pangeran Anom dibuang ke Bandung.
Tindakan Tamjidillah yang sewenang-wenang itu semakin menimbulkan rasa kecewa
dari berbagai pihak. Salah satu gerakan protes dan menolak pengangkatan
Tamjidillah sebagai sultan adalah yang dipelopori oleh Penghulu Abdulgani.
Pangeran Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu
disisihkan dalam berbagai urusan. Akibatnya ketegangan di istana semakin tajam
sehingga membuat kondisi kerajaan menjadi tidak kondusif.
Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di pedalaman
yang dipelopori oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai Panembahan Muning
mengatakan dalam semedinya ia mendapatkan firasat agar Kesultanan Banjarmasin
dikembalikan kepada Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah. Pangeran
Antasari adalah juga seorang pangeran yang diperkirakan juga keturunan raja di
Banjarmasin. Gerakan Aling ini membuat suasana kerjaan semakin kacau. Pusat
gerakan Aling dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah) yang terletak di tepian
Sungai Muning. Aling juga memanggil Antasari agar datang di Tambai Mekah.
Pengaruh Aling ini semakin besar dan banyak pengikutnya, karena Aling memang
dipandang orang yang sakti. Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan
apa yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan
Aling. Antasari berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan
kekuasaan Belanda. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling, Pangeran
Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Sultan Pasir dan
Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.
Mulai saat itu Kesultanan Banjar berada di bawah dominasi Belanda. Belanda
sebenarnya berusaha membujuk Pangeran Hidayatullah (Hidayat) untuk bergabung
dengan Belanda dan akan dijadikan Sultan Banjar. Tetapi kalau melihat
kelicikan Belanda, bagi Pangeran Hidayatullah itu semua merupakan tipu daya
Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah memilih bersama rakyat untuk
melancarkan perlawanan terhadap Belanda.
Pada waktu itu memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat
Banjar terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura
dan Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Pertempuran di sekitar Banua
Lima di bawah pimpinan Tumenggung Jalil, pertempuran di sekitar Martapura dan
tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman, dan sepanjang Sungai Barito
dikomandani oleh Pangeran Antasari. Kiai Demang Lehman yang berusaha
mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara Belanda. Pertempuran sengit
terjadi dan banyak membawa korban. Sembilan orang serdadu Belanda tewas.
Belanda kemudian meningkatkan jumlah pasukannya. Benteng Tabanio berhasil
dikepung oleh Belanda. Demang Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri.
Demang Lehman kemudian memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan di Gunung
Lawak, Tanah Laut. Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan
mati-matian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah
banyak pengikutnya yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman di benteng
Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang melawan Belanda, sebab mereka
yakin perang ini merupakan perang sabil.
Pada bulan September Deman Lehman dan para pemimpin lain seperti Tumenggung
Jalil, dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan medan pertempuran di Tanah
Laut menuju Kandangan untuk mengadakan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang
yang lain. Dalam pertemuan di Kandangan itu menghasilkan kesepakatan yang
intinya para pemimpin pejuang Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan
Belanda, dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut.
Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang mengusir
penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram Manyarah Waja
sampai Kaputing”. Para pejuang tidak akan menyerah sampai titik darah yang
penghabisan.