PERANG DIPONOGORO
Diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia
Di Susun Oleh :
Penyusun,
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan
meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke
bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang
semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan
terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan
penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang
dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan
kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat
Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula
ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua
periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun
1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman
mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat
tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram,
Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung
Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan
Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang
Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan
cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah
dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang
masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Latar Belakang Perang Diponegoro ?
2) Bagaimana Jalannya Perang dan siapa saja Tokoh / Pemimpin Perang
Diponegoro ?
3) Bagaimana Akhir dari Perang Diponegoro ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
a) Sebab-sebab Umum
Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan kewibawaannya mulai merosot.
Bersamnaan dengan itu terjadi pemecahan wilayah menjadi empat kerajaan kecil,
yaitu Surakarta, Ngayoyakarta , Mangkunegara dan Paku Alaman.
Kaum bangsawan merasa dikurangi penghasilannya, karena daerah-daerah
yang dulu dibagi-bagikan kepada para bangsawan, kini diambil oleh pemerintah
Belanda. Pemerintah Belanda mengeluarkan maklumat yang isinya akan
menguasahakan perekonomian sendiri, tanah milik kaum partikelir (swasta) harus
dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Sudah tentu tindakan ini menimbulkan
kegelisahan diantara para bangsawan, karena harus mengembalikan uang persekot
yang telah diterima.
Rakyat yang mempunyai beban seperti kerja rodi, pajak tanah dan
sebagainya merasa tertindas. Begitu pula karena pemungutan beberapa pajak yang
di borong oleh orang-orang Tionghoa dengan sifat memeras dan memperberat
beban rakyat.
b) Sebab-sebab Khusus
2
Sebab-sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan
yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danurejo
IV (seorang "kaki tangan" Belanda) memerintahkan untuk memasang patok-patok
di jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk mencabutnya, namun
potok-patok itu dipasang kembali atas perintah Patih Danurejo IV. Keadaan seperti
ini berlangsung berkali-kali, sehingga akhirnya patok-patok itu diganti dengan
tombak. Dengan penggantian patok itu menandakan kesiapan Pangeran
Diponegoro untuk berperang melawan Belanda. Peperangan tidak dapat dielakan
lagi dan pasti akan terjadi. Tetapi Belanda berusaha menghadapi kemelut antara
kedua bangsawan tersebut dan mengharapkan tidak terjadi peperangan. Untuk itu
Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi (paman dari Pangeran Diponegoro)
untuk membujuknya agar mau bertemu dengan residen Belanda di Loji. Pangeran
Diponegoro menolak tawaran itu karena tahu arti semua yang dimaksud oleh
Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran
Diponegoro berlangsung, Belanda tiba-tiba telah melakukan serangan.
C. Jalannya Perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata
andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan
3
sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa.
Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat
dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah
direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-
jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di
dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan
sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat
dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam
sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan
tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak",
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota;
menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran
dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran
Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang
tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini
bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern
yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
4
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi
(spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul
kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot
Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana,
Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa
anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak
8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.
Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke
Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi
keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang
dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk
Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama Sri Sultan
Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta. Walaupun
Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak senang tinggal di
istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda
membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di kalangan
rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana. Adapun
pengaruh yang kurang baik diantaranya :
a. Adat istiadat banyak yang dilanggar
b. Ajaran agama yang diabaikan
c. Banyak uang dihambur-hamburkan untuk pesta
Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka dirampas oleh
Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu tentu saja
sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro berniat untuk
melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang terhadap rakyat.
Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum ataupun khusus untuk
melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab umum tersebut antara lain,
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok tanah milik
Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran
Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut campur
9
tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta. Adapun sebab khususnya adalah
sebagai berikut:
1) Belanda akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur
Diponegoro
tanpa meminta izin terlebih dahulu.
2) Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh
Belanda.
Akibatnya Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung untuk melawan
dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun demikian Pemerintah Belanda
tetap bersikeras untuk bertahan di tanah Jawa serta melakukan perlawanan terhadap
Pangeran Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro memiliki taktik untuk bisa
mengalahkan Pemerintah Belanda. Taktik perang tersebut adalah taktik perang
Gerilya.
Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan. Walaupun saat itu
Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang luhur Pangeran
Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan sampai di kalangan
rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk melawan Belanda. Mereka
sangat bersemangat dalam mengusir Belanda bahkan nyawa dipertaruhkan untuk
bisa mengusir Belanda. Harga diri dan kehormatan keluarga adalah segala-galanya
bagi Pangeran Diponegoro. Namun tipu muslihat dan kelicikan Belanda menyeret
Pangeran Diponegoro ke meja perundingan, sekaligus pengasingan beliau, sampai
ajal menjemputnya.
10
DAFTAR PUSTAKA
https://id.m.wikipedia.org
https://fendygoo.blogspot.com/2015/01/makalah-perang-diponegoro.html
https://bagiartikel24.blogspot.com/2016/12/makalah-perang-diponegoro.html
11