2. Kedua: 1827-1828
Pada babakan kedua ini pasukan Diponegoro terdesak pada setiap medan
pertempuran oleh karena Belanda menggunakan siasat baru ialah siasat benteng.
Benteng Stelsel atau Sistem Benteng ini mulai dilaksanakan oleh Jenderal De Kock
pada babakan kedua ini. Tujuannya adalah untuk memper-sempit ruang gerak
pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa
benteng-benteng di daerah-daerah yang telah dikuasainya.
Dengan adanya siasat baru ini perlawanan pasukan Diponegoro makin
lemah. Di samping itu Belanda berusaha menjauhkan Diponegoro dari pengikut-nya.
Pangeran Suryomataram dan Ario Prangwadono tertangkap pada tanggal 19 Januari
1827 sedang Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo tertangkap pada tanggal 21
Juni 1827. Setelah penangkapan disusul oleh perundingan dan penyerahan. Kiai
Maja mengadakan perundingan dengan Belanda tanggal 31 Oktober 1828 di Mlangi.
Pangeran-pangeran pengikut Diponegoro satu demi satu menyerah kepada Belanda.
Pangeran Notodiningrat menyerah tanggal 18 April 1828, Pangeran Ario Papak pada
bulan Mei 1828, dan Sosrodilogi pada tanggal 3 Oktober 1828. Keadaan Pangeran
Diponegoro menjadi lebih sulit lagi setelah De Kock menjadikan Magelang pusat
kekuatan militernya.
3. Ketiga: 1829-1830
Pimpinan tertinggi Belanda di Batavia menghendaki agar perlawanan
Diponegoro secepatnya dihentikan, karena peperangan ini menghabiskan biaya
yang besar sekali. Jalan yang ditempuh oleh Belanda adalah jalan perundingan.
Tokoh perundingan Belanda Residen Van Nels mengirimkan surat kepada
Mangkubumi agar menghentikan perlawanan. Sebelumnya De Kock juga
mengirimkan surat kepada Sentot dengan maksud yang sama (11 Februari 1829),
Sentot juga menerima surat dari Van Nels tertanggal 27 Juli 1829 dengan maksud
mengajak damai. Mangkubumi akhirnya menyerah kepada Belanda setelah dibujuk
oleh putranya, yang telah menyerah terlebih dahulu (Sepember 1829). Sentot juga
menyerah bersama pasukannya pada tanggal 24 Oktober 1829. Pangeran Ario
Suriokusumo menyerah pada tanggal 1 November 1829, Joyosudirgo menyerah
pada pertengahan bulan Desember 1829, Pangeran Dipokusumo, putra Diponegoro,
menyerah pada tanggal 8 Januari 1830.
Penyerahan para pengeran ini secara berturut-turut sangat memukul
perasaan Diponegoro. Dalam menghentikan perlawanan Diponegoro, rupanya
Belanda memakai prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dalam
menghadapi Diponegoro. Hal ini terbukti dari peristiwa di bawah ini. Pertemuan
antara Kolonel Cleerens dengan Diponegoro di desa Romo Kamal pada tanggal 16
Februari 1930 belum menghasilkan suatu kemufakatan. Kemudian perundingan
dilanjutkan di Kecawang. Perundingan ini pun menemui kegagalan. Di dalam
perundingan ini Cleerens menyarankan kepada Diponegoro untuk melanjutkan
perundingan di kota Magelang dengan jaminan ia akan mendapat perlakuan jujur,
dalam arti apabila perundingan gagal ia diperbolehkan kembali ke medan perang.
Ternyata janji Cleerens ini adalah suatu siasat untuk menangkap Diponegoro,
apabila perundingan gagal. Otak dari gagasan ini adalah De Kock.
Demikianlah Pangeran Diponegoro yang percaya dengan janji Cleerens telah
tiba di bukit Manoreh bersama pasukannya pada tanggal 21 Februari 1830 dan
kemudian memasuki kota Magelang tanggal 8 Maret 1830.
Perundingan ini baru dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 1830, setelah
Diponegoro beristirahat selama 20 hari karena bulan Ramadhan. Ternyata
perundingan ini menemui kegagalan dan dalam perundingan itulah Pangeran
Diponegoro ditangkap. Belanda telah mengkhianati Diponegoro. Belanda telah
mengkhianati janjinya. Dari Magelang Diponegoro dibawa ke Semarang dan Batavia.
Akhirnya diasingkan ke Manado tanggal 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia
dipindahkan ke Makassar dan wafat tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun.