Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PERAN UMAT ISLAM DALAM

MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Disusun Oleh :

1. Dhiya Aflah (07)

2. Dini Luthfiana (08)

3. Khoirul Amalika (14)

4. Syifa Ulfiyana (28)

5. Zainal Arifin (33)

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BANYUMAS


Kata pengantar

Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikankesehatan
jasmani dan rohani sehingga kita masih bisa menikamati indahnya alam ciptaannya. Sholawat
dan salam tetaplah kita curahkan kepada Muhammad SAW yang telah menunjukan kepada kita
jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa yang sangat indah

Kami disini akhirnya merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah ini
yang berjudul "PERAN UMAT ISLAM DALAM MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA"

A. Peran Umat Islam Pada Masa Penjajahan dan Kemerdekaan


Penjajah datang ke Indonesia sejak awal abad ke-15. Kedatangan bangsa Portugis dan
Spanyol dan dilanjutkan Belanda yang awalnya mereka datang ke Indonesia berniat mencari
dagangan rempah-rempah. Namun karena ingin menguasai secara berlebih, Mereka menjajah
bangsa Indonesia secara halus. Perjuangan umat Islam dalam mengusir penjajah dan meraih
kemerdekaan dibagi dalam beberapa tahap perjuangan antara lain pertama, masa penjajahan
dimana perjuangan rakyat dibayangi oleh politik pecah belah (Devide at Impera), kedua masa
kebangkitan Nasional.

Pada masa penjajahan, perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang di daerahdaerah
dengan semangat masing-masing tanpa ada pola hubungan untuk menjalin persatuan. Belanda
menerapkan politik Devide at Impera yaitu kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang
bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar
menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik
pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah
kelompok besar yang lebih kuat. Perlawanan di lakukan oleh Pangeran Diponegoro di Jawa,
Teuku Umar di Aceh, Pangeran Antasari di Kalimantan dan lain-lain. Perlawanan tersebut tidak
mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

Pada masa kebangkitan nasional para pemuda yang belajar keluar negeri baik itu di timur
tengah maupun barat dengan semangat nasionalisme-nya kembali ke Indonesia dan bersatu
berjuang meraih kemerdekaan. Kesadaran terhadap perjuangan yang bersifat kedaerahan
seperti perang Paderi, perang Diponegoro maupun Aceh dianggap tidak efektif dalam mengusir
penjajah dari negeri Indonesia. Kesadaran dalam menggalang semangat kebangsaan ini
melahirkan gerakan kebangkitan nasional.

1. Perjuangan Umat Islam pada Masa Penjajahan


A. Pangeran Diponegoro ( w.1855 M )

Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama asli
Raden Mas Ontowiryo, lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Sosok Pangeran
Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai
Perang Jawa karena terjadi di tanah Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran
terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara.

Perang tersebut terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam
urusan kerajaan. Selain itu, sejak tahun 1821 para petani lokal menderita akibat
penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Van der
Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah
yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari
1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan


pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Kekecewaan
Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda
memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Beliau
kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin
pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo
sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan
sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran
Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di
Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa
Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro
kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun
Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah
barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu
Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan
pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.
Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang
menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan
semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; “sejari kepala sejengkal tanah
dibela sampai mati”.

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga


berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk
pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai
Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran
Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung
Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan


menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro
di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825 – 1830) telah menelan korban tewas
sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah
8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang (sesama) saudara antara orang-
orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro (antek Belanda).
Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah
kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang
seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah
seperti Wonogiri, karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.

B. Teuku Umar

Saat Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda, terdapat salah satu tokoh yang memiliki
peran penting yaitu Teuku Umar. Perlawanan yang dilakukan Teuku Umar terlihat saat ia
membela kampung Daya yang merupakan kampung halamannya sendiri. Selain membela
kampung halamannya, Teuku Umar juga berhasil melakukan penggagalan saat Belanda ingin
mendarat di Meulaboh. Terhadap daerah-daerah yang sudah melakukan pengkhianatan dan
membantu Belanda, Teuku Umar menanganinya dengan melakukan penaklukan terhadap
daerah-daerah tersebut. Hal yang paling terkenal dari Teuku Umar adalah saat ia melakukan
siasat penyerahan diri saat menghadapi Belanda.

Teuku Umar memiliki darah Minangkabau yang berasal dari leluhurnya yang bernama Datuk
Machudun Sati. Ia merupakan seorang perantau yang berasal dari Minangkabau yang
melakukan perantauan ke Aceh dan pada akhirnya menetap disana.

Ayah Teuku Umar juga merupakan keturunan Minangkabau yang bernama Teuku Mahmud, ia
merupakan putra seorang panglima perang dari Sultan Suleiman yaitu Teuku Nanta Chi'. Selain
itu Teuku Mahmud juga memiliki saudara yaitu Teuku Nanta Setia yang sepeninggal ayahnya
menjadi Uleebalang Vi Mukim. Sedangkan ibu Teuku Umar adalah adik dari Uleebalang
Meulaboh yang bernama Cut Mohani.
Teuku Umar dianggap sebagai sosok yang nakal namun cerdas semenjak kecil. Meski dari awal
ia belum pernah bersekolah di sekolah formal, baik sekolah negeri maupun sekolah agama,
namun kecerdasan dan kemampuannya sangat baik. Ada banyak pendapat mengenai citra
tentang Teuku Umar. Beberapa diantaranya seperti Teuku Umar dianggap sebagai orang yang
tampan, pintar dan gagah berani. Selain itu, Teuku Umar adalah seorang petualang yang tak
terkendali. Dia tidak ingin bergantung pada kekuatan orang tuanya. Teuku Umar juga ditunjuk
sebagai ketua tim karena ketangkasannya dalam hukuman. Ketika Belanda menyerang Pada
tahun 1873, Teuku Umar juga ikut dihukum, meskipun saat itu ia masih baru berusia 19 tahun.

Teuku Umar baru berusia 20 tahun saat pertama kali menikah. Ia menikah dengan Nyak Sopia,
Putra Uleebalang Glumpang. Dengan pernikahan ini, status Teuku Umar di masyarakat semakin
tinggi karena ia menikah dengan seorang putra seorang bangsawan. Kemudian untuk kedua
kalinya Teuku Umar menikah dengan dari Nyak Malighai, putri seorang putri panglima dari Sagi
25. Nama Teuku Umar semakin tinggi di masyarakat Aceh. Setelah menikah dengan Nyak
Malighai, Teuku Umar mulai menggunakan gelar Teuku.

Dengan gelar dan kekuasaannya, Teuku Umar mulai berkeinginan untuk memerdekakan daerah
yang dikuasai Belanda. Teuku Umar percaya dia harus memiliki tentara yang kuat dan yang
telah terlatih agar dapat mencapai keinginannya. Kemudian, dia melatih pasukannya dengan
kekuatan dan ilmu pedangnya. Pasukan Teuku Umar sendiri terdiri dari orang-orang pembuat
kebijakan, bahkan ada juga beberapa orang yang menyebutnya brandal mereka.

Pada tahun 1878 Teuku Umar mendengar berita bahwa Teuku Lamnga yaitu salah satu
pemimpin pasukan Aceh telah gugur di tangan Belanda karena terkena peluru saat melakukan
perang dengan Belanda di Sela Glitarun.

Teuku Lamnga merupakan suami dari Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien sendiri sama seperti Teuku
Umar yaitu sama-sama memiliki darah Minangkabau. Ayah Cut Nyak Dien merupakan Teuku
Nanta Setia yang juga keturunan dari Teuku Nanta Chi' sehingga dapat dibuat puisi Cut Nyak
Dien dan Teuku Umar adalah saudara sepupu.

Setelah mendengar kabar tentang Teuku Lamnga, Teuku Umar segera berangkat ke Monasik.
Tujuan Teuku Umar datang kesana adalah untuk berjumpa dengan pamannya yaitu Teuku
Nanta Setia, Teuku Umar ingin menawarkan bantuan kepada Teuku Nanta Setia untuk merebut
kembali Vi Mukum. Tetapi pada saat itu pamannya hanya memikirkan keselamatannya yaitu
Cut Nyak Dien. Teuku Nanta Setia khawatir dengan nasib Cut Nyak Dien yang di tinggal
meninggal oleh suaminya. Daripada meminta bantuan Teuku Umar untuk merebut kembali Vi
Mukum, akhirnya Teuku Nanta Setia memilih meminta kepada Teuku Umar untuk memperistri
Cut Nyak Dien. Mengetahui hal itu, pihak Teuku Umar tidak menolak dan bersedia untuk
menikahi Cut Nyak Dien.
2. Perjuangan Umat Islam pada Masa Kebangkitan Nasional
A. Hos Cokroaminoto atau Hadji Oemar Said Tjokroaminoto

HOS Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882 dan meninggal di
Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto yakni anak kedua dari 12
bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada
ketika itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati
Ponorogo.

Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia memiliki beberapa murid yang berikutnya
memperlihatkan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, ialah Musso yang sosialis/komunis,
Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling
bertikai. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.

Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun
bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena
mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada mulanya
sebagai bentuk protes atas para pedagang abnormal yang tergabung sebagai Sarekat Dagang
Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan
tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada karenanya tahun 1912 SDI
berkembang menjadi Sarekat Islam, SI digiring menjadi partai politik sehabis mendapatkan
status Badan Hukum pada10 September 1912 oleh pemerintah yang ketika itu diatur oleh
Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berubah menjadi parpol dengan keanggotaan yang
tidak terbatas pada penjualdan rakyat Jawa-Madura saja.

Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu aktivis partai Islam yang berhasil saat itu.
Perpecahan SI menjadi dua kubu alasannya adalah masuknya infiltrasi komunisme memaksa
HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati masa itu. Ia bersama rekan-rekannya yang
masih percaya bersatu dalam kubu SI putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil
membujuk tokoh-tokoh pemuda ketika itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu
SI Merah.

Namun bagaimanapun, kewibawaan HOS Cokroaminoto justru diperlukan sebagai penengah di


antarakedua belahan SI tersebut, mengenang ia masih dianggap guru oleh Semaun. Akhirnya
Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI. Pada tahun 1929, SI diusung selaku Partai Sarikat
Islam Indonesia sampai menjadi peserta pemilu pertama pada 1955.
HOS Cokroaminoto sampai dikala ini hasilnya dikenal selaku salah satu pahlawan pergerakan
nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata- kata mutiaranya
seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-cendekia siasat” jadinya menjadi
embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan dia menjadi salah satu
tokoh yang berhasil menerangkan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S.
Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.

B. Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwisy

Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan meninggal di Yogyakarta, 23 Februari
1923 pada umur 54 tahun) yaitu seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dia yaitu putra keempat
dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan
khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada kala itu, dan ibu dari K.H. Ahmad
Dahlan yaitu puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada era itu.

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan ialah Muhammad Darwisy. Dia ialah anak keempat dari tujuh
orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dia
tergolong keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang ternama
di antara Walisanga, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

Silsilahnya tersebut yaitu Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH.
Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).

Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada era ini,
Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan ajaran-fatwa pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha wwwdan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, dia berubah nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, dia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada abad
ini, ia sempat belajar terhadap Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim
Asyari. Pada tahun 1912, dia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melakukan
impian pembaharuan Islam di bumi Nusantara.

Ahmad Dahlan ingin menyelenggarakan sebuah pembaharuan dalam cara berpikir dan bederma
berdasarkan tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali
hidup berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini bangun bertepatan pada
tanggal 18 November 1912. Dan semenjak permulaan Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang
pendidikan.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan terhadap


Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu gres
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus
1914. Izin itu cuma berlaku untuk tempat Yogyakarta dan organisasi ini cuma boleh bergerak di
kawasan Yogyakarta.

Dari Pemerintah Hindia Belanda muncul kegelisahan akan pertumbuhan organisasi ini. Maka
dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah bangkit cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas
berlawanan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda.

Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan merekomendasikan


semoga cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya Nurul
Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang
Muhammadiyah.

Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri dia mengusulkan adanya jama’ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan melaksanakan kepentingan Islam. Gagasan pembaharuan
Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke banyak
sekali kota, di samping juga lewat relasirelasi jualan yang dimilikinya.

Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari penduduk di aneka macam kota
di Indonesia. Ulama-ulama dari banyak sekali tempat lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan pinjaman kepada Muhammadiyah. Muhammadiyah semakin usang makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permintaan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia.

Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.

Dasar-dasar penetapan itu yakni sebagai berikut:

KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
selaku bangsa terjajah yang masih harus berguru dan berbuat. Dengan organisasi
Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan pedoman Islam yang murni
terhadap bangsanya. Ajaran yang menuntut pertumbuhan, kecerdasan, dan bersedekah bagi
penduduk dan umat, dengan dasar akidah dan Islam dengan organisasinya.

3. KH. Mohammad Hasjim Asy’ari (w. 1947 M)

KH. Hasyim Asy ‘Ari lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 meninggal di
Jombang, Jawa Timur pada umur 76 tahun; 24 Dzul Qo’dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H,
dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) yaitu salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang
merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di
kelompok Nahdliyin dan ulama pesantren beliau dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang
berarti maha guru. K.H Hasjim Asy’ari yaitu putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya berjulukan
Kyai Asy’ari, pemimpin Pondok Pesantren yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
berjulukan Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi’ah, Ahmad Saleh,
Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.

Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy’ari mempunyai garis keturunan baik
dari Sultan Pajang Jaka Tingkirjuga memiliki keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya
V (Lembupeteng). K.H. Hasjim Asy’ari berguru dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.

Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menuntut ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang,
Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy’ari pergi menuntut ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh
Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al
Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal,
Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.

Di Makkah, mulanya K.H. Hasjim Asy’ari belajar di bawah tutorial Syaikh Mafudz dari Termas
(Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di
Makkah. Ia menerima ijazah langsung dari Syaikh Mahfudz untuk mengajar Sahih Bukhari, di
mana Syaikh Mahfudz ialah pewaris terakhir dari pertalian penerima (Isnad) hadis dari 23
generasi peserta karya ini. Selain belajar hadis dia juga berguru tassawuf (sufi) dengan
mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. K.H. Hasjim Asy’ari juga mempelajari fiqih
madzab Syafi’i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau yang juga hebat dalam
bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar.
Pada periode belajar pada Syaikh Ahmad Khatib inilah K.H. Hasjim Asy’ari mempelajari Tafsir Al-
Manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas
ajaran Abduh akan tetapi kurang oke dengan olok-olokan Abduh kepada ulama tradisionalis.

Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu
Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan paling penting di Jawa pada era 20. Pada
tahun 1926, K.H Hasjim Asy’ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama
(NU), yang bermakna kebangkitan ulama.

Dalam upaya usaha untuk menjangkau kemerdekaan, pada tanggal 17 September 1945 fatwa
Jihad telah di tanda tangani KH Hasyim Asy’ari yang kemudian dikukuhkan dalam rapat para
kyai tanggal 21-22 Oktober 1945 dan di kenal dengan nama Resolusi Jihad. Resolusi Jihad selaku
pengobar semangatpara ulama dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah
dalam melakukan perlawanan kepada penjajah.

Selain itu juga mendesak pemerintah biar segera menentukan sikap melawan kekuatan
abnormal yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Surabaya menjadi medan pertempuran
antara laskar Hizbullah dan sekutu. Berbekal pedoman Jihad yang diteguhkan dalam resolusi
Jihad yang isinya menyerukan kepada seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk
membela NKRI. Pertempuran 10 Nopember 1945 laskar ulama dan santri menjadi garda
terdepan dalam pertempuran.

Berikut isi teks resolusi jihad Nahdlatul Ulama sebagaimana pernah diangkut di harian
Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.

Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia Soepaya mengambil


langkah-langkah jang sepadan Resoloesi wakil-wakil kawasan Nahdlatoel Oelama Seloeroeh
Djawa-Madoera Bismillahirrochmanir Rochim Resoloesi : Rapat besar wakil-wakil daerah
(Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22
October 1945 di Soerabaja.

Mendengar : Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja


kehendak Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek menjaga dan
menegakkan agama, kedaoelatan negara repoeblik indonesia merdeka.

Menimbang :

a. Bahwa oentoek menjaga dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia berdasarkan


hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.
b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja yaitu sebagian besar berisikan Oemmat Islam.
Mengingat: Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini sudah
banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.

Bahwa semoa yang dilakukan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara
Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat
sudah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.

Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar sudah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa
wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan
Agamanja. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe menerima perintah
dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian
terseboet.

Memutuskan :

Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan


soeatoe perilaku dan tindakan jang njata serta sebanding terhadap oesaha2 jang akan
membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama kepada fihak
Belanda dan kaki tangannja. Seoapaja menyuruh melandjoetkan perdjoeangan bersifat
“sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

B. Peran Umat Islam Pasca Kemerdekaan


1. Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka ( w. 1981 M )

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar datuk indomo, populer dengan nama penanya
hamka, lahir di negeri sungai batang, tanjung raya, kabupaten agam, sumatra barat tanggal 17
februari 1908. Beliau meninggal di jakarta pada umur 73 tahun. Beliau adalah soorang ulama
dan sastrawan indonesia. Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.

Hamka dikenal sebagai ulama yang cukup berpengaruh, aktivis politik, dan pengarang yang
produktif. Ia seorang autodidak dalam berbagai ilmu filsafat, sejarah, sosiologi, dan politik.
Sejak usia 20 tahun, Hamka sudah aktif dalam organisasi keagamaan, yakni Muhammadiyah.
Berbagai jabatan pernah dipangkunya, antara lain Ketua Muhammadiyah Padang Panjang,
Konsul Muhammadiyah di Makassar, dan terakhir Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Selama perang kemerdekaan, Hamka berjuang di daerah asalnya, Sumatera Barat. Ia diangkat
sebagai ketua Front Pertahanan Nasional Sumatera Barat dan sebagai anggota Sekretariat
Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK). Sesudah perang kemerdekaan, Hamka menyalurkan
aktivitas politiknya dalam Masyumi. Sebagai wakil Masyumi, dalam sidang konstituante ia
menyampaikan pidato menolak sistem demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden
Soekarno. Pada 1962-1964 ia ditahan Pemerintah Orde Lama akibat sikap politiknya menentang
konfrontasi terhadap Malaysia.

Pada tahun 1977 (1975) Hamka diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di
bawah kepemimpinannya, MUI berkembang menjadi lembaga yang mandiri dan berani
melawan arus. Ia mengundurkan diri pada tahun 1981 karena berbeda pendapat dengan
pemerintah. Sebagai pengarang, Hamka menulis banyak buku, baik novel maupun karangan
ilmiah serta artikel-artikel dalam berbagai majalah. Novelnya yang cukup terkenal antara lain
adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.
Adapaun karangan ilmiah dapat disebut antara lain Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke
Abad, Islam dan Demokrasi, dan Sejarah Umat Islam. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al
Qur’an (30 juz) yang diselesaikannya pada waktu ia berada dalam tahanan Orde Lama.

Hamka juga aktif di bidang jurnalistik. Pada tahun 1920-an, ia menjadi wartawan beberapa
surat kabar, antara lain, Pelita Andalas, Berita Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Ketika
bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1932, ia menerbitkan majalah
Al Mahdi. Ia juga pernah menjadi editor Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema
Islam. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

2. KH Abdurrahman Wahid (w. 2009 M)

Anda mungkin juga menyukai