Anda di halaman 1dari 6

Pangeran Diponegoro

Sultan Hamengkubuwono III dengan seorang selirnya yang bernama Raden Ayu
Mengkarawati-putri Bupati Pacitan mempunyai seorang anak yang bernama Pangeran
Diponegoro (1785-1855). Sedari kecil, Pangeran Diponegoro tinggal bersama neneknya yang
bernama Ratu Ageng yang bertempat di Tegalrejo. Letak tempatnya cukup terpencil, namun
jaraknya hanya beberapa kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Karena banyak
persengkongkolan, kemerosotan akhlak, banyaknya pelanggaran susila, serta pengaruh budaya
barat yang cukup merusak membuat Pangeran Diponegoro memilih untuk memasukki
lingkungan pergaulan yang baik dan religius seperti lingkungan pesantren dan tidak mau
menghadap ke istana yang tidak disukainya. (Ricklefs,1999:177-).
Pada tahun 1805, banyak kejadian-kejadian spiritual yang dialami Pangeran Diponegoro.
Salah satunya adalah Pangeran Diponegoro bermimpi kelak dia akan menjadi seorang raja.
Didalam mimpi itu juga dia akan memasuki zaman kehancuran dimana dia bertugas dan
mempunyai keharusan untuk mensucikannya. Penantian selama 20 tahun untuk menemukan
waktu yang baik adalah sebuah penantian yang cukup panjang, smentara itu, kondisi sudah
sangat memburuk di Jawa. Pemberontakan-pemberontakan kecil pun mulai terjadi pada tahun
1820. (Ricklefs,1999:177).
Penyebab Perang Diponegoro
Pasca kekalahan pemerintah Belanda dalam peperangan era Napoleon di Eropa, mereka
mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa di segala sektor kehidupan. Untuk mengatasinya,
mereka memberlakukan berbagai pajak dan eksploitasi ekonomi di daerah-daerah jajahannya,
termasuk di Nusantara. Mereka memberlakukan berbagai pajak dan juga monopoli usaha dan
perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Mereka juga mengambil hasil bumi rakyat
Indonesia dengan paksa dan tanpa imbalan apapun. Praktik pajak di berbagai sektor yang
diberlakukan penjajah Belanda berikut monopoli perdagangan telah berakibat rakyat Indonesia
mengalami kesulitan hidup.

Kemudian untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda


melebarkan agresinya dengan cara mempengaruhi kerajaan-kerajaann di Indonesia, yang salah
satunya adalah Kerajaan Yogyakarta. Tragisnya, dalam banyak kepentingan, justru para pejabat
kerajaan membantu memuluskan tujuan dan kepentingan agresi penjajah di bumi tanah airnya
dan bangsanya sendiri.
Dengan kondisi Jawa yang sangat memprihatinkan, seperti beban yang dilimpahkan
kepada rakyat dengan kewajiban membayar pajak, serta kebutuhan orang Belanda dan para
bangswan harus dipenuhi. Kondisi dan situasi yang seperti ini membuat Pangeran Diponegoro
tidak tega dan tidak tahan melihatnya. Ditambah lagi, Belanda yang terlalu ikut campur dalam
urusan pemerintahan Istana, seperti penetapan atau perpindahan tahta Sultan Yogyakarta.
Sebagai contoh, pada saat Sultan Hamengkubuwono IV wafat. Ikut campur Belanda sangat
terlihat jelas pada saat Belanda mengangkat putra mahkota yang bernama Jarot untuk menjadi
Sultan Yogyakarta, mengingat pada saat itu usianya baru tiga tahun. Pada saat itu Sultan hanya
dijadikan simbol pemerintahan istana saja. Namun pemerintaha Istana Yogyakarta dijalankan
oleh Residen Smissert.
Pada Mei 1825, didekat Trgslrejo dibangunla sebuah jalan oleh pihak Belanda.
Pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang yang melalui Tegalrejo ternyata tanpa
persetujuan Pangeran Diponegoro. Keputusan ini pun membuat masyarakat setempat tersinggung
dan marah, mengingat Tegalrejo adalah makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Alasan
lainnya adalah pembangunan jalan tersebut memakan banyak lahan. Hal inilah yang menjadi titik
tolak terjadinya Perang Diponegoro. Untuk menemukan solusi masalah ini Residen Belanda,
A.H.Smisaert sudah sempat mengundang Pangeran Diponegoro. Namun, undangan tersebut
ditolak mentah-mentah oleh Pangeran Diponegoro. (Junaidi ,2007:85).
Tidak sampai situ, Pemerintah Hindia Belanda kembali membuat Pangeran Diponegoro
merasa geram. Karena melakukan pematokan didaerah jalan yang dibuat. Pangeran Diponegoro
pun menyuruh masyarakat sekitar untuk mencabut patok-patok tersebut. Atas perlakuan yang
dilakukan Pangeran Diponegoro tersebut, Pemerintah Hindia mempunyai alasan untuk
menangkapnya. Tempat tinggal Pangeran Diponegoro pun didatangkan tentara meriam. Tepat
pada tanggal 20 Juli 1825 perang Tegalreo dikepung oleh serdadu Belanda.
Serangan meriam tersebut mengakibatkan Pangeran Diponegoro serta keluarganya harus
mengungsi dikarenakan belum ada persiapan untuk perang. Mereka pergi ke Desa Dekso di
Kabupaten Kulanprogo untuk menyelamatkan diri, tidak sampai disitu mereka juga kembali
meneruskan perjalanan kearah selatan hingga ke Goa Selarong. Goa ini dijadikan sebagai basis
pasukan yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul.
Strategi Peperangan

Strategi Perang Diponegoro hampir sama populer dengan Perang Gerilya yang cukup
terkenal dengan strategi konvensional. Kenyataannya yang terjadi adalah Perang Diponegoro ini
menerapkan strategi perng gerilya namun dalam konteks kekinian dan modern, dan bukan
menerapkan strategi perang suku (trible ware). Dibidang kemiliteran, penerapan perang gerilya
oleh pejuang Jawa yaitu komando Pangeran Diponegoro yaitu dengan tak tik hit and run dan
penghadangan yang berbasis multi metode. Siasat perang seperti ini dianggap oleh Belanda
sebagai siasat yang sangat canggih, serta belum pernah di praktikkan sebelumnya. Taktik perang
urat syaraf (psyware) dan mata-mata (spionase, telik sandi) juga ada dalam perang ini.

Mempertimbangkan kondisi cuaca merupakan salah satu strategi perang Diponegoro.


Dimana penyerangan dilakukan oleh para pejuang tanah air pada musim penghujan. Menurut
para pejuang tanah air senjata paling ampuh adalah alam. Dikarenakan pihak Belanda sangat
menhindari musim penghujan pada saat berperang. Oleh karena itu, pihak Belanda selalu
menyerukan gencatan senjata dan melalkukan perundingan pada saat musim penghujan tiba.
Hambatan besar jika perperangan berlangsung saat hujan sangat di sadari oleh pihak Belanda.
Faktor hujan tropis yang lebat bisa sangat membahayakan pasukan perang seperti : musuh dari
alam yang berupa penyakit malaria dan desentri merupakan hambatan yang sangat menakutkan
pada saat perang yang dilakukan dimusim penghujan. Fakta dilapangan yang terjadi adalah
akibat strategi perang ini, banyak pasukan Belanda yang mati akibat penyakit tersebut. Inila
alasan yang sangat utama, penjajah Belanda menurunkan pasukan yang sangat banyak yaitu
sekitar 23.000 serdadu. Hal yang sangat jarang dilakukan Belanda untuk wilayah yang tidak
terlalu luas seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Jalanya Perang
Pangeran Diponegoro menghimpun banyak kekuatan dalam persembunyiannya.
Beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah sangat kecewa dengan Sultan maupun pihak
Belanda dan mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Sekitar lima belas dari dua puluh
pangeran bergabung dengan Diponegoro, begitu pula empat puluh dari delapan puluh bupati.
Sentog Prawirodirjo merupakan salah satu bangsawan pengikut Pangeran Diponegoro. Dia
merupakan paglima yang tangguh di medan tempur. Kiai Mojo yang merupakan anggota
komunitas agama juga ikut bergabung bersama Diponegoro, beliau juga memimpin spiritual
pemberontakan tersebut. Begitu juga rakyat perdesaaan. Mereka ikut bertempur dipihak
ponegoro dan menbantu pasukan-pasukannya bila sudah tidak sanggup dan tidak kuat betempur
lagi.
Pada awal pertempuran, Perang Diponegoro dilakukan secara terbuka dengan pengerahan
pasukan-pasukan infantri, kavaleri, serta artileri oleh pihak Belanda. Namun pertempuran sengit
mulai terjadi pada saat pihak Diponegoro mulai menanggapinya. Medan pertempuran tidak
hanya tejadi di Yogyakarta melainkan terjadi di puluhan kota dan didesa diseluruh pulau Jawa.
Untuk menyokong keperluan perang dibangunlah jalur-jalur logistik dari satu wilayah ke
wilayah lainnya. Dihutan-hutan dan dasar jurang juga dibangun puluhan kilang mesiu oleh pihak
Belanda. Selama perperangan berlangsung mesiu dan peluru terus diproduksi. Pihak belanda
juga mengarahkan mata-mata untuk menggali informasi untuk menyusun strategi perang.
Strategi Gerilya yaitu dengan cara bepencar digunakan Diponegoro dan pengikutnya pada
saat betempur. Cara berpencar tersebut dilakukan dengan bepindah tempat dan menyerang pada
saat musuh lengah. Tentunya setrategi seperti ini sangat merepotkan tentara Belanda. Ditambah
lagi dukungan rakyat diperoleh penuh oleh Pangeran Diponegoro. Awlanya peperangan Cuma
terjadi didaerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, dan Lowano (perbatasan
Purworejo-Magelang). Perlawanan terus menyebar sampai kedaerah lainnya seperti : Madiun,
Magetan, Kediri, dan sekitar Semarang.
Pada bulan-bulan penghujan serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro mulai
dilakukan. Dikarenakan akan membuat gerakan pasukan Belanda akan terhambat. Dan juga
penyakit malaria dan disentri menjadi salah satu faktor melemahnya moral dan fisik pasukan
Belanda dalam menhadapi perlwanan Diponegoro. Pada bulan oktober 1826 Diponegoro juga
sempat mengalami kekalahan besar saat di pukul mundur di Surakarta. Namun, pasukan-pasukan
Belanda nampak tidak maju lagi pada akhir tahun 1826, dengan demikian Diponegoro tetapi
memegang kekuasaan diberbagai wilayah pelosok Jawa Tengah.
Tidak tinggal diam, pihak belanda terus melakukan langkah-langkah untuk
memenangkan perang Diponegoro, seperti pada bulan agustus 1826 Sultan Hamengkubuwono II
kembali dipulangkan Belanda dari tempat pengasingannya dan kembali menduduki lagi diatas
tahta Yogyakarta (1826-1828). Namun lagi-lagi langkah yang diambil pihak Belanda gagal untuk
mendorong masyarakat Jawa agar tidak mendukung pemberontakan Diponegoro.
(Ricklefs,1999:179)
Akhir Perang Diponegoro
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1827 kembali mengambil setrategi yang sangat
jitu untuk melawan perlawanan gerilya ini. Hal yang dilakukan belanda untuk menghadapi
perlawanan itu yaitu merapakan strtaregi Benteng Stelsel (sistem Benteng) atas suruhan Jenderal
De Kock. Dengan menggunakan siasat ini pemerintah Belanda membangun benteng-benteng di
setiap daerah yang dikuasainya benteng tersebut didirkan jalan raya. Akibat siasat tersebut
membuat pasukan Diponegoro kesulitan dalam berinteraksi dengan rakyat. Kemudian pihak
belanda kembali mengeluarkan siasat baru yaitu adu domba atau yang disebut politik Devide et
empere yaitu rakyat dihasut dan diadu domba. Pasukan Diponegoro pun semakin melemah,
karena bnyaknya pemimpin yang gugur, tertanggap, dan menyerahkan diri.
Pengkhianatan dari jumlah pemberontak juga meningkat. Kiai Mojo berhasil ditangkap
pada bulan april 1829. Begitupula dengan paman Diponegoro yaitu Pangeran Mangkubumi serta
Panglima Sentot meyerahkan diri. Penyerahan diri Sentot dimanfaatkan dengan baik oleh pihak
Belanda. Sentot ditugaskan untuk melawan perang padri di Sumatera Barat, sedangkan Pangeran
Mangkubumi menjadi salah satu Pangeran yang paling senior dari Yogyakarta. Diponegoro
akhirnya pada bulan maret 1830 bersedia melakukan perundingan di Magelang. Belanda kembali
menjalankan strategi liciknya yaitu ketika Diponegoro tiba disana, ia ditangkap dan diasingkan
di Manado dan kemudian ke Makassar, Pangeran Diponegoro wafat pada tahun 185. Kemudian
pemberontakan pu berakhir. Dari pihak Belanda sendiri pada saat pemberontakan sudah
memakan korban sebanyak 8000 serdadu, sedangakn untuk pihak pribumi menelan sangat
banyak korban yaitu 2000.000 jiwa tewas yang membuat hampir separuh penduduk Yogyakarta
habis.

Kesimpulan
Pada tahun 1825-1830 terjadi perang yaitu perang diponegoro yang terjadi diwilayah
Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Perang tersebut melibatkan pihak Belanda dan pihak
Pribumi yang dipimpin oleh Pngeran Diponegoro. Sebab akibat dari perang ini sendiri yaitu
pembangunan jalan yang dilakukan oleh pihak Belanda tanpa persetujuan Pangeran Diponegoro
dan masyarakat sekitar. Pembangunan jalan tersebut juga dilakukan di jalan Yogyakarta ke
Magelang yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro. Perperangan yang terjadi selama
lima tahun tersebut dimenangkan oleh pihak Belanda. Dimana setelah mengalami kekalahan
dengan siasat-siasat Belanda yang sangat licik, akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado dan kemudian dipindahkan ke Makassar. Dan pada tanggal 8 januari 1855
Pangeran Diponegoro meninggal dunia. Perang Diponegoro ini merupakan salah satu perang
yang memakan banyak korban baik dari pihak Belanda maupun dari pihak pribumi yang hampir
separuh masyarakat Yogyakarta menjadi korban.

Daftar Pustaka
 Al Ansori, Junaedi.2007. Sejarah Nasional Indonesia Masa Prasejarah Sampai Proklamasi
kemerdekaan, Jakarta: PT Mapan.

 Ricklefs,M.C.1999. Sejarah Indonesia Modern,Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

 Kartodirdjo,A .Sartono. 1973.Sejarah Perlawanan-perlawana Terhadap


Kolonialisme,Yogyakarta:Gramedia

Anda mungkin juga menyukai