Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERANG DIPONOGORO
Diajukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia

Di Susun Oleh :

Eka Rangga Permana


Kelas XII IPA

SMA MUHAMMADIYAH 11 LAREN


BRANGSI-LAREN
LAMONGAN
2024
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohiim Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT,


karena dengan rahmat-nya dan karunianya, saya bisa diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini dengan PERANG DIPONOGORO dengan tepat waktu dan
baik, makalah ini disusun guna memenuhi Tugas mata pelajaran sejarah Indonesia Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada: Semua pihak/rekan-rekan yang telah
membantu kelancaran penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sudah barang tentu kritik dan saran
penulis harapkan dari pembaca guna melengkapi dan menyempurnakan kekurangan
daripada penulis. Semoga dengan disusunnya makalah ini penulis berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi semuanya, khususnya bagi siswa-siswi SMAM 11 Laren.

Lamongan, Februari 2024

Penyusun,

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan
meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke
bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang
semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan
terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan
penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang
dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan
kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat
Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula
ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua
periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun
1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman
mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat
tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram,
Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung
Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan
Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang
Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan
cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah
dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang
masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Latar Belakang Perang Diponegoro ?
2) Bagaimana Jalannya Perang dan siapa saja Tokoh / Pemimpin Perang
Diponegoro ?
3) Bagaimana Akhir dari Perang Diponegoro ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Perang Diponegoro


Sejak kedatangan Belanda di Jawa Tengah, kerajaan Mataram mengalami
kemerosotan. Wilayah kerajaan semakin sempit karena banyak daerah diambil alih
oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh Belanda ini menimbulkan rasa benci dari golongan-golongan rakyat banyak
atau rakyat jelata. Walaupun keadaan sudah mulai panas namun golongan-
golongan itu masih menunggu datangnya seorang Ratu Adil yang dapat memimpin
mereka dalam menghadapi Belanda. Tokoh yang diharapkan itu adalah dari
kalangan istana yang tampil ke depan untuk memimpin mereka, beliau adalah
Pangeran Diponegoro.
Latar Belakang Perang Diponegoro Ada beberapa hal yang menyebabkan
Pangeran Diponegoro turun tangan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.

a) Sebab-sebab Umum
Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan kewibawaannya mulai merosot.
Bersamnaan dengan itu terjadi pemecahan wilayah menjadi empat kerajaan kecil,
yaitu Surakarta, Ngayoyakarta , Mangkunegara dan Paku Alaman.
Kaum bangsawan merasa dikurangi penghasilannya, karena daerah-daerah
yang dulu dibagi-bagikan kepada para bangsawan, kini diambil oleh pemerintah
Belanda. Pemerintah Belanda mengeluarkan maklumat yang isinya akan
menguasahakan perekonomian sendiri, tanah milik kaum partikelir (swasta) harus
dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Sudah tentu tindakan ini menimbulkan
kegelisahan diantara para bangsawan, karena harus mengembalikan uang persekot
yang telah diterima.
Rakyat yang mempunyai beban seperti kerja rodi, pajak tanah dan
sebagainya merasa tertindas. Begitu pula karena pemungutan beberapa pajak yang
di borong oleh orang-orang Tionghoa dengan sifat memeras dan memperberat
beban rakyat.

b) Sebab-sebab Khusus

2
Sebab-sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan
yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danurejo
IV (seorang "kaki tangan" Belanda) memerintahkan untuk memasang patok-patok
di jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk mencabutnya, namun
potok-patok itu dipasang kembali atas perintah Patih Danurejo IV. Keadaan seperti
ini berlangsung berkali-kali, sehingga akhirnya patok-patok itu diganti dengan
tombak. Dengan penggantian patok itu menandakan kesiapan Pangeran
Diponegoro untuk berperang melawan Belanda. Peperangan tidak dapat dielakan
lagi dan pasti akan terjadi. Tetapi Belanda berusaha menghadapi kemelut antara
kedua bangsawan tersebut dan mengharapkan tidak terjadi peperangan. Untuk itu
Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi (paman dari Pangeran Diponegoro)
untuk membujuknya agar mau bertemu dengan residen Belanda di Loji. Pangeran
Diponegoro menolak tawaran itu karena tahu arti semua yang dimaksud oleh
Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran
Diponegoro berlangsung, Belanda tiba-tiba telah melakukan serangan.

B. Tokoh / Pemimpin Perang


Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam
semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala
sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran
bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang
juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran
Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden
Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari
rakyat, ulama dan juga kaum bangsawan. Dari kaum bangsawan ada Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada
Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo.

C. Jalannya Perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata
andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan

3
sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa.
Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat
dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah
direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-
jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di
dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan
sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat
dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam
sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan
tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak",
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota;
menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran
dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran
Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang
tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan
ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini
bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern
yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
4
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi
(spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul
kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot
Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana,
Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa
anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak
8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.
Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke
Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi
keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang
dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk
Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

D. Taktik Perang Diponogoro


Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan
pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama
dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba,
gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat.
5
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak
tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan
mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan
pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan
kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para
pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando
pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap
berjuang melawan Belanda.

E. Akhir Perang Diponegoro


Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu
pula Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru inisiatif
serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak yang menyerah
kepada Belanda karena sudah tidak kuat dengan cobaan dan perang gerilya.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di
Pengasih dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang bergunung-
gunung sehingga memudahkan Diponegoro melakukan gerilya dan menyusahkan
Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera membangun benteng-benteng
untuk mengepung daerah Kedu sehingga gerakan Diponegoro dapat
dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat Diponegoro dan pengikutnya hidup
dalam keprihatinan yang luar biasa walaupun masih tetap melanjutkan perang
gerilya.Banyak pemimpin perang Diponegoro yang menyerahkan diri pada
Belanda.
Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di Hidia-
Belanda. Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan pemerintahan
sejak Van Der Capellen mengundurkan diri pada tahun 1826 digantikan oleh
Johaness Van den Bosch. Di tubuh militer sendiri terjadi rotasi pergantian, De
Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh Hindia-Belanda, dan sebagai
panglima tentara Belanda di Jawa daingkat Mayor Jenderal Benjamin Bisschof.
Tetapi sebelum menunaikan tugasnya Bisschof meninggal karena sakit. Kemudian
kepada gubernur jenderal De Kock meminta agar tetap dipercaya memimpin
langsung penumpasan terhadap Diponegoro.
Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat
perubahan taktik ini Diponegoro mampu kembali menguasai Bagelen, sebagian
6
sungai progo, sebagian sungai bogowonto, dan Banyumas. Ini semua berkat taktik
gerilya Gusti Bei yang brilian.De Kock membalas gerakan Pasukan Diponegoro ini
dengan sebuah serangan cepat dan kuat. Segera Bagelen direbut, Sungai
Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat. Selanjutnya serangan dilanjutkan ke
Ledok dan Karangkobar.
Dua daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini
Belanda memakai pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan pasukan
Belanda sendiri. Kemudian pasukan Belanda bergerak ke Boyolali-Kanigoro.
Mereka lalu bergabung dengan pasukan Kasunanan Surakarta. Kedua pasukan ini
segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Adipati Urawan dan
Pangeran Sumonegoro. Pasukan Diponegoro berhasil didesak, sementara itu
Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan Diponegoro bermaksud membantu
pasukan Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Bulkiya pimpinan
Haji Usman juga ikut serta bergerak untuk memberi bantuan. Tidak ketinggalan
pula Gusti Basah (putra Diponegoro) bersama pasukannya turut bergerak memberi
bantuan.
Di lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang turut bergerak
memberi bantuan. Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan Yogyakarta dan
Belanda, dari Surakarta juga bergerak Legioen Mangkunegaran. Pasukan Belanda
berjumlah 3000 orang sedangkan gabungan pasukan Diponegoro berjumlah 5000
orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah pertempuran sengit. Walaupun
Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak prajurit Diponegoro
tewas dalam pertempuran ini, bahkan komandan pasukan Bulkiya yaitu Haji
Usman tewas.Pada tanggal 30 April 1829 terjadi pertempuran di RawaGenda.
Basah Prawirokusumo terkena pecahan meriam dan lumpuh dalam serangan
Belanda itu. Sementara Tumenggung Banyak Wedi menyerah pada pimpinan
pasukan Belanda (Kapten Busseheus).
Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger diserang.
Gudang dan pabrik amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan. Gusti Bei yang
terluka melarikan diri sementara Raden Joyonegoro meneruskan perlawanan
sampai dia mati. Dengan direbutnya Geger maka suply amunisi pasukan
Diponegoro sangat terganggu.
Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan menyerang sebuah
desa yang dicurigai sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam sergapan itu
7
berhasil ditangkap Raden Hasa Mahmud dan Pangeran Anom Diponegoro (putra
tertua Pangeran Diponegoro). Belanda mengancam akan membunuh Anom
Diponegoro jika Diponegoro tidak menyerah. Tetapi ancaman ini tidak digubris.
Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh.
Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas
Wiryokusumo, Raden Mas Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi menyerah pada
Belanda. Belanda kemudian meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk
menyerah dan memberitahukan letak persembunyian keluarga Pangeran
Diponegoro dan keluarga para panglima perlawanan yang lain, tetapi tuntutan itu
tidak dijawab. Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah pimpinan
pasukan Jogokaryo yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga Pangeran
Diponegoro dan keluarga para panglima perang lain.
Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung
Wiryodirjo dan ratusan pengikutnya menyerah pada Belanda menyusul kemudian
Tumenggung Surodeksono, Pangeran Pakuningrat beserta pengikut-pengikutnya.
Dan Raden Ayu Anom (istri kedua Pangeran Mangkubumi) juga menyerah beserta
50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28 September 1829, Pangeran Mangkubumi
akhirnya menyerah setelah keluarga-keluarga panglima perang yang dilindunginya
dikembalikan pada Pangeran Diponegoro. Pada tanggal 30 September 1829,
pukulan kembali terjadi. Gusti Bei dan kedua putranya Joyokusumo dan
Harnokusumo disergap oleh Belanda di Desa Sangir dan mereka semua gugur.
Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan
hanyalah Sentot. Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi pasukan Sentot sendiri
mengkhawatirkan karena kekurangan bahan makanan dan terputus jalur
logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun, Belanda melakukan
perundingan dengan Sentot. Sentot bersedia menyerah dengan syarat sebagai
berikut :
a. Diberi uang sebesar 10.000 Ringgit
b. Tetap memimpin pasukan Pinilih nya
c. Diberi 500 pucuk senapan.
d. Tetap memeluk agama Islam
e. Sentot dan pasukannya tetap diijinkan memakai surban
Belanda memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya pada tanggal 17
Oktober 1829 Sentot menyerah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober
8
1829 Sentot dan pasukannya masuk ke Yogyakarta, ketika melewati jalan-jalan
kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah sebagai tanda
penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sultan Hamengkubuwono V di
kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor Cavalerie dengan gaji 100
ringgit per bulan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama Sri Sultan
Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta. Walaupun
Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak senang tinggal di
istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena Pengaruh dari Belanda
membawa dampak yang sangat besar baik di kalangan keraton maupun di kalangan
rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau tidak suka tinggal di istana. Adapun
pengaruh yang kurang baik diantaranya :
a. Adat istiadat banyak yang dilanggar
b. Ajaran agama yang diabaikan
c. Banyak uang dihambur-hamburkan untuk pesta

Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka dirampas oleh
Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu tentu saja
sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro berniat untuk
melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang terhadap rakyat.
Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum ataupun khusus untuk
melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab umum tersebut antara lain,
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok tanah milik
Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada saat itu memang Pangeran
Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda karena Belanda selalu ikut campur

9
tangan dalam urusan pemerintahan di Yogyakarta. Adapun sebab khususnya adalah
sebagai berikut:
1) Belanda akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur
Diponegoro
tanpa meminta izin terlebih dahulu.
2) Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan oleh
Belanda.
Akibatnya Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung untuk melawan
dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun demikian Pemerintah Belanda
tetap bersikeras untuk bertahan di tanah Jawa serta melakukan perlawanan terhadap
Pangeran Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro memiliki taktik untuk bisa
mengalahkan Pemerintah Belanda. Taktik perang tersebut adalah taktik perang
Gerilya.
Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan. Walaupun saat itu
Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang luhur Pangeran
Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan sampai di kalangan
rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk melawan Belanda. Mereka
sangat bersemangat dalam mengusir Belanda bahkan nyawa dipertaruhkan untuk
bisa mengusir Belanda. Harga diri dan kehormatan keluarga adalah segala-galanya
bagi Pangeran Diponegoro. Namun tipu muslihat dan kelicikan Belanda menyeret
Pangeran Diponegoro ke meja perundingan, sekaligus pengasingan beliau, sampai
ajal menjemputnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org

https://fendygoo.blogspot.com/2015/01/makalah-perang-diponegoro.html

https://bagiartikel24.blogspot.com/2016/12/makalah-perang-diponegoro.html

11

Anda mungkin juga menyukai