Anda di halaman 1dari 2

PERLAWANAN DI BALI

Pada abad ke-19 kerajaan-kerajaan di Bali sudah banyak yang berkembang dan berdaulat.
Misalnya kerajaan Buleleng, Karngasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Menguri dan Bangli.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels, pemerintah colonial mulai menjalin kontak
dengan kerajaan-kerajaan di Bali. Belanda juga ingin menanam pengaruh dan kekuasaan di Bali,
sehingga mereka mengirimkan 2 utusan dengan misi tertentu. Yang pertama G.A. Granpre
Moliere untuk misi ekonomi dan misi ini berjalan dengan lancar. Kedua Huskus Koopman
mengemban misi politik yang mengalami berbagai kendala,tapi dia tetap berusaha mendekati
raja-raja di Bali, sehingga tercapai suatu perjanjian antara raja-raja di Bali dengan Belanda.
Perjanjian tersebut terutama seputar hukum tawan karang agar dihapuskan. Tetapi sampai tahun
1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakannya, sehingga membuat Belanda
protes keras terhadap kejadian ini. Belanda memaksa raja Buleleng dan Karangasem agar
melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati, Belanda juga menuntut aga Buleleng
membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk.

Karena Raja Gusti Ngurah Made Karangasem mendapat dukungan dari patih I Gusti
Ketut Jelantik dia menghiraukan tuntutan Belanda tersebut. Dan Patih Ketut Jelantik terus
mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Dalam perang ini
Kerajaan Buleleng mendapatkan dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Pada
tanggal 27 Juni 1846 pasukan Belanda yang berkekuatan 1.700 orang menyerbu kampong-
kampung di tepi pantai. Disamping itu, masih ada pasukan laut yang dating dengan kapal-kapal
sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng yang dibantu oleh para
pejuang Karangasem dan Klungkung melawan Belanda. Selama 2 hari para pemimpin, prajurit,
dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan
modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan
ibukota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan patih Ketut Jelantik beserta pasukannya terpaksa
mundur sampai ke desa Jagaraga. Pasukan Belanda terus mendesak dan memaksa raja Buleleng
unutk menandatangani perjanjian yang berisi; Dalam waktu 3 bulan Raja Buleleng harus
menghancurkan semua benteng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun membangun
benteng baru, Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan
Belanda, sejumlah 75.000 gulden dan raja harus menyerahkan I Gusti Ketut Jelantik, Belanda
diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng. Raja-raja Bali tidak menghiraukan ultimatum
Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Di Jagaraga telah
dibangun benteng pertahanan yang kuat bagai gelar supit urang. Belanda mengetahui hal
tersebut dan terus meningkatkan kekuatan untuk menghadapinya.

Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, bala bantuan Belanda mendarat di Pantai Sangsit. Tanggal 8
Juni serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tantara Belanda
antara lain; j. van Swieten, Letkol Sutherland. Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun
pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ketut Jelantik yang dibantu istrinya, Jero Jempiring
mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang sehingga dapat menjebak
pasukan Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.

Belanda mempersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk melakukan pembalasan. Awal April
1849 datang kesatuan serdadu Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15
April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo 2 hari
kekutan di Jagaraga dapat dulumpuhkan oleh Belanda. Keruntuhan Benteng Jagaraga menjadi
pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti Ketut Jelantikdan
Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya
untuk mempertahankan diri.Kemudian kerajaan Buleleng pun jatuh ke tangan Belanda.

Anda mungkin juga menyukai