Anda di halaman 1dari 4

5.

PERLAWANAN DI BALI

Pada abad ke-20 pada saat Indonesia merdeka ternyata masyarakat dunio lebih mengenal nama
Bali daripada nama Indonesia,Bali adalah pulau kecil yang berada di Indonesia atau bisa disebut
dengan pulau Dewata pulau yang sering menjadi objek wisata bagi pariwisata.pada abad ke-19 Bali
belum menarik perhatian banyak orang perhatian orang barat untuk menanamkan
pengaruhnya.kapal kapal orang barat hanya singgah dan berdagang, baru pada tahun sekitar 1830-
an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya di Bali. Perkembangan dominasi
pada Belanda ini kemudian menyulut api perlawanan rakyat Bali dan di sebut sebagai “perang
Puputan”

Mengapa terjadi perang Puputan di Bali?

Pada abad ke-19 Bali sudah berkembang kerajaan-kerjaan yang berdaulat.pada masa pemerintahan
gubernur jenderal Daendels, pemerintah kolonial mulai menjalin kontrak Dengan kerajaan-kerajaan .
namun dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh kepada
bali.oleh karena itu Belanda mengirim dua utusan yaitu:

1.G.A.Granpore Moliere(untuk misi ekonomi)

2.Huskus koopman(misi Poltik)

Untuk misi ekonomi berjalan lancar,tapi untuk misi politik mempunyai berbagai kendala.huskus
koopman terus berusaha untuk mendekati raja raja di Bali.akhirnya di capai perjanjian antara raja
raja di Bali dengan belanda di antaranya:

1.Raja Badung (28 November 1842)

2.Raja Buleleng (8 Mei 1843)

3. Raja Karangasem (1 Mei 1843)

4.Raja Klungkung (24 Mei 1843)

5.Raja Tabanan(22 Juni 1843)

Perjanjian itu berisi: seputar hukum Tawang karang harus di hapuskan

Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk
meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetap sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan
Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk
melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan
Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap kejadian ini. Belanda
memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang
telah disepakati. Belanda juga menuntut agar Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang
dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I
Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan, I Gusti Ketut Jelantik
sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan
Belanda. Dengan demikian perang tidak dapat dihindarkan. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846
telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung menyerbu
kampung-kampung di tepi pantai. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng yang
dibantu oleh para pejuang Karangasem dan Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para
pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda
lebih lengkap dan modern, maka para pejuang Bulelen semakin terdesak. Benteng pertahanan
Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Pasukan Belanda terus mendesak para
pejuang dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian.Tekanan dan paksaan
Belanda itu ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang berpura-pura menerima isi
perjanjian itu. Path Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng
pertahanan yang kuat bagaikan Gelar Supit Urang.Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum agar
raja-raja di Buleleng, Klungkung, dan Karangasem mematuh dan melaksanakan isi perjanjian yang
telah ditandatangani.

Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk
melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian mengirim kurir untuk meminta bantuan
pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali sehingga datang pasukan tambahan dari Klungkung,
Karangasem, dan Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan

Patih Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya.

Belanda terus meningkatkan kekuatannya untuk menghadapi hal tersebut.

Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, bala bantuan Belanda mendarat di Pantai

Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap Benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin
tentara Belanda antara lain: J. Van Swieten, Letkol Sutherland. Benteng Jagaraga terus dihujani
meriam. Namun pasukan

Buleleng di bawah pimpinan Ketut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero

Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang sehingga dapat menjebak
pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang serdadu dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir
dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.

Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda di Batavia. Oleh karena itu,
dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang
kesatuan serdadu

Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan
Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore
hari semua kekuatan di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Keruntuhan Benteng Jagaraga
menjadi pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti

Ketut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan
terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri.

Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda.


Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ketut Jelantik maka jatuhlah

Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba Jatuh pula ke tangan Belanda. Meskipun
demikian, Belanda tidak mudah untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih
terus terjadi.

Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung.

Puputan meletus di Klungkung.

Anda mungkin juga menyukai