Anda di halaman 1dari 16

Pengantar

Kemiskinan, kesengsaraan, kemelaratan, dan kebodohan serta penghinaan karena


penjajahan dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Hasrat untuk melepaskan
diri dari penderitaan telah tertanam di hati sanubari rakyat. Mereka menunggu seorang
pemimpin yang mampu memimpin dan menggerakkan mereka. Senjata mereka sangat
sederhana. Keris, rencong, badik, kelewang, bedil, dan meriam dalam ukuran yang kecil.
Tombak dan sumpit pun dipergunakan juga untuk melawan penjajah. Koordinasi antara
daerah satu dengan daerah yang lain belum tampak. Oleh karena itu perlawanan yang
timbul di satu daerah tidak ada hubungannya dengan perlawanan yang timbul di daerah
yang lain. Perlawanan masih bersifat kedaerahan.
Belanda berhasil memecah belah kekuasaan raja-raja (politik devide et impera);
seperti misalnya dalam penggantian tahta, pengangkatan pejabat-pejabat birokrasi kerajaan
dan campur tangan dalam menentukan kebijaksanaan politik kerajaan.
Mesin eksploitasi Belanda makin lama makin intensif. Banyak tenaga kerja yang
terlibat untuk menggerakkan mesin eksploitasi itu. Tenaga kerja-tenaga kerja itu adalah para
petani, yang pada umumnya petani penggarap. Mereka menggarap tanah milik para
bangsawan berkurang. Oleh karena para petani dibebani tugas mengolah sebagian besar
dari tanah garapannya untuk ditanami dengan tanaman-tanaman eksport dan diharuskan
pula melakukan kerja paksa di tempat lain. Sistem eksploitasi ini di samping dilaksanakan di
daratan, juga dilaksanakan di lautan. Misalnya di Maluku di mana perdagangan laut
merupakan sumber penghidupan dan penguasaan daerah produksi tanaman ekspor oleh
Belanda menghambat penghasilan penduduk.
Dengan situasi dan kondisi tersebut di atas perlawanan terhadap penjajah
dilaksanakan oleh bangsa Indonesia di daerah-daerah Indonesia.
Adapun perlawanan itu antara lain sebagai berikut:

1. Pelawanan Patih Jelantik di Bali (1846-1849)


Perlawanan Patih Jelantik terhadap penjajah Belanda pada pertengahan abad
ke-19 lebih terkenal dengan nama Perang Jagaraga. Tradisi setempat menyebutkan
Perang Jagaraga adalah Perang Puputan, artinya perang habis-habisan.
Satu perang puputan dapat terjadi berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. Nyawa seorang ksatria berada di ujung keras atau senjata. Kematian di medan
perang menjadi kehormatan bagi dirinya, sanak keluarganya, dan keturunannya.
b. Di dalam mempertahankan kehormatan bangsa, negara, dan keluarga tidak
mengenal menyerah kepada musuh, walaupun bagaimana kuatnya musuh itu.
Sebab, menyerah kepada musuh adalah nirdon atau sampah masyarakat (tidak
berguna).
c. Menurut ajaran agama Hindu, seseorang yang mati dalam peperangan, roh orang
yang bersangkutan masuk ke sorgaloka tanpa dihitung lebih dahulu mengenai
kebaikan dan keburukan selama hidupnya di dunia ini.
d. Perang puputan bukanlah berarti bunuh diri, sebab bagi pemeluk agama Hindu
orang bunuh diri, rohnya tidak masuk ke sorgaloka. Rohnya akan menjadi penghuni
Pretaloka atau dunia roh gentayangan. Orang yang demikian adalah pengecut
dalam menghadapi karmanya.
Di samping prinsip perang puputan, dalam masyarakat Bali terdapat pula
kebiasaan, yang disebut hak tawan karang. Hak tawan karang adalah hak raja yang
dilimpahkan kepada desa untuk menawan perahu dan lain-lainnya yang terdampar.
Perihal hak tawan karang ini sudah pernah diselesaikan antara rakyat Buleleng
dan Belanda. Dari pihak kerajaan Buleleng diwakili oleh raja sendiri, I Gusti Ngurah
Made Karangasem. Patih I Gusti Ketut Jelantik beserta seorang Brahmana Ida Bagus
Tamu. Sedangkan dari pihak Belanda diwakili oleh HJ Huskus Koopman. Perjanjian
yang tahun 1843 pada prinsipnya berisi kerja sama antara pihak kerajaan Buleleng dan
Belanda serta memberikan bantuan kepada pihak Belanda jika ada kapalnya yang
terdampar di pantai-pantai wilayah kekuasaan kerajaan Buleleng.
Perjanjian ini ternyata tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pada tahun
1844 di pantai Prancak (pantai Bali Barat) dan Sangsit (pantai Buleleng bagian Timur)
terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang terdampar. Timbul percekcokan
antara Buleleng dengan Belanda. Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng
melaksanakan perjanjian 1843, yakni melepaskan hak tawan karang. Tuntutan Belanda
tidak diindahkan oleh raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda
menggunakan dalih kejadian ini dan menyerang kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng
diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Belanda mendaratkan
pasukannya di pantai Buleleng. Perlawanan sengit dari pihak kerajaan Buleleng dapat
menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Akhirnya Belanda berhasil menduduki satu-persatu daerah-daerah sekitar istana raja
(Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran, Banjar Delodpeken), Istana raja telah
terkurung rapat, I Gusti Made Karangasem menghadapi situasi ini kemudian mengambil
siasat pura-pura menyerah dan tunduk kepada Belanda.
I Gusti Ketut Jelantik, patih kerajaan Buleleng melanjutkan perlawanan. Pusat
perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di sebuah desa yang
bernama desa Jagaraga. Secara geografis desa ini berada pada tempat ketinggian, di
lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan kirinya. Desa Jagaraga sangat
strategis untuk pertahanan dengan benteng berbentuk “supit urang”. Benteng dikelilingi
parit dengan ranjau yang dibuat dari bambu (bahasa Bali: sungga) untuk menghambat
gerakan musuh. Benteng ini berkumpul tidak saja laskar Buleleng, tetapi juga laskar dari
kerajaan-kerajaan lain di Bali, seperti Karangasem: 1200 orang, Mengwi: 600 orang,
Gianyar dan Kelungkung: 1650 orang. Benteng Jagaraga dipertahankan 15.000 orang,
dengan 2000 orang bersenjata senapan api dan sisanya bersenjatakan tombak.
Kesibukan yang terjadi di Jagaraga dilaporkan ke Batavia oleh Belanda. Pada
tanggal 7 Maret 1848, kapal perang Belanda yang dikirimkan ke Batavia tiba di pantai
Sangsit, dengan kekuatan 2265 serdadu (870 serdadu Eropa, 119 orang Afrika, dan
1385 bumiputera). Serangan pertama ditujukan ke Sangsit dan Bunkulan di bawah
pimpinan Mayor Jenderal Van der Wijck. Serangan kedua ditujukan langsung ke
benteng Jagaraga tanggal 8 Juni 1848. Serangan ini gagal, karena Belanda belum
mengetahui medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan “supit urang” laskar
Jagaraga. Belanda mundur sampai ke pantai Sangsit dan minta tambahan serdadu dari
Batavia. Batavia menolak permintaan Van der Wijck dengan alasan tenaga sangat
terbatas. Oleh karena itu Van der Wijck memutuskan untuk kembali ke Batavia bersama
sisa laskarnya. I Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh
kemenangan, bertekat untuk mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah
penghabisan demi kehormatan kerajaan Buleleng dan rakyat Bali seluruhnya.
Rupanya Jenderal Michiels dapat menginsyafkan pemerintahnya akan
pentingnya menguasai pulau Bali. Pada tanggal 15 April 1849, Jenderal Michiels
bersama tentaranya mendarat di pantai Sangsit. Pasukannya berjumlah 15.235 orang,
yang terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan kesehatan. Di samping itu
terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit benar-benar telah terkepung.
Pengerahan pasukan demikian besarnya menunjukkan Bali memang penting di mata
Belanda. Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan “supit urang” dari mata-mata
yang dikirimkannya ke benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka
langsung menyerang benteng Jagaraga. Mereka menyerang dari dua arah, yaitu dari
arah depan dan dari arah belakang benteng Jagaraga. Pertempuran sengit tak dapat
dielakkan lagi, terutama pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada. Benteng
Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak
Buleleng. Kendatipun demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur
atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 benteng
Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.

2. Perlawanan Nuku di Maluku Utara


Kepulauan Maluku menjadi pusat rempah-rempah (cengkeh, pala, bunga pala,
kulit masoi) sehingga menjadi daya tarik bagi orang-orang Eropa. Orang-orang Eropa
yang datang ke Maluku ialah orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda.
Persaingan dalam perdagangan rempah-rempah terjadi dengan sengitnya di antara
orang-orang Eropa itu. Mereka berusaha untuk mempengaruhi penguasa-penguasa
bumiputera sebagai upaya untuk memenangkan persaingan itu. Dalam persaingan ini
Belanda keluar sebagai pemenang. Hal ini disebabkan karena Belanda lebih baik
organisasinya dalam menguasai kunci-kunci perdagangan mulai dari Malaka, Batavia,
Makassar, dan akhirnya Ambon. Penanaman kekuasaan ini pun dilaksanakan oleh satu
kongsi dagang yang kuat dan teratur rapi yang terkenal dengan nama Kompeni
(Vreenigde Oost Indische Compagnie/VOC). Kapal-kapal VOC melayari jalan-jalan
perdagangan itu dengan teratur pula. Di Maluku, Belanda dapat menguasai kepulauan
Ambon, Banda. Kesultanan Ternate ditempatkannya di bawah pengaruhnya. Satu-
satunya kekuasaan bumiputera yang bebas dari pengaruh Belanda adalah kesultanan
Tidore di bawah Sultan Saidi.
Di Maluku, Belanda menjalankan politik monopoli, ekstirpasi dan campur tangan
dalam penggantian takhta. Pelaksanaan politik ekstirpasi berkaitan dengan politik
monopoli. Politik ekstirpasi adalah politik membinasakan pohon rempah-rempah dan
memberikan ganti kerugian kepada sultan (recognitie pennigen). Akibat dari politik
ekstirpasi ini rakyat Maluku sangat menderita, karena ribuan pohon rempah-rempah
rakyat yang dibinasakan, sedangkan sultan hidup berfoya-foya karena ganti rugi yang
diterimanya. Maksud politik ekstirpasi ini adalah untuk tetap menjaga keseimbangan
pohon rempah-rempah tetap dapat dipertahankan di pasaran Eropa.
Perubahan politik di Eropa menguntungkan bagi Belanda untuk memper-kokoh
kekuasaannya di Maluku. Pada tahun 1648 diadakan perjanjian Munster antara Spanyol
dan Belanda. Perjanjian ini menetapkan, bahwa masing-masing pihak memegang apa
yang telah diduduki sebelum perjanjian ini dan juga masing-masing pihak tidak
menyinggung jajahan atau milik pihak lain atau menyerang, menaklukkan raja-raja dan
bangsa yang ada di bawah kekuasaan pihak lain. Dengan perjanjian Munster ini Belanda
mulai memainkan peranannya di kesultanan Tidore. Gubernur Spanyol di Tidore,
d’Eistebar diminta jangan campur tangan dalam peperangan antara Belanda dengan
kesultanan Tidore. Belanda juga berpendapat, bahwa Tidore adalah wilayah kesultanan
Ternate yang berada di bawah kedaulatan Belanda. Permintaan Belanda ini mendapat
sambutan yang baik dari Gubernur d’Eistebar. Belanda mendapat kesimpulan dari sikap
d’Eistebar ini, bahwa Spanyol di Maluku akan dapat dienyahkan. Hal ini terbukti sepuluh
tahun sesudahnya (1664).
Peperangan antara Belanda dan kesultanan Tidore tidak pernah terjadi. Belanda
tidak memilh jalan perang untuk menguasai Tidore. Jalan yang dipilihnya “pecah belah
dan kuasai” (devide et impera). Kesempatan itu terbuka pada tahun 1657, ketika terjadi
pergantian tahta karena wafatnya Sultan Saidi. Seharusnya yang menggantikan Sultan
Saidi adalah putera sulungnya, Kaicil (Pangeran) Goranya. Akibat campur tangan
Belanda, bukan Goranya yang menjadi Sultan Tidore, tetapi adiknya yang bernaka Kaicil
Golafino menjadi sultan Tidore dengan gelar Sultan Syaifudin. Dengan kejadian ini
Belanda telah dapat menanamkan kekuasaannya di Tidore. Sebagai upah, Sultan
menyetujui dilaksanakannya ekstirpasi terhadap pohon rempah-rempah di seluruh
wilayah kesultanan Tidore.
Kontrak demi kontrak dipaksakan oleh Belanda kepada Sultan Tidore. Kontrak
yang paling menyinggung perasaan sultan-sultan Tidore adalah kontrak tanggal 23 Juni
1733. Kontrak itu berlatar belakang adanya kerugian di pihak Belanda (kebocoran sistem
monopoli). Dalih dari kerugian itu adalah karena bajak laut. Bajak lautnya adalah rakyat
Tidore sendiri atau setidak-tidaknya Sultan Tidore melindungi bajak laut. Oleh karena itu,
kontrak tanggal 23 Juni 1733 memuat janji Sultan Malikul Manan akan menghentikan
dan mencegah rakyatnya dari pembajak-an laut. Selanjutnya ditentukan pula, bahwa
sultan akan membayar kerugian bilamana terjadi pelanggaran.
Kontrak tanggal 23 Juni 1733 terus berlangsung sampai sultan Jamaludin naik
takhta pada tahun 1757. Sultan baru ini berputera Kaicil Badiuzaman Garomahongi,
yang diangkat menjadi raja muda Tidore (calon sultan Tidore). Putera kedua ialah Kaicil
Syaifudin yang lebih terkenal dengan Kaicil Nuku. Putera ketiga ialah Kaicil Kamaludin.
Wilayah kesultanan Tidore pada masa Sultan Jamaludin meliputi:
1. Pusat kesultanan, yaitu pulau Tidore, pulau Maitara, pulau Mare;
2. Daerah luar, yang terdiri atas:
a. Halmahera Tengah dengan dua jazirah di sebelah Timur;
b. Kepulauan raja Empat: pulau Gebe, Waigeo, Salawati, dan Misool, termasuk
pantai barat dan utara Irian;
c. Seram timur dengan pulau-pulau Seramlaut, Gorong, Watubela, Kai dan Aru,
termasuk pantai Selatan Irian.
Kesultanan Tidore mempunyai wilayah yang amat luas, hampir meliputi seluruh
Maluku Utara.
Sultan Jamaludin ternyata sultan Tidore yang kepribadiannya kuat. Ia tidak
mudah didikte oleh Belanda. Permintaan Belanda agar Korakora Hongi Tidore ikut
dalam ekspedisi untuk memusnahkan pohon rempah-rempah dalam wilayah
kesultanannya, ditolaknya. Bahkan desakan Belanda agar kontrak tanggal 23 Juni 1733
dipatuhi, ditolaknya pula.
Kedua putera sultan, Kaicil Badiuzaman Garomahingi dan Kaicil Nuku
menentang politik monopoli dan ekstirpasi Belanda. Gubernur Belanda di Ternate,
Hermanus Munnik, berusaha mendekati kedua putera sultan, tetapi tidak berhasil.
Penyelundupan timbul kembali dan Sultan Jamaludin dituduh melindungi para
penyelundup. Sebagai akibatnya, Sultan Jamaludin dan Kaicil Garomahongi ditangkap
oleh Belanda (1779). Sultan bersama keluarganya diangkut ke Batavia dan diasingkan
ke Sailan (1780). Sebagai wakil sultan Tidore diangkat Kaicil Gayjira, paman Sultan
Jamaludin (177) yang sudah lanjut usia. Nuku memprotes penangkapan ayahnya dan
pengangkatan Kaicil Gayjira menjadi wakil sultan Tidore. Protes Nuku sama sekali tidak
diperhatikan oleh Belanda (Gubernur Cornabe). Belanda kemudian mengangkat Patri
Alam putera Kaicil Gayjira menjadi Sultan Tidore yang tetap. Nuku bersama saudaranya,
Kaicil Kamaludin menuntut keadilan.
Siasat Nuku dalam melawan Belanda adalah sebagai berikut:
a. Petani, yaitu jazirah timur pulau Halmahera menjadi pusat pertahanan.
b. Membuat dinas pemberitaan dengan tugas untuk menyaring berita yang berasal
dari Tidore dan Ternate. Di samping itu dinas berita ini menyebarkan berita
secepat-cepatnya ke daerah-daeah yang ada di bawah kekuasaan Nuku.
c. Membentuk pasukan spionase yang diselundupkan ke kota Tidore dan Ternate.
d. Politik ekstirpasi Belanda harus dilawan sekuat tenaga untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
e. Memperkuat korakora hongi untuk menghadapi monopoli Belanda dalam
perdagangan rempah-rempah.
f. Meningkatkan penyelundupan dan mengkoordinasikan bajak laut dengan
menetapkan pulau Gebe sebagai pusatnya.
g. Menjalin kerja sama dengan Inggris untuk kepentingan senjata dan amunisi, dan
nakhkoda Cina untuk keperluan mesiu.
Pertentangan antara Nuku dan Patra Alam yang dibantu Belanda semakin
meningkat. Untuk memperkuat kedudukannya, Nuku kemudian dinobatkan oleh para
pengikutnya penjadi sultan Papua dan Seram dengan gelar Sri Maha Tuan Sultan
Muhamad Amirudin Syaifudin Syah Kaicil Paparangan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata Patra Alam tidak dapat memenuhi
harapan Belanda. Ia dipecat dan diganti oleh Kaicil Kamaludin, adik Nuku (1784).
Kamaludin, setelah menjadi sultan Tidore memusuhi kakaknya. Nuku menyadari
kenyataan ini, bahwa biang keladinya adalah Belanda. Nuku memutus-kan untuk
menyerang Tidore pada tanggal 12 April 1797. Dengan menggunakan 30 buah korakora
akhirnya Nuku dapat mengalahkan Kamaludin. Nuku diangkat menjadi Sultan Tidore
oleh pengikutnya dengan gelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan Said’ul Jehad Muhamad el
Mabus Amirudin Syah, Kaicil Paparangan, Sultan Tidore, Papau, Seram, dan daerah-
daerah taklukannya. Gelar Nuku yang panjang itu menunjukkan, bahwa ia menguasai
wilayah sangat luas. Sebelum ia menjadi sultan Tidore, wilayahnya hanya terdiri atas
Papua (Irian) dan Seram. Tetapi sekarang ia menguasai wilayah yang terdiri atas pulau
Tidore, pulau Maitara, dan pulau Mare sebagai pusat kesultanan, kepulauan Raja
Empat, Halmahera Tengah, dan Papua (Irian).
Nuku dapat menegakkan ketertiban dan kedamaian di seluruh wilayahnya, berkat
kepandaiannya menjaga keseimbangan kekuasaan di Maluku Utara. Perjuangan Nuku
untuk menegakkan kedaulatannya di Maluku Utara berakhir karena ia wafat. Belanda
menjadi sasaran serangan kaum Padri, karena Belanda membantu kaum Adat.
Perlawanan dipimpin oleh tuanku Pasaman, dengan pasukan 20 ribu sampai 25 ribu
orang (1821). Tuanku Pasaman mempunyai kepribadian yang kuat. Ia tidak sudi diajak
berunding oleh Belanda, sebab menurut pendapatnya, setiap perundingan yang
diadakan, berarti memberi kesempatan Belanda untuk memperkuat diri dan perjanjian
pasti tidak akan ditepatinya. Pendapat Tuanku Pasaman ternyata benar. Hal ini
dibuktikan ketika Letnan Kolonel Raaff pada tanggal 16 Desember 1823 ke Padang
untuk menggantikan kedudukan Du Puy sebagai Residen dan Komandan Militer
Belanda di Padang. Ia berusaha mendekati kaum Padri di Bonjol dan berhasil
mengadakan perjanjian. Demikian pula dengan kaum Padri di daerah VI kota.
Perdamaian demi perdamaian berhasil diadakan oleh Belanda. Kolonel Stuers yang
diangkat menjadi penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat sejak tanggal 2 November
1824 pada tanggal 29 Oktober 1825 telah berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum
Padri yang diwakili oleh Tuanku Keramat. Isi perjanjian itu antara lain menyebutkan
bahwa Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-tuanku di Lintau, Lima Puluh Kota,
Talawas, dan Agam; kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang sedang
dalam perjalan dan para pedagang; kedua belah pihak akan melindungi orang-orang
yang sedang kembali dari pengungsian. Perjanjian itu terkenal dengan nama perjanjian
Ujung Karang tanggal 15 November 1825. Sebelumnya Belanda telah dapat pula
mengadakan perjanjian dengan kaum Padri di Bonjol yang diwakili oleh Tuanku Imam
Bonjol, Tuanku nan Gapuk dan Tuanku Hitam. Perjanjian itu terkenal dengan nama
perjanjian Masang 26 Januari 1825. Belanda mendesak kaum Padri dengan perjanjian-
perjanjian pada tahun 1825 oleh karena di Jawa timbul perlawanan Diponegoro.

3. Perlawanan Kaum Padri di Sumatera Barat


Kebiasaan minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam, dimata orang-
orang Padri bertentangan dengan agama Islam. Kaum Adat mempertahankan kebiasaan
itu mati-matian. Timbullah pertentangan yang sengit antara kaum adat dan kaum padri.
Timbulnya gerakan Padri di Sumatera Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji
asal Minangkabau dari Mekkah. Ketiga haji itu ialah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piabang pada tahun 1803. Ketiga haji itu membawa perubahan baru dalam masyarakat
Minangkabau. Mereka di Mekkah menyaksikan kerasnya usaha kaum Wahabi untuk
membersihkan agama Islam dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran
Al’Quran. Tujuan gerakan Padri ini adalah untuk memperbaiki masyarakat Minangkabau
dan akan mengembalikannya pada keadaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Pengaruh kaum Padri makin lama makin terasa di kalangan masyarakat
Minangkabau, lebih-lebih setelah para ulama lama ikut menyebarkan paham baru itu.
Kaum Adat tidak tinggal diam. Dengan dipimpin oleh Datuk Sati, kaum Adat menyerang
kaum Padri di Alahan Panjang yang dipimpin oleh Datuk Bendaharo.
Kekuatan asing muncul di Sumatera Barat (1818) Raffles, penguasa tertinggi
Inggris di Indonesia datang ke Sumatera Barat. Kedatangannya ialah untuk mengetahui
situasi terakhir sebelum daerah ini diserahkan kepada Belanda menurut Konvensi
London 1814. Raffles tidak kunjung tiba, karena Inggris harus menyerahkan Sumatera
Barat kepada Belanda. Mereka tidak mampu menghadapi perlawanan kaum Padri dan
perlawanan Diponegoro bersama-sama.
Kaum Padri dalam menghadapi kaum Adat terpecah dua. Kaum Padri yang
bersikap keras dalam menghadapi kaum Adat dan kaum Padri yang bersikap lunak.
Perpecahan ini secara tidak langsung menguntungkan Belanda.
Perlawanan kaum Padri di pelbagai daerah makin meluas, karena mereka
mengetahui, bahwa militer Belanda yang tinggal di Minangkabau sebagian besar
dipindahkan ke tempat lain. Kaum Padri di Naras di bawah pimpinan Tuanku nan Cerdik
Besar berhasil mengalahkan Belanda di bawah pimpinan Kapten De Riaheman.
Perlawanan kaum Padri dipusatkan di Bonjol. Bonjol diperkuat dengan perbentengan
dan meriam. Siasat kaum Padri di Bonjol adalah menguasai daerah-daerah sekitar
Bonjol (Tiku, Agam, Alahan Panjang, Semawang Gedang, Kumpolan). Pasukan Padri
berjumlah 7000 orang, yang terdiri atas 4000 orang pasukan Imam Bonjol dan 3000
orang pasukan Tuanku nan Cerdik Besar. Pasukan ini disebar untuk menguasai daerah-
daerah sekitar Bonjol dan sebagian lagi mempertahankan benteng Bonjol yang langsung
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Gapuk, dan Tuanku Hitam.
Setelah perlawanan Diponegoro dapat dipatahkan (1830), Belanda memutuskan
persoalan dengan kaum Padri di Sumatera Barat harus secepatnya diselesaikan. Untuk
keperluan itu maka oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch diadakan mutasi pimpinan
pemerintahan Belanda di Sumatera Barat. Kolonel GPJ. Elout diangkat menjadi Residen
merangkap pimpinan tertinggi Belanda di Sumatera Barat. Tugas pertama dari Elout
ialah mematahkan perlawanan kaum Padri atau setidak-tidaknya menghalang-halangi
meluasnya kekuasaan kaum Padri.
Untuk mempercepat penyelesaian masalah kaum Padri, Belanda memper-besar
kekuatannya. Pasukan Sentot Prawirodirdjo yang terdiri atas 300 orang digunakan pula
untuk menghadapi kaum Padri. Di Sumatera Barat ini Sentot mengadakan hubungan
rahasia dengan kaum Padri, sehingga menimbulkan kecurigaan kaum Belanda (Kolonel
Elout).
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan
ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam
Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa
perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain.
Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur
pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam
benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar
benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran
pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,
yang didahului dengan pertempuran sengit. Meriam-meriam benteng Bonjol tidak banyak
menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak
dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri
terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh Belanda menyebabkan Tuanku Imam
Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1837. Walaupun
Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat
dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada
tahun 1837 (bulan November) dan tahun 1841.

4. Perlawanan Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan


Di Sulawesi Selatan pada abad-abad yang lalu (abad ke 17-19) terdapat
beberapa suku bangsa yang memiliki kekuasaannya masing-masing. Orang-orang suku
Makassar memiliki kerajaan Gowa dan kerajaan Taloo. Orang-orang suku Bugis,
memiliki kerajaan Luwu, kerajaan Bone, kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan
Ternate, kerajaan Sawitno. Orang-orang suku Mandar memiliki kerajaan Balanipa,
kerajaan Binuang, kerajaan Campalagiang, kerajaan Pambuaung, kerajaan Cenrana,
kerajaan tapalang, kerajaan Mamuju. Orang-orang suku Toraja memiliki kerajaan
Makale, kerajaan Sangalla dan kerajaan Mangkedek. Kerajaan-kerajaan ini bermacam-
macam, ada yang besar kekuasaannya, ada pula yang kecil. Sebutan raja-rajanya pun
bermacam-macam. Raja-raja orang-orang Makassar disebut Kareng; raja-raja orang-
orang Bugis disebut Aru atau Arung; raja-raja orang-orang Mandar disebut Maraddia.
Perkembangan politik, ekonomi dan sosial di Sulawesi Selatan pada abad-abad
yang lalu sangat dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan itu yang besar pengaruhnya adalah
kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Kerajaan Gowa kemudian bersatu dengan kerajaan
Tallo, terkenal dengan nama kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan Gowa-Tallo ini bersikap anti
Belanda oleh karena Belanda menjalankan politik monopoli perdagangan rempah-
rempah, politik ekstirpasi dan mencampuri urusan penggantian takhta (politik devide et
impera). Di samping itu, Belanda berusaha membatasi pelayaran perahu pinisi orang-
orang Makassar di Maluku. Raja-raja Gowa-Tallo berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha
Esa menciptakan laut, oleh karena itu siapa pun boleh melayarinya untuk mencari
nafkah. Orang-orang suku Makassar dengan perahu pinisinya melayari laut-laut di
kepulauan Maluku untuk berdagang rempah-rempah. Kemudian rempah-rempah itu
dibawa ke Sombaopu pelabuhan kerajaan Gowa. Dari sini rempah-rempah, kayu
cendana, dan barang-barang perdagangan lainnya (kayu hitam, hasil-hasil laut) diangkut
dengan perahu pinisi oleh orang-orang suku Makassar ke pelabuhan-pelabuhan pantai
utara pulau Jawa (Gresik, Surabaya, Tuban, Jepara, Batavia) dan Malaka. Di tempat-
tempat ini barang-barang itu ditukarkan dengan barang-barang lain (perdagangan
barter). Orang-orang suku Makassar telah melayari laut-laut kepulauan Nusantara
secara turun-temurun. Oleh karena itu ketika Belanda mengadakan pembatasan-
pembatasan pelayaran, mereka menentang mati-matian. Lautan bagi orang-orang suku
Makassar adalah masalah to be or not to be, yaitu masalah hidup atau mati.
Sebenarnya pandangan raja-raja Gowa-Tallo tentang lautan tidak berbeda
dengan pandangan Belanda ketika yang terakhir ini menghadapi Portugis dan Spanyol
yang berdasarkan Perjanjian Tordesillas 7 Juni 1493. Dalam perjanjian ini Paus
Alexander VI membagi dunia menjadi dua bagian. Satu bagian menjadi wilayah
kekuasaan Portugis dan satu bagian lagi menjadi wilayah kekuasaan Spanyol.
Grotius, seorang ahli hukum laut berkebangsaan Belanda, menyusun pem-
belaan hak Belanda untuk berbuat seperti Portugis dan Spanyol. Ia membela hak
Belanda dengan menciptakan lautan bebas dan hak orang Belanda untuk berlayar dan
berniaga di daerah-daerah Hindia Timur (Mare liberum sive de jure qoud Batavis
competit ad Indicana commercia).
Lautan bebas yang menjadi prinsip Belanda tidak pernah dilaksanakan ketika
berhadapan dengan raja-raja Gowa-Tallo. Yang dilaksanakan adalah prinsip sebaliknya
(mare clausum). Perbedaan antara prinsip dan pelaksanaan ini menimbulkan
perselisihan yang berkepanjangan dengan penguasa-penguasa bumiputera pada
umumnya dan raja-raja Gowa-Tallo pada khususnya.
Sultan Hasanuddin, Sultan XVI kerajaan Gowa-Tallo membela kepentingan
kerajaannya dan kepentingan rakyatnya dengan mati-matian melawan Belanda. Ia
menggantikan ayahnya, Sultan Muhamad Said yang wafat pada tahun 1653. Selama
pemerintahannya (1653-1670) ia berusaha menegakkan kedaulatan kerajaannya dan
memperluas wilayah kerajaannya. Usaha ini menyebabkan ia berhadapan dengan Aru
Palaka, raja Bone.
Aru Palaka dalam menghadapi Hasanuddin mendapat bantuan Belanda. Bahkan
kemudian Aru Palaka menjadi orang kepercayaan Belanda. Kendatipun Belanda telah
mengetahui, bahwa Hasanuddin adalah sultan yang anti Belanda, tetapi mereka berusaha
pula untuk mendekatinya. Pada tanggal 28 Desember 1659 Belanda mengadakan
perjanjian dengan kerajaan Gowa. Isi pokok perjanjian itu adalah sebagai berikut:
a. Orang-orang Makassar yang masih berada di daerah Ambon boleh kembali ke
negerinya.
b. Raja Gowa boleh menagih semua hutang-piutangnya yang ada di Ambon.
c. Orang-orang tawanan di kedua belah pihak akan diserahkan kepada masing-masing
pihak.
d. Musuh-musuh VOC tidak perlu menjadi musuh-musuh kerajaan Gowa.
e. Orang-orang Belanda tidak akan mencapuri perselisihan orang-orang Makassar.
f. Orang-orang Belanda atas nama VOC boleh menangkap semua orang-orang
Makassar yang kedapatan berlayat di kepulauan Maluku.
g. Raja Gowa akan memperoleh ganti kerugian sepenuhnya untuk saham baginda
dalam kapal Portugis yang bernama “St. Joan Bapthista” yang dirampas Belanda.
Pemerintah pusat VOC di Batavia amat kecewa kepada Willem van der Beeck
yang telah mengadakan perjanjian dengan kerajaan Gowa. Oleh karena itu, Belanda
berusaha membatalkan perjanjian 28 Desember 1655 itu, yakni dengan membuat
tafsiran yang menguntungkan Belanda. Misalnya, Belanda berhak menghancurkan
semua perahu pinisi kerajaan Gowa yang berlayar di Maluku. Belanda dapat
memberikan bantuan kepada raja-raja yang diserang oleh Sultan Hasanuddin.

5. Perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah


Ada yang menyebut perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830
terhadap Belanda dengan istilah ”perang Jawa”.
Perlawanan itu memakan waktu 5 tahun, suatu waktu yang cukup lama. Hal ini
menunjukkan, bahwa perlawanan itu diatur dengan baik oleh tokoh sentralnya,
Pangeran Diponegoro sendiri. Diponegoro adalah putra Pangeran Adipati yang terkenal
dengan nama Sultan Hamengkubuwono III. Beliau adalah seorang yang taat beribadah,
saleh, tinggi budinya, halus jiwanya. Diponegoro dekat dengan rakyat biasa, hal ini
terbukti dari nama yang dipakainya: Sech Ngabdulrachim. Di keraton beliau tetap
memakai nama: Pangeran Diponegoro, mungkin dengan maksud, supaya ia tidak dapat
didesak oleh pejabat-pejabat kesultanan.
Karena ulah penjajah, kerajaan Mataram yang besar, di bawah Sultan Agung
Hanyokrosumo, terpecah belah menjadi kerajaan yang kecil. Melalui perjanjian Gianti
1755, kerajaan Mataram dipecah menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Ngayogyakarta. Dengan perjanjian Salatiga 1757 muncullah kekuasaan baru yang
disebut Mangkunegaran dan pada tahun 1813 muncul kekuasaan Pakualam. Kenyataan
inilah yang dihadapi oleh Diponegoro.
Pengaruh Belanda di keraton makin bertambah besar. Adat kebiasaan keraton
Yogyakarta seperti menyajikan sirih untuk Sultan bagi pembesar Belanda yang
menghadap Sultan dihapuskan. Pembesar-pembesar Belanda duduk sejajar dengan
Sultan. Yang paling mengkhawatirkan adalah masuknya minuman keras ke keraton dan
beredar di kalangan rakyat.
Campur tangan yang amat dalam mengenai penggantian takhta dilaksanakan
oleh Belanda. Demikian pula mengenai pengangkatan birokrasi kerajaan. Misalnya
pengangkatan beberapa pegawai yang ditugaskan untuk memungut pajak. Pajak yang
dipungut banyak macamnya. Rakyat sangat menderita karena pajak ini. Suatu peristiwa
yang menyakitkan hati Diponegoro adalah pengangkatan Kepala Kepatihan, yaitu Raden
Tumenggung Sumodipuro dari Jipang terkenal dengan nama: Danuredjo IV. Kepala
Kepatihan yang baru ini amat congkak, dengki dan memusuhi Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro sendiri oleh Belanda diangkat sebagai anggota Dewan Perwalian
dari Mas Menol, putera Sultan Hamengkubuwono IV yang baru berusia 3 tahun. Anggota
Dewan Perwalian yang lain adalah nenek perempuan Mas Menol, ibunya, dan Pangeran
Mangkubumi.
Keadaan ini semua menyebabkan Pangeran Diponegoro tidak betah tinggal di
keraton. Ia senang mengasingkan diri dan tinggal di Tegalrejo, di rumah buyutnya Ratu
Ageng, janda Sultan Hamengkubuwono I. Di Tegalrejo ini Pangeran Diponegoro
merasakan hidup yang tenang. Ia suka bepergian ke tempat-tempat yang sunyi untuk
bertapa atau mengembara di bukit-bukit dan di hutan-hutan. Ia mengetahui pula
perkembangan keadaan di keraton dan keadaan rakyatnya, karena ia sering dikunjungi
oleh pamannya Mangkubumi, rakyat dan para santri di sekitar desa Tegalrejo. Alam
Tegalrejo yang subur, indah, dan merupakan daerah pertanian memberikan kedamaian
hidup bagi Pangeran Diponegoro.
Ketenangan hidup yang dialami oleh Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tiba-tiba
bergejolak. Penyebabnya adalah perbuatan Patih Danurejo IV yang menyuruh para
pekerja untuk memasang patok-patok di tanah milik Diponegoro. Setelah Pangeran
Diponegoro mengetahui, kemudian ia minta kepada patihnya, Mangunhardjo, supaya
diberitahukan kepada kepala pekerja yang membuat jalan itu untuk menghentikan
pekerjaan itu. Jawabnya adalah bahwa ia tidak dapat mengabulkan permintaan itu,
sebab ia bekerja atas perintah Patih Danurejo IV. Kemudian patok dicabut secara paksa
oleh orang-orang Tegalrejo. Atas perintah Patih Danurejo IV patok dipasang kembali.
Patok dicabut kembali atas perintah Diponegoro. Demikian berulang-ulang peristiwa
pemasangan dan pencabutan patok-patok itu memanaskan suasana dan ketentraman
rakyat Tegalrejo terganggu. Kemudian Mangkubumi datang ke Tegalrejo untuk
menyampaikan permintaan residen Smissaert agar Diponegoro datang ke kraton.
Diponegoro tidak bersedia datang ke kraton. Rupanya hal itu adalah siasat saja untuk
menangkap Diponegoro. Kemudian Belanda menyerang Tegalrejo dan mulai sejak saat
itu, Pangeran Diponegoro secara terang-terangan melawan Belanda. Perlawanan
Pangeran Diponegoro dapat dibagi atas tiga babakan waktu.
1. Pertama: 1825-1826
Dalam babakan pertama ini kemenangan berada di pihak Diponegoro. Pusat
pertahanan Diponegoro ditempatkan di bukit Selarong, suatu tempat yang dikelilingi
lembah-lembah yang dalam di sekitarnya. Dari susut pertahanan tempat ini strategis.
Perlawanan Diponegoro ternyata banyak mendapat simpati. Pemuka-pemuka
masyarakat, seperti Kiai Mojo, Kiai Kasan Besar menggabung pada Diponegoro.
Alibasah Sentot Prawirodirdjo menjadi salah seorang panglima pasukan Diponegoro.
Pada babakan pertama ini semua kekuatan rakyat dapat digerakkan. Di mana-mana
terjadi perlawanan seperti Kertosono, Madiun, Banyumas, dan lain-lain.
Kemenangan yang berarti bagi Diponegoro pada babakan pertama ini adalah
kemenangan dalam pertempuran dekat Lengkong pada tanggal 30 Juli 1826 dan
pertempuran Belanggu tanggal 28 Agustus 1826.

2. Kedua: 1827-1828
Pada babakan kedua ini pasukan Diponegoro terdesak pada setiap medan
pertempuran oleh karena Belanda menggunakan siasat baru ialah siasat benteng.
Benteng Stelsel atau Sistem Benteng ini mulai dilaksanakan oleh Jenderal De Kock
pada babakan kedua ini. Tujuannya adalah untuk memper-sempit ruang gerak
pasukan Diponegoro dengan jalan mendirikan pusat-pusat pertahanan berupa
benteng-benteng di daerah-daerah yang telah dikuasainya.
Dengan adanya siasat baru ini perlawanan pasukan Diponegoro makin
lemah. Di samping itu Belanda berusaha menjauhkan Diponegoro dari pengikut-nya.
Pangeran Suryomataram dan Ario Prangwadono tertangkap pada tanggal 19 Januari
1827 sedang Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo tertangkap pada tanggal 21
Juni 1827. Setelah penangkapan disusul oleh perundingan dan penyerahan. Kiai
Maja mengadakan perundingan dengan Belanda tanggal 31 Oktober 1828 di Mlangi.
Pangeran-pangeran pengikut Diponegoro satu demi satu menyerah kepada Belanda.
Pangeran Notodiningrat menyerah tanggal 18 April 1828, Pangeran Ario Papak pada
bulan Mei 1828, dan Sosrodilogi pada tanggal 3 Oktober 1828. Keadaan Pangeran
Diponegoro menjadi lebih sulit lagi setelah De Kock menjadikan Magelang pusat
kekuatan militernya.

3. Ketiga: 1829-1830
Pimpinan tertinggi Belanda di Batavia menghendaki agar perlawanan
Diponegoro secepatnya dihentikan, karena peperangan ini menghabiskan biaya
yang besar sekali. Jalan yang ditempuh oleh Belanda adalah jalan perundingan.
Tokoh perundingan Belanda Residen Van Nels mengirimkan surat kepada
Mangkubumi agar menghentikan perlawanan. Sebelumnya De Kock juga
mengirimkan surat kepada Sentot dengan maksud yang sama (11 Februari 1829),
Sentot juga menerima surat dari Van Nels tertanggal 27 Juli 1829 dengan maksud
mengajak damai. Mangkubumi akhirnya menyerah kepada Belanda setelah dibujuk
oleh putranya, yang telah menyerah terlebih dahulu (Sepember 1829). Sentot juga
menyerah bersama pasukannya pada tanggal 24 Oktober 1829. Pangeran Ario
Suriokusumo menyerah pada tanggal 1 November 1829, Joyosudirgo menyerah
pada pertengahan bulan Desember 1829, Pangeran Dipokusumo, putra Diponegoro,
menyerah pada tanggal 8 Januari 1830.
Penyerahan para pengeran ini secara berturut-turut sangat memukul
perasaan Diponegoro. Dalam menghentikan perlawanan Diponegoro, rupanya
Belanda memakai prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dalam
menghadapi Diponegoro. Hal ini terbukti dari peristiwa di bawah ini. Pertemuan
antara Kolonel Cleerens dengan Diponegoro di desa Romo Kamal pada tanggal 16
Februari 1930 belum menghasilkan suatu kemufakatan. Kemudian perundingan
dilanjutkan di Kecawang. Perundingan ini pun menemui kegagalan. Di dalam
perundingan ini Cleerens menyarankan kepada Diponegoro untuk melanjutkan
perundingan di kota Magelang dengan jaminan ia akan mendapat perlakuan jujur,
dalam arti apabila perundingan gagal ia diperbolehkan kembali ke medan perang.
Ternyata janji Cleerens ini adalah suatu siasat untuk menangkap Diponegoro,
apabila perundingan gagal. Otak dari gagasan ini adalah De Kock.
Demikianlah Pangeran Diponegoro yang percaya dengan janji Cleerens telah
tiba di bukit Manoreh bersama pasukannya pada tanggal 21 Februari 1830 dan
kemudian memasuki kota Magelang tanggal 8 Maret 1830.
Perundingan ini baru dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 1830, setelah
Diponegoro beristirahat selama 20 hari karena bulan Ramadhan. Ternyata
perundingan ini menemui kegagalan dan dalam perundingan itulah Pangeran
Diponegoro ditangkap. Belanda telah mengkhianati Diponegoro. Belanda telah
mengkhianati janjinya. Dari Magelang Diponegoro dibawa ke Semarang dan Batavia.
Akhirnya diasingkan ke Manado tanggal 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia
dipindahkan ke Makassar dan wafat tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun.

6. Perlawanan Pangeran Hidayat dan Pangeran Antasari di Kalimantan Selatan


Persaingan antara saudagar-saudagar Banjar dan Belanda dimulai sejak
perempatan pertama abad ke-17. Hal itu bermula dari sikap Sultan Rahmatullah yang
memberi izin kepada Belanda untuk mendirikan kantor dagang di Banjarmasin. Sikap
Sultan itu dalam rangka mencari sekutu untuk menghadapi Sultan Agung dari Mataram.
Terhadap para sultan kerajaan Banjar, Belanda tetap menjalankan politik yang
klasik, yaitu monopoli perdagangan, campur tangan dalam pergantian sultan-sultan
kerajaan Banjar, pengangkatan birokrasi kerajaan (politik devide et impera).
Dalam monopoli perdagangan lada, rotan, damar, dan hasil-hasil tambang (emas
dan intan), Belanda berhadapan dengan saudagar-saudagar Banjar, para bangsawan,
para haji (yang mempunyai kepentingan dalam perdagangan). Mereka ini semua
menganggap Belanda menjadi penyebab timbulnya kerugian pada mereka. Persaingan
dalam dunia perdagangan meningkat menjadi permusuhan, oleh karena Belanda
berusaha menguasai beberapa wilayah kerajaan Banjar. Pertikaian soal takhta antara
Sultan Tahmidillah dengan Pangeran Amir, memberi kesempatan kepada Belanda untuk
membantu Sultan Tahmidillah yang menang telah meminta bantuan Belanda. Pangeran
Amir dapat disingkirkan oleh Belanda dan Sultan Tahmidillah diikat dengan perjanjian 13
Agustus 1787. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa sultan harus menyerahkan
sebagian dari wilayahnya antara lain daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bolungan,
dan Kotawaringin.
Perjanjian demi perjanjian telah mengikat sultan-sultan kerajaan Banjar, lebih-
lebih setelah Belanda menerima kembali penguasaan wilayah Indonesia dari Inggris
(Konvensi London 1814). Sultan Sulaiman, pengganti Sultan Tahmidillah II telah
menyerahkan tanah Dayak, Sampit, Sintang, Bakumpai, Tanah laut kepada Belanda
karena kepandian diplomasi J. van Beecholst. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan
Belanda mendirikan benteng di Bakumpai. Setelah mengikat Sultan Sulaiman (1 Januari
1817), Belanda juga berbuat yang sama terhadap pengganti-nya, yaitu Sultan Adam
(1825-1857). Bahkan dari Sultan Adam, Belanda mendapat hak untuk menentukan putra
mahkota.
Hak Belanda ini digunakan untuk mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi
sultan pada tahun 1857. Hak Pangeran Hidayat menjadi sultan disisihkan, padahal
sebenarnya yang berhak adalah Pangeran Hidayat sendiri.
Kendatipun Pangeran Hidayat tidak menjadi sultan kerajaan Banjar, tetapi ia
telah mempunyai kedudukan sebagai Mangkubumi. Pengaruhnya cukup besar di
kalangan rakyatnya. Campur tangan Belanda di kraton makin besar dan kedudukan
Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi semakin terdesak. Oleh karena itu, ia
memutuskan untuk mengadakan perlawanan bersama sepupunya Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari seorang pemimpin perlawanan yang amat anti Belanda. Ia
bersama pengikutnya, Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Haji
Langlang berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 3000 orang. Ia bersama
pasukannya menyerang pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron pada tangagl 28
April 1859. Pertempuran hebat terjadi di salah pusat kekuatan Pangeran Antasari, yaitu
benteng Gunung Lawak. Belanda berhasil menduduki benteng Gunung Lawak (27
September 1859).
Niat Belanda yang sebenarnya adalah menghapuskan kerajaan Banjar. Hal itu
baru terlaksana setelah Kolonel Andresen dapat menurunkan Sultan Tamjidillah, yang
dianggapnya sebagai penyebab kericuhan, sedangkan Pangeran Hidayat sebagai
Mangkubumi telah meninggalkan kraton. Belanda menghapuskan kerajaan Banjar pada
tanggal 11 Juni 1860 dan dimasukkan ke dalam kekuasaan Belanda.
Pangeran Hidayat terlibat dalam pertempuran yang hebat melawan Belanda
pada tanggal 16 Juni 1860 di Anbawang. Adanya ketidakseimbangan dalam
persenjataan dan pasukan yang kurang terlatih, menyebabkan Pangeran Hidayat harus
mengundurkan diri. Belanda menggunakan siasat memberikan kedudukan dan jaminan
hidup kepada setiap orang yang bersedia menghentikan perlawanan dengan
menyerahkan diri kepada Belanda. Ternyata siasat ini berhasil, yaitu dengan
menyerahnya Kiai Demang Leman pada tanggal 2 Oktober 1861. Penyerahan Kiai
Demang Leman mempengaruhi kekuatan pasukan Pangeran Antasari. Beberapa bulan
kemudian Pangeran Hidayat dapat ditangkap, akhirnya diasingkan ke Jawa pada
tanggal 3 Februari 1862. Rakyat Banjar memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada
Pangeran Antasari dengan mengangkatnya sebagai pemimpin tertinggi agama dengan
gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin pada tanggal 14 Maret 1862.
Perlawanan diteruskan bersama-sama pemimpin yang lain, seperti Pangeran Miradipa,
Tumenggung Mancanegara, Tumenggung Surapati, dan Gusti Umar. Pertahanan
pasukan pangeran Antasari ditempatkan di Hulu Teweh. Di sinilah Pangeran Antasari
meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober 1862. Perlawanan rakyat Banjar terus
berlangsung dipimpin oleh putra Pangeran Antasari, Pangeran Muhamad Seman,
bersama pejuang-pejuang Banjar lainnya.

Anda mungkin juga menyukai