Anda di halaman 1dari 13

KLIPING IPS

PERLAWANAN TERHADAP HINDIA BELANDA

Disusun Oleh:
Nama:
1.Jora Pandu Barata (14)

2.Jundi Bintang Naufal Tyla (15)


3.Rasky Adi Nugroho (22)
4.Viswanathan Risco Pradista (31)
5.Vollyuz Dugan Wijaya (32)

SMP N 1 Weru
2022/2023
1.PERLAWANAN ABAD KE-17 DAN 18

Perlawanan terhadap penjajahan pemerintah Hindia Belanda terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Hindia-Belanda (Indonesia) pada abad ke-17 dan 18 tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah
Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa
Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). Monopoli perdagangan dan mencampuri
urusan dalam kerajaan menyebabkan perlawanan di berbagai daerah. Perlawanan tersebut belum
dapat mengusir penjajah, namun membangkitkan semangat anti penjajahan.
2.PUNCAK PERLAWANAN RAKYAT INDONESIA

Abad XIX merupakan puncak perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah dalam menentang
Pemerintah Hindia Belanda. Kegigihan perlawanan rakyat Indonesia menyebabkan Belanda
mengalami krisis keuangan untuk biaya perang.

Perlawanan di berbagai daerah tersebut belum berhasil membuahkan kemerdekaan. Semua


perlawanan dapat dipadamkan dan kerajaan-kerajaan di Indonesia semakin mengalami keruntuhan.
Secara umum, kegagalan perjuangan rakyat Indonesia di berbagai daerah dalam mengusir penjajah
adalah:

Bersifat lokal/kedaerahan. Perlawanan di berbagai daerah di Indonesia melibatkan para pemimpin


pada masyarakat setempat. Seandainya para pemimpin tersebut bersatu, tidak berjuang sendiri-
sendiri, tentu perjuangan mengusir penjajah lebih mudah.

Lebih mengandalkan kekuatan senjata. Masyarakat di berbagai daerah melakukan perlawanan


dengan mengandalkan senjata. Sementara senjata lawan lebih modern, sehingga musuh mudah
mengalahkan rakyat Indonesia.

Tergantung pada pimpinan. Perjuangan rakyat di berbagai daerah sangat tergantung pada
pemimpin. Apabila pemimpin tertangkap atau terbunuh, rakyat kurang mampu mengkoordinasikan
perlawanan.

Belum terorganisir secara nasional dan modern. Seandainya rakyat Indonesia pada masa tersebut
memiliki organisasi modern, tentu tidak kesulitan melanjutkan kepemimpinan.
3.Perang Saparua di Ambon

Merupakan perlawanan rakyat Ambon dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Dalam


pemberontakan tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan
perlawanan dengan berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan pasukan
Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan dihukum gantung.
4.Perang Paderi di Sumatra Barat

Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan Belanda, menyebabkan Belanda kesulitan
memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Paderi. Belanda benar-
benar menghadapi musuh yang tangguh.

Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan
Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan siasat tersebut
akhirnya Belanda menang ditandai jatuhnya benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun
1837. Tuanku Imam Bonjol ditangkap, kemudian diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan
terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.
5.Perang Diponegoro 1825-1830

Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan Belanda dalam urusan
politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan
nilai-nilai budaya masyarakat menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda. Belanda
membangun jalan baru pada bulan Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur
Diponegoro.

Pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok-patok tersebut. Perang tidak dapat
dihindarkan, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar
Belanda.

Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di
Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanya sebagai jalan tipu muslihat karena ternyata
Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855.
6.Perang Aceh

Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh. Jendral
Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Siasat konsentrasi
stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil. Belanda semakin
terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras.

Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje untuk mencari kelemahan rakyat Aceh. Snouck Hugronje
memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Taktik yang
paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan
ulama.

Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan
tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun
1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904.
Namun demikian perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlangsung hingga tahun 1930-an.
7.Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara

Perlawanan di Sumatra Utara dilakukan Sisingamangaraja XII, perlawanan di Sumatra Utara


berlangsung selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan
Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara), Belanda
menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel
berhasil mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Sehingga seluruh Tapanuli dapat
dikuasai Belanda.
8.Perang Banjar

Perang Banjar berawal ketika Belanda campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan
Banjarmasin. Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai rakyat.
Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran
Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan
dari Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah
dan berakhirlah perlawanan Banjar di pulau Kalimantan. Perlawanan benar-benar dapat dipadamkan
pada tahun 1866.
9.Perang Jagaraga di Bali

Perang Jagaraga berawal ketika Belanda dan kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang.
Hak tawan karang berisi bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di
daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal milik
Belanda. Raja Buleleng tidak menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya,
persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun
1846.

Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga
dibantu oleh Kerajaan Karangasem. Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Belanda
melanjutkan ekspedisi militer tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung menjadi
sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak Belanda setelah rakyat
melakukan perang habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan Peran
BEBERAPA PENINGGALAN DARI PERSITIWA TERSEBUT.

1.Gowa Selarong di Yogyakarta

Pada tanggal 21 Juli 1825, pasukan Belanda pimpinan asisten Residen Chevallier mengepung rumah
Pangeran Diponegoro di Tegalrejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Akan tetapi Pangeran
Diponegoro berhasil meloloskan diri dan menuju ke Selarong. Di tempat tersebut secara diam-diam
telah dipersiapkan untuk dijadikan markas besar. Selarong sendiri merupakan desa strategis yang
terletak di kaki bukit kapur, berjarak sekitar enam pal (sekitar 9 km) dari Kota Yogyakarta. Setelah
Peristiwa di Tegalrejo sampai ke Kraton, banyak kaum bangsawan yang meninggalkan istana dan
bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Mereka adalah anak cucu dari Sultan Hamengkubuwono I,
Hamengkubuwono II, dan Hamengkubuwono III yang berjumlah tidak kurang dari 77 orang dan
ditambah pengikutnya.

Dengan demikian pada akhir Juli 1825 di Selarong telah berkumpul bangsawan-bangsawan yang
nantinya menjadi panglima dalam pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka adalah Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Blitar, Kyai Modjo,
Pangeran Ronggo, Ngabei Mangunharjo, dan Pangeran Surenglogo.
2.Benteng Fort de Koc

Benteng Fort de Kock digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran
rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun 1821-1837 .Semasa
pemerintahan Be-lan-da, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme-rintahan, kota ini
disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah Kolonial Belan-da
telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para
wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya
dijadikan sebagai pusat peme-rintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda,
namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah
jajahannya.

Fort de Kock juga diba-ngun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil menduduki
daerah di Sumatra Barat. Benteng tersebut meru-pakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan
Belanda terhadap wilayah Bukittinggi,Agam, dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk
menduduki Su-ma-tera Barat, mereka meman-faatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang
terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda sendiri ikut membantu
kelompok adat, guna menekan kelompok aga-ma selama Perang Paderi yang berlangsung 1821
hingga tahun 1837.

Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan
membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek Hill, yang
kemudian diberi nama Fort de Kock.
3.Benteng Roterdam

Fort Rotterdam dibangun di lokasi yang sebelumnya juga merupakan benteng yang disebut Ujung
Pandang.[2] Benteng ini dibangun pada tahun 1545, sebagai bagian dari pembangunan program
benteng yang dilakukan oleh penguasa Makassar untuk memperkuat pertahanan.[3] Benteng aslinya
yang bernama Jum Pandan (diperkirakan dinamai dari nama pohon pandan yang tumbuh di
sekitarnya), menjadi asal muasal nama kota Ujung Pandang, nama lain kota Makassar.[4]ada tahun
1667 Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Bungaya,
setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar. Pada tahun-tahun berikutnya, benteng
dibangun kembali secara keseluruhan atas prakarsa laksamana Belanda Cornelis Speelman, untuk
menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi.[4] Benteng itu berganti nama menjadi Fort
Rotterdam, dinamai dari kota tempat lahir Speelman, Rotterdam. Pada tahun 1673–1679, lima
bastion benteng ini memiliki bentuk seperti penyu dan bentuk itu bertahan hingga kini, oleh karena
itu benteng ini diberi julukan “Benteng Penyu”.[5]

Batuan yang digunakan untuk membangun benteng ini diambil dari pegunungan karst yang ada di
Maros, batu kapur dari Selayar, dan kayu dari Tanete dan Bantaeng.[6][7] Setelah Perang Jawa
(1825–1830), Pangeran Diponegoro dipenjara di benteng tersebut setelah diasingkan ke Makassar
pada tahun 1830 hingga kematiannya pada tahun 1855.[7] Benteng ini juga digunakan sebagai kamp
tawanan perang Jepang selama Perang Dunia II.

Fort Rotterdam tetap menjadi markas militer dan pemerintahan Belanda hingga tahun 1930-an.[4]
Setelah tahun 1937, benteng tersebut tidak lagi digunakan sebagai pertahanan. Selama pendudukan
Jepang yang singkat, benteng ini digunakan untuk melakukan penelitian ilmiah di bidang linguistik
dan pertanian.[6] Pada tahun 1970-an, benteng ini dipugar secara besar-besaran.[4]

Anda mungkin juga menyukai