Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Setelah kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda
yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan
memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu,
mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan.
Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu
sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan
Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku
Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya,
pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi
dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan
pilihan/adat keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan
membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi
makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro
tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian
memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun.
Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai
telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta
keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten
Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima
kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap
Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di
Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa
sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau.
Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua
istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun
lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat
"Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai
mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan
Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam
perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta
Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perang Diponegoro


Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang
besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia
Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De
Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta
bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.
Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah,
disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu
Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa,
maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

2.2 Jalannya perang


Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan
pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran
terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya
sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam
harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-
jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.
Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan
peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir
bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi
perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah
hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai
"senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-
usaha untuk gencatan senjata dan berunding.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu
hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas
seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang
gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan
(Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung
dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling
memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian
Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri

2
dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan
bangsawan Jawa.

2.3 Penyebab terjadinya perang diponegoro


Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya Perang Diponegoro. Sebab-sebab
tersebut antara lain
a.       Sebab Umum
Kekuasaan dan wibawa raja-raja di Jawa Tengah semakin merosot karena daerah kekuasaannya
semakin berkurang. Kaum bangsawan merasa dikurangi haknya, tanah-tanah yang mereka
sewakan kepada pihak swasta Eropa telah diambil alih oleh pemerintah kolonial. Akibatnya,
mereka harus mengembalikan uang persekot yang telah diterimanya. Kaum bangsawan
kemudian diangkat menjadi pegawai kolonial dengan mendapatkan gaji.
b.             Sebab Khusus
Sebab khusus Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui tanah makam leluhur
Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pembuatan jalan itu dilaksanakan oleh Patih Danurejo IV
sebagai kaki tangan bangsa Belanda. Patok-patok yang dipasang atas perintah Patih Danurejo IV
dicabut oleh pasukan pangeran diponegoro. Pemasangan dan pencabutan patok-patok tanda
pembuatan jalan itu telah terjadi berulang kali. akhirnya Pangeran Diponegoro memerintahkan
agar patok-patok itu diganti dengan tombak sebagai pernyataan perang.

2.4 Taktik Perang Diponogoro


Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan
penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak
terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk
gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan
mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak”
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah
komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.

2.5 Akhir Perang Diponegoro


Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu pula
Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif serangan beralih ke
tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak yang menyerah kepada Belanda karena sudah
tidak kuat dengan cobaan dan perang gerilya.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di Pengasih
dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang bergunung-gunung sehingga
memudahkan Diponegoro melakukan gerilya dan menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi
de Kock segera membangun benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga gerakan
Diponegoro dapat dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya
hidup dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang
gerilya.Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda.

3
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama Sri Sultan Hamengkubuwono II
sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta
kerajaan di Yogyakarta. Walaupun Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak
senang tinggal di istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda
membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di kalangan rakyat biasa.
Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana. Adapun pengaruh yang kurang baik
diantaranya :
a.       Adat istiadat banyak yang dilanggar.
b.      Ajaran agama diabaikan.
c.       Uang dihambur-hamburkan untuk pesta.
Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka dirampas oleh Belanda dan
mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu tentu saja sangat merugikan
masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro berniat untuk melawan kekuasaan Belanda
yang sangat sewenang-wenang terhadap rakyat.

3.2 Saran
Saran kami selaku yang membuat makalah ini kita harus selalu mengenang dan
menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang sudah memperjuangkan nyawa dan
hidupnya untuk membela negeri kita dari para penjajah. Dan dalam penulisan makalah ini juga
penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya atau masih jauh dari kesempurnaannya
seperti yang diharapkan oleh karena itu kritik dan saran baik itu dari bapak/Ibu Guru maupun
rekan siswa/siswi yang bersifat konstruktif sangat diharapkan guna memperbaiki penulisan lebih
lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro

Kartodirjo,Sartono, Marwati djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto,          1975.Sejarah

nasional Indonesia IV,Jakarta:DEPDIKBUD

Yatim, Badri,2005. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada

Pane,sanusi 1965, Sejarah Indonesia II, Jakarta:P.N.Balai Pustaka

Kartodirjo,Sartono, 1973 Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme, Jakarta:       

DEPHANKAM, PUSAT SEJARAH ABRI

4
MAKALAH SEJARAH INDONESIA

Di susun oleh :

Tiara Cantika Poli


Kelas XI IPS 1

SMA NEGERI I DUMOGA


2022

5
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah SEJARAH
INDONESIA yang berjudul “ Perang Diponegoro”.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karna itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga makalah saya mampu
menambah ilmu untuk pembaca dan semoga Tuhan senantiasa memberikan kemudahan untuk
segala usaha kita. Amin.

Penyusun

6i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................2

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN.............................................................................................................................4
SARAN..........................................................................................................................................4

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................4

ii7

Anda mungkin juga menyukai