Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PPKN
“PERANG DIPONEGORO”

Oleh:
KELOMPOK IV
NAMA ANGGOTA:

1. Syarifa Zaskia 4. Sarina


2. Ulfa Riska 5. Ikmal
3. Hera Wati 6. M. Risky

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1 MALUNDA


TAHUN AJARAN
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Setelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa,
pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup
kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah
jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan
monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak
dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu
sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda
mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di
antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV
wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun,
diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan
dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan
tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak
sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya
memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta keMagelang lewat Muntilan,
mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di
salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran
Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan
memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian
memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam
tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang
sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-
patok tersebut dengan tombak.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran
Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825mengepung
kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya
menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo,
dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima
kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa
yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai
basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang
juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir
yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan
pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan
berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat
pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan
pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak
15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro
dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam
perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S.
Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
B. Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro atau Raden Mas Ontowiryo adalah putra sulung
Pangeran Adipati Anom (Hamengku Buwono III), seorang raja Mataram di
Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati,
yang berasal dari Pacitan. Lahir di Yogyakarta, 11 November 1785. Ia juga
bergelar Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama
Khalifatullah Tanah Jawi.

B. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog),
adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830)
yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan
penjajah Belanda di bawah pimpinanJendral De Kock[1] melawan penduduk
pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran
Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik
korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli
sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara
itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang
pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini
melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang
Jawa.

C. Jalannya Perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi
senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung
dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kotadan desa di seluruh
Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu
wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya
wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya.
Jalur-jalurIogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun dihutan-hutan dan di
dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan
sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat
dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam
sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan
tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria,disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak",
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota;
menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran
dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran
Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah
yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh
puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang
melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik
metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla
warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan
(Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku.
Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu
belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat
syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak
Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan
telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan
mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah
Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri
dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak
8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.
Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke
Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi
keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang
dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk
Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan
diusir.

D. Perlawanan Diponegoro
Perlawanan Diponegoro dimulai ketika dia dengan berani mencabut tiang-
tiang pancang pembangunan jalan oleh Belanda yang melewati rumah, masjid,
dan makam leluhur Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pembangunan jalan
ini atas inisiatif Patih Danurejo IV yang menjadi antek Belanda. Saat itu, beliau
memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat
istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat
simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran mangkubumi, pamannya,
Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang
bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya
adalah “perang sabil“, perlawanan menghadapi kaum kafir. Sejak saat itu,
berkobarlah perang besar yang disebut Perang Jawa atau Perang Diponegoro
(1825-1830).
Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang menggunakan
taktik gerilya. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa
pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di
Surakarta, Kyai Mojo, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa
Selarong. Dengan dibantu oleh Sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo
Mataram, dan Pangeran Pak-pak (Serang), Pangeran Diponegoro berhasil
memberikan perlawanan yang hebat kepada Belanda.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000
tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk
menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000
gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai
pada akhirnya digunakanlah siasat licik dengan berpura-pura mengajak berunding
dan berjanji akan menjaga keselamatannya. Namun, Belanda ingkar janji dan
menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi
perundingan di Megelang. Tanpa malu Jenderal Hendrik de Kock menangkapnya.
Hari itu juga Diponegoro diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada
5 April.
Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis
(sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian
dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. Tangal 30 April 1830 Pangeran
Diponegoro akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan
diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di Benteng
Amsterdam. Tahun 1834 dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar,
Sulawesi Selatan. Pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat dan
dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.
Untuk menghormati jasa-jasanya, pada tanggal 6 November 1973,
berdasarkan SK Presiden RI No. 087/TK/1973, Pemerintah menganugerahkan
gelar Pahlawan Nasional.

E. Penyebab terjadinya perang diponegoro


Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya Perang Diponegoro.
Sebab-sebab tersebut antara lain
1. Sebab Umum
Kekuasaan dan wibawa raja-raja di Jawa Tengah semakin merosot
karena daerah kekuasaannya semakin berkurang. Kaum bangsawan merasa
dikurangi haknya, tanah-tanah yang mereka sewakan kepada pihak swasta
Eropa telah diambil alih oleh pemerintah kolonial. Akibatnya, mereka harus
mengembalikan uang persekot yang telah diterimanya. Kaum bangsawan
kemudian diangkat menjadi pegawai kolonial dengan mendapatkan gaji.
Rakyat mempunyai beban yang sangat berat dalam hidupnya, seperti
kerja rodi dan membayar pajak tanah. Disamping itu, juga terdapat
pemungutan pajak yang diborongkan kepada orang-orang Cina. Pemungutan
yang dilakukan bersifat memeras dan menjadi beban buat rakyat.

2. Sebab Khusus
Sebab khusus Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang
melalui tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pembuatan
jalan itu dilaksanakan oleh Patih Danurejo IV sebagai kaki tangan bangsa
Belanda. Patok-patok yang dipasang atas perintah Patih Danurejo IV dicabut
oleh pasukan pangeran diponegoro. Pemasangan dan pencabutan patok-patok
tanda pembuatan jalan itu telah terjadi berulang kali. akhirnya Pangeran
Diponegoro memerintahkan agar patok-patok itu diganti dengan tombak
sebagai pernyataan perang.
Sementara itu, pihak Belanda tidak menginginkan terjadinya perang.
Pihak Belanda mengirim Pangeran Mangkubumi (Paman Pangeran
Diponegoro) untuk membujuk Pangeran Diponegoro agar mau bertemu
dengan Residen Belanda di rumah dinasnya. Pangeran Diponegoro menolak,
karena telah mengetahui maksud Belanda. Ketika pembicaraan antara
Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Diponegoro sedang berlangsung,
tiba-tiba pihak Belanda melancarkan serangan. Serangan pihak Belanda itulah
yang menjadi awal dari Perang Diponegoro.
F. Akhir Perang Diponegoro
Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu
pula Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif
serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak yang menyerah
kepada Belanda karena sudah tidak kuat dengan cobaan dan perang gerilya.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda
di Pengasih dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang
bergunung-gunung sehingga memudahkan Diponegoro melakukan gerilya dan
menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera membangun
benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga gerakan Diponegoro
dapat dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya
hidup dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan
perang gerilya.Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada
Belanda.
Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di
Hidia-Belanda. Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan
pemerintahan sejak Van Der Capellen mengundurkan diri pada tahun 1826
digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di tubuh militer sendiri terjadi rotasi
pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh Hindia-
Belanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor Jenderal
Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum menunaikan tugasnya Bisschof meninggal
karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De Kock meminta agar tetap
dipercaya memimpin langsung penumpasan terhadap Diponegoro.
Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat
perubahan taktik ini Diponegoro mampu kembali menguasai Bagelen, sebagian
sungai progo, sebagian sungai bogowonto, dan Banyumas. Ini semua berkat taktik
gerilya Gusti Bei yang brilian.De Kock membalas gerakan Pasukan Diponegoro
ini dengan sebuah serangan cepat dan kuat. Segera Bagelen direbut, Sungai
Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan dilanjutkan ke
Ledok dan Karangkobar.
Dua daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini
Belanda memakai pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan
pasukan Belanda sendiri. Kemudian pasukan Belanda bergerak ke Boyolali-
Kanigoro. Mereka lalu bergabung dengan pasukan Kasunanan Surakarta. Kedua
pasukan ini segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Adipati
Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Diponegoro berhasil didesak,
sementara itu Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro
bermaksud membantu pasukan Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro.
Pasukan Bulkiya pimpinan Haji Usman juga ikut serta bergerak untuk memberi
bantuan. Tidak ketinggalan pula Gusti Basah (putra Diponegoro) bersama
pasukannya turut bergerak memberi bantuan.
Di lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang turut bergerak
memberi bantuan. Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan Yogyakarta dan
Belanda, dari Surakarta juga bergerak Legioen Mangkunegaran. Pasukan Belanda
berjumlah 3000 orang sedangkan gabungan pasukan Diponegoro berjumlah 5000
orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah pertempuran sengit. Walaupun
Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak prajurit Diponegoro
tewas dalam pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiya yaitu Haji
Usman tewas.Pada tanggal 30 April 1829 terjadi pertempuran di RawaGenda.
Basah Prawirokusumo terkena pecahan meriam dan lumpuh dalam serangan
Belanda itu. Sementara Tumenggung Banyak Wedi menyerah pada pimpinan
pasukan Belanda (Kapten Busseheus).
Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger diserang.
Gudang dan pabrik amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan. Gusti Bei yang
terluka melarikan diri sementara Raden Joyonegoro meneruskan perlawanan
sampai dia mati. Dengan direbutnya Geger maka suply amunisi pasukan
Diponegoro sangat terganggu.
Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan menyerang
sebuah desa yang dicurigai sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam sergapan
itu berhasil ditangkap Raden Hasa Mahmud dan Pangeran Anom Diponegoro
(putra tertua Pangeran Diponegoro). Belanda mengancam akan membunuh Anom
Diponegoro jika Diponegoro tidak menyerah. Tetapi ancaman ini tidak digubris.
Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh.
Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas
Wiryokusumo, Raden Mas Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi menyerah pada
Belanda. Belanda kemudian meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk
menyerah dan memberitahukan letak persembunyian keluarga Pangeran
Diponegoro dan keluarga para panglima perlawanan yang lain, tetapi tuntutan itu
tidak dijawab. Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah
pimpinan pasukan Jogokaryo yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga
Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima perang lain.
Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung
Wiryodirjo dan ratusan pengikutnya menyerah pada Belanda menyusul kemudian
Tumenggung Surodeksono, Pangeran Pakuningrat beserta pengikut-pengikutnya.
Dan Raden Ayu Anom (istri kedua Pangeran Mangkubumi) juga menyerah
beserta 50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28 September 1829, Pangeran
Mangkubumi akhirnya menyerah setelah keluarga-keluarga panglima perang yang
dilindunginya dikembalikan pada Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 30
September 1829, pukulan kembali terjadi. Gusti Bei dan kedua putranya
Joyokusumo dan Harnokusumo disergap oleh Belanda di Desa Sangir dan mereka
semua gugur.
Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan
hanyalah Sentot. Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi pasukan Sentot sendiri
mengkhawatirkan karena kekurangan bahan makanan dan terputus jalur
logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun, Belanda melakukan
perundingan dengan Sentot. Sentot bersedia menyerah dengan syarat sebagai
berikut :
1. Diberi uang sebesar 10.000 Ringgit
2. Tetap memimpin pasukan Pinilih nya
3. Diberi 500 pucuk senapan.
4. Tetap memeluk agama Islam
5. Sentot dan pasukannya tetap diijinkan memakai surban
Belanda memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya pada tanggal 17
Oktober 1829 Sentot menyerah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24
Oktober 1829 Sentot dan pasukannya masuk ke Yogyakarta, ketika melewati
jalan-jalan kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah
sebagai tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sultan
Hamengkubuwono V di kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor
Cavalerie dengan gaji 100 ringgit per bulan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama Sri Sultan
Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta. Walaupun
Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak senang tinggal di
istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda
membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di
kalangan rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana.
Adapun pengaruh yang kurang baik diantaranya :
1. Adat istiadat banyak yang dilanggar.
2. Ajaran agama diabaikan.
3. Uang dihambur-hamburkan untuk pesta.
Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka dirampas
oleh Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu tentu
saja sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro berniat
untuk melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang terhadap
rakyat. Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum ataupun khusus
untuk melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab umum tersebut antara
lain, Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok tanah
milik Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran
Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut
campur tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta. Adapun sebab
khususnya adalah sebagai berikut: (1) Belanda akan membuat jalan raya yang
melewati makam leluhur Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu, (2)
Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh Belanda.
Akibatnya Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung untuk melawan
dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun demikian Pemerintah Belanda
tetap bersikeras untuk bertahan di tanah Jawa serta melakukan perlawanan
terhadap Pangeran Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro memiliki taktik
untuk bisa mengalahkan Pemerintah Belanda. Taktik perang tersebut adalah taktik
perang Gerilya.
Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan. Walaupun saat itu
Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang luhur
Pangeran Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan sampai
di kalangan rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk melawan Belanda.
Mereka sangat bersemangat dalam mengusir Belanda bahkan nyawa
dipertaruhkan untuk bisa mengusir Belanda. Harga diri dan kehormatan keluarga
adalah segala-galanya bagi Pangeran Diponegoro. Namun tipu muslihat dan
kelicikan Belanda menyeret Pangeran Diponegoro ke meja perundingan,
sekaligus pengasingan beliau, sampai ajal menjemputnya.

B. Saran
Saran kami selaku yang membuat makalah ini kita harus selalu
mengenang dan menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang sudah
memperjuangkan nyawa dan hidupnya untuk membela negeri kita dari para
penjajah. Dan dalam penulisan makalah ini juga penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangannya atau masih jauh dari kesempurnaannya seperti yang
diharapkan oleh karena itu kritik dan saran baik itu dari bapak/Ibu Guru maupun
rekan siswa/siswi yang bersifat konstruktif sangat diharapkan guna memperbaiki
penulisan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro
http://blogs.unpad.ac.id/boenga/files/2011/08/Pangeran-Diponegoro.doc

Anda mungkin juga menyukai