Anda di halaman 1dari 20

XI

MIPA
1

Perang Jawa
(Perang Diponegoro)
Kelompok 3
Nama Anggota:
Kelompok 3:
1.Daffa Rinali
2.Fara Fahrani Salsabil
3.Lisa Ainun Jariyah
4.Nafisa Zahra Thuraiyaa
5.Nurhafni Fauziah Anisah
6.Sabrina Dinda Ayu
7.Bintang Asesa
8.Lukman
Apa itu Perang Diponegoro?

Perang Diponegoro biasa disebut juga dengan Perang Jawa.


Perang ini adalah pemberontakan yang dilakukan oleh warga
Jawa di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro. Kejadian ini
merupakan kekacauan terbesar yang pernah terjadi pada masa
kekuasaan Hindia Belanda. 
Sejak terjadinya perang ini di tahun 1825, banyak uang dan
tentara yang harus dikorbankan oleh Hindia Belanda. Ada sekitar
200.000 orang korban yang datangnya bukan hanya dari warga
militer tapi juga warga sipil. Kejadian ini merupakan peristiwa
yang merenggut banyak korban jiwa.
Latar Belakang Perang Diponegoro
Perang Diponegoro dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 dan
bertempat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pangeran Diponegoro
memiliki nama asli Pangeran Ontowiryo, ia adalah anak dari Sri
Sultan Hamengkubuwono III. 
Ada dua hal yang membuat dominasi Belanda ditentang oleh
Pangeran Diponegoro. Alasan secara umum yang membuat ia
menentang dominasi Belanda adalah Belanda yang ikut campur
tangan terhadap kebudayaan keraton dan membuat kebudayaan
baru yang bercampur dengan kebudayaan barat, sedangkan
kebudayaan tersebut tidak sesuai dengan adat di timur. 
Latar Belakang Perang Diponegoro
Lalu Belanda juga memperbolehkan perusahaan asing untuk menyewa tanah
sawah demi kepentingan perusahaan dan membuat pemilik tanah tersebut
menjadi tenaga kerja paksa. Ada juga berbagai jenis pajak yang perlu dibayar oleh
warga, contohnya seperti welah-welit (pajak tanah), pengawang-awang (pajak
halaman kekurangan), pecumpling (pajak jumlah pintu), pajigar (pajak ternak),
penyongket (pajak pindah nama), dan bekti (pajak menyewa tanah atau menerima
jabatan). 
Selain alasan umum, ada juga alasan khusus kenapa perang ini bisa terjadi. Perang
Diponegoro terjadi karena di tahun terjadinya perang tersebut, Smissaert dan
Patih Danurejo memasang anjir yang berupa patok karena mereka berniat untuk
membuat jalan baru. Pemasangan anjir tersebut memasuki wilayah milik Pangeran
Diponegoro dan dilakukan tanpa seizinnya. Tentu saja ia merasa marah akan hal
tersebut dan meminta prajuritnya untuk menggantinya dengan tombak. 
Latar Belakang Perang Diponegoro

Bukan hanya Pangeran Diponegoro tapi juga warga desa Tegalrejo


merasa marah akan hal tersebut dan akhirnya terjadi kerusuhan
antara warga Tegalrejo dengan pasukan milik Patih Danurejo.
Sayangnya saat itu pasukan Diponegoro merasakan kekalahan dan
mereka akhirnya kabur ke Goa Selarong dan membuat rencana baru.

Hendrik Smissaert mulai mencampuri urusan keraton sejak wafatnya


Sri Sultan Hamengkubuwono IV pada tahun 1822. Di saat yang
bersamaan Gubernur Jenderal van der Capellen meminta untuk
tanah yang yang disewa dikembalikan dengan adanya kompensasi. 
Latar Belakang Perang Diponegoro

Mendengar hal ini, Pangeran Diponegoro tidak setuju


karena keraton akan merasakan kerugian akibat
banyaknya tanah yang dikembalikan. Smissaert mencoba
untuk meyakinkan Ratu Ageng dan Patih Danurejo atas
rencana tersebut dan berhasil. Hal itu membuat keraton
harus meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa untuk
membayar kompensasi.. 
Penyebab Perang Diponegoro

Sebab umum dari kenapa perang ini bisa terjadi adalah rakyat di
bawah Pangeran Diponegoro ingin terlepas dari penjajahan Belanda.
Lalu sebab khusus dari perang ini adalah rasa amarah Pangeran
Diponegoro yang patok leluhurnya dipindahkan oleh Belanda tanpa
sepengetahuannya.
Perang Diponegoro ini sebenarnya bisa dibilang terjadi karena
pengaruh Belanda yang terlalu besar di keraton. Bahkan banyak
punggawa yang berpihak kepada Belanda karena mereka mendapat
keuntungan untuk diri mereka sendiri. Pada Oktober 1824, Pangeran
Diponegoro akhirnya memutuskan hubungan dengan keraton dan
kembali ke Tegalrejo. 
Penyebab Perang Diponegoro
Disana ia membahas mengenai pemberontakan yang rencananya
akan diadakan pada Agustus tahun berikutnya. Saat itu pajak untuk
petani dihapuskan demi bisa membeli makanan dan senjata. Namun
perang akhirnya terjadi pada Mei 1825 saat Smissaert membuat jalan
dan melewati Tegalrejo. 
Patok untuk perbaikan jalan tersebut melewati makam leluhur
Pangeran Diponegoro dan itu membuatnya sangat marah. Ia
mengarahkan kepada pasukannya untuk mengganti patok dengan
tombak sebagai deklarasi perang untuk pihak Belanda. 
Kronologi Perang Diponegoro
Keraton berusaha mencegah terjadinya perang dengan menangkap
Pangeran Diponegoro. Keraton juga berpikiran kalau Pangeran
Diponegoro terlalu berlebihan dengan agama yang dianutnya karena
ia sudah mengabaikan hubungannya dengan keraton padahal disana
ia memiliki tugas sebagai wali raja. 
Keraton mencoba untuk menangkapnya dengan membakar rumah
Pangeran Diponegoro yang ada di Tegalrejo tapi gagal. Ia terus
berpindah tempat dan akhirnya berdiam di Goa Selarong dimana ia
dan pasukannya membuat rencana selanjutnya untuk menyerang
Belanda. 
Kronologi Perang Diponegoro
Berbagai macam orang ikut dengan Pangeran Diponegoro, bahkan bandit
juga menjadi angkatan perang milik Pangeran Diponegoro. Ada juga
bantuan dari Kyai Mojo yang membantu dalam spiritual perang. Sentot
Alibasah juga membantu sebagai panglima perang. Perang ini terjadi di
puluhan desa dan dimulai dengan Pangeran Diponegoro menyerbu pusat
kekuatan Belanda saat hujan turun. 
Pada musim seperti ini, Belanda akan mencoba untuk gencatan senjata.
Banyak sekali aspek yang digunakan oleh kedua belah pihak demi mencari
tahu kelemahan masing-masing kubu. Jalan untuk pergerakan juga pabrik
mesiu diletakkan di tengah hutan. Belanda juga terus melakukan
provokasi kepada masyarakat supaya mereka membenci Pangeran
Diponegoro. 
Kronologi Perang Diponegoro
Perang Diponegoro hanya berjalan di tempat sampai di tahun
1828 dimana Belanda menggunakan taktik Benteng Stelsel
yang membuat pasukan Jawa menjadi terjepit pergerakannya.
Di tahun itu Kyai Mojo ditangkap oleh Belanda. Lalu tahun
berikutnya, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasah juga
menyatakan kalah dari Belanda. Akhirnya di tahun 1830,
Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang karena terjepit
dan dibebaskan dengan catatan semua pasukannya
dibebaskan.
Tokoh Perang Diponegoro
Pangeran Diponegoro
Meski Pangeran Diponegoro meninggalkan keraton, ia
masih memiliki jabatan sebagai wali raja untuk Sri Sultan
Hamengkubuwono V bersama dengan Ratu Ageng dan
Patih Danurejo. Kebijakan Belanda yang membuat
keraton bangkrut dan juga keterlibatan Belanda yang
terlalu banyak membuat ia meninggalkan keraton. Rasa
amarahnya sangat besar terhadap Belanda juga warga
keraton yang hanya berdiam diri saja. Ia akhirnya
meninggalkan keraton dan mempersiapkan diri untuk
melakukan perang suci dan memberantas Belanda. Ia
mengajak semua kalangan untuk berperang bersamanya
selama 5 tahun lamanya.
Tokoh Perang Diponegoro
Kyai Mojo
Ia adalah sepupu dari Pangeran Diponegoro. Ia
membantu sebagai pemimpin spiritual juga
panglima perang. Ia juga sebelumnya sangat dekat
dengan Pangeran Diponegoro, tapi semua berubah
sejak tahun 1828. Karena Pangeran Diponegoro
menggunakan sentimen Jawa mengenai Ratu Adil
sebagai penolong mereka dari penindasan. Ini
dianggap sebagai penyimpangan. Kyai Mojo
akhirnya ditangkap Belanda dan dipindahkan ke
Salatiga.
Tokoh Perang Diponegoro
Sentot Alibasah
Sentot merupakan keponakan dari
Hamengkubuwono IV. Ia memiliki dendam kepada
Belanda karena ayahnya dibunuh pada masa
pemerintahan Daendels. Ia langsung setuju untuk
bergabung saat mendengar Pangeran Diponegoro
akan melakukan pemberontakan. Ia akhirnya
menyerahkan diri di tahun 1829 dan dikirim untuk
mengalahkan Tuanku Imam Bonjol di Perang Padri.
Namun ia berkhianat dan diasingkan ke Bengkulu. 
Tokoh Perang Diponegoro
Jenderal De Kock
De Kock merupakan Gubernur Jenderal di tahun
1825-1826. Ia adalah pencetus untuk
menggunakan Benteng Stelsel demi mengalahkan
Pangeran Diponegoro. Sampai tahun 1830,
jabatannya adalah sebagai Komandan KNIL. Ia
merupakan tokoh yang memiliki kontribusi terbesar
dalam pemberantasan pemberontakan Pangeran
Diponegoro. Namanya digunakan sebagai nama
benteng di Bukittinggi sebagai tempat penumpasan
Imam Bonjol.
Tokoh Perang Diponegoro
Hendrik Smissaert
Smissaert merupakan residen yang ditugaskan
untuk bertugas di wilayah tersebut. Masa
jabatannya hampir sama dengan
Hamengkubuwono IV yang wafat dan harus
digantikan dengan anaknya yang masih berumur 2
tahun. Ia menjadi pemimpin keraton selama 31
bulan dan tentu saja dibenci oleh warga Jawa
karena dianggap penghinaan. Patok yang membuat
Pangeran Diponegoro marah adalah kebijakan yang
diterapkan oleh Smissaert. Ia adalah penyebab dari
terjadinya perang Diponegoro.
Dampak Perang Diponegoro
Pada Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke
Makassar. Tanpa adanya pemimpin, pasukannya sudah tidak ada semangat
untuk berjuang. Pemilik tanah di Jawa kehilangan harapan untuk terus
berperang sejak berakhirnya perang ini. Sejak tahun 1832, semua
pemimpin di Jawa langsung tunduk kepada kekuasaan milik Belanda,
kecuali Bupati Ponorogo. Kedudukan Belanda makin kuat saat itu di Jawa.
Perang ini memakan korban yang sangat banyak dari Belanda. Hal itu
membuat Belanda kesulitan untuk mengalahkan Tuanku Imam Bonjol.
Berakhirnya Perang Diponegoro membuat populasi di Yogyakarta
berkurang hingga separuhnya dan keturunan Pangeran Diponegoro diusir
dari keraton.
Dampak Perang Diponegoro
Penyerahan Pangeran
Diponegoro (di kotak kiri)
kepada Letnan Jenderal Hendrik
Merkus de Kock (di kotak
kanan)
tanggal 28 Maret 1830 yang
mengakhiri Perang Diponegoro
(1825-1830). Lukisan: Nicolaas
Pieneman (1809-1860)
Dampak Perang Diponegoro

Peta Mataram
Baru setelah
Perang
Diponegoro pada
tahun 1830.

Anda mungkin juga menyukai