Anda di halaman 1dari 3

PERANG DIPONEGORO

Perang Diponegoro merupakan dampak dari kondisi kerajaan di Jawa yang semakin
kehilangan kekuasaannya. Sejak Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi 4 bagian, Belanda
memiliki pengaruh sangat kuat di lingkungan keraton. Belanda sering terlibat dalam pembuatan
keputusan, termasuk urusan pergantian takhta kerajaan. Kondisi ini membuat para bangsawan di
lingkungan keraton merasa direndahkan. Akibatnya, beberapa pangeran yang tidak puas terhadap
tindakan Belanda berusaha melakukan perlawanan.

Kondisi dalam keraton yang tidak kondusif semakin diperparah dengan kemerosotan sumber
ekonomi kerajaan. Kekuasaan kerajaan yang dibagi-bagi akibat campur tangan Belanda menyebabkan
sumber pendapatan kerajaan dan para bangsawan mengalami penurunan. Oleh karena itu, untuk
menambah penghasilan, raja-raja Jawa sering melakukan penarikan pajak seperti pajak jembatan,
jalan, dan pasar. Keberadaan pajak-pajak tersebut menimbulkan masalah baru karena membebani
rakyat.

Tindakan Belanda lainnya yang juga dianggap merendahkan kerajaan dan para bangsawan
adalah para pembesar Belanda menghendaki persamaan derajat dengan raja pada waktu upacara
kunjungan resmi diadakan di keraton. Dalam upacara tersebut para pembesar Belanda menuntut agar
diizinkan duduk sejajar dengan raja. Keadaan ini menimbulkan kekecewaan dan ketidaksenangan bagi
sebagian bangsawan. Mereka menganggap martabat kerajaan merosot akibat tindakan para pembesar
Belanda tersebut.

Di tengah perseteruan tersebut, muncul seorang pemimpin besar yang dapat membimbing
rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Sultan Hamengku
Buwono III dari garwa ampeyan (selir). Pangeran Diponegoro memiliki pengaruh besar dalam
kehidupan Keraton Yogyakarta. Pangeran Diponegoro juga sangat menentang tindakan sewenang-
wenang Belanda dalam kehidupan keraton.

a. Latar Belakang Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro melihat kekuasaan raja di Kesultanan Yogyakarta semakin sempit


akibat campur tangan Belanda. Pada saat itu raja hanya menjadi simbol untuk mengesahkan
kebijakan yang ingin diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Dapat dikatakan, kebijakan politik
keraton sepenuhnya dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1822 Pangeran Diponegoro diangkat menjadi wali kerajaan mendampingi Sultan
Hamengku Buwono V yang baru berusia tiga tahun. Sejak awal pengangkatan Pangeran
Diponegoro sebagai wali kerajaan, Belanda khawatir dengan kekuasaan Pangeran Diponegoro di
Kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, Belanda mengangkat Patih Danurejo untuk menjalankan
pemerintahan Kesultanan Yogyakarta di bawah pengawasan Residen Belanda. Tindakan Belanda
tersebut memancing kemarahan Pangeran Diponegoro. Oleh karena situasi tersebut, Pangeran
Diponegoro memilih meninggalkan keraton dan hidup sebagai rakyat biasa.

Kemarahan Pangeran Diponegoro semakin bertambah saat Patih Danurejo memerintahkan


pematokan tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin untuk dijadikan jalan.
Pemasangan patok (anjir) tersebut direncanakan Patih Danurejo dan Residen Yogyakarta Antonie
Hendrik Smissert untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro sangat marah
karena di tanah itu terletak makam leluhurnya. Pangeran Diponegoro kemudian mencabut semua
patok dan menggantinya dengan bambu runcing sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.

b. Strategi Perlawanan

Kebencian Pangeran Diponegoro memuncak setalah ia merasa sakit hati dengan tindakan
sewenang-wenang Belanda. Perasaan benci Pangeran Diponegoro mewakili kebencian para
bangsawan Iain yang merasa martabatnya direndahkan Belanda. Meskipun demikian, hanya
Pangeran Diponegoro yang berani secara terang-terangan mengutarakan perlawanan terhadap
Belanda. Dalam perlawanan ini Pangeran Diponegoro membentuk pasukan dan mengobarkan
semangat Perang Jawa.

Perang yang dikobarkan Pangeran Diponegoro ini mendapat dukungan dari rakyat di berbagai
daerah. Rakyat yang telah lama hidup menderita bergabung bersama Pangeran Diponegoro untuk
berperang melawan Belanda. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap
Belanda memutuskan bergabung dengan Pangeran Diponegoro.

Dalam perlawanan tersebut terdapat dua tokoh penting pembantu Diponegoro. yaitu Kiai
Mojo dan Sentot Prawirodirdjo. Kiai Mojo merupakan seorang ulama dari Surakarta yang bertugas
menguatkan moral pasukan. Sementara itu, Sentot Prawirodirdjo merupakan seorang bangsawan
keturunan Keraton Yogyakata yang masih sedarah dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran
Diponegoro mangangkat Sentot Prawirodirdjo sebagai panglima perang.

Pangeran Diponegoro dapat mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal
H.M. de Kock dalam pertempuran-pertampuran yang berlangsung pada tahun 1825-1826.
Kemenangan tersebut disebabkan beberapa faktor berikut.

1) Semangat perang pasukan Pangeran Diponegoro masih tinggi.


2) Siasat perang gerilya Pangeran Diponegoro belum tertandingi.
3) Sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatra Barat menghadapi Perang Padri.

Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan,


Semarang, Rembang, Madiun, dan Magetan. Perjuangan Pangeran Diponegoro mendapat
dukungan penuh dari rakyat dan para ulama. Belanda sering melakukan penyerangan ke pos-pos
pertahanan pasukan Diponegoro. Akan tetapi, serangan tersebut sering gagal karena pos-pos
tersebut sudah ditinggalkan pasukan Diponegoro. Taktik perang gerilya yang diterapkan Pangeran
Diponegoro memang sangat menyulitkan Belanda.

c. Berakhirnya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro yang semakin meluas menyebabkan Belanda kewalahan. Untuk


mengatasi peperangan ini, Belanda menerapkan taktik perang benteng stelsel (sistem benteng).
Dalam taktik ini, Belanda mendirikan benteng di setiap daerah yang berhasil direbut dari pasukan
Pangeran Diponegoro. Selama perang, Belanda membangun benteng di Gombong, Purworejo,
Magelang, Ambarawa, dan Salatiga. Benteng-benteng tersebut membentuk sistem benteng yang
saling berhubungan.

Dengan menerapkan taktik benteng stelsel Belanda mulai dapat mengatasi pertempuran.
Bahkan, satu per satu daerah pertahanan Pangeran Diponegoro jatuh ke tangan Belanda.
Banyaknya pasukan yang gugur dan tertangkap Belanda menjadi pukulan bagi pasukan Pangeran
Diponegoro. Akan tetapi, pasukan Pangeran Diponegoro pantang menyerah dan tetap melakukan
perlawanan secara gerilya.

Pada tahun 1829 Belanda berhasil memaksa salah satu panglima perang pasukan Diponegoro,
yaitu Sentot Prawirodirdjo menyerah. Peristiwa ini menjadi pukulan berat bagi perjuangan
Pangeran Diponegoro. Meskipun dernikian, pasukan Diponegoro tetap melanjutkan Perjuangan.
Belanda belum berhasil menangkap dan memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro. Oleh
karena itu, Belanda mengeluarkan sayembara kepada masyarakat. Siapapun yang berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapat hadiah sejumlah 20.000 ringgit. Sayembara
tersebut tidak mendapat perhatian sedikit pun dari masyarakatt.

Pada tahun 1830 Belanda akhirnya mengusulkan perundingan damai kepada Pangeran
Diponegoro. Akan tetapi, dalam perundingan di Magelang, Belanda berbuat licik. Jenderal de
Kock memerintahkan penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro
selanjutnya diasingkan ke Makassar dan wafat di kota ini pada tanggal 8 Januari 1855.

Anda mungkin juga menyukai